Share

4

Penulis: Tie Sugianto
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-10 22:00:30

“Tari, laporanku yang kamu minta kemarin, sudah selesai belum?”

Sika, sahabatku sejak kecil sekaligus teman sekantorku sudah berdiri di sampingku, tidak lupa ada camilan di tangannya. Kedatangannya ke mejaku itu tanda kalau bos tidak ada di tempat jadi anak-anak ada waktu sebentar untuk sekedar meluruskan punggung.

“Belum aku pegang sama sekali Ka.”

“Ampun, mau aku bantu nggak?”

“Sudahlah jangan suka kasih harapan palsu.”

“Ha...ha…ha, namanya juga basa-basi biar kelihatan baik hati.”

“Prettt lah kau.”

“Eh iya besok anak-anak pulang kantor mau mampir ke tempatnya Pak Brewok, udah tau belum?”

“Ya…tapi aku nggak bisa.”

“Awww…sakit woy,” lanjutku sembari mengibaskan tangan Sika yang mencubit pipiku.

“Tari....anak-anak anda itu sudah besar loh sekarang, kalau kamu telat sebentar sampai rumah juga nggak ada masalah. Meraka kan bisa jajan makanan sendiri kalau kamu belum siapkan makanan buat mereka. Ini acara pakai duit kas kita jadi jangan mau rugi dong..”

Sika duduk di sampingku sembari menghabiskan camilannya dan aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Aku lepas kacamataku dan menyandarkan tubuhku di kursi dengan kedua kaki yang aku luruskan ke depan.

“Aku lagi capek banget Ka,” kataku pelan.

“Iya tau, lagian kamu itu jadi orang nggak usah ngoyo, kita ini istri dan ibu yang bekerja jadi kalau ada bagian-bagian yang nggak bisa kita kerjakan untuk anak dan suami ya wajar lah. Badan kita ini juga butuh rehat, kalau kamu terus berusaha untuk sempurna di rumah sedangkan kamu itu juga kerja ya siap-siap aja kamu.”

“Siap-siap apa? Kenapa nggak lanjut?”

“Siap-siap badan kamu itu protes karena nggak disayang, kita seharian di sini sudah stres ngadepin bos gila macam si Hendi, eh di rumah kamu masih banting tulang demi sebuah kesempurnaan ngurus suami dan anak. Ya bisa remuk itu badan kamu, masa nggak ngerti?”

“Aku juga sudah nggak kaya dulu Ka, sekarang kalau aku sanggup ya ayok tapi kalau nggak sanggup ya tinggal aja, anak-anak juga sering nggak mau aku siapkan bekal.”

“Masa sih begitu? Kamu kasih bekal suami aja sebegitu beraneka ragam masakan, sudah ada ayam goreng, masih ada telur dadar ala-ala padang, masih ada ikan kembung, sayur ditumis ada, sayur kuah ada, belum potongan buah yang ditata serapi mungkin. Itu si Trisno nggak kolesterol apa protein berlimpah-limpah begitu? Terus kamu bangun jam berapa buat menyiapkan semua itu kisanak?”

Kata-kata Sika yang meluncur tanpa jeda membuatku terdiam lama, bukan karena suaranya yang cempreng yang mengusik pendengaranku tapi karena apa yang dia katakan. Sejak kapan aku memberi Mas Tris bekal selengkap itu, mana ada waktu aku masak besar begitu di pagi hari.

“Kebiasaan. Kamu kalau ngomong suka ditambah micin tiga kilo," kataku ketus.

"Mas Deko saksinya, dia beberapa kali mampir ke tokomu kalo pas dia lagi muter survei. Dia sampai iri sama Trisno gara-gara lihat bekalnya yang semewah itu. Saking penasarannya, kemarin pas pulang kerja aku mampir ke tokomu. Kebetulan suami anda lagi makan dan bener menunya memang selengkap itu. Aku langsung terkagum-kagum sama kamu sumpah, wahhh sobatku satu ini benar-benar istri idaman.”

“Kemarin..,” aku bergumam.

“Iya kemarin aku ke sana, eh tapi ngomong-ngomong kotak makan punya anda kok masih awet gitu sih, punyaku entah di mana rimbanya. Aduhh ampun si bos gila cepet banget lagi meetingnya, nanti lanjut lagi ya sista...”

Sika meninggalkanku yang masih bengong mendengar ceritanya. Sejak pertengkaran malam itu Mas Tris tidak pernah mau membawa bekal yang aku siapkan dan kalau memang menu yang di toko selengkap itu tentu saja Mas Tris menolak bekal ala kadarnya yang aku buat. Tidak mungkin Mas Tris pesan katering setiap hari dan lagi mana ada menu katering sebrutal itu.

Aku memang jarang sekali datang ke toko karena setiap harinya waktuku habis untuk bekerja dan mengurus rumah, sesekali Mas Tris memintaku untuk membantunya. Setiap ada aku di toko terasa sekali kalau Mas Tris tidak nyaman, dia seperti risih dan melampiaskannya dengan mengomel sepanjang hari. Itu yang membuatku malas ke toko dan mungkin juga itu jadi salah satu cara Mas Tris agar dia bisa bebas melakukan apa pun karena aku jarang datang.

“Bu, mi sama telur di rumah sudah habis, adek nggak bisa beli, motornya dibawa kakak.”

Sebuah pesan datang dari Arla saat aku sedang bersiap pulang, si bungsu pasti malas kalau harus jalan untuk beli ke warung dekat rumah. Aku langsung memeriksa isi dompetku.

“Ini uang penunggu dompet yang nggak boleh diganggu gugat sampai gajian besok lusa, kebetulan sekali. Aku bisa menjadikan ini alasan untuk mampir ke toko.”

Kali ini semoga saja Mas Tris tidak merasa tergangggu dengan kedatanganku. Sayup-sayup sudah terdengar suara azan Magrib di sepanjang perjalanan dan hari sudah mulai gelap saat aku sampai di depan toko.

“Katanya kemarin mau sekarang aku datang bawa barang kok jadi berubah, janjinya kemarin gimana?” tanya seorang wanita pada Mas Tris di depan pintu toko.

“Iya tenang aja aku pasti ambil banyak” jawab Mas Tris dengan senyum sumringahnya.

Aku berjalan mendekat dan mereka pun menoleh ke arahku hampir bersamaan, Mas Tris hanya diam dan kembali melanjutkan obrolannya dengan wanita itu.

“Aku janji, beneran deh.”

“Oke, baiklah kalau begitu, sip,” wanita itu mengacungkan kedua jempolnya sembari tersenyum genit dan pergi. Dia pasti menganggapku pembeli biasa, wajarlah suamiku sendiri juga tidak memperkenalkanku sebagai istrinya.

“Siapa dia Mas?” tanyaku setelah kami berdua masuk ke dalam toko.

“Sales rokok lokalan,” jawabnya singkat.

“Jam segini masih keliling ke toko-toko ya Mas?”

“Kamu jam segini juga baru pulang, sama kan?” Mas Tris balik bertanya.

“Arla tadi WA katanya mi sama telor di rumah habis, uangku tinggal yang buat jaga-jaga sebelum gajian Mas.”

“Mi nya kamu ambil yang masih di kardus, kalau telurnya ambil ini aja yang di depan, kamu jaga toko sebentar, aku ke belakang dulu.”

Aku langsung mengambil plastik untuk membungkus telur yang berada dekat dengan meja kasir tapi mataku menembus pintu kaca toko. Sales itu masih di depan toko, dia sedang merapikan barang-barang bawaan di bagasi motornya tapi aku melihat sesuatu. Kotak itu....ya....kotak makan yang dia bawa sama persis dengan yang aku punya, aku langsung teringat kata-kata Sika tadi. Aku mengerutkan dahi saat mulai berpikir tentang cerita kotak makan karena bisa saja berhubungan dengan sales itu tapi bisa juga tidak.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUAMI BERSAMA   34

    "Maksud kamu orang ini anak tetangga kamu yang baru saja kamu ceritakan?”“Iya Bu saya yakin sekali, di tiga foto terakhir dia baru muncul dan yang terlihat sangat jelas ada di foto yang terakhir.” “Tapi kenapa jadi ada dia juga di sini atau mungkinkah ini hanya kebetulan?”“Saya akan memastikan sendiri apa hubungannya Prasetyo dengan ini semua.”“Tari, jangan-jangan kita sudah salah membaca apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Bu Ning. Dia bisa bertanya seperti itu karena aku sudah cerita tentang pengakuan Prasetyo padaku. “Sesudah melihat foto ini, semuanya menjadi mungkin sekarang Bu.”“Iya benar, sekarang kita punya lebih dari satu kemungkinan. Kita mencari-cari siapa wanita di belakang Trisno tapi yang muncul malah Prasetyo dan bisa jadi dia adalah dalang yang selama ini kita cari-cari. Dari semua yang kamu ceritakan ke saya, Prasetyo ini memenuhi syarat untuk dijadikan tersangka, dia punya segalanya, uang dan koneksinya bisa dia gunakan dengan mudah untuk mendapatkan apa

  • SUAMI BERSAMA   33

    “Saya sudah menunggu lumayan lama dan sudah meminta waktu secara pribadi untuk bertemu tapi dia tidak mau. Ini adalah pertama kalinya dia menolak membantu saya setelah sekian lama kami menjadi mitra bisnis. Saya benar-benar dibuat penasaran.”“Atau mungkin memang ini murni permainan yang di bawah saja Bu dan Bosnya memang tidak tahu menahu tentang ini karena dia pasti tidak mau mengorbankan hubungan baik dengan Ibu yang sudah terjalin selama ini. Seperti tidak sebanding saja Bu nilainya antara masalah ini dengan hubungan baik Ibu.”“Awalnya saya juga berpikir begitu makanya saya merasa sangat percaya diri waktu bilang ke kamu saya bisa bantu kamu secepatnya tapi ternyata tidak seperti yang saya kira. Dari awal dia memang sudah menolak saya tapi dengan cara halus sampai kemarin dia benar-benar bilang langsung kalau dia tidak bisa bantu. Sakitnya dia itu adalah cara halus dia untuk menolak saya, alasan dia untuk menghindari saya.”“Dia bohong sama Ibu?”“Iya, dia buat saya menunggu

  • SUAMI BERSAMA   32

    “Jincha, seriusan? Kamu jangan ikut-ikutan gila ya Tar!”“Ya ampun Ka, aku cuma cerita apa adanya.”“Ya tapi kenapa aku mencium aroma-aroma baper di cerita kamu, please Tari jangan dengerin semua bisikan-bisikan setan yang terkutuk itu!”Sika menggeser kursi yang dia duduki menjadi semakin dekat denganku, lalu memutar kursiku agar aku menghadap ke arahnya. Dia hanya sedang menunggu jawabanku tapi aku merasa dia berubah menjadi jaksa penuntut dan aku menjadi terdakwanya.“Aku cuma ngerasa berhadapan dengan orang yang berbeda, kayak bukan Pras, dari suara yang sedikit terdengar lebih berat, dari cara dan gaya bicara, sampai senyumnya.”“Kayak gini kamu nggak mau dibilang baper?”“Suamiku sendiri nggak pernah ngomong begitu Ka.”“Terus itu mau dijadikan alasan untuk menghalalkan kebaperan kamu, gitu maksudnya?”“Lebih ke kaget aja, kok bisa dia sampai seperti itu, gitu aja Ka.”“Paham. Saya teramat sangat memahami sekali dengan apa yang Nyonya muda rasakan. Sebagai seorang wanit

  • SUAMI BERSAMA   31

    “Maaf tapi kalau saat ini Bude tidak di rumah saya permisi pulang dulu,” kataku langsung balik badan untuk segera pergi dari rumah itu.“Kiriman saya sudah sampai kan?” tanya Prasetyo yang membuatku terpaksa harus kembali berhadapan dengannya.“Mas yang kirim itu semua?” tanyaku pura-pura tidak tahu.“Kamu nggak tahu? Aku memang nggak nulis nama lengkap cuma inisial aja sih jadi wajar kalau kamu nggak perhatikan itu dari siapa tapi senang kamu sudah menerimanya. Lain kali kalau ada kiriman lagi dengan inisial “P” berarti itu dari aku.”“Tidak akan ada lain kali lagi karena ini yang pertama dan terakhir. Kalau Mas Pras masih berani mengirimkan sesuatu lagi ke saya, ke rumah saya, ke anak-anak, apa pun itu bentuknya saya akan kembalikan ke rumah ini.”“Wohoho…. Kamu mau libatkan Ibuku?”“Bukan saya tapi sikap Mas memaksa saya melibatkan Bude.”“Lestari…Lestari…kamu mau bilang ke Ibu, ke adikku ke siapa pun juga percuma sih. Oh iya kemarin sudah ngadu ke suami waktu dia melihat ak

  • SUAMI BERSAMA   30

    “Mah, ayo cepetan masuk,” ajak Arla saat aku baru saja turun dari motor.“Itu Mah,” kata Arla langsung menunjuk sebuah standing flower saat aku masih berdiri di depan pintu.“Dari siapa? Ini nggak salah?” tanyaku pada anak-anak.“Tadinya Aran pikir juga salah tapi alamatnya memang bener rumah kita Mah. Yang nganter tadi juga nggak tahu identitas pengirimnya. Dia mau disuruh karena dikasih banyak uang dan jaminan kalau ini aman,” cerita Aran panjang lebar.Aku lalu berjalan mendekat dan langsung mengambil kartu ucapan yang diselipkan di antara bunga-bunga itu. Sebuah kartu kecil bertuliskan “cepat sembuh” dengan tulisan tangan yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Ada huruf “P” tertulis tepat di bagian tengah saat aku membaliknya, tidak salah lagi ini semua pasti dari Prasetyo. Semakin hari dia semakin berani saja, dia nekat kirim paket seperti ini saat Mas Tris tidak ada di rumah. “Ada satu lagi Mah yang dikirim sama bunga itu, kotak besar yang di samping rak. Tadinya mau Ara

  • SUAMI BERSAMA   29

    “Si Trisno jalan dari arah sebelah kiri rumah kamu. Dari mana dia?” tanya Hendi. Kami bertiga sedang berkumpul di ruangan Hendi setelah jam kantor.“Sebelah kiri itu kaplingan tanah yang masih kosong itu loh Hen, yang baru dibangun pondasinya aja terus nggak ada kabar lagi sampai sekarang. Kalau sampingnya lagi masih ada beberapa rumah sebelum ketemu jalan kecil,” jawabku.“Guys, itu memang jalan kecil tapi cukup loh untuk papasan dua mobil, aku kan pernah lewat situ,” kata Sika.“Iya terus kenapa?” tanya Hendi.“Think Boss, think!” kata Sika.“Apaan lagi si kamu ini?” tanya Hendi kesal.“Kata si Mira pengantar kotak makan itu kan datang pake mobil yang selalu ganti-ganti. Sekarang think deh sama kalian kalau untuk mengantar kotak makan saja pake mobil apalagi untuk jemput si Trisno, masa mau disuruh jalan kaki aja. Trisno memang nggak bawa motor pas keluar rumah tapi dia bawa ponsel sodara-sodara. Dia bertengkar sama Tari, terus dia posisi terpojok, marah, pergi terus telepon

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status