Home / Rumah Tangga / STATUS WA CALON SUAMIKU / Bab 2. Kedatangan Mas Erick

Share

Bab 2. Kedatangan Mas Erick

Author: ananda zhia
last update Last Updated: 2022-12-01 07:54:41

1,3,4,5,6,7,8,9,10. Sudah benar belum menghitungnya?

* Kok nggak ada dua-nya?

*Sama kayak kamu dong! Enggak ada duanya ... 

***

Hatiku terasa teremas mendengar percakapan mereka. "Awas saja kamu, Mas!" seruku lirih sambil menggeretakkan gigi menahan kesal dan amarah. 

"Dan Ayah ternyata menyembunyikan rahasia besar selama ini. Apa sekarang lebih baik aku tiba-tiba muncul saja dan mengagetkan mereka?" gumamku lirih. 

"Ah, jangan! Nanti malah aku yang dikeroyok oleh mereka. Lagipula, kalau ketahuan sekarang kan jadinya tidak seru. Mereka harus malu bahkan harus menderita lebih parah dibandingkan rasa sakit hatiku ini!"

Aku masih berjongkok di luar pintu rumah mas Erick dengan menimbang apa langkah yang seharusnya aku ambil saat ini seraya tetap merekam kelakuan dan segala ucapan mereka.

Aku mencoba menahan rasa kram dan kesemutan yang mulai menyerang kedua kaki demi mendapatkan bukti untuk mempermalukan mereka.

"Sudah cukup nih rekamannya. Sudah cukup bukti untuk membalas rencana mereka. Emang mereka saja yang bisa bikin rencana. Aku juga bisa."

Aku segera berlalu dari rumah mas Erick dan segera pulang.

***

Di tengah jalan, ponselku berdering lagi. Kulirik dengan rasa malas. Masih terasa nyeri di hati karena kenyataan yang baru saja tersaji di depan mata membuatku merasa malas untuk melakukan apapun selain bernafas dan mengedipkan mata. 

"Huft, ada apa sih ini? Kenapa Dokter Reyhan menelepon?! Bukannya dia sekarang sedang dinas?" gumamku pada diri sendiri.

Ponselku terus berdering tanpa kenal lelah apalagi menyerah. 

"Haduh, terima saja deh. Barangkali ada hal penting yang ingin disampaikan oleh dokter Reyhan," gumamku lalu menekan tombol hijau dan memasang salah satu headshet di telinga kiri.

"Halo Dok, ada apa menelepon? Bukannya sedang dinas ya? Terus kata Dokter tadi sedang banyak pasien. Kenapa menelepon?" tanyaku beruntun. 

"Halo, Nis. Kamu tadi berhutang penjelasan kenapa mendadak lari dan pulang setelah melihat status calon suamimu?"

Aku memutar bola mata. 'Haduh, kepo banget jadi orang!'

"Dokter mau tahu saja apa mau tahu bulat?" tanyaku kesal.

Tanpa kuduga terdengar suara tertawa dari seberang.

"Hahaha, kamu bisa saja, Nis. Jadi ada apa?"

Aku menghela nafas panjang. Antara kesal dan gemas dengan dokter Reyhan.

"Rahasia Dok. Itu privasi saya. Sudah ya. Saya akhiri teleponnya. Saya kira ada keperluan apa sampai telepon saya saat Dokter sedang dinas, eh, ternyata Dokter cuma penasaran saja."

"Eh, tunggu! Aku ...,"

Tutt.

Aku bergegas mengakhiri panggilan telepon sepihak tanpa menunggu respon dari dokter Reyhan dan langsung mematikan ponsel. 

"Ya Tuhan, kenapa hari ini terasa begitu berat dan mengejutkan?" keluhku sambil menepikan mobil di sebuah masjid besar. Aku baru ingat belum menunaikan salat duhur dan tentu saja selain itu ada air mata yang ingin kutumpahkan agar perasaanku reda.

***

"Ganis, kamu darimana saja. Kok baru pulang. Ditelepon juga enggak diangkat," omel bunda saat aku baru saja menutup pintu depan.

"Haduh Bunda! Rengganis kan sudah besar. Sudah bisa jaga diri kalau Ganis jalan-jalan," sahutku sambil melenggang masuk ke dalam kamar.

"Kamu sudah izin cuti ke direktur tempat kamu bekerja?" tanya mas Aris. 

"Sudah Mas. Ayah mana?" 

"Dimana lagi kalau bukan ke restoran apung. Ayah tetap saja enggak percaya walaupun aku sudah berkunjung dan mengawasi karyawan di sana," keluh Mas Aris.

Aku mengedikkan bahu.

"Iya lah. Ayah kan memang super teliti. Kali aja uang customer di kasir diembat sama mas Aris," selorohku membuat mas Aris melemparkan bantal kursi depan padaku.

"Eits, gak kena!"

Aku menjulurkan lidah dan berlari menghindar.

"Hei sudah-sudah. Kamu ini Dek, tiga hari lagi menikah kok masih bertingkah seperti anak kecil." 

Mas Aris tertawa melihat bunda yang mengomeliku.

"Daripada Mas Aris sudah berusia 30 tahun belum nikah juga," sambungku tertawa lalu bergegas menuju kamar.

Di dalam kamar aku menutup pintu lalu merebahkan diri di atas kasur.

"Ya Tuhan, apa aku tega memberitahukan yang sebenarnya terjadi di hadapan keluargaku nanti," batinku seraya meraih ponsel yang ada di dalam tas selempang.

Rekaman dari ponselku tidak terlalu buruk. Masih jelas kalau diputar memakai microphone. Sayangnya rekaman gambarnya tidak begitu jelas, karena aku mengambil videonya dari kejauhan.

Aku menghela nafas dan air mata mulai mengantri untuk dikeluarkan saat menggeser dan membuka galeri foto.

"Ya Tuhan, ternyata rasanya sakit sekali menghadapi kenyataan ini. Apa salahku pada mereka sehingga mas Erick tega menyusun rencana untuk menciptakan neraka bagiku?" Aku bergumam lirih sambil menyentuh foto mas Erick yang sedang melambaikan tangan di area pembangunan perumahan.

"Apa aku tega mengatakan rencana ini pada orang tuaku? Padahal mereka serius ingin menebus kesalahan saat Ayah menabrak almarhum papa mas Erick." 

Aku menggumam lagi dengan pikiran buntu.

Tidak terbayang berapa biaya yang harus digelontorkan Ayah untuk pernikahanku yang ternyata sudah direncanakan oleh Mas Erick dan ibunya akan menjadi gerbang neraka untukku.

Tiba-tiba selintas ide muncul di kepala. Ide untuk mempermalukan mereka secara langsung di hadapan banyak tamu.

Dan Anin, sepertinya aku pernah melihat wajahnya. Ah, dia akan selebgr*m lokal.

Tunggu saja. Akan kupersiapkan hal khusus saat pernikahanku.

Peristiwa yang akan membuat mereka menyesal pernah membuat rencana untuk menyengsarakanku.

"Woy, putri tidur! Bangun! Ah elah! Ileran lagi!"

Terasa sebuah tangan dingin yang menepuk-nepuk pipi.

"Ayo makan! Ditunggu Ayah!

Aku mengucek mata. "Iya, iya.

Perlahan berjalan menuju kamar mandi dan segera cuci muka secepatnya.

"Gimana dengan persiapan akad dan walimah nanti, Nduk?" tanya Ayah saat aku sedang menyendok bakso yang ada di hadapanku.

"Siap Pa. Jangan khawatir. WO yang disewa sudah profesional kok," sahutku tersenyum getir. 

'Ah, bagaimana perasaan mereka kalau tahu bahwa aku berencana membongkar kebusukan keluarga mertuaku saat akad nikah?'

Sejenak berpikir untuk menanyakan tentang kejadian ayah yang menabrak almarhum papa mas Erick, tapi kuurungkan. Karena sama saja dengan membiarkan rencana yang sudah kususun gagal.

"Hm, sebentar lagi kamu akan meninggalkan Ayah dan Bunda. Bunda harap kamu masih mau sering menjenguk kami."

"Tentu saja Bun. Walaupun rencananya setelah menikah sebulan atau dua bulan, Ganis resign dan ikut ke rumah Mas Erick, Ganis akan sering mengunjungi rumah ini," sahutku mantap.

"Ya sudah. Ayo makan dulu. Keburu dingin ini," tukas ayah. 

Aku mengangguk dan berusaha menelan makanan yang terasa sekam di mulutku.

Namun tak lama kemudian, kami serempak berpandangan saat mendengar suara bel di ruang depan berbunyi.

"Siapa yang bertamu malam-malam begini?" tanya Ayah. 

"Biar Ganis saja yang bukain, Yah."

Aku beranjak ke arah ruang tamu dan sangat terkejut begitu membuka pintu.

"Surprize!" seru mas Erick yang datang dengan membawa sebuket bunga mawar merah. 

"Kaget nggak?" tanyanya mengulas senyum.

"Iya. Kaget. Tentu saja. Karena aku baru tahu rencana busuk keluargamu, Mas!" bisikku. Tentu saja dalam hati.

"Masuk, Mas." 

Aku membuka daun pintu dengan lebih lebar lagi lalu mendahuluinya untuk duduk di sofa ruang tamu.

"Ayah dan Bunda ada kan?" tanyanya sambil menatap berkeliling ke seluruh ruangan.

"Ada. Sedang makan."

Dulu setiap aku melihat mas Erick, hatiku berdebar dan berbunga-bunga, tapi sekarang hanya ada rasa muak dan jijik

"Aku kesini untuk memberitahu bahwa ada perubahan rencana dalam pernikahan kita."

Aku mendelik.

"Apa Mas bilang?"

Hatiku berdebar, apakah tadi kedatanganku ke rumah mereka ketahuan dan rencana mempermalukan mereka akan berantakan? Tapi darimana mas Erick tahu? Bukankah rencanaku masih belum aku bicarakan pada siapapun?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   81. Wisuda

    "Akhirnya kamu besok wisuda, Mas," ucap Rengganis sambil melingkarkan tangan ke pinggang sang suami. Reyhan tersenyum. "Alhamdulillah semua proses PPDS berlangsung lancar. Walaupun pada awalnya ada kendala.""Hm, iya Sayang. Sebenarnya kemarin aku sudah hopeless tentang kelancaran PPDS kamu.""Aku tahu. Pasti karena Tamara. Iya kan?"Rengganis mengangguk. "Dan atas perantara kita, Tamara bisa berbaikan kembali dengan Bapaknya.""Iya. Aku juga tidak menyangka.""Apa rencana kamu kedepannya Mas?""Rencana jangka panjang atau jangka pendek?" tanya Reyhan sambil mulai memegangi bibir Rengganis."Jangka panjang dong."Reyhan berpikir sejenak. "Tidak ada rencana."Rengganis tergelak. "Kok bisa tidak ada rencana?""Aku hanya perlu kembali ke RSUD dan bekerja dengan rajin di sana. Terus mau apalagi?" tanya Reyhan balik. "Kali aja mau bikin tempat praktek di rumah."Reyhan menggeleng. "Enggak. Aku kerja di luar rumah saja. Kalau di rumah, waktunya happy happy dengan istri," jawab Reyhan menc

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   80. Saling Memaafkan

    Teman-teman Doni terpaku mendengarkan penjelasan dokter sampai selesai tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. "Jadi itu saja informasi yang perlu saya sampaikan. Kalau ada pertanyaan, bisa bertanya pada para suster. Saya permisi dulu karena masih harus visite dengan beberapa pasien lain.""Terimakasih Dokter."Dokter keluar dari ruangan konsultasi dan disusul oleh Doni dan kedua orang tua Nita."Loh, kalian kok di sini?" tanya Doni panik. Begitu pula ekspresi wajah Dewi dan suaminya. Teman-teman Doni hanya terpaku tanpa bisa menanggapi. "Kami ...,""Om mau bicara dengan kalian berlima. Bisa kita bicara sebentar?" tanya suami Dewi. Teman-teman Doni mengangguk. Lalu mengikuti langkah ayah Nita tersebut hingga sampai di depan ruang bersalin. Ayah Nita lalu duduk di kursi keluarga pasien dan memandang semua teman-teman Nita."Kalian sudah mendengar apa kata dokter sewaktu ada di ruangan tadi kan?" tanya ayah Nita. Kelima orang teman Nita hanya bisa terdiam."Saya tahu kalian sudah

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   79. Ketahuan Keguguran

    Dewi dan suaminya menoleh. "Bagus deh. Kalau begitu ayo ikut kami ke PMI," ujar suami Dewi sambil berjalan mendahului Dewi dan Doni. "Tunggu. Ini surat pengantar untuk pengambilan darah." Suster itu memberikan selembar amplop putih kepada Doni. Doni menerima amplop tersebut dan mengejar suami Dewi."Om. Naik mobil saya saja. Saya bawa mobil."Suami Dewi menghentikan langkah dan membalikkan badan lalu menatap Doni. "Kamu sepertinya belum genap berusia 17 tahun. Bagaimana mungkin kamu sudah boleh membawa mobil oleh orang tua kamu di jalan raya? Kamu juga pasti belum punya SIM.""Ya, saya mengendarai mobil di jalan yang sepi Om. Agar tidak ketahuan oleh polisi.""Kalau begitu, mana mobil kamu. Biar Om saja yang menyetir. Mobil Om baru saja dijual untuk modal usaha baru Om.""Kalau saya boleh tahu, usaha baru Om apa ya?" tanya Doni sambil menyerahkan kunci mobil milik ayahnya. "Kafe dan resto," sahut suami Dewi.Doni terdiam tanpa menanggapi. Dewi dan suaminya pun juga malas untuk basa

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   78. Butuh Transfusi Darah

    Dewi mengangguk dengan takut-takut. "Astaga, aku harus meminta pertanggungjawaban padanya. Walaupun aku miskin dan tidak sekaya dokter itu, aku nggak akan sanggup melihat anakku terbaring lemah tidak berdaya."Ayah dari Nita segera menuju ke arah pintu masuk UGD. "Tunggu Yah. Apa yang akan kamu lakukan?! Dokter Tamara sedang berusaha menyelamatkan anak kita. Jangan ganggu fokusnya!""Aarrgh!"Ayah Tamara meninju tembok di luar UGD lalu duduk di kursi penunggu. Kedua tangannya menangkup wajah diiringi helaan nafas panjang bernada frustasi."Kita tidak bisa hanya diam saja dan menunggu Wi. Paling tidak, kita harus memaksa anak itu bertanggung jawab. Kenapa kamu tidak bilang dari awal kalau Nita hamil?"Dewi menunduk. "Maafkan aku Mas. Aku juga baru tahu kalau Nita hamil setelah kemarin Nita memberi tahu bahwa pacarnya akan datang untuk membahas kehamilannya. Tapi aku terkejut karena ternyata yang datang adalah anak dari ayah tiriku.""Astaga!! Kenapa jadi seperti ini? Jadi Tamara itu s

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   77. Gelut

    "Hahaha. Aku juga nggak sudi mempunyai menantu seperti anak kamu. Tidak bermoral. Makanya jadi cewek jangan terlalu murah. Sekarang bisa merasakan akibatnya kan? Perempuan masih sekolah saja kok mainan burung. Ya hamil lah! Makanya jadi perempuan jangan terlalu bodoh," kata Tamara memanas-manasi."Hei, apa kamu bilang? Keterlaluan kamu ya!" seru Dewi meringsek ke hadapan Tamara lalu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dan langsung mengayunkannya ke pipi Tamara.Tamara yang sudah siap dan sudah memprediksi serangan yang akan ditujukan padanya segera menangkis dan menangkap tangan Dewi. "Hei ngaca kalau mau menyerang orang. Di masa lalu kamu dan ibumu membuat ibu dan adikku mati dan hidupku sangat menderita seperti di neraka. Ini adalah hukuman kamu! Paham?!" seru Tamara sambil menghempaskan tangan Dewi. Begitu tangannya terlepas, Dewi menghambur ke arah Tamara dan dengan cepat menjambak rambut dokter itu. Tamara yang tidak siapa, tidak memprediksi serangan kedua merasa kesakitan ka

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   76. Perempuan yang Dihamili Anakku

    Ponsel Doni meluncur jatuh ke lantai kamar rawat inap. "Astaga!" seru Tamara kaget. Dengan segera dia mengambil ponsel anaknya dan memeriksanya. Tamara masih beruntung karena ponsel Doni tidak jatuh terlalu tinggi. "Syukurlah tidak pecah," ucap Tamara lirih. Dia lalu mengambil ponsel Doni yang tadi tidak sengaja dijatuhkannya.Dan beberapa pesan whatsapp datang beruntun memenuhi ponsel Doni.[Don. Ini Nita. Kamu harus tanggung jawab!][Don, kenapa kamu memblokir nomorku?][Don, tepati janjimu, atau aku akan mengadukanmu pada orangtuamu yang kaya raya itu][Don! Awas kamu ya. Kalau sampai membiarkan aku menanggung kehamilanku seorang diri, aku akan menemui Mamamu yang seorang dokter. Atau memviralkan perbuatan kamu!]Lalu beberapa panggilan video yang dibiarkan oleh Tamara tanpa diterimanya. Hati Tamara mencelos. Dia kecewa sekali. Bagaimana mungkin anak tunggal yang selalu dibanggakannya berani menorehkan kotoran ke mukanya. Tapi Tamara tahu, bahwa dia ikut andil dalam pembentukan

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   75. Menghamili Anak Orang

    Tamara memandang ke arah Doni dengan antusias. "Tentu saja kamu boleh menjenguk serta mengenal kakek kamu. Bahkan Mama sangat berharap kamu mau menemani kakek karena kakek sekarang sudah hidup sebatang kara.""Wah, syukurlah kalau begitu. Doni juga ingin meminta maaf pada Kakek. Doni sungguh-sungguh tidak sengaja menabrak kakek."Tamara memajukan badannya dan menumpukan kedua siku pada meja kayu di kantin."Coba sekarang kamu cerita ke Mama. Kenapa kamu bisa keluar rumah memakai mobil Papa?" tanya Tamara. "Sejak Mama dan Papa bercerai, sebenarnya Doni kesepian. Biasanya kan seminggu sekali saat Doni libur sekolah, Doni pulang ke rumah Papa karena akan jalan-jalan sama Mama. Tapi sejak Mama nggak ada, Papa menjadi berubah. Sering keluar rumah, jarang tidur di rumah kata para Mbok, sehingga Doni juga kesepian.Sementara itu, Doni memang jarang ke rumah Mama, karena Doni tidak mau mengganggu proses kuliah Mama. Terakhir Doni pulang ke rumah, kata Mbok Sri, Papa pamit keluar negeri sudah

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   74. Perang Batin

    "Ba-pak?" Dengan kelu Tamara mengucapkan kata itu. Karena sebenarnya dia ingin memaki-maki lelaki tua itu tapi malu karena banyak perawat UGD di sana."Tamara? Kamu menjadi dokter, Nak?" tanya Rama. Rasa sakit di kakinya seolah hilang karena melihat anaknya dalam balutan jas putih. Tamara terpaku melihat kaki kanan ayahnya yang tampang miring itu. Kemungkinan besar terdapat close fraktur tulang tibia. Tamara menghela nafas kasar dan dia langsung keluar dari ruangan tempat Rama berbaring. Dengan hati berdebar kencang dan mata berembun, Tamara duduk di belakang meja UGD dan kedua tangannya saling meremas."Dokter, pasiennya KLL*nya kapan akan dikonsulkan ke dokter bedah tulang?" tanya salah seorang perawat mengagetkannya. Tamara mendongak. Hatinya berperang dengan hebat.'Biarkan saja laki-laki tak berguna itu sekarat. Kamu sudah kenyang menderita karena dia kan? Menderita dalam mencari uang, menderita saat dibully, menderita saat melihat adik dan ibu kamu meregang nyawa. Biarkan saj

  • STATUS WA CALON SUAMIKU   73. Permintaan Seorang Ayah

    Tamara mendelik melihat laki-laki setengah abad yang berdiri di hadapannya adalah orang yang seharusnya bertanggung jawab pada hidupnya justru merupakan orang yang paling membuat hidup Tamara dan ibunya sangat menderita. "Tamara, ini Ayah, Nak. Apa kamu lupa?"Tamara menyedekapkan kedua tangannya. "Hm, tentu saja aku tidak akan pernah melupakanmu Yah," sahut Tamara sambil memandang ayahnya tajam."Alhamdulillah, kalau masih inget sama Ayah. Kamu sudah sukses ya Tam. Apa kamu sudah berkeluarga?" tanya Ayah Tamara antusias dengan masih berdiri di depan pintu. Tamara mengangkat satu alisnya. "Kemana saja kamu selama ini? Apa kamu tahu penderitaan aku dan ibu setelah kamu minggat bersama pelacur itu?" tanya Tamara kesal. Rama menelan ludah dengan susah payah. "Maafkan Bapak Nduk. Bapak sangat menyesal dengan apa yang dulu Bapak lakukan. Makanya Bapak kesini untuk meminta maaf padamu.""Enak saja meminta maaf. Setelah kamu minggat, ibu pontang panting kerja menjadi buruh cuci dari rumah

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status