STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKU
BAB 4Kebetulan sudah tiba giliranku di antrian kassa, aku memilih menaruh barang yang hendak kubayar sebelum mengangkat telpon yang terus saja berdering.Setelah selesai menaruh semua barang, segera kurogoh sumber suara tersebut di dalam tas kecilku, sudah berhenti berdering, hanya untuk memastikan saja siapa si penelpon, lalu kubaca."Mas Yoga," gumamku, segera kembali kutekan namanya untuk menghubungi si penelpon kembali. Terhubung.Tak lama terdengar suara dari Mas Yoga. "Sayang, maaf. Tadi aku sedang sibuk, tidak sempat mengangkat telpon darimu, ada apa?""Mas, aku dan Raya sedang berada di mall dekat kantormu, jika tidak sibuk makan sianglah bersama kami!" pintaku. Sambil berbicara tanganku mengeluarkan uang dari dompet. Merasa kesulitan memasukan uang kembalian dari kasir aku menekan loudspeaker."Kamu ngapain ke mall?" Suara Mas Yoga meninggi, membuat Raya yang berdiri di depanku sedikit menoleh. Cepat kutekan kembali pengeras suara itu. Lalu menempelkan telepon genggam di telinga."Loh, memangnya kenapa?""Kita kan sudah sepakat. Jadi untuk apa kamu harus datang ke kantor?" Mas Yoga masih berbicara dengan suara meninggi.Ku ingat-ingat kembali kalimat pertamaku saat berbicara padanya. Seingatku, tidak ada kata yang menyebutkan aku akan ke kantornya. Kenapa juga nada bicaranya terdengar marah?Terlintas ide untuk sedikit berbohong pada Mas Yoga."Apa salahnya aku mampir ke tempatmu. Hanya sebentar saja.""Aku sibuk. Sebentar lagi akan menemani Bosku untuk membicarakan proyek barunya sambil makan siang di luar. Pulanglah, tunggu aku di rumah." Lalu, sambungan telepon itu terputus.Kutarik nafas dalam-dalam agar tidak merasa sesak dengan himpitan kecurigaan. Apa aku harus benar-benar datang ke kantornya untuk mengetahui keberadaan dia sebenarnya. Rasanya terlalu aneh jika aku harus memaksa diri untuk mengetahui keberadaan Mas Yoga sekarang, mungkin saja dia benar sedang sibuk, seandainya pun ia berbohong, lambat laun aku yakin pasti akan terlihat. Bisik dalam hati dengan perasaan penuh kesal.Baiklah, Mas. Aku ingin lihat sandiwara apa lagi yang akan kamu mainkan.***Aku memutuskan meninggalkan Raya sebentar di rumah orang tuaku, kembali ke tempat usaha cateringku yang tak jauh dari rumah, juga karena Raya memaksa meminta menginap di tempat Omanya, mungkin aku akan pulang kerumah setelah pekerjaanku selesai untuk mengambil pakaian ganti dan seragam sekolah Raya esok hari.Sore telah tiba, aku kembali ke rumah, lalu segera mengemas pakaianku dan Raya.Saat hendak mengunci pintu, Tiba-tiba terdengar suara mobil mendekati dan gerungannya berhenti tepat di depan rumahku."Tumben." Pikirku. Lalu memutuskan untuk membuka kembali pintu rumah ini. Tanpa menoleh pada Mas Yoga yang terdengar menutup pintu mobil, aku melangkah masuk terlebih dahulu dan menunggu suamiku di ruang tempat kami biasanya berbicara. Di dapur. Kuputuskan untuk mengambil jus kemasan yang ada di dalam lemari pendingin, mungkin itu akan membuatku sedikit relax sebelum mendengar penjelasan Mas Yoga.Dari sudut mataku, aku melihat Mas Yoga tengah duduk sambil melempar kunci kendaraan ke meja."Mau jus?" tawarku. Kuletakan gelas yang sudah berisikan jus orange tepat di depannya."Tidak.""Mana Angga temanmu? Bukankah kita sudah sepakat," ucapku, lalu aku duduk berhadapan dengannya. Mengambil kembali gelas itu dan meminum jus tersebut dengan beberapa kali tegukan."Sebentar lagi akan datang." Ia berbicara singkat dengan wajah ditekuk.Tak lama terdengar suara mobil berhenti di depan rumahku. Mas Yoga berdiri dengan malas dan melangkah menuju pintu depan. Kemudian selang beberapa menit ia datang kembali, mengajakku berbicara di ruang tamu.***"Siang, Bu Yoga," sapa Angga ketika melihatku menghampiri mereka. Kami berjabat tangan begitu pun dengan perempuan muda di samping Angga. Wajah mereka terlihat pucat, seperti seolah mereka melakukan kesalahan besar. Ada sedikit rasa tak enak jadinya, mudah-mudahan saja aku yang salah. Dengan begitu masalah kami akan cepat terselesaikan."Silahkan duduk!" pintaku. Lalu aku duduk berhadapan dengan Angga dan perempuan muda yang sedang menggendong bayinya. Kuperkirakan bayi itu berumur kurang lebih 3 bulan. Bayi itu rewel dan nampak gelisah. Ibunya sedikit mengguncangnya, mungkin berharap ia mau tenang. Aku yakin itu bayi perempuan karena terlihat memakai sepatu bayi yang berenda.Mas Yoga memilih duduk di sebelahku, sangat dekat, membuatku tidak nyaman, bahkan perempuan yang belum kuketahui namanya itupun melihat kami dengan tatapan tidak nyaman. Tak ada senyum dari wajahnya, hanya lirikan matanya sesekali mengarah pada Mas Yoga."Aku ambilkan minum sebentar," ucapku lalu kupindahkan tangan Mas Yoga yang merangkul pundakku setelah itu berdiri."Tidak usah repot, Bu. Kami tidak akan lama, sepertinya anakku tidak nyaman bertandang, selain kurang sehat, memang aku tidak terbiasa mengajaknya keluar rumah pada sore hari," ucap perempuan itu. Ia terus mengayun anaknya yang bertambah rewel. Bahkan sampai memutuskan untuk berdiri dan memunggungiku. Akupun duduk kembali.Angga masih terlihat gelisah, tangannya saling bertautan dan duduk agak sedikit membungkuk, bahkan sesekali nampak olehku ia mengembuskan nafas. Apa ia takut aku membahas perempuan yang kutemui bersamanya tadi?"Baiklah, sebelumnya aku minta maaf telah membuat kalian datang ke sini. Langsung saja, aku ingin menanyakan tentang struk yang kutemui di pakaian suamiku, benarkah itu titipan kalian?""Ehm, seharusnya kami yang meminta maaf, karena kami Pak Yoga jadi dalam masalah," jelas Angga."Sudah aku bilang kan padamu, aku berkata jujur," celetuk Mas Yoga, membuat perempuan itu menoleh pada suamiku dan tersenyum tipis.Hatiku merasa ada yang aneh. Kenapa perempuan itu melirik seperti tak suka pada Mas Yoga."Baiklah kalau begitu, kali ini aku percaya." Mengakhiri interogasi ini, jujur aku merasa sedikit bersalah. lebih cepat merak pulang akan lebih baik untuk putrinya."Kalau begitu kami permisi, Bu, Pak," pamit Angga, lalu ia berdiri. Terlihat Angga benar-benar tegang."Bu, maaf, boleh aku berbicara sebentar!" pinta perempuan itu. Membuat mata Mas Yoga membulat. Angga melirik padaku dan juga perempuan itu."Bicaralah di sini saja!" titahku, Aku pun berdiri."Aku dengar Ibu mempunyai usaha kuliner, kalau boleh, aku ingin bekerja untuk membantu keuangan keluarga kami, Mas Angga adalah karyawan biasa yang berupah kecil, tidak seperti Pak Yoga yang sudah mempunyai jabatan penting di perusahan. Aku bisa memasak berbagai masakan Nusantara, aku harap Ibu mau menerimaku berkerja. Kami butuh biaya hidup, sedangkan aku hanya lulusan SMA dari kampung, tidak mudah untukku mencari pekerjaan di kota." Mohon perempuan itu.STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 5"Bagaimana kamu bisa bekerja? sementara anakmu masih terlalu kecil untuk ditinggal, Dina. Siapa yang akan mengasuhnya?" pertanyaan Mas Yoga pada Dina sungguh diluar perkiraan. Ia berbicara pada perempuan itu dan menyebut namanya seolah sangat mengenal Dina dengan baik."Aku akan menitipkannya pada mertuaku, aku yakin Ibu dari suamiku tidak akan keberatan mengasuh cucu kesayangannya, pasti ia akan dengan senang hati merawat cucu yang ia idam-idamkan selama bertahun-tahun, Bapak tahu? Menantunya yang lain tidak bisa memberikan keturunan. Hanya aku yang bisa memberikan penerus mertuaku," jelasnya yakin dan penuh percaya diri. Sementara Angga kulihat hanya diam saja, seperti tak ada wibawanya atas ucapan istrinya.Ada rasa sesak mendengar pengakuan istri Angga, ia terdengar congkak, ucapannya seolah merendahkan wanita lain yang tak bisa melahirkan bayi sepertinya.Ku tarik nafas dalam dan membuat suatu keputusan agar bisa lebih mengenal Dina."Ak
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 6***"Dina. Kenapa kamu ada disini?" Mataku terbelalak mendapati Dina yang membuka pintu rumahku."Siapa?" Suara Mas Yoga terdengar dari dalam.Dina menoleh ke sumber suara."Ibu, Pak," jawab Dina pada Mas Yoga.Aku mendorong pintu dengan kasar agar terbuka lebar. Dina tersentak, lalu mundur beberapa langkah saat tubuhku maju dan hampir menyenggol lengannya.Mas Yoga nampak pucat melihat wajahku yang menunjukan amarah."Kalian ngapain berdua di rumahku?" tanyaku dengan nada tinggi. Mataku tajam melirik Dina lalu menatap Mas Yoga."Loh, bu-bukanya kemarin kamu yang menyuruh Dina kerumah kita pagi ini?" Mas Yoga tergagap.Nafasku memburu. Mas Yoga mendekatiku, sementara Dina menjauh menghindariku."Ada hubungan apa kalian sebenarnya? Kalian bukan mahram, berani-beraninya kalian berdua di dalam rumah dengan pintu tertutup." Tak kupedulikan ucapan Mas Yoga, aku terus mencercanya dengan berbagai pertanyaan."Tenang, Indri. Pikiranmu terlalu jauh. I
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 7Aku dan Andi menurunkan beberapa kantong besar, juga dibantu oleh kedua perempuan yang menyambut kami baru saja. Kami membawa masuk makanan tersebut ke dalam rumah dan akhirnya di sambut oleh Pak Andi si pelanggan catering kami dan juga petugas keamanannya. Sedikit berbasa basi lalu pamit undur diri. Karena pembayaran sudah full di muka, maka kami pun ingin cepat pergi.Perempuan itu--Anya yang pernah aku temui bersama Yoga sesekali melirikku dengan ragu. Takku acuhkan. Sungguh aku tidak mau ikut campur urusannya dengan Angga. Walau, sebenarnya ada beberapa pertanyaan yang menggangu pikiranku akan hubungannya dengan Angga."Bu, sebentar," Anya mengejarku ketika aku sedang membuka pintu mobil. Aku menoleh.Kutatap matanya, ia tertunduk."Boleh aku berbicara sebentar!" pintanya. "Tidak lama." Lanjutnya lagi, lalu Anya meyakinkanku meminta sedikit waktu."Baiklah.""Sebagai perempuan aku ikut prihatin dengan masalah yang menimpa rumah tangga Ibu
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 8Kulihat mata Raya terpejam lagi. Akhirnya aku memutuskan menggendongnya ke kamar. Saat aku berdiri, telepon genggamku di meja berdering. Aku melirik pada Mama."Sini mama saja yang gendong Raya," ucap Mama menawarkan diri."Raya sekarang sudah berat sekali, Ma. Mama tolong angkat teleponku saja, ya!" pintaku.Sementara aku melangkah menuju kamar Raya. Kudengar Mama menyebut nama Mas Yoga. Mungkin Mas Yoga baru sampai di rumah dan tak mendapati aku di sana, mungkin juga karena itulah ia menelpon.Tak lama aku kembali menghampiri Mama."Mas Yoga ya, Ma?" tanyakuMama tak menjawab, malah mengulurkan tangannya untuk memberikan teleponku, lalu pergi menuju arah dapur. Mungkin Mama sengaja meninggalkanku agar aku lebih leluasa berbicara dengan Mas Yoga."Hallo, Mas!""Kamu mau menginap lagi? Kamu mau merajuk lagi? Apa kamu tidak lelah bertengkar setiap hari? Kamu curiga lagi karena aku tidak menepati janji?" Mas Yoga memberondongiku dengan beberap
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 9"Baiklah, Dina. Aku akan memberikanmu kesempatan bekerja di sini. Hari kerja hanya 5 hari dalam seminggu, tetapi liburnya akan di gilir, jika ada keperluan mendadak akan diganti dengan hari libur kerjamu. Kalau kerjamu bagus dalam seminggu ini, kamu akan terus lanjut bekerja, jika bayi ini menghambatmu bekerja, maaf, aku tidak bisa mempekerjakanmu di sini," jelasku."Baikah, Bu. Terima kasih atas kesempatan yang Ibu berikan padaku. Aku akan berusaha sebaik mungkin dalam bekerja dan berjanji akan bekerja dengan rajin." Mata Dina berbinar.Kulihat anaknya menggeliat lagi. Aku beranjak dari kursi dan berpindah duduk di sebelah kiri Dina. Ku amati anaknya lalu meminta Dina memberikannya padaku."Bayi yang cantik," ucapku saat menatap wajah makhluk Tuhan yang mungil ini di pangkuanku. Tanpa terasa mataku basah. Ku buang pandanganku dari Dina. Cengeng sekali hatiku ini. Sangat mudah terharu melihat hal itu. Ucapku dalam hati."Baikah, Bu. Apa aku b
STRUK BELANJA DISAKU CELANA SUAMIKUBAB 10"Tidak bisa, Sayang. Maksudku, begini. Ada yang ingin aku ceritakan padamu. Tentang masalah pekerjaanku, aku sengaja datang kesini untuk meminta pendapatmu."Aku sedikit kecewa. Kutatap bayi itu dengan seksama, bibir mungilnya sibuk meminum susu buatan ibunya. Sebenarnya aku ingin sekali bertanya pada Dina. Kenapa ia sampai memberikan susu formula untuk anaknya? Kenapa ia tidak memberikan ASI-nya saja? Tetapi, urung aku lakukan, sepertinya tidak pantas aku mencampuri urusan orang lain yang baru aku kenal."Sayang, ayo kita pergi makan siang, aku sudah lapar," pinta Mas Yoga memaksa. Membuatku sedikit tersentak."Dina, maaf. Tadinya aku ingin lebih dekat dengan Yuna dan kamu. Mungkin lain kali, itu pun jika kamu mau." Ku sentuh lagi kaki bayi mungil itu."Iya, Bu. Tidak apa," ucap Dina, lalu ia tersenyum simpul dan menunduk. "Kalau begitu saya permisi keluar, Bu!" Ia meletakan Yuna--bayi mungil itu ke sofa, membereskan peralatan bayi yang ia k
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 11Gegas aku masuk ke dalam, setengah berlari, lalu masuk ke ruanganku. Tak kulihat Dina di sana, hanya ada Yuna yang sedang menendang-nendang juga kedua tangannya yang bergerak-gerak ke segala arah.Ku pindai sudut ruangan ini, tak ada bekas tanda barang yang dilempar. Apa mungkin Icha salah mendengar? Dan Raya, kemana ia?Ku putuskan mencari Raya, apa Raya tadi langsung masuk ke dapur?"Raya!" panggilku saat melihatnya di ruang masak."Ya, Ma," jawab Raya sambil menoleh."Jangan menggangu Kakak-Kakak di dapur, lebih baik Raya temani Yuna bermain, ya!" seruku. Raya mengangguk lalu pergi menuju ruangan tempat Yuna berada.Setelah itu, mataku tertuju pada Dina bersama dengan anak-anak membantu mem-packing pesanan berikutnya."Dina!" panggilku. Dina menoleh, tangannya berhenti mengemasi makanan di hadapannya. Lalu ia berjalan mendekatiku. Ku ajak Dina sedikit menjauh dari meja tempat mem-packing makanan."Iya, Bu. Ada apa, Bu?" tanya Dina.Kulirik
STRUK BELANJA DI SAKU CELANA SUAMIKUBAB 12***Sudah dua kali aku menekan bel di depan pintu rumah Mama Rini. Ku lihat penunjuk waktu di tanganku, lama, masih saja tak ada yang membuka, andai Mama tertidur di kamar, apa mungkin ART-nya ikut tidur juga.Lebih baik ku coba menanyakan nomor ART Mama pada Mas Yoga, kalau menelpon Mama, aku takutnya malah akan mengganggu istirahatnya.Gegas ku rogoh tas kecil yang dari tadi kugamit di antara lengan dan ketiak. Saat sedang menekan nomor Mas Yoga tiba-tiba terdengar suara knop pintu yang berputar. Setelah itu, nampaklah wajah perempuan yang biasa membantu Mama Rini mengurusi rumahnya ini."Mbak Indri, maaf menunggu lama. Silahkan masuk Mbak!" Ia membuka pintu itu dengan lebar, menyingkir ke sisi memberikanku jalan.Ku genggam tangan Raya erat, lalu melangkah berlahan. Mataku menilik bagian-bagian ruangan yang terlihat sama saat terakhir aku menemui Mama setahun yang lalu. Membuat memoriku kembali mengingat ucapannya yang menyayat hatiku. Ma