“Ratih, apa kamu lihat juga?” Nita buru-buru bertanya.
Ratih kembali mengernyitkan kulit jidatnya.
“Aku pikir hanya aku saja tadi yang lihat, makanya aku tak ingin menceritakannya pada siapa pun.” Jawaban Ratih tak langsung mengiyakan pertanyaan Nita.
“Berarti, kamu lihat juga kan Rat?” Nita menegaskan lagi pertanyaannya.
“Itu masalah Nit, soalnya menurut aku hal itu sangat tak masuk logika. Kamu tahu juga kan bahwa kelelawar itu adalah jenis hewan mamalia yang di siang hari hidupnya selalu bergayut, bukannya sejenis unggas seperti burung laut yang bisa terbang melanglang buana. Jadi mana mungkin mereka bisa terbang sampai sejauh ini, mustahil Nit! Lagi pula jenis kelelawar kan hanya keluar di malam hari. Jadi menurut aku....” kalimat Ratih terhenti sampai di sana. Sepertinya dia teringat akan sesuatu. Ratih kemudian menampakkan wajah ketakutannya pada Nita dan Syahera.
“Astaga, jadi teriakan Wendra tadi? Mungkin saja dia memang benar melihat adanya penampakan sesosok makhluk menyeramkan,” pikir Ratih. Teringat olehnya, bahwa bayangan raksasa hitam yang sempat dia saksikan tadi itu muncul tepat sesaat setelah Wendra berteriak bagai orang kesetanan.
Ratih masih saja diam. Wajahnya terlihat kusut oleh Nita.
“Jadi, kamu lihat dong Rat?” Lagi-lagi Nita mendesak dengan mengulangi pertanyaannya. Dia semakin penasaran. Nita kemudian bangkit dari duduknya.
“Benarkan Rat?” Sekali lagi Nita mendesak.
“Tapi, aku nggak terlalu yakin deh apakah yang aku lihat tadi itu adalah memang benar seekor kelelawar Nit, menurut aku sih....” kalimat Ratih kembali tersendat di kerongkongan. Wajahnya kemudian dia tolehkan ke arah geladak kapal bahagian depan, lalu dipandanginya lautan yang ada di belakang kapal.
“Aku tadi hanya melihat seperti bayangan sesosok kelelawar raksasa hitam, kemudian dia menghilang di sana.” Tunjuk Ratih ke arah lautan yang ada di belakang kapal. Nita ikut menolehkan wajahnya ke sana, begitu juga halnya dengan Syahera.
“Yang aku lihat tadi juga sesosok kelelawar raksasa Rat, pokoknya lebih besar deh ukurannya dari tubuh orang dewasa, warnanya hitam semua. Kelelawar itu tadi juga menghilang di sana,” ungkap Nita, juga menunjuk ke arah lautan di belakang kapal.
“Bukan kelelawar itu mungkin Nit. Kan nggak ada kelelawar yang besarnya seukuran badan manusia, warnanya juga bukan hitam semua seperti yang kamu katakan tadi, apalagi dia mampu terbang sejauh ini. Mungkin saja ada sesuatu yang lain.” Syahera ikut bersuara. Dia mulai memikirkan adanya sesosok makhluk lain yang bersemayam di perairan itu seperti apa yang pernah dikatakan oleh Nita tadi. Walaupun awalnya dia tak percaya.
“Aku rasa itu hanyalah suatu penampakan Ra, soalnya semuanya berwarna hitam, boleh dikatakan menyerupai bayang-bayang hitam. Yah, pokoknya wujudnya itu nggak terlalu nyata deh, antara ada dan tiada, begitulah kira-kira.” Ratih menguatkan lagi anggapan Syahera.
“Apa mungkin makhluk yang menyerupai kelelawar raksasa itu tadi yang masuk ke dalam ruangan penumpang ya, lalu karena kaget dia keluar lagi di saat terjadinya sambaran halilintar. Dan mungkin jadi makhluk itu jugalah yang menutup pintu ruangan penumpang tadi, hal itu masuk akal kan Nit?” Syahera mencoba menelaah kejadian apa yang dialami oleh Nita tadi di saat dia melihat pintu ruangan tiba-tiba saja tertutup rapat.
“Benar juga sih kamu Ra, pasti dialah yang bikin ulah semuanya,” balas Nita tak membantah anggapan Syahera.
“Berarti makhluk itu sengaja menakut-nakutin kita dong Ra. Coba kamu pikirkan deh, dia itu menampakkan diri hanya untuk sesaat, lalu menghilang, kemudian kembali muncul untuk sesat, lalu menghilang lagi, kayak main petak umpet gitu lho. Tak hanya itu, sampai-sampai dia iseng menghempaskan pintu. Dasar, emang kurang kerjaan itu makhluk, apa sih maunya.” Mulut Ratih monyong-monyong menggerutu mengatakannya.
“Ah, jangan-jangan itu bukan hanya sekedar iseng Rat.” Syahera menyanggah. Keningnya yang tak berkeringat dia seka dengan punggung tangan.
“Mungkin saja ada sebuah pesan yang ingin dia sampaikan, siapa tahukan? Soalnya dia kan hanya nakut-nakutin, bukan meneror seperti makhluk siluman yang ada di dalam film-film horor, lagi pula nggak semuanya yang lihat. Aku pikir pasti ada sesuatu dibalik ini semua, sepertinya ada sebuah pesan yang ingin dia sampaikan.” Syahera masih mencoba berpikiran logika.
“Ada sebuah pesan?” sebut Ratih, lalu dia terdiam.
“Apakah benar itu sebuah pesan? Lalu, kalau iya, pesan apa sebenarnya yang ingin dia sampaikan?” pikir Ratih lagi kemudian.
Sejenak ketiganya senyap sembari memikirkan. Syahera menengadahkan wajahnya ke atas memandangi awan-awan hitam. Nita kembali merapat ke dinding ruangan menyandarkan badan. Ratih menatap tajam ke arah lautan.
Di saat ketiganya masih menduga-duga apa sebenarnya maksud dari semua penampakan itu, hembusan angin yang tadi sepoi-sepoi basah mendadak berubah kencang.
“Waduh, ada badai!” Syahera tiba-tiba bersuara keras. Dia memasang pendengarannya tajam-tajam. Jelas sekali ada suara gemuruh air yang dia dengar. Syahera melihat ke arah lautan, namun tak ada ombak besar yang tampak olehnya. Lalu dia bergegas menuju ke pinggir geladak kapal. Penglihatan Syahera kemudian mengarah ke depan. Dari kejauhan terlihat olehnya badai yang tadi muncul nun jauh di sisi utara perairan sana kini semakin mendekat ke arah mereka. Cahaya kilat terlihat silih berganti menyambar kian kemari juga mulai mengarah ke kapal mereka. Tak pelak lagi, pikiran Syahera seketika berubah tegang.
“Astaghfirullah.” Syahera mengucap.
“Ratih, Nita, lihat itu! Badai yang ada di depan sana semakin mendekat ke arah kita.” Suara Syahera melengking tinggi mengatakannya.
Ratih dan Nita buru-buru menghampiri Syahera. Mereka ikut melihat dari sana. Air laut ternyata telah bergejolak, begitu garang terlihat. Dari kejauhan gelombang air laut tampak bergulung-gulung menyapu sebahagian besar permukaan laut.
“Ya Allah.” Ratih yang menyaksikannya langsung terperanjat.
“Masyaallah, kayak akan ada tsunami!” Nita terbelalak melihat. Tangan Syahera dipegangnya dengan erat.
“Kiamat kita Ra.” Nita pucat menatap wajah Syahera lekat-lekat.
Ketakutan, pasti itu kini yang mereka rasakan. Ratih langsung membalikkan badan ingin cepat-cepat hengkang. Syahera dan Nita masih saja tak berkedip memandang, seakan-akan mereka berdua terhipnotis oleh kengerian.
“Syahera, Nita, kalian tunggu apa lagi. Yang kalian lihat itu badai lho, bukannya pesta kembang api, ayo cepat masuk ke dalam ruangan sekarang!” Ratih memperingatkan.
Syahera dan Nita akhirnya juga ikut bubar. Ketiganya buru-buru menuju pintu ruangan penumpang dengan berpegangan tangan.
Dalam beberapa menit lagi badai besar akan menerjang. Dapat dipastikan kapal mewah itu akan hebat tergoncang. Kekalutan pun menghadang pikiran.
Dalam suasana yang begitu mencekam, Syahera, Ratih dan Nita mendadak digempur oleh keterkejutan lain yang lebih menghebohkan. Bayangkan saja, satu langkah sebelum mereka melewati pintu ruangan penumpang, gelegar suara halilintar lagi-lagi datang menerjang. Sambaran itu tepat sekali melintas di atas kapal yang sedang terguncang. Begitu jelas terlihat cahaya kilat berliku-liku membentang panjang.
Parahnya lagi, dalam waktu bersamaan, pintu geser yang ada di ruangan penumpang itu secara misterius tiba-tiba menghempas tertutup rapat. Kejadian itu persis sekali sama dengan kejadian seperti apa yang dialami oleh Nita tadi.
“Braaaaak!” Suara hantaman pintu yang sangat kuat terdengar bersamaan dengan kemunculan suara gelegar halilintar yang hebat. Pintu geser itu bahkan langsung terkunci dari dalam dengan erat.
Begitu kerasnya hempasan pintu terdengar. Seluruh kaca-kaca jendela yang ada di ruangan itu bahkan ikut terguncang. Hal itu jelas sekali menunjukkan adanya sosok makhluk kasat mata yang murka melepaskan setumpuk dendam.
*****
Kaget, benar-benar luar biasa kaget. Cici, Vivi, Nining, Wendra, Ganta dan Sapta yang sudah terlebih dahulu berada di dalam ruangan penumpang terperangah hebat. Wajah mereka berenam sontak berubah pucat. Mulut ternganga bego melihat. Mata yang menyaksikan terbelalak bulat. Tak seorang pun dari mereka yang mampu berucap. Syahera, Ratih dan Nita yang berada tepat di ambang pintu tak kalahnya tersengatnya. Nyaris saja mereka celaka. Ketiganya serempak terjerit. “Buseeeeet...!” Ratih berteriak kaget. Dia langsung terpeleset. “Allahuakbar...!” Syahera latah bersorak. Dia sontak terlonjak. “Ciat...!” Nita meloncat. Persis menirukan gaya seorang pesilat. Kali ini untuk yang ke dua kalinya Nita diteror oleh kejadian misterius yang sama. Dengan mata kepalanya sendiri, Nita kembali menyaksikan bagaimana pintu ruangan penumpang itu tiba-tiba saja kembali terhempas, lalu tertutup rapat. Dirinya kini semakin trauma berat. Wajah pucat, mulut terkatup erat. Sejenak
Penglihatan Cici dan Vivi yang terperangkap di dalam ruangan penumpang langsung tegang mengetahui Nita yang tadi berjalan menuju ke geladak depan tiba-tiba saja tak lagi terlihat di balik kaca jendela ruangan penumpang. “Astaghfirullah, lihat itu Nita tercebur!” Cici langsung bersorak. “Apa, Nita tercebur?” Sapta membelalakkan mata, soalnya dia tadi tak melihatnya. “Di mana Ci?” tanya Sapta penasaran, juga penuh kekhawatiran. “Di sana Sap, aku tadi sempat melihat Nita berjalan ke depan, lalu dia mendadak lenyap, mungkin saja terjungkal,” tunjuk Cici ke arah kaca jendela ruangan yang ada di sisi sebelah kanan deretan paling belakang. “Bah, jadi Nita tercebur ke laut?” Sapta tercengang. “Masak Ci, kok aku nggak lihat.” Wendra yang baru saja sadar dari telernya menyela. Dia kemudian mendekat ke arah Cici. “Ya Allah, Cici itu benar Wend, aku tadi juga lihat Nita itu tiba-tiba saja menghilang di sana.” Vivi yang tadi juga melihat mendahului jawaban
Tak hanya di dalam ruangan, di luar ruangan penumpang kemelut juga tak kalah sengitnya. Langkah Syahera terhenti sebelum dia sempat melewati akses jalan sempit yang ada di pinggiran dinding-dinding ruangan. Di sepanjang akses jalan itu hingga menuju ke arah lantai geladak bahagian depan Nita sama sekali tak lagi terlihat olehnya. “Lho, Nitanya kok nggak ada ya? Nggak mungkin deh dia bisa menghilang secepat itu.” Rasa waswas mulai menyelimuti benak Syahera. Penglihatan Syahera kemudian tertuju ke arah lautan. “Waduh, jangan-jangan dia....” gumam Syahera membayangkan sesuatu hal yang tadi sempat terpikirkan olehnya. “Jangan-jangan Nita sudah kecebur masuk ke dalam laut,” sebut Syahera lagi. Keceplosan ternyata dia bicara. Syahera langsung menyekap mulutnya. “Ya Allah...., jangan deh, jangan Nit, nggak mungkin.” Syahera memicingkan matanya. Tak ingin sebenarnya Syahera mengucapkan kalimat itu. Tak ingin juga dia berpikiran hingga sampai jauh ke sana. Namun entah
“Nit! Nita! Nita! Ini Syahera.” Syahera berteriak lagi. Suaranya melengking tinggi. “Aku di sini Nit, di sebelah kiri kamu,” sebut Syahera, masih dengan berteriak. Sepertinya kali ini Nita mendengar teriakan. Dia mengangkat kepalanya, lalu menolehkan wajahnya ke arah Syahera. Tangan kanan Syahera yang bebas kemudian dia julurkan sejauh mungkin yang dia bisa ke arah Nita. “Nita, coba raih.!” pinta Syahera. Namun... tangan itu terlalu jauh. Bahkan sangat sangat jauh sekali untuk bisa diraih Nita. Sekitar empat atau lima meter jaraknya, mustahil Nita bisa menyambarnya. Kecuali hanya jika Nita berhasil menemukan pijakan kaki yang lain agar dirinya bisa bergeser mendekat ke arah Syahera. Nita menggelengkan pelan kepalanya, menandakan ketidakmampuan dirinya. Wajahnya kemudian dia tundukkan dengan perlahan. Sesaat Nita meratapi diri, menelan mentah-mentah kengerian di saat dirinya terpaksa harus kembali menyaksikan permukaan air laut yang semakin bergejolak ken
Di saat rasa remuk masih menggerogoti seluruh anggota badan, di saat carut marut juga masih sengit-sengitnya membajak pikiran, dalam kelelahan badan seperti demikian, pendengaran Syahera kembali disuguhi oleh rintihan permohonan yang menyayat perasaan. “Mohon tolong aku Ra,” pinta Nita dengan erangannya. Suaranya begitu lemah, hanya sedikit lebih keras terdengar dibandingkan dengan suara seseorang yang berbisik. Hanya samar-samar juga Syahera bisa mendengarnya. Namun dia tahu, sudah pasti yang dia dengar itu adalah suara Nita. Dalam kepayahan jiwa dan badan, Syahera mencoba untuk bisa duduk dari posisi menelentang. Begitu sakit yang dia rasakan. Setiap melakukan pergerakan, gadis berparas ayu itu terlihat menyeringai kesakitan. Tengkuk kaku dililit kenyerian. Punggung yang terpelecok tak bisa dia luruskan. “Ya Allah, sakitnya,” rintih mahasiswi fakultas ilmu kelautan itu mengelus-elus punggungnya. Hanya sesaat Syahera mampu bertahan. Kemudian dirinya kembali rebah
Kini... tak ingin lagi rasanya Nita meminta. Tak ingin juga dia melihat wajah Syahera sahabatnya. Nita menyadari bahwa waktunya kini benar-benar telah tiba. Genggaman tangannya tak mampu lagi menahan seluruh beban berat badan. Kepedihan hati pun menyelusup senyap dalam pikiran. Teringat kembali oleh Nita akan setumpuk dosa yang telah terlanjur diperbuatnya selama masa hidupnya di dunia. Bagai bisa ular sanca yang menyusup pelan dalam pembuluh darah, begitulah kepedihan yang dirasakan kini oleh Nita. Cairan beracun seolah-olah merayap senyap menuju ke sebongkah jantung merah yang tak lagi berdaya. Dengan cepat racun itu menyergapnya. Lalu mengunyah-ngunyah nya hingga menimbulkan rasa pedih yang tiada tara. Terlalu menyakitkan ternyata. Tak ingin lagi rasanya Nita untuk kembali mengingat dosa-dosanya itu. Tak ingin juga dia menderita terlalu lama menjelang detik-detik kematiannya. “Biarlah aku akhiri saja kini semuanya,” pikir Nita. Dirinya merasa terpaksa harus
Apapun yang terjadi pada diri Syahera, mengapa tiba-tiba saja tubuhnya yang tadi remuk bisa kembali bertenaga, tak dipungkiri lagi, dibalik itu semua ... sepertinya memang ada suatu kekuatan kasat mata yang telah menyelusup masuk ke dalam raga Syahera. Walaupun Syahera sendiri tidak menyadarinya. Lihat saja, sudah hampir lima menit lamanya Syahera bergelantungan, namun belum ada kepayahan yang dia rasakan, hal itu tentu saja mengherankan. Bahkan juga, badan Nita yang puluhan kilo beratnya sama sekali tak sedikit pun bergeser dari genggaman tangan Syahera Lima menit lamanya bergelantungan, kesadaran Nita yang tadi sempat terbang ke awang-awang kini kembali datang. “Hah... malaikat?” Nita terperanjat seketika dirinya terjaga. Dia merasakan tangannya bagai ada yang menyergap. Wajah Nita pucat. Jantungnya kalang kabut. Yang ada dalam pikiran Nita, pasti itulah yang namanya sergapan sosok makhluk bernama malaikat. Tak ingin Nita penasaran, dia
“Syahera, aku semakin terbenam.” Nita berteriak. Sedikit demi sedikit dia merasakan dirinya kembali melorot ke bawah. Tak ada lagi jalan lain, Syahera memang harus tetap mencoba untuk mengangkat tubuh Nita ke atas agar dia bisa meraih besi bulat yang memagari lantai kapal. “Nita, kita coba sekali lagi.” “Ya Ra, soalnya aku juga takut kalau nanti ombak datang lagi, bisa bertambah remuk badan aku jadinya.” “Ok, siap-siap Nit, nanti cepat pegang besinya ya.” “Pasti dong Ra.” Kekuatan misterius yang tadi menyusup masuk ke dalam raga Syahera masih ada di sana. Namun sosok makhluk dari dimensi yang lain ternyata juga masih enggan melepaskan cekalan tangannya di kedua kaki Nita yang sudah terbenam. Begitu tangan Nita di angkat ke atas oleh Syahera, seketika itu juga Nita merasakan tubuhnya bagai meregang dengan keras. “Aduh sakit, mampuslah aku!” jerit Nita tiba-tiba merasakan kesakitan yang tak terkira. “Sudah, hentikan saja Ra!” pinta Nita