Share

Masa Yang Sulit

Penulis: KSIndra
last update Terakhir Diperbarui: 2023-03-01 16:55:17

Gadis itu mengingatnya, mengingat bagaimana dia di perlakukan buruk oleh kedua orang tuanya. Bahkan, ia termasuk gadis yang tidak bisa membaca dan juga tidak bisa menulis hingga sekarang. Dia juga tidak tahu bagaimana dirinya bisa menjadi seorang pembunuh, psikopat yang sangat sadis.

Tapi dia tidak pernah ingat melakukan apapun. Semua tanpa sadar, tidak ada yang tersimpan di kepalanya. Hingga ia seperti orang bodoh yang lupa ingatan. Seperti kajadian tadi, saat penangkapan dirinya, ia sangat terkejut ketika tangannya sudah berlumur darah dan memegang pisau, korban pun dalam keadaan terikat tali dengan lidah menjulur keluar dan terpotong.

Dia histeris, seolah menjadi orang kehilangan akal, gila, stres dan tak berprikemanusian. Anggapan-anggapan itu membuat dia seakan-akan menjadi tersangka utama pada pembunuhan tadi. Psikopat sejati yang sadis tanpa rasa iba terhadap korbannya.

Gadis itu teringat, bagaimana ia menjadi pribadi yang dingin dan tidak lagi ceria seperti sebelum penyiksaan itu terjadi. Yang seharusnya ia sekolah, namun ia mengalah oleh keadaan dan berjuang mencari uang untuk membahagiakan ibu juga ayah tirinya.

****

Tiga tahun pun berlalu. Waktu bergulir dengan sangat cepat.

Usia Dina menginjak 7 tahun, anak perempuan malang itu seharusnya sudah bersekolah. Tetapi, kedua orang tuanya tidak mengijinkannya untuk bersekolah dengan dalih keterbatasan biaya. Kedua orang tuanya tidak peduli dengan Dina akan pintar atau bodoh selamanya. Mereka lebih mementingkan bagaimana mendapatkan uang dari pada harus keluar uang.

"Din, Dina!" teriak wanita itu dari dalam dapur. Ia berjalan tergopoh-gopoh ke kamar putrinya itu. "Ya Tuhan! Nih, anak, masih tidur?" sambungnya dengan mata melotot. "Udah jam berapa ini? Cepat bangun, cari duit sebanyak-banyaknya!"

"Tapi Dina capek, Mah! Badan Dina pada sakit dan pegal-pegal!"

"Alasan mulu kamu, cepat mandi dan bantu mamah cari uang. Kita ini bukan orang kaya, jadi jangan cuma maunya enak-enakkan saja tanpa mau bekerja!" sergah ibunya. Selalu saja kasar padanya. "Selesai mandi, mamah tunggu di depan. Ingat, jangan lama-lama mandinya!"

Dina kecil hanya mengangguk tanpa berani melihat wajah ibunya. Ia pun masuk ke dalam kamar mandi menuruti perintah ibunya walau sebenarnya dia sedang tak enak badan.

Selesai mandi, Dina berangkat atas paksaan ibunya. Ia bekerja dari pagi hingga malam, sedangkan ayah tirinya hanya di rumah, tidak melakukan apapun. Makan, tidur, dan juga menikmati hasil kerja keras ibu dan anak. Itulah kegiatannya selama menikah dengan ibu dari Dina itu.

Dina mulai berjalan, menelusuri kampung-kampung di sekitar rumahnya. Berteriak menjajakkan dagangannya, menyebutkan apa saja kue-kue yang ia jual agar menarik perhatian para pembeli.

"Kue-kue ... donatnya Bu, Pak, ada pisang goreng, ada kue cucur, ada bakwan jagung dan sayuran, kue gemblong juga ada. Kue-kue," teriaknya.

Ia pun terduduk lelah. Keringat mengucur, lalu ia melihat kue-kue di baskom masih terlihat banyak. "Ya Tuhan, masih banyak banget makanannya. Nanti aku dimarahin mamah lagi!" keluh Dina, ia takut saat melihat ibunya marah. "Aku gak boleh berdiam diri kalau gitu, bisa-bisa kue-kue ini gak akan habis!" lanjutnya, beranjak bangun dan mulai menjajakan dagangannya.

****

Gadis itu ingat semua awal ia menjadi sangat marah. Awal ia menyakiti orang tanpa sadar dan suara.

Waktu itu, ia terus berjalan dan hingga dia sampai di sebuah sekolahan. Namun, bukan keuntungan yang didapat, justru,

Braak

Anak-anak nakal mengganggunya yang sedang berdagang. Semua dagangannya berantakkan, berhamburan ke lantai. Kotor. "Hei ... anak miskin! Berani-beraninya kamu berdagang di sini!" celetuk seorang anak laki-laki berseragam SD berbadan besar sambil menoyor kepala Dina.

Bocah itu terdiam, matanya tetap memandang kue-kue yang kini di makan oleh ayam-ayam. "Kamu tau, kalau mau dagang di sini harus bayar pada kami!" ocehnya layaknya preman. Dina mengabaikan ucapan anak laki-laki itu, ia mengusir ayam-ayam itu dan memunguti kue-kue itu.

Di kepalanya, mulai terniang suara ibunya yang memakinya. Suara ibunya yang marah dan menyiksanya. "Kue-kueku!" Ia membersihkan satu persatu kue-kue itu.

"Hei ... kau dengerin aku kan, bocah miskin!" pekik anak laki-laki itu jengkel. Kemudian ia menghampir dan menendang Dina hingga terjatuh. Bocah perempuan itu semakin marah, kue-kue yang berhasil ia selamatkan harus terkena kotoran lagi.

Dina mengepalkan tangannya. Memendam rasa marah yang sudah tersulut dan berkembang menjadi sangat marah. Ia menatap tajam ke bocah laki-laki bertubuh besar dan berkulit sawo matang itu. "Kalian!"

"Kenapa? Kau ingin marah? Mau melawan kami yang berjumlah 5 orang, huh?" tantang bocah laki-laki itu bertelak pinggang.

Sudah habis kesabaran Dina atas perlakukan mereka. Ini bukan kali pertama mereka melakukan hal buruk padanya, tapi sudah berulang-ulang. Dina tetap sabar atas semuanya yang terjadi. Dan kali ini, dia tidak bisa memaafkan perbuatan anak-anak nakal itu.

"Kalian harus ganti daganganku, CEPAT!" teriak Dian, sangat jengkel dengan jawaban anak-anak nakal itu.

Anak-anak itu justru tertawa senang melihat Dina semarah itu. "Kalau kita gak mau ganti, kamu mau apa?"

Dina melangkah maju, sudah tidak ada lagi berunding atau berdebat. Itu tidak akan membuat anak-anak nakal itu tersadar atau mengganti kue-kuenya. Bocah perempuan itu mendorong bocah besar itu hingga terjengkang. "Kalau begitu, aku akan menghajar kalian semua!" teriak Dina sambil menunjuk-nunjuk pada kelima bocah laki-laki pengganggu itu.

"Kau berani sama kita-kita?" tanya bocah laki-laki beranjak bangun dibantu teman-temannya.

"Iya!" Mata Dina melotot, sangat tajam.

"Kalau begitu ...." Dia melirik pada teman-temannya. "Hajar dia!"

Keempat anak laki-laki bertubuh lebih kecil dari bocah besar itu berlari, maju dan hendak menghajar Dina sesuai perintah bocah besar itu.

"Hiaaat!"

Dina menatap sangat serius, tajam penuh dendam. Tangannya mengepal, giginya. bergemerutuk. Ia sudah sangat kesal harus tiap hari dimarahi bocah-bocah nakal di hadapannya itu. Kali ini, dia tidak mau berdiam diri lagi.

****

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SSST ... JANGAN BERISIK!   Akhir Dari Perjalanan Balas Dendam Dina

    "BUNUH DIA SEKARANG, BODOH!" bentaknya dengan nada tinggi. "Tidak! Aku tidak mau melakukannya lagi!" Dina menahan tangannya agar tidak mengacungkan pada Dandy. Pemuda itu bingung melihat Dina berbicara pada dirinya sendiri. "Ada apa dengan gadis ini?" pikir Dandy, dia hanya bisa mengamati. "Bodoh ... kenapa aku malah melihat gadis gila itu berbicara sendirian? Bukankah ini kesempatanku untuk kabur?" pikirnya melihat ke arah pintu penjara. Pemuda itu berjalan pelan sambil mengawasi terus ke arah Dina. "Berhenti!" teriak Dina pada Dandy pemuda itu tak berkutik. Diam mematung di tengah-tengah. Lalu .... Dor. Dor. Dua peluru melesat cepat dari moncong senjatanya. Peluru itu meleset ke arah sasaran, tangan kiri Dina menghalangi senjata itu membunuh pemuda gondrong yang mematung. Dandy sangat kaget. Dengar suara tembakan yang begitu keras di telinganya. Dia menoleh, peluruh itu hampir saja mengenai dirinya. "Gila! Untung saja peluru itu meleset. Kalau tidak, bisa mampus," bisik bati

  • SSST ... JANGAN BERISIK!   Bimbang Hati Dina

    Tubuh Dina penuh luka, tanpa sadar di dalam mobil tahanan tersebut. Bensin keluar dari tangki, tak lama percikan api yang berasal dari kabel yang mengelupas mulai membakar sedikit demi sedikit bagian badan mobil tahanan yang terkena bensin. Sopir mobil tahanan pun tak sadarkan diri. Luka parah. Pecahan beling dari kaca depan memperparah wajah sopir itu. Apipun mulai membesar ... Doar. Ledakan kecil membuat kobaran semakin besar dan cepat menjalar. Warga yang melihat kejadian itu, bergegas menghampiri mobil itu. Jalanan menjadi sangat macet. Tak lama, Dina mengerjapkan netranya. Lambat laun terbuka pelan-pelan. Dia baru menyadari bahwa dirinya terhimpit besi, dan rasanya sangat sakit. Gadis itu mulai menyingkirkan besi itu, di kaki Dina luka itu membekas parah. Membiru. "Sial! Ada apa ini?" Sesaat di dalam tubuhnya tidak ada sosok hitam yang mempengaruhinya. Tubuhnya melemah tak bertenaga. "Semua badanku sakit semua," bisik batinnya lagi. Dia teringat, bahwa sosok hitam mengusain

  • SSST ... JANGAN BERISIK!   Membunuh Semua Pengganggu

    Dina melakukan pukulan cepat, pemuda itu tidak bisa menghindari pukulan gadis itu. Hidungnya pun meneteskan darah segar yang cukup banyak. Ketiga pemuda lain membiarkannya. "Aaargh ... Sialan!" Pemuda bernama Lalu, dia merebut senjata yang masih digenggam sipir penjara itu dan mengarahkan ke kepala sipir penjaga yang terkena pukulannya. Jari telunjuknya mulai menarik pelatuk senjata itu. "Jatuhkan senjatamu, perempuan iblis!" salah satu polisi muda bangun dari duduk dan menodongkan senjatanya di samping kepala Dina. "Jangan macam-macam, kami berempat tidak ada segan-segan membunuhmu!" katanya lagi, ikut menarik pelatuk agar Dina tidak gegabah mengambil tindakan itu. Dina melirik, tatapan serius polisi di sampingnya tidak sedang main-main dengan ancamannya pada dia. "CEPAT! JATUHKAN SENJATAMU BANGSAT!" teriak polisi itu hilang kesabarannya. Pelan-pelan gadis itu merunduk, meletakan senjata di lantai mobil tahanan. Sekali lagi, matanya melirik ke polisi muda yang tampaknta belum be

  • SSST ... JANGAN BERISIK!   Di Dalam Mobil Tahanan

    Satu pukulan keras melayang dengan cepat. Tetapi bukan dari arah Dina ke sosok hitam itu, melainkan tinju sipir penjara yang waspada akan gerak-gerik Dina hendak memukulnya. Pipi Dina memar, berwarna kebiruan. Dia tersungkur di lantai mobil tahanan. "Sialan! Berani-beraninya kamu mau mukul seorang sipir penjara!" katanya memaki. "Hajar terus, jangan diberi ampun, perempuan gila seperti dia jangan diberi ampun!" Salah satu polisi itu memprovokasinya. Sosok hitam menghampiri gadis malang yang saat ini masih tersungkur. "Lihat, mereka meremehkanmu. Andai saja kamu tidak menciptakanku, mungkin saja kamu mati dengan seluruh rasa penasaranmu itu, Dina!" kata Sosok hitam berbisik. "Kamu benar-benar menyedihkan!" Dina menggeram, bangun sambil mengepal tangannya. Menatap nanar ke arah dua sipir penjara yang kini bersikap arogan dan sok berkuasa. "Kau tidak akan bisa melawannya, hanya aku yang bisa membantunya, Dina! Apa kau mau aku bantu, gadis lemah?" tanya Sosok hitam yang sudah tak saba

  • SSST ... JANGAN BERISIK!   Ingatan Yang Hampir Hilang

    Dina terdiam, kemudian dia melepaskan jari jemarinya pelan-pelan setelah dia puas membunuh Roy dengan caranya sendiri. Sosok hitam keluar dari tubuhnya, keadaan Dina kembali tenang setelah membunuh keluarga Roy. Namun, dia terlihat bingung kala kondisinya kembali seperti semula. Netranya melihat keadaan dirinya sendiri, sambil melihat telapak tangannya. Hanya ada darah segar yang lambat laun berubah kering. "Ada apa denganku? Kenapa semua darah ada di tubuhku? Apa yang sudah aku lakukan?" bisik batinnya bingung. Dia merasa tidak melakukan apapun, hanya raganya saja yang bergerak mengikuti naluri yang dikendalikan oleh sosok hitam yang berdiri di sampingnya. Perkataan Aipda Buyung diabaikan, dia masih berkutat pada dirinya sendiri. "Ayo ikut kami, dan Anda berhak di dampingi pengacara!" kata Aipda Buyung mulai menyentuh tangan gadis itu. Dina menoleh, dia menatap Aipda Buyung dengan tatapan bingung. "Ada apa?" tanya Dina menepis tangan Aipda Buyung. "Anda kami tetapkan sebagai pemb

  • SSST ... JANGAN BERISIK!   Membunuh Roy.

    Dina gelagapan, walau dia berhasil menahan selang yang hampir menjerat lehernya, dia tetap kesulitan untuk membebaskan diri dari jeratan selang. "Aaah ... aku harus bisa membebaskan diri dari laki-laki bejat ini!" bisik batin Dina. Sayangnya tak ada hasil, namun gadis itu tidak kehabisan akal, dia membenturkan kepalanya ke dahi Roy sambil mendorong tubuhnya ke belakang. Debuk. "Aaargh" pekik Roy kesakitan. Dina terlalu keras membenturkannya hingga kepala Roy terasa pusing. Gadis itu melakukannya berulang-ulang kali. Roy tetap mempertahankan genggaman erat jari-jarinya pada rantai. Kakinya terus mundur ketika Dina membenturkan kepala dan mendorong tubuh Roy. Sayangnya, kaki pemuda itu tidak lagi bisa melangkah. Tubuhnya terhimpit tembok. Dia tidak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Buuak. Gadis itu membenturkan kepalanya lagi, lagi dan lagi hingga kepala bagian belakang Roy harus beradu dengan tembok. Darah membekas di tembok, luka di kepala Roy sangat parah. Dina membebaskan diri

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status