“Mama sendiri yang pesen?” tanya Ahmad.Sari mengangguk, matanya berbinar. “Dulu bapakmu suka bikin boks bayi buat anak-anak kecil di kampung. Aku minta tukang yang sama. Biar cucuku nyaman.”Ana menidurkan bayinya perlahan di boks itu. Ia mengusap pipi mungil si kecil, matanya berkaca-kaca. “Alhamdulillah…,” bisiknya.Ahmad berdiri di sampingnya, menggenggam tangan Ana. Rumah itu mendadak hangat, penuh harapan baru.Di tempat lain, Wulan dan mbok Darmi baru saja turun dari grab. Tubuhnya masih lemas, bekas infus di tangannya masih membekas. Namun begitu dia melihat ke teras rumahnya, jantung nya serasa diremas. Wulan merasa takut dan berharap. Darma duduk di kursi dari anyaman bambu yang tersedia di teras, kedua kakinya bersilang, tatapan dingin menatap ke arahnya. Ia tidak tersenyum, tidak menyapa.“Mas D-Darma?” suara Wulan gemetar. “Kamu… ke sini?”Darma berdiri pelan, merapikan kausnya. “Aku ke sini mau ambil sesuatu.”Wulan menelan ludah. “Apa?”“Mahar itu,” jawab Darma datar.
Petugas polisi yang duduk di dekat mereka mengangguk pelan. "Burhan ditemukan membusuk dan terkubur di halaman belakang rumah yang disewa saudari Neni sebelum dia kabur dan menyewa rumah lainnya."Ahmad mengatup rahang. Ia menarik napas panjang, membuangnya perlahan, menahan gejolak di dadanya. Semua perlahan tersingkap. Tapi tak urung juga Ahmad merasa lega karena orang orang yang mengganggu hidup nya telah mendapatkan ganjarannya. ***Suara sepatu Ahmad bergema di lorong-lorong rumah sakit, langkahnya cepat namun berat. Hatinya masih berdebar kencang, bukan karena lelah, melainkan karena apa yang baru saja ia saksikan di kantor polisi. Napasnya memburu, namun ia paksa tetap tenang. Pintu ruang perawatan Ana semakin dekat, dan di balik sana, ada dua orang yang kini menjadi dunianya.Ahmad mengetuk pelan, lalu mendorong pintu. Ana tersenyum sambil menggendong bayi mungil mereka yang tengah terlelap. Di sampingnya, seorang perawat tengah melipat selimut.“Mas,” sapa Ana lembut. Ada ro
Hujan rintik-rintik membasahi jendela kamar rawat inap Ana, menciptakan suara pelan seperti bisikan alam yang mengiringi malam. Lampu di sudut ruangan temaram, menyoroti wajah lelah Ana yang duduk di sisi tempat tidur. Sesekali, ia melirik ke arah jam dinding yang berdetak lambat, seolah waktu enggan bergerak.Sudah dua jam.Dua jam sejak Ahmad pamit untuk menjemput ibunya di depan rumah sakit.Dan sejak itu… tak ada kabar.Ana meraih ponselnya di atas meja. Jemarinya gemetar saat menekan nama Ahmad di daftar panggilan.Satu dering.Dua dering.Hingga akhirnya, suara monoton itu terdengar lagi. Nomor yang Anda tuju sedang tidak dapat dihubungi."Mas… kamu di mana sih?" gumam Ana, suaranya parau. Ia mencoba menenangkan diri, menatap bayi mungil yang terlelap damai dalam boks bayi. Bayi itu tampak tenang, tangannya yang kecil terkepal, napasnya teratur.Ana membungkuk pelan, membelai pipi halus si kecil. "Kemana ya ayah sama nenek kamu, Nak?" ucapnya pelan, seakan berharap jawaban kelua
Dengan tekad yang bulat, Neni mulai sering memata - matai rumah Ahmad dari pagi hingga sore, mencari celah dan kesempatan untuk membuat Ana merasakan kehilangan yang parah, bahkan kalau bisa lebih menyakitkan daripada hanya sekedar kehilangan. Namun, di tengah persiapannya, Neni mulai merasakan efek dari penyakit yang dideritanya. Tubuhnya semakin lemah dan sering demam. Ia sadar bahwa waktunya mungkin tidak banyak lagi. Tetapi hal itu justru membuatnya semakin bersemangat. Hingga dia melihat Ahmad dan Sari keluar dari rumah nya melaju ke arah jalan raya. Neni yang sudah lama menunggu di bawah pohon seberang rumah Ahmad, mengikuti motor Ahmad. Neni berpikir cepat dan langsung mencari arah memutar untuk bisa menghadang motor Ahmad dari arah berlawanan. Rencana Neni nyaris berhasil. Dia menyetir mobilnya dan menghadang motor Ahmad dari arah depan. Ahmad yang kebingungan terpaksa menghindar ke arah kanan, tapi rupanya arah kanan sudah tertutup oleh kendaraan lain. Tatapan Neni dari ba
Malam itu, hujan turun dengan deras, menciptakan irama monoton yang menghantam atap rumah kontrakan Neni. Kilatan petir sesekali menerangi ruangan, memperlihatkan sosok Neni yang berdiri kaku di ruang tamu. Di hadapannya, tergeletak tubuh Burhan, mantan suaminya, dengan mata terbuka menatap kosong ke langit-langit. Darah mengalir dari luka di dadanya, membasahi karpet usang di bawahnya.Neni menatap mayat Burhan dengan kebingungan. Pikirannya berputar, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Ingatan tentang pertengkaran hebat mereka beberapa saat lalu masih segar di benaknya. Burhan datang dalam keadaan kacau, menuduh Neni menularkan penyakit HIV/ AIDS dan dengan kalap bermaksud membunuhnya. Kini, pria yang pernah dicintainya itu terbaring tak bernyawa di depannya.Dengan tangan gemetar, Neni melangkah ke dapur dan mengambil pisau yang lebih besar. Ia tahu bahwa jika mayat Burhan ditemukan, hidupnya akan berakhir di balik jeruji besi. Dengan tekad yang dipaksakan, ia menyeret tub
Ana menarik napas dalam-dalam. Ia tahu bagaimana watak mantan mertuanya itu. Dulu, saat pernikahannya dengan Burhan hancur, wanita itu sempat menyalahkannya habis-habisan. Tapi sekarang? Burhan hilang?Ana mengetik dengan sopan, meskipun hatinya masih terasa berat.[Saya tidak tahu, Tante. Lebih baik Tante lapor polisi saja.]Balasan datang cepat.[Sudah. Saya sudah melaporkan hal itu ke polisi. Sekarang masih tahap pencarian. Saya juga sudah menghubungi Neni. Kata Neni, dia sering berjumpa dengan kamu sama Burhan jalan bersama. Kamu sungguh tidak tahu di mana Burhan?]Ana membatu. Matanya membesar, mulutnya terbuka, tapi tak ada suara keluar.“Astaghfirullah...” desisnya pelan.Jari-jarinya dengan cepat mengetik balasan.[Saya benar-benar tidak pernah bertemu Mas Burhan, Tante! Saya sudah punya suami. Saya tidak tertarik dengan lelaki lain!]Pesan itu terkirim, tapi tidak ada balasan lagi dari Ibu Ratna. Ana menatap layar kosong, hatinya panas oleh rasa geram. Neni... bisa-bisanya me