Kekagetan ternyata tak hanya menimpa Sapta, namun Wendra juga.
“Aneh, ngapain si Sapta itu ketakutan melihat aku ya?” pikir Wendra.
Baru saja Wendra terjaga setelah dirinya dihadiahi kekagetan oleh kemunculan sesosok penampakan kelelawar raksasa hitam, kini dia dihadiahi lagi oleh keheranan. Sapta bagai ketakutan melihat dirinya. Ganta yang berwajah bonyok bahkan ikut juga terlepas dari papahan Sapta.
“Hoi Sapta, kamu itu lagi ngapain? Lagi kesurupan setan apa?”
Sapta yang mendengar makhluk gosong itu bicara langsung tersentak.
“Orang apa siluman!” Kulit jidat Sapta berkeriput banyak. Dalam penglihatannya, Wendra adalah sesosok makhluk berwujud siluman.
“Wah, udah gila elu Sap, kamu pikir aku ini makhluk siluman!”
“Bah! Siluman bisa bicara?” Sapta ternganga.
“Buset elu Sap!” Wendra mencela.
“Itu Wendra Sap, bukan siluman.” Ganta yang ikut terjungkal menceletuk.
“Hah! Ternyata kamu Wend, bukan siluman?”
“Begok kamu Sap!”
Menggelikan. Sapta nyengir kuda, sosok makhluk yang dilihatnya gosong itu ternyata adalah Wendra.
“Wajah elu kusam Wend, makanya aku tadi kaget.”
“Dasar mata rabun!” Wendra langsung menukas.
“Tolong aku dulu Sapta, bawa aku istirahat ke dalam, aku sudah nggak tahan.” pinta Ganta yang semakin bonyok setelah terjungkal.
“Wend, tolong bantuin tuh, papah si Ganta!”
“Kalau nolong kawan jangan tanggung-tanggung Sap. Bangkit dong, kamu teruskan bawa Ganta ke dalam.” Wendra berkilah. Jujur saja, rasa ketakutan masih saja menyekap pikirannya.
“Biar saja Sapta duluan yang masuk ke dalam biar lebih aman,“ pikir Wendra lagi dengan akal bulusnya.
“Keterlaluan kamu Wend!” gerutu Sapta.
Rasa penasaran melanda pikiran Sapta di saat dia melihat ke arah pintu ruangan penumpang. Pintu itu ternyata dalam keadaan terbuka, bukannya tertutup rapat seperti apa yang dikatakan oleh Syahera dan Nita tadi. Aneh tentunya.
“Wendra, pintunya itu apa memang sudah terbuka dari tadi?” Sapta menatap tajam ke arah pintu ruangan.
Darah Wendra langsung berdesir-desir mendengar pertanyaan Sapta. Dia langsung menoleh ke arah pintu. Ternyata memang sudah terbuka. Padahal saat dia terjaga dari pingsannya tadi, pintu itu masih tertutup rapat dilihatnya.
“Bedebah! Kapan terbukanya ya?” Benak Wendra galau melihat. Waswas juga dia. Pintu yang terbuka itu dipelototinya dengan tatapan tak percaya. Keadaan di dalam ruangan penumpang itu dia diperhatikan. Sepintas lalu dilihatnya juga tak ada orang di sana.
Kecurigaan Sapta muncul, wajah Wendra dilihatnya begitu galau saat mengetahui pintu itu telah terbuka.
“Pasti telah terjadi sesuatu yang aneh sebelum aku kemari tadi,” pikir Sapta.
“Wendra, ditanya kok malah bengong, pintu itu apa memang sudah terbuka dari tadi?” Sapta mengulangi pertanyaannya.
“Dari tadi memang sudah terbuka kok.” Wendra masih berkilah, mencoba menyimpan rapat-rapat rasa ketakutannya.
“Tapi kenapa kamu tiba-tiba jadi galau begitu Wend?”
“Nggak usah pakai tanya lagi Sap, kamu ke dalam sajalah bawa si Ganta,” tukas Wendra.
Kecurigaan Sapta semakin mencuat. Celana Wendra kemudian dia perhatikan, terlihat basah. Sapta mendekatinya, ternyata ada aroma pesingnya. Lumayan juga menyengat baunya.
“Buset deh! Baunya minta ampun, ternyata kamu ngompol dalam celana ya Wend?”
“Ah, ngaco kamu Sapt!”
“Tuh, lihat saja sendiri,” tunjuk Sapta.
“Wendra melihat ke bawah. Ternyata celananya memang basah, bau pesing pula. Dia juga baru menyadarinya.
Sapta mengernyitkan hidungnya. Dia buru-buru menjauh dari sana tak rela mencium bau pesing Wendra yang menyengat penciumannya.
Namun ... siapakah sebenarnya yang telah membuka pintu ruangan itu tadi? Mengapa Wendra bisa-bisanya ngompol dalam celana? Dan mengapa juga di saat Sapta melihat Wendra tadi bagai melihat sosok makhluk berwujud siluman? Kesemuanya itu kini menjadi tanda tanya besar bagi Sapta.
*****
“Syahera, Nita, Ratih, Cici, Vivi, Nining, semuanya masuk ke dalam, pintunya dari tadi memang sudah terbuka kok. Hantunya juga nggak ada!” Suara teriakan Sapta terdengar dari arah belakang ruangan penumpang.
Ratih, Cici, Vivi dan Nining yang baru saja sampai di lantai geladak kapal bahagian belakang langsung tergopoh-gopoh ingin secepatnya masuk ke dalam ruangan penumpang. Syahera masih saja berdiri di sana memandang ke arah mereka.
“Ra, tunggu apa lagi, ayo dong buruan cepat masuk ke dalam ruangan.” Ratih yang berjalan paling depan menyambar tangan Syahera.
“Duluan saja Rat, ntar lagi aku nyusul.” Syahera melepaskan tangannya.
Di belakang ruangan penumpang, Ratih menghentikan langkahnya. Dilihatnya Nita tersandar lemas di sana. Cici, Vivi dan Nining juga melihatnya, namun mereka tak menghiraukan Nita. Ketiganya terus saja masuk ke dalam ruangan penumpang menyelamatkan badan.
“Lho, kamu kok nongkrong di sini Nit.?” Ratih menghampiri Nita. Nita hanya diam menundukkan wajahnya.
“Ayolah, berdiri dong,” ajak Ratih lagi. Namun Nita masih duduk membeku. Dia juga tak bersuara.
“Di depan sana ada badai Nit, bahaya kalau di sini,” sebut Ratih lagi. Dia mencoba meraih tangan Nita mengajaknya untuk berdiri. Ratih kaget, begitu dingin terasa. Tangan Nita kembali dilepaskannya.
“Lho, ada apa sih Nit, tangan kamu kok bisa dingin begitu?”
Nita tetap saja tak bersuara. Dia masih memeluk kedua kakinya yang terlipat sembari tetap menundukkan wajah.
“Gini Rat, tadi Nita mengalami kejadian yang aneh.” Syahera mencoba menjawab pertanyaan Ratih.
“Mengalami kejadian yang aneh?” Ratih menatap wajah Syahera lekat-lekat. Ingin dia menanyakan kejadian aneh apa sebenarnya, namun untuk sementara ditahannya.
“Nanti saja deh kita bicarakan Ra, sekarang kita harus masuk ke dalam ruangan dulu, sebentar lagi pasti akan ada badai. Kita juga harus bersiap-siap dengan baju pelampung untuk berjaga-jaga kalau ada hal yang tak terduga terjadi nantinya.”
“Iya juga sih Rat, tapi... nggak apa-apa, nanti kita bawakan saja satu baju pelampung untuk Nita.” Syahera mencoba untuk tidak mengusik Nita. Dia tahu, mungkin saja Nita memang tengah berada dalam puncak traumanya.
“Aku tadi melihat kelelawar raksasa muncul di dekat ruangan penumpang Rat.” Nita yang diam mulai menceletuk.
“Bukan hanya itu Rat, Nita tadi juga melihat pintu ruangan penumpang tiba-tiba saja tertutup rapat.” Syahera langsung menyambung kalimat Nita.
“Anehnya lagi, hanya Nita yang lihat, tapi aku nggak.” Syahera menambahkan kalimatnya.
Mendengar kata kelelawar dan pintu ruangan penumpang tiba-tiba saja tertutup rapat, ingatan Ratih langsung tersengat. Ratih menyipitkan matanya melihat pada Syahera, lalu dia menatap wajah Nita.
“Hah, Kelelawar? Pintu ruangan penumpang tiba-tiba saja tertutup rapat?”gumam Ratih mengernyitkan jidatnya mengulangi kalimat Nita dan Syehera.
Gumaman Ratih itu terdengar oleh Nita. Apa yang diucapkan Ratih mulai memunculkan kecurigaan dalam benak Nita bahwa ternyata bukan hanya dirinya saja yang melihat kemunculan sosok kelelawar raksasa yang misterius itu. Nita kemudian mengangkat wajahnya, lalu dia melihat ke arah Ratih dengan tatapan curiga.
*****
“Ratih, apa kamu lihat juga?” Nita buru-buru bertanya. Ratih kembali mengernyitkan kulit jidatnya. “Aku pikir hanya aku saja tadi yang lihat, makanya aku tak ingin menceritakannya pada siapa pun.” Jawaban Ratih tak langsung mengiyakan pertanyaan Nita. “Berarti, kamu lihat juga kan Rat?” Nita menegaskan lagi pertanyaannya. “Itu masalah Nit, soalnya menurut aku hal itu sangat tak masuk logika. Kamu tahu juga kan bahwa kelelawar itu adalah jenis hewan mamalia yang di siang hari hidupnya selalu bergayut, bukannya sejenis unggas seperti burung laut yang bisa terbang melanglang buana. Jadi mana mungkin mereka bisa terbang sampai sejauh ini, mustahil Nit! Lagi pula jenis kelelawar kan hanya keluar di malam hari. Jadi menurut aku....” kalimat Ratih terhenti sampai di sana. Sepertinya dia teringat akan sesuatu. Ratih kemudian menampakkan wajah ketakutannya pada Nita dan Syahera. “Astaga, jadi teriakan Wendra tadi? Mungkin saja dia memang benar melihat adanya penam
Kaget, benar-benar luar biasa kaget. Cici, Vivi, Nining, Wendra, Ganta dan Sapta yang sudah terlebih dahulu berada di dalam ruangan penumpang terperangah hebat. Wajah mereka berenam sontak berubah pucat. Mulut ternganga bego melihat. Mata yang menyaksikan terbelalak bulat. Tak seorang pun dari mereka yang mampu berucap. Syahera, Ratih dan Nita yang berada tepat di ambang pintu tak kalahnya tersengatnya. Nyaris saja mereka celaka. Ketiganya serempak terjerit. “Buseeeeet...!” Ratih berteriak kaget. Dia langsung terpeleset. “Allahuakbar...!” Syahera latah bersorak. Dia sontak terlonjak. “Ciat...!” Nita meloncat. Persis menirukan gaya seorang pesilat. Kali ini untuk yang ke dua kalinya Nita diteror oleh kejadian misterius yang sama. Dengan mata kepalanya sendiri, Nita kembali menyaksikan bagaimana pintu ruangan penumpang itu tiba-tiba saja kembali terhempas, lalu tertutup rapat. Dirinya kini semakin trauma berat. Wajah pucat, mulut terkatup erat. Sejenak
Penglihatan Cici dan Vivi yang terperangkap di dalam ruangan penumpang langsung tegang mengetahui Nita yang tadi berjalan menuju ke geladak depan tiba-tiba saja tak lagi terlihat di balik kaca jendela ruangan penumpang. “Astaghfirullah, lihat itu Nita tercebur!” Cici langsung bersorak. “Apa, Nita tercebur?” Sapta membelalakkan mata, soalnya dia tadi tak melihatnya. “Di mana Ci?” tanya Sapta penasaran, juga penuh kekhawatiran. “Di sana Sap, aku tadi sempat melihat Nita berjalan ke depan, lalu dia mendadak lenyap, mungkin saja terjungkal,” tunjuk Cici ke arah kaca jendela ruangan yang ada di sisi sebelah kanan deretan paling belakang. “Bah, jadi Nita tercebur ke laut?” Sapta tercengang. “Masak Ci, kok aku nggak lihat.” Wendra yang baru saja sadar dari telernya menyela. Dia kemudian mendekat ke arah Cici. “Ya Allah, Cici itu benar Wend, aku tadi juga lihat Nita itu tiba-tiba saja menghilang di sana.” Vivi yang tadi juga melihat mendahului jawaban
Tak hanya di dalam ruangan, di luar ruangan penumpang kemelut juga tak kalah sengitnya. Langkah Syahera terhenti sebelum dia sempat melewati akses jalan sempit yang ada di pinggiran dinding-dinding ruangan. Di sepanjang akses jalan itu hingga menuju ke arah lantai geladak bahagian depan Nita sama sekali tak lagi terlihat olehnya. “Lho, Nitanya kok nggak ada ya? Nggak mungkin deh dia bisa menghilang secepat itu.” Rasa waswas mulai menyelimuti benak Syahera. Penglihatan Syahera kemudian tertuju ke arah lautan. “Waduh, jangan-jangan dia....” gumam Syahera membayangkan sesuatu hal yang tadi sempat terpikirkan olehnya. “Jangan-jangan Nita sudah kecebur masuk ke dalam laut,” sebut Syahera lagi. Keceplosan ternyata dia bicara. Syahera langsung menyekap mulutnya. “Ya Allah...., jangan deh, jangan Nit, nggak mungkin.” Syahera memicingkan matanya. Tak ingin sebenarnya Syahera mengucapkan kalimat itu. Tak ingin juga dia berpikiran hingga sampai jauh ke sana. Namun entah
“Nit! Nita! Nita! Ini Syahera.” Syahera berteriak lagi. Suaranya melengking tinggi. “Aku di sini Nit, di sebelah kiri kamu,” sebut Syahera, masih dengan berteriak. Sepertinya kali ini Nita mendengar teriakan. Dia mengangkat kepalanya, lalu menolehkan wajahnya ke arah Syahera. Tangan kanan Syahera yang bebas kemudian dia julurkan sejauh mungkin yang dia bisa ke arah Nita. “Nita, coba raih.!” pinta Syahera. Namun... tangan itu terlalu jauh. Bahkan sangat sangat jauh sekali untuk bisa diraih Nita. Sekitar empat atau lima meter jaraknya, mustahil Nita bisa menyambarnya. Kecuali hanya jika Nita berhasil menemukan pijakan kaki yang lain agar dirinya bisa bergeser mendekat ke arah Syahera. Nita menggelengkan pelan kepalanya, menandakan ketidakmampuan dirinya. Wajahnya kemudian dia tundukkan dengan perlahan. Sesaat Nita meratapi diri, menelan mentah-mentah kengerian di saat dirinya terpaksa harus kembali menyaksikan permukaan air laut yang semakin bergejolak ken
Di saat rasa remuk masih menggerogoti seluruh anggota badan, di saat carut marut juga masih sengit-sengitnya membajak pikiran, dalam kelelahan badan seperti demikian, pendengaran Syahera kembali disuguhi oleh rintihan permohonan yang menyayat perasaan. “Mohon tolong aku Ra,” pinta Nita dengan erangannya. Suaranya begitu lemah, hanya sedikit lebih keras terdengar dibandingkan dengan suara seseorang yang berbisik. Hanya samar-samar juga Syahera bisa mendengarnya. Namun dia tahu, sudah pasti yang dia dengar itu adalah suara Nita. Dalam kepayahan jiwa dan badan, Syahera mencoba untuk bisa duduk dari posisi menelentang. Begitu sakit yang dia rasakan. Setiap melakukan pergerakan, gadis berparas ayu itu terlihat menyeringai kesakitan. Tengkuk kaku dililit kenyerian. Punggung yang terpelecok tak bisa dia luruskan. “Ya Allah, sakitnya,” rintih mahasiswi fakultas ilmu kelautan itu mengelus-elus punggungnya. Hanya sesaat Syahera mampu bertahan. Kemudian dirinya kembali rebah
Kini... tak ingin lagi rasanya Nita meminta. Tak ingin juga dia melihat wajah Syahera sahabatnya. Nita menyadari bahwa waktunya kini benar-benar telah tiba. Genggaman tangannya tak mampu lagi menahan seluruh beban berat badan. Kepedihan hati pun menyelusup senyap dalam pikiran. Teringat kembali oleh Nita akan setumpuk dosa yang telah terlanjur diperbuatnya selama masa hidupnya di dunia. Bagai bisa ular sanca yang menyusup pelan dalam pembuluh darah, begitulah kepedihan yang dirasakan kini oleh Nita. Cairan beracun seolah-olah merayap senyap menuju ke sebongkah jantung merah yang tak lagi berdaya. Dengan cepat racun itu menyergapnya. Lalu mengunyah-ngunyah nya hingga menimbulkan rasa pedih yang tiada tara. Terlalu menyakitkan ternyata. Tak ingin lagi rasanya Nita untuk kembali mengingat dosa-dosanya itu. Tak ingin juga dia menderita terlalu lama menjelang detik-detik kematiannya. “Biarlah aku akhiri saja kini semuanya,” pikir Nita. Dirinya merasa terpaksa harus
Apapun yang terjadi pada diri Syahera, mengapa tiba-tiba saja tubuhnya yang tadi remuk bisa kembali bertenaga, tak dipungkiri lagi, dibalik itu semua ... sepertinya memang ada suatu kekuatan kasat mata yang telah menyelusup masuk ke dalam raga Syahera. Walaupun Syahera sendiri tidak menyadarinya. Lihat saja, sudah hampir lima menit lamanya Syahera bergelantungan, namun belum ada kepayahan yang dia rasakan, hal itu tentu saja mengherankan. Bahkan juga, badan Nita yang puluhan kilo beratnya sama sekali tak sedikit pun bergeser dari genggaman tangan Syahera Lima menit lamanya bergelantungan, kesadaran Nita yang tadi sempat terbang ke awang-awang kini kembali datang. “Hah... malaikat?” Nita terperanjat seketika dirinya terjaga. Dia merasakan tangannya bagai ada yang menyergap. Wajah Nita pucat. Jantungnya kalang kabut. Yang ada dalam pikiran Nita, pasti itulah yang namanya sergapan sosok makhluk bernama malaikat. Tak ingin Nita penasaran, dia