Lilin-lilin menyala redup di dalam kamar penginapan, Jin She membungkuk di sisi tempat tidur, memastikan selimut menutupi tubuh mungil Yao Chen yang terlelap. Jemarinya menyibakkan helaian rambut yang jatuh di wajah gadis kecil itu, sebelum menutup tirai tempat tidur.Matanya beralih pada sosok Yao Pang yang berdiri membisu di depan jendela, cahaya rembulan menyinari wajahnya yang dingin tanpa ekspresi. Atap-atap rumah penduduk tampak seperti lukisan tinta hitam di bawah langit malam."Nona kecil sudah tertidur pulas," lapor Jin She dengan hati-hati, ia tak ingin mengejutkan sang Ketua."Bagaimana dengan gadis itu?" Yao Pang bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari pemandangan malam di depannya.Jin She mengambil posisi beberapa langkah di belakang Yao Pang, "Gadis itu sudah sadar. Menurutnya, ia sedang menikmati festival di kotanya ketika seseorang berjubah hitam dengan wajah dicat putih seperti hantu menyerangnya. Setelah itu, semuanya gelap dan gadis malang itu tak ingat apa-ap
Jin She masih mengawasi kamar yang ditempati Yun Hui, ketua Sekte Hoa Mei, ketika Feng Huang melangkah keluar dari kamarnya. Wanita bergelar Iblis Gelang Besi itu bergegas menjauh dan menghilang dalam kegelapan. Mata Feng Huang yang tajam menangkap gerak-gerik Jin She, ia mulai mengkhawatirkan keadaan Yun Hui. Setelah memastikan Jin She pergi, ia melangkah ke pintu kamar mantan adik seperguruannya.Pintu kayu berderit pelan. Yun Hui berdiri di ambang pintu dengan wajah pucat, matanya sembab dan berkaca-kaca. Tanpa kata-kata, ia membuka pintu lebih lebar, membiarkan Feng Huang masuk.Kedua wanita itu duduk berhadapan dalam keheningan yang menyesakkan. Feng Huang mengamati sahabatnya yang biasanya angkuh dan tegar kini tampak begitu rapuh."Sepertinya aku telah menemukan putraku yang hilang," Yun Hui akhirnya berbicara, suaranya nyaris berbisik."Benarkah?" Mata Feng Huang melebar.Yun Hui mengangguk lemah, jemarinya saling bertaut menunjukkan kegelisahan yang dalam. "Aku mendengarkan
"Du Fei! Ayo main!" Liu Heng berteriak dari luar pintu dengan nada manja anak kecil yang merengek.Du Fei menghela nafas, tetapi berusaha tetap fokus pada pelajarannya. Tabib Wang membuka gulungan lain, menampilkan diagram yang lebih detail."Meridian jantung memiliki sembilan titik utama," ia melanjutkan. "Yang terpenting adalah Shen Men di pergelangan tangan. Titik ini ...." BRAKK!Si Pendekar Sinting muncul di ambang pintu, wajahnya cemberut seperti anak kecil. "Du Fei, kau sudah berjanji akan mengajakku bermain pemburu dan babi hutan lagi hari ini!""Sebentar lagi," Du Fei menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari diagram. "Meridian limpa," ia menggumam, jarinya menelusuri garis di diagram. "Dimulai dari ibu jari kaki ...."Tabib Wang mengangguk puas, "Benar sekali. San Yin Jiao adalah persimpangan tiga meridian Yin kaki. Titik ini ....""DU FEI!" Liu Heng berguling-guling di lantai seperti anak kecil yang merajuk. "Aku bosan!"Du Fei tetap tak bergeming. Matanya menyipit mengama
"Hmph, tempat ini lumayan ramai juga," gumam sang panglima bertubuh kekar, sambil mengedarkan pandangan tajamnya ke sekeliling ruangan. "Panglima Liu," salah seorang anak buahnya mencondongkan tubuhnya dan berbisik ke telinga junjungannya. "Menurut informasi yang kita dapat, kedai ini memang selalu ramai. Pastilah keuntungannya tidak sedikit."Panglima Liu mengangguk puas dan berbicara dengan suara keras agar pengunjung lain ikut mendengarkan, "Bagus, Raja Yu Ping telah memerintahkan kita untuk meningkatkan pemasukan kerajaan. Setiap jengkal tanah, setiap usaha di wilayah ini harus membayar upeti yang sepadan.""Tapi Panglima," Anak buah Panglima Liu mengedarkan pandangan ke sekeliling, "bagaimana dengan orang-orang yang sedang makan di sini?"Seringai kejam tersungging di bibir sang Panglima, "Tentu saja mereka juga harus membayar. Anggap saja ... biaya keamanan untuk menikmati makanan dengan tenang di wilayahku."Beberapa prajurit menghampiri meja-meja pengunjung lain dan meminta s
“Bagus, kali ini kita akan bermain ‘Menghajar Perampok berkedok Prajurit’, bagaimana?” Liu Heng mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali, senyumnya melebar membayangkan dirinya menghajar para prajurit yang sudah bertindak sewenang-wenang di kedai tadi.Keduanya bergegas meninggalkan kedai, mengikuti jejak rombongan Panglima Liu. Namun setelah beberapa li mengejar, Du Fei menghentikan langkah. "Aneh," gumam pemuda bertopeng itu sambil mengerutkan kening, berlutut memeriksa tanah. "Jejak kaki perampok-perampok itu menghilang begitu saja, seharusnya mereka belum jauh."Tiba-tiba terdengar suara gemerisik dedaunan dari arah hutan di sisi kanan jalan. Du Fei bangkit menegakkan tubuh, instingnya menangkap sesuatu yang tidak beres. "Ada yang datang."Sosok sempoyongan muncul dari balik rimbunnya pepohonan. Cahaya rembulan yang menembus kanopi hutan menyinari seragam prajurit yang kini bermandikan darah. Lengan kirinya yang buntung masih meneteskan darah segar, sementara wajahnya pucat pas
"Percayalah, mereka pantas untuk mati!" desis sosok bertubuh ramping dalam pakaian serba hitam, kain penutup sebagian wajah menambah kesan kemisteriusannya."Apa yang kau lakukan menunjukkan bahwa dirimu tak jauh beda dengan mereka, bahkan lebih kejam!" Du Fei melangkah mendekat dengan sikap waspada, langkahnya terhenti saat jarak mereka tinggal sejengkal.Sinar bulan purnama menerangi sebagian wajah sosok lawan, memperlihatkan sepasang alis yang melengkung bagai bulan sabit. Du Fei tertegun. Di bawah alis, sepasang mata sekelam malam balas menatap pria itu tajam, mata yang menyimpan kepedihan mendalam namun tetap tak mampu menutupi keindahannya.Wangi tubuhnya menguar lembut terbawa angin, wangi bunga plum yang berbaur dengan aroma hutan pinus, menciptakan keharuman yang memabukkan.
"Wanita ini sangat kejam dan berbahaya," batin Du Fei. Meski begitu, gerakannya yang mematikan terlihat anggun dan indah, seperti bunga azalea yang cantik meski beracun.Sadar bahwa pertarungan ini harus segera diakhiri, Du Fei meraih sebatang ranting pohon. Jemarinya bergerak cepat, mengalirkan energi chi hingga ranting itu sekokoh pedang pusaka."Maafkan aku, Nona … tapi ini saatnya kau menyerah!" Du Fei memasang kuda-kuda yang berbeda. "Bayangan Bulan Menari!"Tubuhnya seolah terbelah menjadi delapan, bergerak dalam formasi yang membingungkan. Ranting di tangannya menari dalam gerakan spiral, menciptakan ilusi bulan purnama yang berputar. Setiap gerakan mengandung serangan mematikan, namun Du Fei dengan cermat mengendalikan tenaganya, cukup untuk melumpuhkan, tidak untuk membunuh.
Mentari pagi mengintip malu-malu dari balik pepohonan saat Du Fei dan Liu Heng menyelesaikan pemakaman terakhir. Sepuluh gundukan tanah berjajar rapi, menjadi saksi bisu tragedi semalam. Du Fei memadatkan timbunan tanah dengan cangkul, keringat mengalir di dahi segera ia hapus dengan lengan bajunya.Liu Heng mengamati teman seperjalanannya dengan seksama. Sejak fajar menyingsing, pemuda itu nyaris tak bersuara, sangat tidak biasa untuk seorang Du Fei yang biasanya sering bercanda dan menjahilinya."Anak Nakal, mengapa dari semalam tidak banyak bicara?" Liu Heng bertanya sambil meneliti raut wajah Du Fei yang terlihat muram. Yang ditanya hanya menggeleng pelan, tangannya terus bekerja memadatkan tanah seolah berusaha mengubur sesuatu lebih dari sekedar jenazah."Kakek, mari lanjutkan perjalanan!" Du Fei bangkit setel
Di singgasana, di kursi yang biasa ditempati raja Yu Ping, Qi Lung duduk dengan sikap angkuh. Mengenakan jubah kebesaran berwarna biru tua dengan sulaman naga emas, ia tampak seperti raja muda yang baru dinobatkan.Di hadapannya, beberapa menteri dan pejabat tinggi berlutut dalam barisan rapi, wajah-wajah mereka menunduk dengan campuran rasa takut dan bingung. Sudah tiga hari Raja Yu Ping tidak muncul di aula penghadapan, dan Qi Lung dengan mudah mengambil alih tanpa perlawanan berarti."Laporan dari perbatasan utara, Yang Mulia," Mentri Wei membacakan gulungan yang dibukanya. "Hasil panen tahun ini diperkirakan akan meningkat dua puluh persen dari tahun lalu. Gudang-gudang beras kita akan penuh hingga musim dingin."Qi Lung mengangguk puas. "Kabar baik. Pastikan pasokan beras didistribusikan dengan baik ke seluruh wilayah.""Dan mengenai perjanjian dagang dengan Kerajaan Ming di timur," lanjut Mentri Wei, membuka gulungan lain. "Mereka mengajukan proposal untuk menurunkan pajak perda
Di istana, Raja Yu Ping terbaring gelisah di pembaringannya. Mimpi-mimpi buruk terus menghantui tidurnya—bayangan wajah-wajah yang menderita, jeritan-jeritan yang tak terdengar, dan sosok naga hitam yang mengintai dari kegelapan."Zhen Yi…," sang Raja mengigau, keringat dingin membasahi dahi. "Di mana... kau?"Xiao Lan, yang duduk di samping tempat tidur, mengelap keringat raja dengan kain lembap. Ekspresinya kosong, matanya hampa seolah jiwanya tidak hadir di sana.Pintu kamar terbuka perlahan, dan Qi Lung melangkah masuk. Ia mengenakan jubah tidur mewah berwarna biru tua dengan sulaman emas, tapi wajahnya tampak segar seolah belum akan tidur dalam waktu dekat."Bagaimana kondisinya?" tanya Qi Lung lirih, mendekati tempat tidur ayahnya."Masih sama," jawab Xiao Lan datar. "Racunnya bekerja seperti yang direncanakan. Ia terus bermimpi buruk, membuatnya tidak bisa beristirahat dengan tenang."Qi Lung mengangguk puas, "Sempurna. Sekarang di mana Yun Hao? Aku tidak melihatnya sejak sore
Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kotaraja saat Yun Hao memacu kudanya menyusuri lorong-lorong sempit yang menjauh dari istana. Matahari nyaris terbenam sepenuhnya, menyisakan semburat oranye keunguan di langit barat. Ia mengenakan jubah hitam sederhana dengan tudung menutupi kepalanya—bukan pakaian yang biasa dikenakan seorang pangeran, tetapi sempurna untuk seseorang yang ingin bergerak tanpa menarik perhatian.Di belakangnya, istana megah dengan atap-atap merahnya berdiri angkuh, semakin mengecil seiring jarak yang ia tempuh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yun Hao merasa istana bukan lagi rumahnya—bukan lagi tempat yang aman. Sejak Qi Lung mengambil alih kekuasaan, dinding-dinding istana seolah menyimpan mata-mata di setiap sudutnya.Yun Hao membimbing kudanya memasuki wilayah kota yang lebih tua, di mana bangunan-bangunan kayu berjejer rapat dan papan-papan nama toko bergoyang tertiup angin malam. Jalanan semakin sepi, hanya beberapa pedagang yang sedang membereskan dag
Matahari sudah mulai terbenam saat kereta tahanan berhenti di sebuah pos jaga di perbatasan antara wilayah hijau dan gurun pasir. Para pengawal menurunkan Zhen Yi, yang kakinya terasa kaku setelah seharian duduk di kereta yang sempit."Kita akan bermalam di sini," kata komandan pengawal. "Besok pagi-pagi sekali kita akan melanjutkan perjalanan ke Istana Pasir."Zhen Yi mengangguk. Ia tidak melihat gunanya melawan atau mencoba melarikan diri. Enam pengawal bersenjata lengkap mengawalnya, dan tidak ada tempat untuk bersembunyi di padang pasir yang terbentang luas di hadapannya.Komandan pengawal, seorang pria setengah baya, menatap Zhen Yi dengan ekspresi antara iba dan "Anda akan ditempatkan di kamar belakang, Pangeran," katanya, suaranya terdengar sedikit lebih lunak. "Tidak terlalu nyaman, tapi setidaknya lebih baik daripada sel tahanan.""Terima kasih," jawab Zhen Yi tulus. "Bolehkah tanganku dilepaskan? Sudah hampir sehari penuh terikat, dan aku tidak merasa nyaman."Komandan tamp
Kereta tahanan bergerak lambat meninggalkan gerbang kota, roda kayunya berderit membelah jalanan berbatu. Di dalam kereta, Zhen Yi duduk bersandar pada dinding kayu yang kasar, tangannya masih terikat di belakang punggung.Melalui celah kecil di jeruji jendela, ia melihat kotaraja yang semakin mengecil di kejauhan—istana megah dengan atap-atap merah dan dinding putih yang selama ini menjadi rumahnya. Semua kenangan, semua kehidupannya, kini hanya tinggal titik kecil di cakrawala. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk."Kenapa, Qi Lung?" bisiknya pada diri sendiri. "Apa salahku padamu?"Kereta berguncang keras saat melewati lubang di jalan, membuat Zhen Yi terlempar ke depan. Pengawal yang duduk di ujung kereta menatapnya tanpa ekspresi, seolah membawa seorang pangeran ke pembuangan adalah tugas biasa."Bisakah tanganku dilepaskan?" tanya Zhen Yi dengan suara tenang. "Aku tidak akan kabur."Pengawal itu mendengus. "Maaf, Pangeran. Perintah langsung dari Pa
Di antara para pejabat, beberapa mulai berbisik-bisik. Beberapa menunjukkan ekspresi ragu, sementara yang lain tampak terkejut dan kecewa."Siapa yang menjebakmu, Pangeran Zhen Yi?" tanya Menteri Wei dengan sikap hati-hati. "Dan untuk tujuan apa?"Sebelum Zhen Yi bisa menjawab, terdengar keributan di luar aula. Suara teriakan dan hentakan langkah kaki saling bersahutan."Aku ingin masuk! Lepaskan aku!" Suara Yun Hao terdengar dari balik pintu. "Aku berhak menghadiri pengadilan saudaraku!""Lanjutkan sidang!" perintah Qi Lung dengan tenang. "Pengawal, pastikan tidak ada gangguan dari luar!"Suara keributan terus berlanjut beberapa saat sebelum akhirnya mereda—tanda bahwa Yun Hao telah berhasil disingkirkan dari area tersebut."Kau tidak bisa melakukan ini, Qi Lung," kata Zhen Yi, matanya menatap lurus ke arah saudaranya. "Ayah akan mengetahui kebenaran. Semua orang juga akan tahu bahwa aku tidak bersalah."Qi Lung tersenyum tipis. "Ayahanda sedang sakit parah, Adikku. Dan sulit dipasti
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen