“Hendi, kamu jangan coba-coba jadi kompor ya!” Sika menepuk bahu Hendi keras.“Aku sudah beberapa kali melihat Trisno makan di resto bahkan aku pernah satu resto sama dia waktu aku meeting tapi dia nggak tahu. Dia juga sering ke tempat gym yang deket mal, yang lumayan mahal itu.”“Kamu yakin yang kamu lihat itu Trisno? Takut banget mata kamu juga ikut ngasal kayak mulut kamu Hen” Sika bicara sambil menarik lengan baju Hendi.“Masa sama saingan sendiri aku nggak hafal Ka. Eh…maaf salah maksudku mantan saingan.”“Ya tapi nggak masalah kan kalau dia memang mau olahraga atau mungkin dia lagi bosan nunggu toko sendirian terus jalan-jalan di mal,” Sika bicara seperti tidak mau membuatku khawatir.“Memang nggak masalah kalau itu dari duit dia sendiri, masalahnya adalah kalau gaya hidup dia yang menyebabkan istrinya harus bekerja pontang-panting dan cari utang ke sana ke mari.”“Ih ya ampun Hendi mulutnya astaghfirullah banget,” Sika kembali menepuk pundak Hendi.“Maaf ya tapi yang jad
Mungkin aku harus memulai dari Mira Karla karena dia seperti menyembunyikan sesuatu dariku, dia kelihatan gugup sekali kemarin. Terlepas apakah dia memiliki hubungan dengan Mas Tris atau tidak. Aku yakin pasti ada satu atau dua petunjuk yang bisa aku dapat darinya untuk membuktikan kecurigaanku pada Mas Tris selama ini.“Tari, ke ruangan saya sekarang!” Suara bos menyadarkanku kalau aku belum selesai mengerjakan permintaannya, mati aku, habislah aku hari ini. Aku membawa semua yang mungkin akan jadi bahan pertanyaan si bos dan membawa hasil kerjaku yang belum selesai. Aku tidak berani duduk karena menyadari kesalahanku, aku hanya berdiri menunggu dia selesai menjawab teleponnya.“Kenapa yang saya minta belum ada di meja?”“Maaf Pak, memang belum selesai saya kerjakan.”“Sudah beberapa hari dan masih belum selesai juga?”“Maaf Pak.”“Kapan bisa selesai?”“Hari ini saya selesaikan Pak.”“Hari ini jam berapa?”“Saya usahakan sebelum pulang Pak.”“Yakin bisa selesai?”“Iya Pa
“Mah tadi ada yang beli chiki dan waktu Adek lihat ternyata sudah kedaluwarsa.”“Waduh, Bapak pasti lupa tidak periksa barang. Arla tolong bantu periksa yang dekat-dekat meja kasir saja ya!”Arla mengangguk dan aku perlahan memeriksa satu per satu rak mulai dari depan ke belakang. Cukup mengejutkan karena kami berhasil mengumpulkan sampai satu keranjang penuh. Untuk ukuran toko kecil itu sudah sangat banyak menurutku, Mas Tris benar-benar teledor sekali. Seharusnya keadaan toko yang sepi bisa dimanfaatkan Mas Tris untuk bisa memeriksa barang terutama produk makanan.Apa mungkin ini salah satu penyebab toko kami jadi sepi? Mungkin sudah banyak pembeli yang menemukan barang-barang rusak itu dan membuat mereka enggan untuk kembali. “Maaf Mas Tris ada?” terdengar suara perempuan bertanya pada Arla.“Nggak ada itu mbak, ada apa ya?”“Ada perlu mbak,” suara wanita itu bernada sedikit genit dan aku merasa sudah pernah mendengar sebelumnya.Aku lalu mengintip dari celah rak paling bel
Aku harus bermain cantik kali ini, melakukan semuanya dengan rapi, bergerak dalam senyap. Sales rokok itu mungkin bisa mengirim bekal untuk Mas Tris setiap hari tapi aku tidak yakin kalau dia adalah orang yang sama dengan orang yang memberikan uang dan membelikan pakaian. Apa ada kemungkinan kalau Mas Tris berhubungan dengan lebih dari satu wanita?“Mah…Mamah,”“Astaghfirullah Nak, bisa pelan kan manggilnya?“Kalau pelan Mamah nggak mungkin denger, dipanggil keras aja nggak jawab-jawab,” Aran anak sulungku menghampiriku di dapur, tangannya sedang sibuk mengenakan seragam sekolahnya. “Ada apa?”“Ada Mbah di depan.”“Mbah siapa?”“Mbah depan rumah manggil-manggil itu di depan pintu.”“Kenapa kamu malah ke sini bukannya dibuka pintunya.”“Sibuk,” jawabnya singkat lalu pergi kembali ke kamarnya.Aku buru-buru berjalan ke depan, sudah terdengar Bude Kanti memanggil-manggil namaku sambil mengetuk pintu. “Maaf Bude lagi di dapur,” kataku sesaat setelah membuka pintu. “Ini aku
“Tari, laporanku yang kamu minta kemarin, sudah selesai belum?” Sika, sahabatku sejak kecil sekaligus teman sekantorku sudah berdiri di sampingku, tidak lupa ada camilan di tangannya. Kedatangannya ke mejaku itu tanda kalau bos tidak ada di tempat jadi anak-anak ada waktu sebentar untuk sekedar meluruskan punggung. “Belum aku pegang sama sekali Ka.” “Ampun, mau aku bantu nggak?” “Sudahlah jangan suka kasih harapan palsu.” “Ha...ha…ha, namanya juga basa-basi biar kelihatan baik hati.” “Prettt lah kau.” “Eh iya besok anak-anak pulang kantor mau mampir ke tempatnya Pak Brewok, udah tau belum?” “Ya…tapi aku nggak bisa.” “Awww…sakit woy,” lanjutku sembari mengibaskan tangan Sika yang mencubit pipiku. “Tari....anak-anak anda itu sudah besar loh sekarang, kalau kamu telat sebentar sampai rumah juga nggak ada masalah. Meraka kan bisa jajan makanan sendiri kalau kamu belum siapkan makanan buat mereka. Ini acara pakai duit kas kita jadi jangan mau rugi dong..” Sika duduk
Sudah jam sepuluh malam, Mas Tris belum juga pulang, makan malam yang sudah aku siapkan dari tadi sudah tidak hangat lagi. Berkali-kali aku menguap, mataku terasa lengket sekali tapi aku sudah berniat menunggu Mas Tris pulang. Akhirnya aku menyerah, aku menutup pintu rumah, badan dan pikiranku sudah sangat lelah. Baru saja aku mau masuk ke dalam kamar, suara motor Mas Tris terdengar, aku buru-buru kembali ke ruang tamu untuk membuka pintu. Tidak ada salam yang terucap, Mas Tris langsung masuk saat aku membukakan pintu, aku mengikutinya dari belakang. “Mau dibikinkan teh hangat Mas?” tanyaku saat Mas Tris sedang mengganti bajunya. “Nggak usah,” jawabnya singkat, dia langsung berbaring di tempat tidur. Sikap dingin Mas Tris memaksaku untuk mengalah walaupun sebenarnya masih ada seribu tanya di hatiku. Mas Tris memang tidak akan mempan diberi serangan karena dia punya jurus pertahanan yang kuat, dia betah berlama-lama perang dingin dengan istrinya sendiri. “Aku minta maaf Mas,