Share

Bab 5

STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKU

BAB 5

"Bagaimana kamu bisa bekerja? sementara anakmu masih terlalu kecil untuk ditinggal, Dina. Siapa yang akan mengasuhnya?" pertanyaan Mas Yoga pada Dina sungguh diluar perkiraan. Ia berbicara pada perempuan itu dan menyebut namanya seolah sangat mengenal Dina dengan baik.

"Aku akan menitipkannya pada mertuaku, aku yakin Ibu dari suamiku tidak akan keberatan mengasuh cucu kesayangannya, pasti ia akan dengan senang hati merawat cucu yang ia idam-idamkan selama bertahun-tahun, Bapak tahu? Menantunya yang lain tidak bisa memberikan keturunan. Hanya aku yang bisa memberikan penerus mertuaku," jelasnya yakin dan penuh percaya diri. Sementara Angga kulihat hanya diam saja, seperti tak ada wibawanya atas ucapan istrinya.

Ada rasa sesak mendengar pengakuan istri Angga, ia terdengar congkak, ucapannya seolah merendahkan wanita lain yang tak bisa melahirkan bayi sepertinya.

Ku tarik nafas dalam dan membuat suatu keputusan agar bisa lebih mengenal Dina.

"Aku memang sedang membutuhkan orang untuk membantuku memasak. Jika benar suamimu mengizinkan bekerja, datanglah kembali besok pagi." Mataku tak henti-hentinya membaca dan menerka bahasa tubuh Mas Yoga dan juga Dina.

"Ta-tapi, Sayang," ucap Mas Yoga terbata.

"Terima kasih, Bu Yoga." Senyum Dina mengembang.

"Ayo, Mas, kita pulang!" ajak Dina pada Angga. Lalu menggamit tangan suaminya, hingga Angga terlihat risih dan menatap aku dan Mas Yoga lama.

Mas Yoga memijit pelipisnya. Lalu membuang wajahnya ke langit-langit.

"Baiklah kami permisi, Bu, Pak!" Pamit Angga. Dina sedikit menarik lengannya.

Angga akhirnya menganggukkan kepalanya sambil melangkah.

***

"Apa benar kamu membutuhkan seseorang untuk membantu memasak? Setahuku kamu sudah mempunyai 2 juru masak," tanya Mas Yoga, lalu ia berjalan ke arah lemari pendingin dan membawa apa yang ia ambil dan kembali ke meja makan.

"Apa salahnya membantu perekonomian orang lain. Anggap saja aku sedang bersedekah tanpa harus merendahkan harga diri istri Angga."

"Namanya Dina. Jadi kamu tidak benar butuh tenaganya?"

Tidak ia ingatankan padaku pun aku masih ingat benar nama istri Angga adalah Dina.

Ku jawab pertanyaan Mas Yoga dengan cara mengedikkan bahu. Mas Yoga tertawa kecil.

"Kenapa?" tanyaku. Kutatap dalam matanya.

"Heran saja. Kamu baru saja bertemu dengannya. Apa kamu percaya ia benar butuh pekerjaan itu? Menurutku, jangan terlalu percaya dengan orang asing, aku khawatir ia akan mengacaukan usahamu," ucapnya, lalu ia meneguk jus kemasan itu tanpa menuangkannya terlebih dahulu ke gelas.

"Bukan kah kamu mengenal baik Angga, jika suaminya baik aku yakin istrinya juga amanah dalam bekerja." Mataku tak lepas dari wajah Mas Yoga. Seperti elang yang sedang mengincar mangsanya. Mas Yoga terlihat risih kutatap. Ia tak berani beradu mata.

"Terserah kamulah, tapi jangan menyesal jika kedepannya akan terjadi sesuatu."

"Apa maksudmu, Mas?" Tanyaku, ucapan Mas Yoga terasa ambigu.

"Tidak, aku hanya mengingatkan sikap terlalu percayamu pada orang yang baru kamu temui." Ku anggap ucapan Mas Yoga angin lalu.

Tiba-tiba terdengar bunyi notif dari aplikasi hijau di handphone-ku. Raya. Aku beru ingat Raya yang berada dirumah orangtuaku. Pasti Raya menungguku di sana untuk makan malam.

"Mas, malam ini aku akan menemani Raya menginap di rumah Mama, tadi siang Raya kuantar kesana. Ia tidak ingin segera pulang, mungkin sedang rindu berat pada Oma dan Opanya."

"Loh, Raya disana? Pantas aku dari tadi tidak melihatnya." Mas Yoga beranjak dari duduknya, membawa kemasan ditangannya dan berjalan ke tempat penyimpanan benda yang ia ambil tersebut.

"Iya, Mas, sekarang Raya menungguku untuk makan malam," jelasku, lalu aku ikut beranjak dan berjalan ke arah tempatku menyimpan bajuku dan baju raya yang telah kukemas tadi sore.

"Baiklah, aku akan mengantarmu kesana."

***

2 kali ponsel Mas Yoga berdering saat kami sedang makan malam, walau suaranya tidak keras terdengar, tapi cukup menggangu kami yang sedang menikmati hidangan di meja makan. Mama dan Papa melirikku seolah membaca wajahku. Aku tetap membisu dan tak menunjukan reaksi apapun. Hanya mataku yang sesekali mencuri pandang pada Mama dan Papa juga melirik Mas Yoga

"Angkat saja, Yoga. Siapa tahu itu penting!" perintah Mama.

Mas Yoga nampak bersikap tenang. Lalu memutuskan melihat smartphone-nya yang ia kantongi di sakunya.

Kulirik pada benda pipih ditangan Mas Yoga, cepat Mas Yoga menonaktifkan benda tersebut.

"Kenapa di matikan?" tanyaku heran.

"Aku hanya ingin menikmati makan malam bersama keluargaku. Kamu tahu? Bos selalu memintaku untuk datang menemaninya kapan saja ia mau, jika tidak dituruti dia akan marah," jelasnya, lalu melanjutkan makan kembali.

"Jika tidak Mas terima telpon darinya, bukankah ia akan tetap marah?" tanyaku mengira-ngira.

"Nanti akan kucari alasan untuk menjelaskannya pada Bosku."

"Maksudmu kamu akan berbohong?"

"White lie, demi keharmonisan keluarga kita."

Seketika itu pula jantungku berdegup kencang. Entah pertanda apa ini?

"Tapi, Nak. Apapun alasannya bohong tetaplah bohong. Akan ada konsekwensinya jika kamu berbohong, jika kamu menginginkan keharmonisan dalam rumah tanggamu, jujurlah. Sekecil apapun masalah kalian, dengan begitu resiko keburukan dalam masalah kemungkinan akan lebih kecil. Dalam hubungan kemitraanmu pada Bosmu, katakan saja yang sebenarnya. Kamu sedang ada acara makan malam yang jarang kamu lakukan. Jika dia marah, terima marahnya. Tidak akan ada rugi yang lebih besar dari di marahi jika dibandingkan kamu berbohong dan akhirnya ketahuan," ucap Mama panjang lebar, seolah mewakili isi hatiku.

"Mah, sudahlah. Mereka sudah dewasa. Meraka pasti mengerti resiko atas semua keputusan yang mereka ambil."

"Mama, cuma menasehati, Pa. Bukan ingin ikut campur."

Mas Yoga berdehem.

"Yoga. Apa kalian sedang ada masalah?" tanya Papa curiga.

"Tidak, Pa. Keluarga kami baik-baik saja. Ya, kan, Sayang!"

Mama membuang muka.

Aku yang dari tadi menunduk melirik Mas Yoga lalu mengangguk tanpa menatap mata kedua orangtuaku.

***

Saat berjalan menuju teras, kakiku berhenti, padahal hanya beberapa langkah lagi, kulihat Mas Yoga berjalan hilir mudik sambil menempelkan ponselnya di telinga. Melihatnya seperti itu, membuatku ragu membawakan secangkir kopi di tanganku yang telah kuracik ke teras. Tadinya aku pikir setelah makan malam aku masih bisa berbicara dengannya, tentang keinginanku memiliki bayi cantik seperti yang kulihat sewaktu sore. Walau bukan dari rahimku sendri, aku harap bisa menjadi ibu terbaik dari anak lain yang kurang beruntung seperti Raya.

Bayi Dina sukses membuatku cemburu, sebenarnya hatiku ingin berkata meminta pada ibunya untuk menimangnya saat itu, tetapi .... Saat aku terpaku dalam khayalanku, Mas Yoga menghampiri ke tempat aku berdiri.

"Aku harus ke rumah Bos, chat-nya baru saja kubaca, ia bilang penting. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi telponnya tidak aktif. Mungkin ini memang benar-benar penting. Tidak usah menungguku, mungkin aku akan pulang kerumah kita," ucapnya, lalu mencium keningku dan pergi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status