Jenala menghirup nafas dalam-dalam. Ah-dia begitu merindukan suasana kota Jakarta. Jenala juga sangat merindukan street foodnya, di Belanda memang banyak makanan Indonesia. Namun, tetap saja rasanya berbeda jika menikmatinya di tanah air secara langsung. "Jena! Juwita! Cucu cantikku!" Jenala serta Juwita masuk ke dalam pelukan,Nera. Selaku nenek Jenala. Wanita paruh baya itu tinggal bersama anak bungsunya, yang tak lain adalah adik Jihan. Sedangkan keluarga besar Alpha semuanya menetap di Belanda. "Cucuku semakin cantik saja, andai kakek kalian masih ada. Pasti dia sangat bahagia melihat kedua cucu cantiknya ini." Nera menatap Jenala serta Juwita secara bersamaan. "Eumm.. rindu Nenek.." Juwita mengeratkan pelukannya, sementara Jenala terkikik geli melihat tingkah adiknya yang manja. "Nek, aku ke kamar Mama sama Papa dulu ya. Eh tapi, Tante Kia di mana, Nek? Aku tidak melihatnya sedari tadi.""Lagi ke supermarket, beli bahan-bahan buat makan malam nanti." Jenala mengangguk mengerti
Cahaya mentari pagi menyorot hangat pada sosok rupawan yang sedang mengatur nafasnya. Pria itu terengah, bulir keringat membasahi tubuh atletisnya. Ujung rambut yang menjuntai pada keningnya berbuai, seiring dengan pergerakan tubuhnya. "Vier, sudah prepare belum? Tiga jam lagi kita flight." Marlo berdecak melihat Abimana yang belum keluar juga dari ruang gym yang ada di hotel mereka tempati ini. Abimana mengangkat bahu acuh tak acuh, dia kembali melanjutkan aktivitasnya. "Sebentar, lima menit lagi." "Vier! Yang benar saja! Katanya mau cepat balik ke Amsterdam, belum lagi kita menunggu pesanan kamu. Bisa-bisa kita tertinggal pesawat. Abimana menghentikan kegiatannya, lalu mengambil ponselnya. Ternyata sudah dua jam dia berada di ruangan ini, tepat ketika Jenala memutuskan sambungan telepon. Abimana melangkah menuju sofa puff berbentuk panjang yang terdapat pada pojok ruangan. "Menurutmu, apakah Alpha akan kaget?" Marlo mengambil duduk di samping Abimana. “Siapa yang tidak kaget k
Tidak ada yang pernah siap dengan yang namanya perpisahan. 'Jenala Lovina'***“Jenala… hikss… sayang… bagaimana ini, hiks… Kapal pesiar yang ditumpangi keluargamu terbakar dan tenggelam. Tidak ada yang selamat dalam kecelakaan itu.” Jenala melepas kasar pelukan Dian. Dia menatap tajam pada wanita di depannya. "Tante jangan berbicara seperti itu!" Bentaknya tanpa sadar, dia tak suka jika ada orang yang berbicara tidak-tidak kepada keluarganya.Dian bersimpuh, wanita itu menunjuk ke arah televisi dengan isakan memilukan. Jenala terpaku, netranya menyorot dengan tajam. Tak lama kemudian dia berlari cepat menuju kamar yang ditempati. Semua itu bohong, jelas-jelas ada pesan masuk dari keluarganya yang belum dia buka. Jenala mengambil kasar ponselnya di atas nakas, lalu membuka pesan dari mamanya yang dikirim tujuh jam yang lalu. [ Jena, sayangku. Jika nanti Mama, Papa dan Juwita tidak kembali. Jaga diri baik- baik sayang. Kami mencintaimu.]Seketika itu juga Jenala melempar ponselny
Aku tidak tahu, hal besar apa yang akan Tuhan siapkan sehingga mengujiku begitu hebat. 'Jenala Lovina'***Jenala pikir, inilah akhirnya. Inilah akhir dari dunianya. Namun, semuanya musnah ketika melihat bayangan ketiga orang tersayangnya, mereka menatapnya dengan derai air mata. Seolah-olah jika Jenala melompat, mereka akan semakin tersiksa. Jenala terpaku, dia melihat ke arah bawah. Ruangan yang dia tempat berada di lantai lima, jika dirinya memutuskan untuk melompat, dia akan berkumpul lagi dengan keluarganya. Kejadiannya begitu cepat, Jenala tersentak kuat ketika tubuhnya ditarik dari belakang. “APA YANG KAMU LAKUKAN!” Nera berteriak murka, tubuhnya yang ringkih itu bergetar hebat. Dia menatap kecewa pada Jenala. Niat hatinya ingin melihat keadaan sang cucu, tapi apa yang dia dapatkan. Nera tak bisa membayangkan jika dia tak masuk. Mungkin dia akan kembali merasakan kesedihan yang jauh lebih dahsyat. “Jena, mengapa sayang? Hiks….” Tubuh Jenala memaku, dia terlihat shock den
"Papa… jangan tinggalin Sela, Aunty Mila juga." Abimana mengangguk, sejak dia tiba di Amsterdam pukul satu dini hari tadi. Abimana sama sekali tak beranjak dari sisi Sera. Gadis kecil itu memang sangat manja jika sedang sakit. "Sekarang Sera tidur okay, Papa akan selalu di sisi Sera." Sera mengangguk, dia memejamkan mata perlahan. Setelah beberapa menit lamanya, Sera pun tertidur pulas. "Kamu istirahat saja, Sera juga sudah tidur, dan maaf sudah merepotkan." Miranda tersenyum manis, membuat siapapun yang melihatnya pasti akan terpukau. "Tidak apa-apa kak, lagipula aku sangat senang karena Sera membutuhkanku." Abimana hanya mengangguk sebagai respon, setelahnya pria itu mengecup kening Sera. Abimana berbaring di sisi sang putri. Jujur saja, kepalanya begitu sakit sekarang, apalagi dia kurang tidur akibat perjalanan jauh. Bahkan barang-barang serta ponselnya dia tinggalkan di lantai bawah. Saking khawatirnya dengan keadaan Sera. "Kak Vier, boleh aku ikut berbaring di sisi Sera
Tidak pernah dalam hidupnya Abimana merasakan nestapa yang mampu meruntuhkan hidupnya.Namun, kali ini Abimana bisa merasakan apa itu kehancuran yang sesungguhnya. ‘Alpha, JIhan da Juwita memang sudah meninggal. Sedangkan Jenala belum ditemukan.’Kalimat yang Nera ucapkan bagai bumerang untuknya. Abimana tertunduk, dia menatap gundukan tanah di hadapannya dengan tatapan kosong. Pria itu tak menangis, tapi pancaran pada netra hazelnya membuat siapapun tahu jika dia sedang hancur.Abimana boleh denial akan semuanya, tapi fakta di hadapannya mampu membuat dunianya luluh lantah tak tersisa.Abimana meremas kuat bagian dadanya yang terasa nyeri luar biasa, seolah-olah ada panah beracun yang menancap. “Ya Tuhan…” Rintihan pilu dari Marlo menyadarkan Abimana dari dunianya. “Alpha, kamu curang, kamu bahkan meninggalkan kita tanpa pamit.” Marlo terisak hebat, pria dewasa itu tak mampu menampung kesedihannya. Abimana memejamkan mata, lalu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Sakit s
"Kamu tetap tidak menyerah?" Abimana menatap Marlo tajam. "Memangnya kamu mau aku menyerah?!" Marlo tersenyum datar. "Tentu tidak, Jena harus ditemukan. Bagaimanapun caranya," ucapnya memelan pada akhir kalimatnya. "Tidak terasa, ya. Hampir dua tahun lamanya kita tanpa Alpha." Lanjut Marlo serak. Ya, sudah hampir dua tahun Abimana berusaha mencari keberadaan Jenala. Dan dia sama sekali tak lelah maupun menyerah. Dimitri, kakek Abimana sendiri ikut melakukan pencarian, dia tak tega melihat keadaan Abimana yang tampak selalu murung.“Pasti, aku akan mengupayakan segala cara agar dia ditemukan.” Abimana memandang lurus ke depan. Pria berusia empat puluh satu tahun itu semakin terlihat menawan, tapi tidak dengan sorot matanya yang selalu menyendu.“Omong-omong bagaimana tentang pemotretan di Lombok? Kamu benar-benar setuju untuk ke sana?” Marlo mengalihkan pembicaraan, sekaligus memecahkan suasana haru di antara mereka. “Ya, aku akan terbang ke Lombok minggu depan.” Marlo sebenarnya
"JENALA! TUNGGU!" Jenala berlari menuju pantai paling ujung, suasana mencekam dan gelapnya malam tak menghentikan langkahnya. Setelah dua tahun lamanya, mengapa bisa Abimana menemukannya.Jenala terengah, rasanya dia sudah terlalu jauh berlari. Nafasnya memburu dengan jantung bertalu-talu. Grep!"Akh!" Jenala tersentak ketika Abimana menangkap tubuhnya, pria itu mendekap Jenala dari belakang. “Kelinci kecil yang nakal.” Abimana berucap serak, pria itu mendekap Jenala erat, takut-takut jika perempuan itu kembali menghilang dari sisinya. "Lepaskan!" Jenala terus memberontak, sementara Abimana semakin mengeratkan pelukannya. "Saya menemukanmu, saya benar-benar menemukanmu!" Jenala tergugu, apalagi ketika mendengar nada serak Abimana yang sepertinya akan menangis. Tidak mungkin, pasti ini hanya trik Abimana. Pria ini begitu licik dan begitu munafik, dia bersama perempuan lain disaat Jenala sedang membutuhkannya dulu. "Saya katakan sekali lagi, lepaskan. Atau saya akan memanggil war