“Tari, laporanku yang kamu minta kemarin, sudah selesai belum?”
Sika, sahabatku sejak kecil sekaligus teman sekantorku sudah berdiri di sampingku, tidak lupa ada camilan di tangannya. Kedatangannya ke mejaku itu tanda kalau bos tidak ada di tempat jadi anak-anak ada waktu sebentar untuk sekedar meluruskan punggung. “Belum aku pegang sama sekali Ka.” “Ampun, mau aku bantu nggak?” “Sudahlah jangan suka kasih harapan palsu.” “Ha...ha…ha, namanya juga basa-basi biar kelihatan baik hati.” “Prettt lah kau.” “Eh iya besok anak-anak pulang kantor mau mampir ke tempatnya Pak Brewok, udah tau belum?” “Ya…tapi aku nggak bisa.” “Awww…sakit woy,” lanjutku sembari mengibaskan tangan Sika yang mencubit pipiku. “Tari....anak-anak anda itu sudah besar loh sekarang, kalau kamu telat sebentar sampai rumah juga nggak ada masalah. Meraka kan bisa jajan makanan sendiri kalau kamu belum siapkan makanan buat mereka. Ini acara pakai duit kas kita jadi jangan mau rugi dong..” Sika duduk di sampingku sembari menghabiskan camilannya dan aku hanya bisa tersenyum melihatnya. Aku lepas kacamataku dan menyandarkan tubuhku di kursi dengan kedua kaki yang aku luruskan ke depan. “Aku lagi capek banget Ka,” kataku pelan. “Iya tau, lagian kamu itu jadi orang nggak usah ngoyo, kita ini istri dan ibu yang bekerja jadi kalau ada bagian-bagian yang nggak bisa kita kerjakan untuk anak dan suami ya wajar lah. Badan kita ini juga butuh rehat, kalau kamu terus berusaha untuk sempurna di rumah sedangkan kamu itu juga kerja ya siap-siap aja kamu.” “Siap-siap apa? Kenapa nggak lanjut?” “Siap-siap badan kamu itu protes karena nggak disayang, kita seharian di sini sudah stres ngadepin bos gila macam si Hendi, eh di rumah kamu masih banting tulang demi sebuah kesempurnaan ngurus suami dan anak. Ya bisa remuk itu badan kamu, masa nggak ngerti?” “Aku juga sudah nggak kaya dulu Ka, sekarang kalau aku sanggup ya ayok tapi kalau nggak sanggup ya tinggal aja, anak-anak juga sering nggak mau aku siapkan bekal.” “Masa sih begitu? Kamu kasih bekal suami aja sebegitu beraneka ragam masakan, sudah ada ayam goreng, masih ada telur dadar ala-ala padang, masih ada ikan kembung, sayur ditumis ada, sayur kuah ada, belum potongan buah yang ditata serapi mungkin. Itu si Trisno nggak kolesterol apa protein berlimpah-limpah begitu? Terus kamu bangun jam berapa buat menyiapkan semua itu kisanak?” Kata-kata Sika yang meluncur tanpa jeda membuatku terdiam lama, bukan karena suaranya yang cempreng yang mengusik pendengaranku tapi karena apa yang dia katakan. Sejak kapan aku memberi Mas Tris bekal selengkap itu, mana ada waktu aku masak besar begitu di pagi hari. “Kebiasaan. Kamu kalau ngomong suka ditambah micin tiga kilo," kataku ketus. "Mas Deko saksinya, dia beberapa kali mampir ke tokomu kalo pas dia lagi muter survei. Dia sampai iri sama Trisno gara-gara lihat bekalnya yang semewah itu. Saking penasarannya, kemarin pas pulang kerja aku mampir ke tokomu. Kebetulan suami anda lagi makan dan bener menunya memang selengkap itu. Aku langsung terkagum-kagum sama kamu sumpah, wahhh sobatku satu ini benar-benar istri idaman.” “Kemarin..,” aku bergumam. “Iya kemarin aku ke sana, eh tapi ngomong-ngomong kotak makan punya anda kok masih awet gitu sih, punyaku entah di mana rimbanya. Aduhh ampun si bos gila cepet banget lagi meetingnya, nanti lanjut lagi ya sista...” Sika meninggalkanku yang masih bengong mendengar ceritanya. Sejak pertengkaran malam itu Mas Tris tidak pernah mau membawa bekal yang aku siapkan dan kalau memang menu yang di toko selengkap itu tentu saja Mas Tris menolak bekal ala kadarnya yang aku buat. Tidak mungkin Mas Tris pesan katering setiap hari dan lagi mana ada menu katering sebrutal itu. Aku memang jarang sekali datang ke toko karena setiap harinya waktuku habis untuk bekerja dan mengurus rumah, sesekali Mas Tris memintaku untuk membantunya. Setiap ada aku di toko terasa sekali kalau Mas Tris tidak nyaman, dia seperti risih dan melampiaskannya dengan mengomel sepanjang hari. Itu yang membuatku malas ke toko dan mungkin juga itu jadi salah satu cara Mas Tris agar dia bisa bebas melakukan apa pun karena aku jarang datang. “Bu, mi sama telur di rumah sudah habis, adek nggak bisa beli, motornya dibawa kakak.” Sebuah pesan datang dari Arla saat aku sedang bersiap pulang, si bungsu pasti malas kalau harus jalan untuk beli ke warung dekat rumah. Aku langsung memeriksa isi dompetku. “Ini uang penunggu dompet yang nggak boleh diganggu gugat sampai gajian besok lusa, kebetulan sekali. Aku bisa menjadikan ini alasan untuk mampir ke toko.” Kali ini semoga saja Mas Tris tidak merasa tergangggu dengan kedatanganku. Sayup-sayup sudah terdengar suara azan Magrib di sepanjang perjalanan dan hari sudah mulai gelap saat aku sampai di depan toko. “Katanya kemarin mau sekarang aku datang bawa barang kok jadi berubah, janjinya kemarin gimana?” tanya seorang wanita pada Mas Tris di depan pintu toko. “Iya tenang aja aku pasti ambil banyak” jawab Mas Tris dengan senyum sumringahnya. Aku berjalan mendekat dan mereka pun menoleh ke arahku hampir bersamaan, Mas Tris hanya diam dan kembali melanjutkan obrolannya dengan wanita itu. “Aku janji, beneran deh.” “Oke, baiklah kalau begitu, sip,” wanita itu mengacungkan kedua jempolnya sembari tersenyum genit dan pergi. Dia pasti menganggapku pembeli biasa, wajarlah suamiku sendiri juga tidak memperkenalkanku sebagai istrinya. “Siapa dia Mas?” tanyaku setelah kami berdua masuk ke dalam toko. “Sales rokok lokalan,” jawabnya singkat. “Jam segini masih keliling ke toko-toko ya Mas?” “Kamu jam segini juga baru pulang, sama kan?” Mas Tris balik bertanya. “Arla tadi WA katanya mi sama telor di rumah habis, uangku tinggal yang buat jaga-jaga sebelum gajian Mas.” “Mi nya kamu ambil yang masih di kardus, kalau telurnya ambil ini aja yang di depan, kamu jaga toko sebentar, aku ke belakang dulu.” Aku langsung mengambil plastik untuk membungkus telur yang berada dekat dengan meja kasir tapi mataku menembus pintu kaca toko. Sales itu masih di depan toko, dia sedang merapikan barang-barang bawaan di bagasi motornya tapi aku melihat sesuatu. Kotak itu....ya....kotak makan yang dia bawa sama persis dengan yang aku punya, aku langsung teringat kata-kata Sika tadi. Aku mengerutkan dahi saat mulai berpikir tentang cerita kotak makan karena bisa saja berhubungan dengan sales itu tapi bisa juga tidak.“Mah tadi ada yang beli chiki dan waktu Adek lihat ternyata sudah kedaluwarsa.”“Waduh, Bapak pasti lupa tidak periksa barang. Arla tolong bantu periksa yang dekat-dekat meja kasir saja ya!”Arla mengangguk dan aku perlahan memeriksa satu per satu rak mulai dari depan ke belakang. Cukup mengejutkan karena kami berhasil mengumpulkan sampai satu keranjang penuh. Untuk ukuran toko kecil itu sudah sangat banyak menurutku, Mas Tris benar-benar teledor sekali. Seharusnya keadaan toko yang sepi bisa dimanfaatkan Mas Tris untuk bisa memeriksa barang terutama produk makanan.Apa mungkin ini salah satu penyebab toko kami jadi sepi? Mungkin sudah banyak pembeli yang menemukan barang-barang rusak itu dan membuat mereka enggan untuk kembali. “Maaf Mas Tris ada?” terdengar suara perempuan bertanya pada Arla.“Nggak ada itu mbak, ada apa ya?”“Ada perlu mbak,” suara wanita itu bernada sedikit genit dan aku merasa sudah pernah mendengar sebelumnya.Aku lalu mengintip dari celah rak paling bel
Aku harus bermain cantik kali ini, melakukan semuanya dengan rapi, bergerak dalam senyap. Sales rokok itu mungkin bisa mengirim bekal untuk Mas Tris setiap hari tapi aku tidak yakin kalau dia adalah orang yang sama dengan orang yang memberikan uang dan membelikan pakaian. Apa ada kemungkinan kalau Mas Tris berhubungan dengan lebih dari satu wanita?“Mah…Mamah,”“Astaghfirullah Nak, bisa pelan kan manggilnya?“Kalau pelan Mamah nggak mungkin denger, dipanggil keras aja nggak jawab-jawab,” Aran anak sulungku menghampiriku di dapur, tangannya sedang sibuk mengenakan seragam sekolahnya. “Ada apa?”“Ada Mbah di depan.”“Mbah siapa?”“Mbah depan rumah manggil-manggil itu di depan pintu.”“Kenapa kamu malah ke sini bukannya dibuka pintunya.”“Sibuk,” jawabnya singkat lalu pergi kembali ke kamarnya.Aku buru-buru berjalan ke depan, sudah terdengar Bude Kanti memanggil-manggil namaku sambil mengetuk pintu. “Maaf Bude lagi di dapur,” kataku sesaat setelah membuka pintu. “Ini aku
“Tari, laporanku yang kamu minta kemarin, sudah selesai belum?” Sika, sahabatku sejak kecil sekaligus teman sekantorku sudah berdiri di sampingku, tidak lupa ada camilan di tangannya. Kedatangannya ke mejaku itu tanda kalau bos tidak ada di tempat jadi anak-anak ada waktu sebentar untuk sekedar meluruskan punggung. “Belum aku pegang sama sekali Ka.” “Ampun, mau aku bantu nggak?” “Sudahlah jangan suka kasih harapan palsu.” “Ha...ha…ha, namanya juga basa-basi biar kelihatan baik hati.” “Prettt lah kau.” “Eh iya besok anak-anak pulang kantor mau mampir ke tempatnya Pak Brewok, udah tau belum?” “Ya…tapi aku nggak bisa.” “Awww…sakit woy,” lanjutku sembari mengibaskan tangan Sika yang mencubit pipiku. “Tari....anak-anak anda itu sudah besar loh sekarang, kalau kamu telat sebentar sampai rumah juga nggak ada masalah. Meraka kan bisa jajan makanan sendiri kalau kamu belum siapkan makanan buat mereka. Ini acara pakai duit kas kita jadi jangan mau rugi dong..” Sika duduk
Sudah jam sepuluh malam, Mas Tris belum juga pulang, makan malam yang sudah aku siapkan dari tadi sudah tidak hangat lagi. Berkali-kali aku menguap, mataku terasa lengket sekali tapi aku sudah berniat menunggu Mas Tris pulang. Akhirnya aku menyerah, aku menutup pintu rumah, badan dan pikiranku sudah sangat lelah. Baru saja aku mau masuk ke dalam kamar, suara motor Mas Tris terdengar, aku buru-buru kembali ke ruang tamu untuk membuka pintu. Tidak ada salam yang terucap, Mas Tris langsung masuk saat aku membukakan pintu, aku mengikutinya dari belakang. “Mau dibikinkan teh hangat Mas?” tanyaku saat Mas Tris sedang mengganti bajunya. “Nggak usah,” jawabnya singkat, dia langsung berbaring di tempat tidur. Sikap dingin Mas Tris memaksaku untuk mengalah walaupun sebenarnya masih ada seribu tanya di hatiku. Mas Tris memang tidak akan mempan diberi serangan karena dia punya jurus pertahanan yang kuat, dia betah berlama-lama perang dingin dengan istrinya sendiri. “Aku minta maaf Mas,
Hari ini aku sengaja izin setengah hari dari kantor, hati dan perasaan yang penuh tanda tanya membuatku tidak tenang bekerja. Hampir satu jam perjalanan dengan motor akhirnya aku sampai ke sebuah rumah joglo mewah di tengah kota. Aku diminta menunggu sebentar karena pemilik rumah masih bersama tamu yang lain. Keadaan rumah ini ternyata belum banyak berubah, rumah ini adalah rumah yang bertahun lalu pernah aku datangi. “Maaf, mbak berdua ini betul keluarganya Trisno?” tanya nyonya pemilik rumah saat itu, nada bicaranya khas orang berada yang sedang menunjukkan kelasnya. Wajahnya masih terlihat cantik di usianya yang mungkin sudah lebih dari setengah abad, duduknya tegak, pandangannya fokus pada lawan bicara. “Ini Mbak Asri kakak kandung Mas Tris, dan saya Lestari istrinya Mas Tris,” jawabku memperkenalkan diri. “Oh...kamu Lestari, bagaimana keadaan kamu? Sehat-sehat kan? Apakah sudah merasa lebih baik sekarang?” “Saya…alhamdulillah sehat, saya baik-baik saja Bu.” “Maaf kalau
“Kemarin Mas Tris sendiri yang bilang kalau bulan ini sepi, uang yang ada tinggal buat modal sama ongkos jalan, terus kenapa tiba-tiba ada amplop itu. Itu uang dari mana Mas?” “Uang dari mana katamu? Pertanyaan macam apa itu? Aku tiap pagi berangkat dari rumah itu menurut kamu aku ke mana? Nongkrong? Touring?” Nada bicara suamiku sedikit meninggi walaupun dia sedang asyik megepulkan asap rokoknya dan tangannya sibuk dengan handphone.“Mas, lima juta itu bukan uang yang sedikit Mas.”“Terus kenapa? Masih kurang?”“Mas, sudah dua tahun ini Mas mengerjakan semuanya sendirian tanpa pembantu, etalase dan rak banyak yang kosong karena utang kita pada supplier menumpuk. Belum lagi utang kita di luar sana, sudah berapa banyak utang kita yang sudah lunas Mas? Satu lagi, coba tolong ingat baik-baik berapa banyak yang selama ini Mas bisa berikan untuk kebutuhan keluarga kita? Sekarang Mas bawa amplop dengan uang sebanyak ini, bukankah sudah sewajarnya aku bertanya uang ini dari mana?”“S