LOGINAku harus bermain cantik kali ini, melakukan semuanya dengan rapi, bergerak dalam senyap. Sales rokok itu mungkin bisa mengirim bekal untuk Mas Tris setiap hari tapi aku tidak yakin kalau dia adalah orang yang sama dengan orang yang memberikan uang dan membelikan pakaian. Apa ada kemungkinan kalau Mas Tris berhubungan dengan lebih dari satu wanita?
“Mah…Mamah,” “Astaghfirullah Nak, bisa pelan kan manggilnya? “Kalau pelan Mamah nggak mungkin denger, dipanggil keras aja nggak jawab-jawab,” Aran anak sulungku menghampiriku di dapur, tangannya sedang sibuk mengenakan seragam sekolahnya. “Ada apa?” “Ada Mbah di depan.” “Mbah siapa?” “Mbah depan rumah manggil-manggil itu di depan pintu.” “Kenapa kamu malah ke sini bukannya dibuka pintunya.” “Sibuk,” jawabnya singkat lalu pergi kembali ke kamarnya. Aku buru-buru berjalan ke depan, sudah terdengar Bude Kanti memanggil-manggil namaku sambil mengetuk pintu. “Maaf Bude lagi di dapur,” kataku sesaat setelah membuka pintu. “Ini aku panen pisang sama ini aku masak rica-rica buat sarapan…” “Ya Allah Bude, sudah berapa banyak rantang di sini belum aku kembalikan, ini malah ditambah lagi segini banyaknya..” Kedua tanganku menerima pemberian Bude Kanti, sesisir pisang raja dan sebuah rantang susun yang masih terasa hangat. “Suamimu sudah berangkat ya?” tanya Bude Kanti. “Belum Bude, masih tidur, mari masuk dulu.” Aku meletakkan bawaanku di meja, Bude Kanti mengikutiku dari belakang, kami duduk berhadapan. “Gimana Bude, ada apa?” “Aku mau minta tolong Tari, besok minggu pagi kan ada acara di rumah besan, ini aku mau minta tolong Trisno buat nganter tapi kok rasanya nggak enak karena belum tau selesai jam berapa. Soalnya Seno nggak bisa pulang minggu ini.” “Tumben hari libur Seno nggak pulang Bude?” “Katanya ada acara sama teman-teman kampusnya.” “Insyaallah Mas Tris bisa Bude, nanti biar saya bilang kalau…” “Mau kemana Bude?” tanya Mas Tris yang tiba-tiba masuk ke ruang tamu. “Besok minggu pagi Mas bisa antar Bude ke rumah besannya nggak?" tanyaku pada Mas Tris yang sudah duduk di sampingku. “Iya ini mau minta tolong tapi nanti tokonya gimana ya?” tanya Bude Kanti sedikit cemas. “Nggak masalah Bude, nanti sekalian saya belanja isi toko juga,” jawab Mas Tris. “Ya sudah kalau begitu, terima kasih ya sebelumnya.” “Sama-sama Bude,” jawab kami berdua bersamaan, aku lalu berdiri mengantarkan Bude Kanti. “Bude maaf mau bicara sebentar,” kataku setelah kami berdua hampir sampai di pintu pagar. “Kenapa Tari, ada apa?” “Bude maaf, sepertinya saya tidak bisa memenuhi janji untuk membayar utang bulan ini. Apa boleh saya mundur beberapa bulan lagi?” “Ya ampun Tari, kan aku sudah bilang bayarnya semampu kamu, sebisa kamu, kalau memang kamu pas ada uang lebih, kalau memang belum ada jangan dipaksa, santai saja.” “Maaf ya Bude, sebenarnya kemarin Mas Tris sudah kasih saya uang tapi saya masih ragu dia dapat uang itu dari mana makanya saya belum mau terima.” “Kenapa begitu?” tanyanya dengan nada lembut dan keibuan. “Saya tidak mau memakai uang yang tidak berkah, saya takut Bude.” “Tari, sampai kapan kamu akan terus-terusan curiga pada suamimu seperti ini?” “Saya sendiri tidak tahu Bude tapi hati saya mengatakan ada sesuatu yang sedang terjadi di belakang saya.” “Terjadi sesuatu bagaimana maksudnya?” “Mungkin Mas Tris mengulangi kesalahannya yang dulu itu Bude.” “Kenapa kamu bisa bicara seperti itu? Apa ada buktinya?” “Sudah lama hati saya merasa tidak enak Bude dan saya belum merasakan perubahan apa pun pada Mas Tris sejak kejadian itu.” “Tari, itu semua karena kamu belum percaya sepenuhnya pada suamimu, pikiranmu jadi kemana-mana. Kejadian itu kan sudah bertahun-tahun yang lalu, keadaan juga sudah berubah, anak-anak sudah besar, yakinlah bahwa Trisno juga sudah berubah.” “Berkali-kali saya coba meyakinkan diri saya tapi perasaan saya mengatakan sebaliknya. Mas Tris belum benar-benar berubah Bude.” “Tari, demi anak-anak, demi kenyamanan mereka berusahalah untuk membuang semua prasangka buruk itu, pelan-pelan saja, kamu pasti bisa.” “Tapi Bude kemarin itu saya menemukan…..” Aku langsung berhenti bicara karena anak-anakku datang untuk berpamitan, Bude Kanti masih menatapku seperti sedang menunggu aku melanjutkan kalimat. “Aran kamu hati-hati bawa motornya ya Nak.” Kedua anakku hanya mengangguk dan langsung pergi setelah bersalaman denganku, aku pun ikut pamit pada Bude Kanti karena harus siap-siap berangkat kerja. Bude Kanti sudah seperti orang tuaku sendiri, dia menjadi tempatku bercerita tentang apa pun, menjadi tempatku meminta tolong. Rumah kami berhadapan, dipisahkan jalan yang tidak terlalu besar, kami bertetangga sudah lama sejak aku masih kecil karena itulah kami jadi dekat sekali. Bude Kanti sering sekali meminta tolong Mas Tris untuk mengantarnya pergi karena anak bungsunya Seno, kuliah di luar kota. Aku dan Mas Tris selalu berusaha untuk bisa membantunya meskipun kadang harus mengorbankan kepentingan sendiri. Bude Kanti royal sekali pada keluargaku, kebaikannya membuat kami merasa sungkan. Aku melihat Mas Tris juga sedang bersiap untuk berangkat dan tiba-tiba sebuah ide muncul begitu saja. Aku mendekatinya yang sedang berganti baju di kamar. “Mas, gimana kalau besok Minggu aku saja yang jaga toko?” “Nggak usah.” “Tadi Bude kan bilang kalau dia belum tahu pulangnya jam berapa.” “Ya kalau misalnya pulangnya sore atau mungkin malam belanjanya kan bisa besok lagi.” “Bukan itu, kalau seharian toko tutup kan sayang, dapat seratus dua ratus ribu kan lumayan. Besok kan aku juga libur Mas, aku bisa jaga seharian.” “Tumben sekali kamu begini, biasanya mau aku tutup berhari-hari juga sepertinya kamu bodo amat.” “Tadi di depan aku minta maaf sama Bude karena belum bisa membayar utang Mas. Dulu kita janji untuk membayarnya dalam waktu satu bulan tapi sampai berbulan-bulan kita belum membayarnya. Aku ingin menyicilnya sedikit demi sedikit dari yang aku punya karena aku tidak enak hati pada Bude. Dia sudah sangat baik pada keluarga kita Mas.” Mas Tris tidak menjawabku, dia masih sibuk memakai sepatu ketsnya lalu berdiri memakai pomade di rambutnya. “Kamu mau cari info apa di toko?” “Info? info... apa... maksudmu Mas,” aku sedikit tergagap menjawab pertanyaan yang tidak terduga dari Mas Tris. “Kalau memang mau pergi ke toko pergi saja, sekalian kamu bantu beres-beres barang. Besok minggu pagi aku kasih kuncinya sebelum aku pergi.” Aku hanya bisa menganggukkan kepala dan tersenyum tipis saat Mas Tris kemudian berangkat. Aku tidak menyangka Mas Tris bisa menjawab setenang itu tadi. Jangan-jangan dia sudah mempersiapkan semuanya karena akhir-akhir ini kecurigaanku padanya terlalu berlebihan.“Berani-beraninya mulut kamu yang kotor itu berulang kali menyebut namaku! Berani-beraninya kamu bicara denganku, perempuan tua tidak tahu diri! Penipu!!!”“Tari….”“Aku bilang diam! Tidak ada gunanya kamu bicara sekarang karena tidak akan ada satu kata pun yang akan aku percaya!!”“Tari tolong dengar dulu sebentar saja Tari, apa pun yang mau kamu katakan aku terima, tapi tolong beri aku waktu untuk menjelaskan dulu.”“Apa kamu bilang? Menjelaskan? Semua sudah sejelas ini masih ada yang mau dijelaskan? Apa lagi yang mau dijelaskan hah? Tentang kisah cinta kalian di belakangku? Begitu? Najis! Haram!!”“Tari, aku dan Trisno sudah sama-sama berusaha agar tidak sampai terjadi hal seperti ini tapi ….”“Omong kosong macam apa yang kamu katakan hah?!”“Tari, kami berdua memang salah tapi semua yang terjadi ini tidak pernah ada kesengajaan. Semua yang terjadi ini tidak pernah direncanakan, perasaan itu muncul begitu saja Tari. Iya memang betul, dari awal akulah yang memulai semua ini,
“Tari….” Mas Tris menyebut namaku perlahan, matanya melihatku seperti melihat hantu. Dia buru-buru mengambil kemeja dan celana panjangnya yang tergeletak di lantai diikuti perempuan itu yang langsung melepaskan pelukannya dari Mas Tris.“Tari….aku,” Mas Tris tidak meneruskan kata-katanya, dia berusaha mengalihkan pandangannya saat aku berjalan mendekat ke arahnya.“Ya, kenapa berhenti Mas? Lanjutkan saja Mas! Jangan khawatir! Aku siap mendengarkan semuanya. Apa yang mau kamu katakan? Membela diri? Mencari pembenaran? Atau… menerangkan sebab akibat? Tapi sebelumnya tutup dulu ritsleting celana kamu! Nggak enak banget dilihatnya.”Aku masih menjaga nada dan intonasi suaraku saat bicara dengan Mas Tris yang dengan gugupnya langsung melakukan apa yang aku minta. Dia menoleh ke arah perempuan itu lalu melihat ke arahku lagi tapi kemudian menunduk lagi.“Kenapa masih diam? Bukankah banyak sekali cerita yang belum aku dengar dari kamu tentang bagaimana selama ini kamu menggunakan toko s
“Kenapa jadi secepat itu?”“Memangnya kenapa? Apa lagi yang kita tunggu? Semua rencana kita sebagian besar sudah terlaksana, kalau masalah lain kita selesaikan sambil jalan saja Tris. Kita punya Dana dan masih ada beberapa orang yang bisa kita percaya untuk membantu kita, jadi kamu jangan khawatir!”“Apa kamu benar-benar yakin bisa mengatasi Seno?”“Kenapa jadi balik lagi ke dia?”“Ya tentu harus dipikiranlah kalau kamu mau kita nikah siri besok. Rencana yang kamu katakan tadi juga belum kelihatan hasilnya. Bagaimana kalau Seno tetap pada pendiriannya dan tidak mau ke luar negeri?”“Aku yakin dia pasti mau, kalau dia masih saja bandel dan malah membantah, aku tinggal tarik saja semua fasilitas yang dia nikmati sekarang. Dia pasti lebih memilih menuruti kata-kataku daripada kehilangan semuanya. Aku bisa melakukan itu kapan saja, sekarang, besok atau lusa sama saja buatku tapi tentu saja tetap menunggu kamu membereskan semuanya lebih dulu”“Tunggu sebentar saja, tidak akan lama la
Jantungku berdebar kencang mendengar kalimat yang diucapkan Bude Kanti pada suamiku, aku seperti sedang melihat dua sejoli kasmaran. Gaya bicara Bude Kanti yang manja dan disambut dengan senyum hangat Mas Tris jelas menunjukkan kalau hubungan mereka tidak seperti yang aku bayangkan selama ini. Mas Tris selingkuh dengan Bude Kanti? Mas Tris selingkuh dengan wanita tua, lagi?“Jangan berlebihan gitu ah,” kata Mas Tris sambil tersenyum dan mulai menikmati makanan yang sudah disipakan.“Memangnya kenapa? Biasanya juga kamu duluan yang minta, sekarang giliran aku yang nawarin malah dibilang berlebihan. Serba salah terus,” kata Bude Kanti mulai merajuk.“Kamu ini mau nyiapin makanan buat prasmanan apa buat dua orang sih sampai sebanyak ini?”“Kan biar kamu bisa pilih yang mana yang kamu suka. Jangan samakan dengan menu sarapan di rumah kamu yang paket super hemat itu dong. Tiap pagi ketemunya telur lagi telur lagi, cuma beda di cara masaknya aja. Hari ini ceplok mata sapi, besok dadar,
“Mau sarapan pake apa?” tanya Bude Kanti.“Aku makan ini saja, pelan-pelan dulu nanti baru ganti ke menu utama, semalam pulang dari toko aku mampir ke sate langganan akibatnya sekarang perut rasanya penuh,” kata Mas Tris sambil mengambil pisang.“Kamu itu kenapa seperti anak kecil, susah dikasih tahu. Jangan sampai umur masih muda tapi udah sakit-sakitan gara-gara gaya hidup kamu yang sembarangan.”Sama sekali tidak terlihat kecanggungan di antara mereka, pembicaraan mengalir seperti memang sudah biasa mereka berbicara dengan gaya bahasa seperti itu. Mas Tris bersikap santai seperti sedang berada di rumahnya sendiri.“Toko gimana?” tanya Bude Kanti.“Mungkin akan selesai lebih cepat dari yang kita perkirakan, tinggal merapikan gudang saja dan sudah siap dibuka dalam beberapa minggu ini.”“Tari gimana?”“Kemarin sebelum dia pergi ke rumah Mbak Asri dia sudah tunjukkan surat resignnya padaku dan hari ini paling sudah dia kasih ke Bosnya.”“Kamu jangan asal percaya sama mulut ist
“Bawa ini, letakkan di tempat yang kamu rasa paling aman. Ini sudah terhubung ke HP saya,” kata Pak Mangun sambil memberikan kamera mini.Aku menerimanya dan memasukkannya ke saku celana, aku lalu melepas kedua sandal yang aku pakai karena jika aku tetap memakainya saat aku lari, pasti akan terdengar. Dari setelah Subuh kami bertiga sudah mulai bersiap, Bu Mangun sudah pergi lebih dulu sedangkan aku dan Pak Mangun tetap bertahan di balik pagar. Lima belas menit sudah berlalu dari pukul enam pagi dan Bude Kanti belum juga terlihat keluar dari rumahnya. Barulah di menit ke tiga puluh saat Bu Mangun terlihat berbincang dengan tukang sayur di ujung jalan, tidak lama Bude Kanti membuka pagarnya.“Tunggu sampai Bu Kanti berada tepat di depan tukang sayur itu. Ingat Tari, waktumu tidak banyak, Bu Kanti pasti tidak akan lama di sana karena ada Bu Mangun. Jalan ini tidak terlalu lebar, kamu bisa sampai ke seberang dengan cepat. Fokus melihat ke depan, jangan hiraukan mereka yang ada di ujung







