Sesaat setelah semua penghuni perguruan tertidur lelap, sesosok bayangan hitam, dengan langkah mengendap-endap, menyusup ke dalam ruang kerja Ketua Ma. Sosok itu tak lain adalah Lin Mo, ia mendekati kotak kas dengan mata bersinar tamak. “He-he-he, si Tua Bodoh Ma lupa mengunci kotak kas. Sebaiknya kuambil saja semua uangnya, dan kubuat seolah-olah Anak Iblis itu yang melakukannya,” Lin Mo menyeringai sambil menggosok-gosok kedua telapak tangannya.Ketika tangan Lin Mo menyentuh tutup kotak yang terbuat dari logam itu, suhu ruangan tiba-tiba menurun drastis. Bulu kuduk murid tertua Bu Tong Pai itu berdiri dengan sendirinya, ia seperti merasakan ada kehadiran sosok lain di ruangan yang memiliki pencahayaan minim itu. "Lin Mo …," sayup-sayup ia mendengar suara yang sangat akrab di telinga,memanggilnya.“Ketua Xun?” Lin Mo meneguk ludah, kepanikan mulai menyerbu hingga kakinya sulit untuk digerakkan. Sekuat tenaga Lin Mo memerangi rasa panik, membalikkan badan perlahan, akan tetapi ia
Mentari siang sedang memantulkan kilau keemasan di permukaan sungai ketika Du Fei melompati bebatuan menuju tepi air untuk membasuh muka dan minum. Angin sejuk membelai wajahnya, dan mempermainkan rambutnya yang sebagian dibiarkan tergerai mencapai bahu.Du Fei melepas topeng wajah dan meletakkannya di atas bebatuan yang cukup tinggi sebelum mencuci muka. Setelah selesai, Du Fei duduk di atas batu besar, melepas lelah sambil menikmati pemandangan hijau di sekitarnya.Bibirnya membentuk senyuman puas mengingat serbuk Bayangan Dosa yang ia taburkan di sumur semalam, berhasil membuat Lin Mo berhalusinasi dan mengakui semua kejahatannya, mulai dari memfitnah Du Fei sampai mencuri uang kas perguruan sekian lama hanya untuk bersenang-senang. Kini murid Bu Tong Pai itu diusir dengan tidak hormat, untuk sementara Bu Tong Pai dalam kondisi aman. Paling tidak sampai Tetua Lin kembali.Ketika mengedarkan pandangan ke sekeliling sungai, matanya menangkap sosok mungil di atas batu di tepi sungai.
Debu berwarna keemasan menari-nari di dalam sebuah kuil tua yang sunyi. Sinar matahari menembus celah-celah atap genteng, jatuh di atas meja altar usang, menerangi sosok tua yang sedang tertidur dalam posisi miring dengan kepala bertumpu pada tangan kanannyaDa Ye, ketua Partai Pengemis, Kai Pang, mendengkur dengan kerasnya hingga menggema di ruangan kosong, sesekali diselingi igauan tentang ayam goreng dan arak. Jubah lusuh abu-abu penuh tambalan yang ia kenakan, bergerak naik turun mengikuti irama nafasnya yang teratur.Sekelebat bayangan hitam melintas di ambang pintu. Du Fei, mengintip dari balik pilar kayu yang lapuk. Pemuda itu menyeringai jahil di balik topeng, memperlihatkan deretan gigi putih bersih yang tertata rapi, saat melihat gurunya yang tertidur pulas. Dengan gerakan sehalus kucing, pemuda itu mengeluarkan sebuah botol kecil dari sakunya, ramuan gatal-gatal yang ia pelajari dari Chang Su."Maaf, Guru," bisiknya geli seraya meneteskan cairan itu ke ujung tongkat Penggeb
Du Fei duduk bersila di atap kuil, memandang bulan yang bersinar terang. Topeng hitam keemasan tergeletak di sampingnya, memperlihatkan sisik-sisik naga di pipinya yang mengkilap tertimpa cahaya bulan."Mengapa tidak tidur?" Terdengar suara Chang Su menegur dari bawah. "Tidak biasanya kau melepas topengmu, Du Fei!"Du Fei tersenyum tipis. "Aku sedang berpikir, Guru. Tentang pilihan yang kalian berikan tadi pagi."Chang Su melompat dengan ringan ke atas atap, duduk di samping muridnya. "Apakah sekarang kau sudah memutuskan?""Aku merasa ... kedua pilihan itu sama-sama menarik," Du Fei menghela nafas. "Menjadi pejabat dan memberantas korupsi dari dalam, atau mencari Pedang Naga Api dan menjadi pendekar sejati.""Kau tahu," Chang Su menyalakan pipa tembakau di tangannya, "kadang pilihan tidak selalu tentang apa yang paling menarik, tapi tentang apa yang paling sesuai dengan jalan hidupmu."Du Fei mengusap sisik di pipinya. "Dulu, Guru pernah mengatakan sisik ini mungkin pertanda. Apa mak
"Dasar anak itu," gerutu Da Ye, masih menggaruk punggungnya. "Sampai detik terakhir pun masih sempat menjahili kita."Chang Su terkekeh di tengah rasa gatalnya. "Setidaknya kita tahu dia pergi dengan hati senang."“Kau selalu saja membela bocah tengik itu!” omel Da Ye lagi, “ayo cepat ambilkan obat penawarnya!”Kedua pria tua itu bergegas menuju ke pondok sambil bergantian menggaruk punggung dan lengan rekannya. Sementara itu Du Fei memulai perjalanannya ke Gunung Huolong dengan penuh semangat.Tiba-tiba ia meraba sesuatu dari dalam kantung lengan bajunya, manisan berbentuk boneka wanita. Ia pun teringat akan janjinya pada gadis kecil, Yao Chen.“Sebaiknya aku mampir dulu ke Hoa Mei untuk menyerahkan manisan boneka ini pada ibu Yao Chen sebelum pergi ke Gunung Huolong,” pikir Du Fei. Kaki-kaki pemuda bertopeng itu melangkah ringan di jalan setapak saat berbelok menuju Gunung Ermei.Senja baru turun ketika Du Fei memasuki kedai teh di kaki Gunung Ermei. Kedai sederhana itu hanya memilik
Rembulan mengintip malu-malu dari balik awan ketika Du Fei menyelinap masuk ke dalam biara Hoa Mei. Langkahnya seringan kapas, tak menimbulkan suara sedikitpun di lantai kayu yang sudah tua.Pemuda itu telah mengantongi informasi keberadaan Xiao Lin saat mencuri dengar percakapan dua murid Hoa Mei yang kebetulan membicarakan tentang ibunda Yao Chen itu.Di tengah aula yang remang-remang, seorang wanita berjubah abu-abu berlutut menghadap altar, tubuhnya bergerak seirama dengan doa yang dibacakan. Du Fei tersenyum lega di balik topengnya, akhirnya ia menemukan Xiao Lin.Dengan hati-hati, ia menghampiri biksuni yang tengah berlutut membelakanginya dengan hati-hati."Nona Xiao," Du Fei mengulurkan tangan menyentuh pundak wanita itu, namun kata-katanya terputus oleh kilatan dingin pedang yang melesat ke arah lehernya.Du Fei memiringkan tubuh, menghindar dalam sepersekian detik. Ujung pedang hanya berhasil merobek lengan jubahnya. Matanya membelalak kaget, di hadapannya yang berdiri dengan
Pedang di tangan Xiao Lin gemetar seiring dengan getaran tubuhnya. Matanya bertemu dengan mata Du Fei, ia melihat ada keteguhan di sana, di balik topeng hitam keemasannya."Nona Xiao," Du Fei berkata tenang, tak gentar meski ujung pedang terarah ke dadanya. "Aku tak takut mati. Hanya saja aku tak tega bila seumur hidup kau dihantui perasaan bersalah karena membunuhku. Kita berdua tahu kebenarannya, jangan sampai ketaatan pada gurumu yang kejam itu membutakan hatimu!""Tutup mulutmu!" Yun Hui membentak, matanya berkilat marah. "Berani mengatakan aku kejam, kau sendiri apa? Tak lebih dari manusia hina!""Lebih baik dianggap manusia hina," desis Du Fei, matanya menatap tajam menembus jiwa sang biarawati, "daripada bersembunyi di balik topeng biksuni padahal kelakuan layaknya iblis!"Wajah Yun Hui merah padam menahan amarah. "Bunuh dia, Xiao Lin!" bentaknya tak sabar.Xiao Lin mengangkat pedang, ujungnya yang tajam mengarah ke dada Du Fei. "Ma-maafkan aku!" bibirnya bergetar, air mata men
"Sebelas lawan satu?" Suara dingin terdengar dari balik tudung hitam. "Memalukan!"Ming Mei menggertakkan gigi, "Siapa kau? Berani-beraninya mencampuri urusan Hoa Mei!"Bukannya menjawab, sosok itu melesat maju. Gerakan tubuhnya seringan kapas namun ayunan gelang bergerigi di tangannya mematikan bagai ular berbisa."Jangan biarkan dia lolos!" seru Ming Mei, mengayunkan cambuknya.Sepuluh murid Hoa Mei bergerak dalam formasi bulan sabit, pedang mereka menciptakan gulungan sinar yang mengurung sosok tersebut. Namun sosok misterius itu hanya tersenyum sinis meremehkan.Gelang-gelang besi di tangannya berputar hingga membentuk pusaran perak, "Jurus Gelang Naga Mengamuk.”Udara berdesing saat senjata mematikan itu berputar semakin cepat membentuk gulungan sinar memangkas cambuk Ming Mei, meninggalkan serpihan-serpihan halus yang melayang bagai salju hitam. Ming Mei memekik kaget dan segera melompat mundur.Kesepuluh murid Hoa Mei mengambil alih, bersatu menusukkan pedang ke arah sosok itu
Di istana, Raja Yu Ping terbaring gelisah di pembaringannya. Mimpi-mimpi buruk terus menghantui tidurnya—bayangan wajah-wajah yang menderita, jeritan-jeritan yang tak terdengar, dan sosok naga hitam yang mengintai dari kegelapan."Zhen Yi…," sang Raja mengigau, keringat dingin membasahi dahi. "Di mana... kau?"Xiao Lan, yang duduk di samping tempat tidur, mengelap keringat raja dengan kain lembap. Ekspresinya kosong, matanya hampa seolah jiwanya tidak hadir di sana.Pintu kamar terbuka perlahan, dan Qi Lung melangkah masuk. Ia mengenakan jubah tidur mewah berwarna biru tua dengan sulaman emas, tapi wajahnya tampak segar seolah belum akan tidur dalam waktu dekat."Bagaimana kondisinya?" tanya Qi Lung lirih, mendekati tempat tidur ayahnya."Masih sama," jawab Xiao Lan datar. "Racunnya bekerja seperti yang direncanakan. Ia terus bermimpi buruk, membuatnya tidak bisa beristirahat dengan tenang."Qi Lung mengangguk puas, "Sempurna. Sekarang di mana Yun Hao? Aku tidak melihatnya sejak sore
Hujan rintik-rintik membasahi jalanan kotaraja saat Yun Hao memacu kudanya menyusuri lorong-lorong sempit yang menjauh dari istana. Matahari nyaris terbenam sepenuhnya, menyisakan semburat oranye keunguan di langit barat. Ia mengenakan jubah hitam sederhana dengan tudung menutupi kepalanya—bukan pakaian yang biasa dikenakan seorang pangeran, tetapi sempurna untuk seseorang yang ingin bergerak tanpa menarik perhatian.Di belakangnya, istana megah dengan atap-atap merahnya berdiri angkuh, semakin mengecil seiring jarak yang ia tempuh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Yun Hao merasa istana bukan lagi rumahnya—bukan lagi tempat yang aman. Sejak Qi Lung mengambil alih kekuasaan, dinding-dinding istana seolah menyimpan mata-mata di setiap sudutnya.Yun Hao membimbing kudanya memasuki wilayah kota yang lebih tua, di mana bangunan-bangunan kayu berjejer rapat dan papan-papan nama toko bergoyang tertiup angin malam. Jalanan semakin sepi, hanya beberapa pedagang yang sedang membereskan dag
Matahari sudah mulai terbenam saat kereta tahanan berhenti di sebuah pos jaga di perbatasan antara wilayah hijau dan gurun pasir. Para pengawal menurunkan Zhen Yi, yang kakinya terasa kaku setelah seharian duduk di kereta yang sempit."Kita akan bermalam di sini," kata komandan pengawal. "Besok pagi-pagi sekali kita akan melanjutkan perjalanan ke Istana Pasir."Zhen Yi mengangguk. Ia tidak melihat gunanya melawan atau mencoba melarikan diri. Enam pengawal bersenjata lengkap mengawalnya, dan tidak ada tempat untuk bersembunyi di padang pasir yang terbentang luas di hadapannya.Komandan pengawal, seorang pria setengah baya, menatap Zhen Yi dengan ekspresi antara iba dan "Anda akan ditempatkan di kamar belakang, Pangeran," katanya, suaranya terdengar sedikit lebih lunak. "Tidak terlalu nyaman, tapi setidaknya lebih baik daripada sel tahanan.""Terima kasih," jawab Zhen Yi tulus. "Bolehkah tanganku dilepaskan? Sudah hampir sehari penuh terikat, dan aku tidak merasa nyaman."Komandan tamp
Kereta tahanan bergerak lambat meninggalkan gerbang kota, roda kayunya berderit membelah jalanan berbatu. Di dalam kereta, Zhen Yi duduk bersandar pada dinding kayu yang kasar, tangannya masih terikat di belakang punggung.Melalui celah kecil di jeruji jendela, ia melihat kotaraja yang semakin mengecil di kejauhan—istana megah dengan atap-atap merah dan dinding putih yang selama ini menjadi rumahnya. Semua kenangan, semua kehidupannya, kini hanya tinggal titik kecil di cakrawala. Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya yang berkecamuk."Kenapa, Qi Lung?" bisiknya pada diri sendiri. "Apa salahku padamu?"Kereta berguncang keras saat melewati lubang di jalan, membuat Zhen Yi terlempar ke depan. Pengawal yang duduk di ujung kereta menatapnya tanpa ekspresi, seolah membawa seorang pangeran ke pembuangan adalah tugas biasa."Bisakah tanganku dilepaskan?" tanya Zhen Yi dengan suara tenang. "Aku tidak akan kabur."Pengawal itu mendengus. "Maaf, Pangeran. Perintah langsung dari Pa
Di antara para pejabat, beberapa mulai berbisik-bisik. Beberapa menunjukkan ekspresi ragu, sementara yang lain tampak terkejut dan kecewa."Siapa yang menjebakmu, Pangeran Zhen Yi?" tanya Menteri Wei dengan sikap hati-hati. "Dan untuk tujuan apa?"Sebelum Zhen Yi bisa menjawab, terdengar keributan di luar aula. Suara teriakan dan hentakan langkah kaki saling bersahutan."Aku ingin masuk! Lepaskan aku!" Suara Yun Hao terdengar dari balik pintu. "Aku berhak menghadiri pengadilan saudaraku!""Lanjutkan sidang!" perintah Qi Lung dengan tenang. "Pengawal, pastikan tidak ada gangguan dari luar!"Suara keributan terus berlanjut beberapa saat sebelum akhirnya mereda—tanda bahwa Yun Hao telah berhasil disingkirkan dari area tersebut."Kau tidak bisa melakukan ini, Qi Lung," kata Zhen Yi, matanya menatap lurus ke arah saudaranya. "Ayah akan mengetahui kebenaran. Semua orang juga akan tahu bahwa aku tidak bersalah."Qi Lung tersenyum tipis. "Ayahanda sedang sakit parah, Adikku. Dan sulit dipasti
Qi Lung berdiri di depan cermin besar yang terbuat dari perunggu mengkilap. Jari-jarinya yang panjang merapikan jubah kebesaran kaisar berwarna emas dengan bordiran naga hitam—jubah yang seharusnya hanya dikenakan oleh Raja Yu Ping. Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati sensasi kain sutra berkualitas tertinggi yang menyentuh kulitnya, serta beban mahkota raja yang terasa pas di kepalanya."Apakah semuanya sudah siap?" tanya Qi Lung tanpa menoleh ke belakang, tatapannya masih terpaku pada refleksi dirinya di cermin.Kasim kepala membungkuk dalam-dalam. "Sudah, Yang Mulia. Aula Keadilan Langit telah disiapkan sesuai perintah. Para menteri dan pejabat tinggi telah dikumpulkan.""Dan tahanan kita?""Pangeran Zhen Yi sedang dibawa ke aula. Ia masih... belum sepenuhnya sadar, Yang Mulia."Senyum tipis tersungging di bibir Qi Lung. "Sempurna." Ia berbalik, merapikan sedikit lagi jubahnya. "Dan pastikan tidak ada yang menginterupsi sidang hari ini. Terutama Pangeran Yun Hao.""Hamba menger
Kabut tipis melayang di atas taman istana, menyelimuti paviliun-paviliun dan kolam teratai dalam kehampaan pagi yang sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada bisikan angin—seolah seluruh istana menahan napas, menunggu dalam kecemasan. Para dayang dan kasim berjalan hampir tanpa suara di sepanjang koridor yang mengarah ke paviliun tempat Raja Yu Ping terbaring sakit.Di dalam kamar utama yang luas, hawa dingin menyelinap melalui celah-celah jendela meskipun beberapa tungku pemanas telah dinyalakan. Tirai-tirai sutra merah keemasan menutupi jendela, membuat ruangan temaram meski matahari sudah merangkak naik di langit pagi. Di atas pembaringan megah berlapis sutra, Raja Yu Ping terbaring lemah. Wajahnya yang biasanya tegas dan berwibawa kini pucat, dengan lingkaran hitam di bawah matanya yang tertutup. Napasnya berat dan tidak teratur, kadang tersengal seolah setiap tarikan udara membutuhkan usaha besar. Keringat dingin membasahi dahinya meskipun udara di ruangan terasa sejuk.Di sam
Paviliun Bulan Musim Gugur berdiri megah di sudut timur istana, dikelilingi oleh pohon-pohon maple yang daunnya mulai berubah kemerahan. Cahaya temaram dari lentera-lentera merah menyinari ruangan tengah paviliun dimana tiga sosok pangeran duduk mengelilingi meja bundar dari marmer."Sudah lama sekali kita tidak berkumpul seperti ini," ucap Qi Lung sambil menuangkan arak berwarna keemasan ke dalam tiga cawan porselen putih berukir naga. "Terakhir kali mungkin saat perayaan musim semi tahun lalu."Uap tipis mengepul dari cawan-cawan tersebut, membawa aroma manis arak berkualitas tinggi. Di atas meja tersaji berbagai hidangan mewah – daging angsa panggang dengan saus plum, ikan sungai dikukus dengan jahe, dan berbagai hidangan langka lainnya."Arak langka dari Wilayah Barat," Qi Lung mengangkat cawannya. "Hanya ada beberapa guci saja yang dikirim sebagai persembahan untuk Ayahanda."Zhen Yi menatap cairan di cawannya dengan ragu. Sebagai penghuni biara, ia sudah hampir tak pernah menyen
Zhen Yi kembali berlutut, kali ini lebih dekat dengan tempat tidur. "Ibu, jangan berkata seperti itu. Zhen Yi hanya memiliki satu orang Ibu. Meskipun... meskipun Ibu mungkin tidak selalu memperlihatkan kasih sayang, Zhen Yi tahu Ibu peduli."Air mata Qi Yue makin deras mengalir, musuh besarnya melahirkan sosok pangeran berhati emas. Sementara dirinya melahirkan sosok pangeran berhati iblis. Seandainya waktu dapat diputar kembali, ia ingin memperbaiki semuanya. Tetapi nasi sudah menjadi bubur.***Setelah keluar dari kamar Putri Qi Yue, Zhen Yi tampak merenung. Ia melangkah pelan menyusuri koridor panjang istana yang dihiasi lampion-lampion merah. Tatapannya kosong, seolah pikirannya berada di tempat yang jauh.Yun Hao menepuk pundak Zhen Yi, menyadarkannya dari lamunan. "Apa yang kau pikirkan, adikku? Sejak keluar dari kamar Ibu, kau seperti orang yang kehilangan arwah."Zhen Yi menghela napas panjang. "Aku merasa Ibu ingin menyampaikan sesuatu padaku, tapi tidak bisa mengatakannya de