STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKU
BAB 6***"Dina. Kenapa kamu ada disini?" Mataku terbelalak mendapati Dina yang membuka pintu rumahku."Siapa?" Suara Mas Yoga terdengar dari dalam.Dina menoleh ke sumber suara."Ibu, Pak," jawab Dina pada Mas Yoga.Aku mendorong pintu dengan kasar agar terbuka lebar. Dina tersentak, lalu mundur beberapa langkah saat tubuhku maju dan hampir menyenggol lengannya.Mas Yoga nampak pucat melihat wajahku yang menunjukan amarah."Kalian ngapain berdua di rumahku?" tanyaku dengan nada tinggi. Mataku tajam melirik Dina lalu menatap Mas Yoga."Loh, bu-bukanya kemarin kamu yang menyuruh Dina kerumah kita pagi ini?" Mas Yoga tergagap.Nafasku memburu. Mas Yoga mendekatiku, sementara Dina menjauh menghindariku."Ada hubungan apa kalian sebenarnya? Kalian bukan mahram, berani-beraninya kalian berdua di dalam rumah dengan pintu tertutup." Tak kupedulikan ucapan Mas Yoga, aku terus mencercanya dengan berbagai pertanyaan."Tenang, Indri. Pikiranmu terlalu jauh. Ini rumah kita, aku tidak akan berbuat macam-macam di rumah ini." Tangannya memegang pundakku."Bohong." Kutepis tangannya."Aku bersumpah demi pernikahan kita yang telah berlangsung lama, aku menghormati rumahku, aku tidak pernah menyentuh perempuan lain di rumah ini selain kamu, kalau aku mau aku akan melakukannya diluar sana, ma-maksdku ...." Mas Yoga kembali tergagap. Bibirnya bergerak seperti hendak menjelaskan sesuatu kembali."Apa, Mas? Apa maksud kalimat terakhirmu, Mas? Oh, aku tahu, maksudmu. Selama ini kamu pernah menyentuh perempuan lain selain aku di luar? Iya? Pantas selama ini kamu tidak pernah betah di rumah. Kamu selingkuh kan? Dengan siapa? Apa dengan dia?" Ku tunjuk wajah Dina.Wajah Dina pucat pasi setelah kutunjuk."Dengar, Indri! Lihat mataku!" Tangan Mas Yoga kini memaksa wajahku menghadapnya. "Kamu salah paham. Maksudku itu hanya perumpamaan, tidak mungkin aku berbuat yang macam-macam dan mengambil resiko kehilanganmu. Hanya kamulah satu-satunya perempuan yang ada di hatiku. Percayalah!"Tiba-tiba terdengar benda yang jatuh dari meja, seketika aku menoleh pada sumber suara tersebut, nampak Dina mengambil tas di meja dan membuang pandangan mukanya ke arah dinding.Pertengkaran kami terhenti. Lalu Mas Yoga melepas tangaannya berlahan."Pulanglah dulu, Dina! Maaf membuatmu menyaksikan pertengkaran kami. Jika kamu benar membutuhkan pekerjaan ini, tunggulah istriku menghubungimu," ucap Mas Yoga pada Dina.Dina mengangguk kencang tanpa menunjukan wajahnya, lalu melangkah menuju pintu. Sebelum ia melewati pintu tersebut ia sempat menoleh padaku, kulihat jelas matanya basah. Apa ucapanku telah menyakitinya? Tapi apa salah aku mencurigai Dina dan Mas Yoga yang hanya berdua di rumahku?Setelah Dina pergi, kami diam dan tak bertatap mata, cukup lama. Aku menunggu ia berbicara, entah sudah berapa lama. Akhirnya aku memutuskan untuk membalikan badan untuk menghindar darinya, kembali berbalik menghadapnya dan gugup, tak tahu harus bicara apa. Ah, lebih baik aku tidak memulai bicara terlebih dahulu, aku masih merasa kesal dan marah. Berlebihan memang, entahlah, mungkin ini perasaanku saja yang menghubung-hubungkan kesibukan Mas Yoga dengan kecurigaanku karena struk yang kutemui itu. Aku tak bisa memutuskan mau apa dan harus apa. Kepalaku pusing dan seperti mau pecah. Lalu, mataku tertuju pada pecahan vas bunga yang jatuh tak jauh dari meja, kuputuskan akan membersihkannya.Aneh, vas bungaku kenapa bisa tersenggol begitu jauh. Apa iya Dina sengaja melemparnya? Kembali aku berpikir curiga pada Dina.Sambil berjongkok kukumpulkan kepingan pecahan kacanya."Aku mau ke kantor. Apa kamu mau berangkat bersamaku ke tempat kerjamu?"Kulihat Mas Yoga masih berdiri dan menunduk, lalu berjalan mendekatiku tanpa mau melihat wajah sedihku. Ia juga membantuku mengumpulkan serpihan pecahan vas bunga."Mas, jarimu ...." Kulihat tetesan darah jatuh ke lantai. Rupanya tanpa sengaja kaca itu menorehkan luka di jari telunjuknya."Aku akan ambil obat merah." Lalu aku berdiri, tangan Mas Yoga menarik kukembali berjongkok."Ini hanya luka kecil, aku bisa menahan sakitnya, tapi kehilanganmu akan ada luka besar yang menganga di hatiku dan itu tidak akan bisa terobati oleh apapun."Tubuhku terguncang hebat mendengarnya kalimat yang ia ucapkan."Maafkan aku, Mas. Aku tahu aku bukanlah wanita sempurna. Aku belum bisa memberikanmu keturunan dari darah dagingmu sendiri. Apa aku salah takut kehilanganmu dan Mencurigaimu? Aku .... " Jatuhlah air mataku."Sayang, aku mohon jangan menangis." Mas Yoga mengusap air mataku. Lalu mengajakku berdiri dan duduk di sofa."Sudah, biarkan aku yang membereskannya." Mas Yoga mengambil beberapa kepingan kaca di tanganku.Setelah Mas Yoga selesai membersihkan serpihan kaca di lantai, kami mulai berbicara, lalu memutuskan untuk membuka hati untuk berdamai, saling berjanji untuk lebih terbuka dan akan saling menjaga kepercayaan di antara kami berdua.***Karena pertengkaranku dengan Mas Yoga pagi ini, membuatku datang ke dapur Nusantara tempat usaha catering-ku lebih siang. Mengingat hari ini pesanan cukup lumayan banyak, terpaksa aku datang walau dengan pikiran yang agak sedikit kacau.Aku diantar oleh Mas Yoga, dia berjanji akan menjemputku dan Raya sore ini. Rencana Mas Yoga, ia akan mengajak makan malam setelah kami pulang ke rumah.Masih dengan suasana kaku, saat turun dari mobil Mas Yoga, tak ada kata terucap dari aku dan dia, tak ada senyum atau canda darinya. Hanya tatapan sendu yang tak bisa ku artikan apa-apa. Saat kendaraan itu pergi, aku masih menatapnya, berbaur dengan kendaraan lainnya, hingga Icha salah satu karyawanku menghampiri."Bu, pesanan untuk acara ulang tahun pukul 9 sudah siap, tapi, Andi belum juga datang," ucapnya.Kulihat benda melingkar di pergelangan tanganku."Sudah coba telpon Andi?""Sudah Bu, tidak di angkat.""Ya sudah, kita pesan taxi online saja."Tak lama Andi datang dengan mobil pick up yang biasa ia gunakan. Andi--sang supir memang biasanya membawa pulang mobil kerumahnya tapi hari, tetapi baru kali ini ia terlambat datang."Maaf, Bu, saya telat. Ban mobil sempat betus," ucapnya sesaat setelah turun dari mobil."Ya sudah kita langsung berangkat," ucapku cepat."Tapi, Bu," ucap Icha ragu."Ada apa lagi, Cha?" Aku mulai sedikit kesal."Dua karyawan hari ini tidak masuk, harus ada salah satu dari kita yang tinggal."Ya, Tuhan. Kenapa hari ini begitu banyak sekali ujian."Ya, sudah biar ibu dan Andi yang mengantar." Gegas aku meminta Icha mengeluarkan pesanan yang sudah dikemas.***Kurang lebih 1 jam perjalan kami sampai di area perumahan Jakarta barat. Masih tersisa waktu 15 menit lagi, yang artinya kami aman dari kata telat.Saat aku turun dari mobil, aku melihat dua orang wanita yang menunggu di pintu gerbang rumah itu. Dan ternyata salah satu perempuan itu adalah orang yang pernah aku temui.STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 7Aku dan Andi menurunkan beberapa kantong besar, juga dibantu oleh kedua perempuan yang menyambut kami baru saja. Kami membawa masuk makanan tersebut ke dalam rumah dan akhirnya di sambut oleh Pak Andi si pelanggan catering kami dan juga petugas keamanannya. Sedikit berbasa basi lalu pamit undur diri. Karena pembayaran sudah full di muka, maka kami pun ingin cepat pergi.Perempuan itu--Anya yang pernah aku temui bersama Yoga sesekali melirikku dengan ragu. Takku acuhkan. Sungguh aku tidak mau ikut campur urusannya dengan Angga. Walau, sebenarnya ada beberapa pertanyaan yang menggangu pikiranku akan hubungannya dengan Angga."Bu, sebentar," Anya mengejarku ketika aku sedang membuka pintu mobil. Aku menoleh.Kutatap matanya, ia tertunduk."Boleh aku berbicara sebentar!" pintanya. "Tidak lama." Lanjutnya lagi, lalu Anya meyakinkanku meminta sedikit waktu."Baiklah.""Sebagai perempuan aku ikut prihatin dengan masalah yang menimpa rumah tangga Ibu
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 8Kulihat mata Raya terpejam lagi. Akhirnya aku memutuskan menggendongnya ke kamar. Saat aku berdiri, telepon genggamku di meja berdering. Aku melirik pada Mama."Sini mama saja yang gendong Raya," ucap Mama menawarkan diri."Raya sekarang sudah berat sekali, Ma. Mama tolong angkat teleponku saja, ya!" pintaku.Sementara aku melangkah menuju kamar Raya. Kudengar Mama menyebut nama Mas Yoga. Mungkin Mas Yoga baru sampai di rumah dan tak mendapati aku di sana, mungkin juga karena itulah ia menelpon.Tak lama aku kembali menghampiri Mama."Mas Yoga ya, Ma?" tanyakuMama tak menjawab, malah mengulurkan tangannya untuk memberikan teleponku, lalu pergi menuju arah dapur. Mungkin Mama sengaja meninggalkanku agar aku lebih leluasa berbicara dengan Mas Yoga."Hallo, Mas!""Kamu mau menginap lagi? Kamu mau merajuk lagi? Apa kamu tidak lelah bertengkar setiap hari? Kamu curiga lagi karena aku tidak menepati janji?" Mas Yoga memberondongiku dengan beberap
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 9"Baiklah, Dina. Aku akan memberikanmu kesempatan bekerja di sini. Hari kerja hanya 5 hari dalam seminggu, tetapi liburnya akan di gilir, jika ada keperluan mendadak akan diganti dengan hari libur kerjamu. Kalau kerjamu bagus dalam seminggu ini, kamu akan terus lanjut bekerja, jika bayi ini menghambatmu bekerja, maaf, aku tidak bisa mempekerjakanmu di sini," jelasku."Baikah, Bu. Terima kasih atas kesempatan yang Ibu berikan padaku. Aku akan berusaha sebaik mungkin dalam bekerja dan berjanji akan bekerja dengan rajin." Mata Dina berbinar.Kulihat anaknya menggeliat lagi. Aku beranjak dari kursi dan berpindah duduk di sebelah kiri Dina. Ku amati anaknya lalu meminta Dina memberikannya padaku."Bayi yang cantik," ucapku saat menatap wajah makhluk Tuhan yang mungil ini di pangkuanku. Tanpa terasa mataku basah. Ku buang pandanganku dari Dina. Cengeng sekali hatiku ini. Sangat mudah terharu melihat hal itu. Ucapku dalam hati."Baikah, Bu. Apa aku b
STRUK BELANJA DISAKU CELANA SUAMIKUBAB 10"Tidak bisa, Sayang. Maksudku, begini. Ada yang ingin aku ceritakan padamu. Tentang masalah pekerjaanku, aku sengaja datang kesini untuk meminta pendapatmu."Aku sedikit kecewa. Kutatap bayi itu dengan seksama, bibir mungilnya sibuk meminum susu buatan ibunya. Sebenarnya aku ingin sekali bertanya pada Dina. Kenapa ia sampai memberikan susu formula untuk anaknya? Kenapa ia tidak memberikan ASI-nya saja? Tetapi, urung aku lakukan, sepertinya tidak pantas aku mencampuri urusan orang lain yang baru aku kenal."Sayang, ayo kita pergi makan siang, aku sudah lapar," pinta Mas Yoga memaksa. Membuatku sedikit tersentak."Dina, maaf. Tadinya aku ingin lebih dekat dengan Yuna dan kamu. Mungkin lain kali, itu pun jika kamu mau." Ku sentuh lagi kaki bayi mungil itu."Iya, Bu. Tidak apa," ucap Dina, lalu ia tersenyum simpul dan menunduk. "Kalau begitu saya permisi keluar, Bu!" Ia meletakan Yuna--bayi mungil itu ke sofa, membereskan peralatan bayi yang ia k
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 11Gegas aku masuk ke dalam, setengah berlari, lalu masuk ke ruanganku. Tak kulihat Dina di sana, hanya ada Yuna yang sedang menendang-nendang juga kedua tangannya yang bergerak-gerak ke segala arah.Ku pindai sudut ruangan ini, tak ada bekas tanda barang yang dilempar. Apa mungkin Icha salah mendengar? Dan Raya, kemana ia?Ku putuskan mencari Raya, apa Raya tadi langsung masuk ke dapur?"Raya!" panggilku saat melihatnya di ruang masak."Ya, Ma," jawab Raya sambil menoleh."Jangan menggangu Kakak-Kakak di dapur, lebih baik Raya temani Yuna bermain, ya!" seruku. Raya mengangguk lalu pergi menuju ruangan tempat Yuna berada.Setelah itu, mataku tertuju pada Dina bersama dengan anak-anak membantu mem-packing pesanan berikutnya."Dina!" panggilku. Dina menoleh, tangannya berhenti mengemasi makanan di hadapannya. Lalu ia berjalan mendekatiku. Ku ajak Dina sedikit menjauh dari meja tempat mem-packing makanan."Iya, Bu. Ada apa, Bu?" tanya Dina.Kulirik
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 12***Sudah dua kali aku menekan bel di depan pintu rumah Mama Rini. Ku lihat penunjuk waktu di tanganku, lama, masih saja tak ada yang membuka, andai Mama tertidur di kamar, apa mungkin ART-nya ikut tidur juga.Lebih baik ku coba menanyakan nomor ART Mama pada Mas Yoga, kalau menelpon Mama, aku takutnya malah akan mengganggu istirahatnya.Gegas ku rogoh tas kecil yang dari tadi kugamit di antara lengan dan ketiak. Saat sedang menekan nomor Mas Yoga tiba-tiba terdengar suara knop pintu yang berputar. Setelah itu, nampaklah wajah perempuan yang biasa membantu Mama Rini mengurusi rumahnya ini."Mbak Indri, maaf menunggu lama. Silahkan masuk Mbak!" Ia membuka pintu itu dengan lebar, menyingkir ke sisi memberikanku jalan.Ku genggam tangan Raya erat, lalu melangkah berlahan. Mataku menilik bagian-bagian ruangan yang terlihat sama saat terakhir aku menemui Mama setahun yang lalu. Membuat memoriku kembali mengingat ucapannya yang menyayat hatiku. Ma
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 13***"Raya tunggu di kamar, ya. Mama mau ambil baju dulu, nanti kita menginap di rumah Oma lagi." Raya mengangguk, meninggalkan aku dan Mas Yoga yang sedang duduk di tepian kasur.Setelah Raya keluar, Mas Yoga berdiri dan melangkah ke arah pintu. Ku lihat ia memandang ke arah kamar Raya, menutup pintu, lalu duduk kembali di tempat semula.Tanganku masih sibuk memilih beberapa pakaian yang akan aku bawa, lalu memasukannya ke dalam koper yang terbuka di lantai tak jauh dari lemari. Setelah memastikan semuanya yang dibutuhkan telah masuk, lalu aku menutup koper tersebut dan mengancing seletingnya.Ku lihat Mas Yoga yang masih setia duduk di sana, menunduk dan diam saja.Aku mulai beranjak sambil menarik koper tersebut, lalu berjalan menuju kamar Raya. Mas Yoga beranjak dan mengikutiku dari belakang. Tak senang di ikuti Mas Yoga, aku membalikan badanku lalu menghardiknya."Pergilah menjauh dariku, Mas!"Mas Yoga menghentikan langkahnya dan masih
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 14"Jadi itu sebabnya kamu memberikannya nama Yuna, itu artinya kamu salah mengerti aku, Mas.""Jadi menurutmu aku yang salah?""Tidak ada yang salah, Mas. Mungkin ini sudah jalannya. Biarlah aku menikmati sakit yang kamu beri saat ini, berikan aku waktu untuk menata hati, berikan aku waktu untuk sendiri, pelase!" Air mataku mengalir tak henti."Sayang, aku mohon berikan maafmu dari hati.""Mas, sangat mudah mengucapkan kata maaf itu. Beribu maaf akan aku berikan untukmu. Bukan demi kamu, tetapi demi menjaga hatiku agar tidak merasa lebih sakit dari orang-orang yang akan mendengar dan membayangkan posisiku. Sudahlah, jangan lanjutkan pembicaraan ini lagi. Jika hatiku sudah lebih baik, kita akan bicarakan ini lagi, sekarang lebih baik kamu cari Yuna dan ibunya. Kamu ingin mengantarkan aku ke rumah Mama, baiklah. Antar aku sekarang!"***Sendiri aku duduk di teras depan rumah Mama, memandang langit kelam yang tak nampak bintang, bintang yang haru