Share

Part 5

Author: Ricny
last update Last Updated: 2024-02-22 18:58:45

Suami Miskinku di Ruang Nasabah Prioritas

Part 5

"Ibu! Cukup ya. Dulu Arin hampir nikah sama Mas Agas yang kaya raya itu, tapi siapa yang menggagalkannya? Ibu dan Mbak Opi 'kan? Ibu nyuruh supaya Arin ikhlas dan diam gak usah banyak omong ketika Mbak Opi ketahuan selingkuh dengan Mas Agas. Terus sekarang ketika Arin berusaha ikhlas dan menata hidup Arin dengan pilihan Arin sendiri, Ibu malah sering mempermasalahkannya hanya karena menurut Ibu, Bang Jaya itu orang miskin. Emang apa salahnya sih Bu kalau suamiku itu miskin? Miskin bukan berarti hina 'kan?" cecarku panjang lebar.

Geram banget aku tuh, baru aja dateng ibu udah ngerusak suasana dengan membeda-bedakan kasta.

"Dan Ib-"

"Permisi."

Ucapanku terpotong saat mertuaku muncul. Aku cepat menoleh.

"Ya, Bu. Ada apa? Apa perlu sesuatu?"

"Rin, bisa jaga Nuna sebentar? Ibu mau numpang ke toilet."

"Oh iya Bu, sini. Toiletnya ada di belakang ya," kataku sambil menunjukan arah toilet.

Aku mengambil Nuna dari gendongan mertua, beliau lalu pergi ke toilet. Sementara aku juga memilih pergi ke depan akhirnya karena malas debat lagi dengan ibuku.

Tiiit!

Mobil Mbak Opi bunyi kencang di depan. Ibu cepat nyerobot. Aku ikut ke depan bersama mertuaku yang baru saja selesai dari toilet.

"Bu, telat ya Opi? Maaf ya Bu, Opi tadi abis beli ini dulu buat Ibu." Mbak Opi basa-basi sambil memberikan tentengan papper bag yang entah isinya apa.

"Ah enggak telat kok, Masmu dan Mbak Juwita juga belum dateng. Eh ini apa? Makasih ya, seneng deh Ibu." Ibu lalu cipika-cipiki dan haha hehe dengan mereka.

Pokonya sikapnya beda banget saat tadi aku dan suami datang. Entah, aku bingung jelasinnya. Agak sedih sih sebenernya, tapi ya udahlah mau gimana lagi.

"Kenapa Rin?" Mertua menyikut lenganku.

"Gak apa-apa, Bu," jawabku lesu.

"Tenang aja, akan ada saatnya kamu juga dirangkul begitu, malah nanti pasti lebih-lebih."

Aku mengangguk saja tanpa tahu maksud mertuaku itu apa. Tapi kujadikan do'a saja, semoga memang akan ada kajaiban yang membawaku pada keadaan di mana aku akan dirangkul dan dipeluk ibuku seperti mereka.

"Kalau Ibu bawa Nuna jalan-jalan ke sekitar sini boleh gak Rin? Biar Nuna gak rewel," kata mertuaku lagi.

"Oh ya udah Bu, asal jangan jauh-jauh ya, hati-hati juga."

"Iya." Ibu mertua pergi, sementara Mbak Opi dan suaminya itu masuk ke dalam bersama ibuku. Aku mengekor.

"Eh udah lama Rin?" Mas Agas basa-basi ketika aku baru saja duduk bersama mereka.

Aku membuang muka tanpa menjawabnya. Masih males rasanya aku berbasa-basi dengan laki-laki itu. Jangankan berbasa-basi, lihat mukanya, jujur aku muak.

Meski udah sama-sama berrumah tangga, entah kenapa kenangan pahit itu masih aja membuat hatiku berdarah.

Mas Agas yang dulu hampir menjadi suamiku, malah berselingkuh dengan Mbak Opi, kakaku sendiri. Siapa yang gak sakit coba?

Untunglah ada Bang Jayanta yang beberapa bulan kenal langsung melamar. Meski dia gak seganteng dan sekaya Mas Agas, tapi Bang Jayanta jauh lebih segalanya bagiku.

"Kerja di mana sekarang kamu Jaya? Masih ngojek?" Pertanyaan Mbak Opi pada suamiku yang terdengar setengah meremehkan itu membuatku menarik diri dalam kesadaran penuh.

"Iya Mbak, apa ajalah yang penting halal," jawab suamiku seadanya.

"Halah, halal. Jaman sekarang itu gak cukup cuma dengan label halal Jayantaa. Kamu usaha dong lebih giat, cari kek kerjaan yang lebih bagus dan menjanjikan, supaya anak saya tuh gak menderita hidup sama kamu," timpal Ibu.

Kami semua menoleh ke arahnya.

"Apaan sih, Bu? Gak usah ngomong gitu 'kan bisa," protesku cepat.

"Kenapa? Salah emang? Perasaan Ibu cuma ngasih tahu biar suamimu itu lebih giat nyari kerja, kok malah gak boleh sih."

"Gak apa-apa Riin." Suami memberi kode agar aku tak memperpanjang masalah.

Tapi tak kugubris, kubalas lagi saja omongan ibuku yang nyelekit itu.

"Salahlah, omongannya nyelekit gitu. Kayak bukan omongan orang tua aja," ketusku kesal.

Ibu melotot, "heh Arini, harusnya kamu itu denger apa kata Ibu, bukan malah ngebelain suamimu yang pemalesan dan madsu ini terus!" sentaknya kemudian.

Aku membuang muka. Niat arisan keluarga malah jadi ribut gini, gak tahu deh siapa yang salah. Kesel banget aku rasanya.

"Udahlah Bu, gak usah marah-marah. Percuma. Orang model si Arini ini emang bebal, apalagi kalau hidupnya belum setara kayak kita, jadi apa pun yang kita omongin udah kayak nyudutin dia aja mungkin rasanya, padahal niat kita 'kan baik," timpal Mbak Opi sambil mengerling malas.

Dadaku mulai bergemuruh.

"Iya hidup Arin emang belum kayak kalian, tapi seriusan deh, Arin emang gak pengen kayak kalian. Udah sombong, gak punya tatak rama pula. Apalagi Mbak Opi. Buat apa juga hidup bahagia kayak Mbak Opi? Kalau kebahagiaannya itu hasil rampasan," sindirku geram.

Kontan saja Mbak Opi melotot.

"Maksud kamu apa?"

"Ya Mbak udah tahu kali apa maksudnya."

"Heh-"

"Udah Pi, malu ah." Mas Agas memotong ucapan istrinya sambil menarik lengan Mbak Opi yang hendak bangkit dari sofa.

Tiiit!

Klakson mobil Mas Lukman bunyi kencang. Ibu cepat-cepat ke depan menyambut mereka. Aku diam saja, malas ke depan juga mau ngapain.

"Heh Jaya, angkatin buah tuh di bagasi mobil Lukman, mereka beli buah aja sampe berkilo-kilo buat acara ini," perintah Ibu ketus, ketika beliau masuk lagi ke dalam.

Bang Jaya mengangguk dan baru akan bangkit saat Mbak Juwita yang baru saja masuk cepat menghentikannya.

"Eh nggak usah. Biar si Agas aja yang angkat. Jay, kamu di sini aja," kata Mbak Juwita sambil kemudian duduk di sebelah suamiku. "Tolong angkatin buah di bagasi Gas," titah Mbak Juwita pada Mas Agas. Pria itu pun bangkit ke depan.

Sebenernya aku agak-agak gimana gitu. Mbak Juwita itu baik sih sama aku dan suami, gak kayak Mbak Opi dan Mas Lukman. Cuma ... kok kalau aku teliti baik-baik, sikap Mbak Juwita ke suamiku itu kayak beda ya? Agak-agak aneh gimana gitu. Hmm.

"Ini buat anak kamu Rin dan ini buat kamu Jay." Mbak Juwita bicara lagi ketika kami semua sudah kumpul.

Dia memberikan sesuatu dalam papper bag padaku dan pada Bang Jaya.

"Wah makasih Mbak, repot-repot," ucap Bang Jaya.

"Gak repot kok, cuma hadiah kecil karena ketemu juga sebulan sekali. Buka dong."

Bang Jaya cepat membuka hadiah dari Mbak Juwita. Dan ternyata isinya sepotong kemeja yang asli bagus banget.

"Waaah bagus amat Wit? Buat Ibu gak ada?" tanya Ibu.

"Ibu 'kan sering dikasih, gantian dong, tinggal yang belum."

Bibir ibu agak mencucu. Sementara aku cekikikan dalam hati. Hadeeh ibu ... ibu ... ngarepin terus dikasih hadiah sih, jadinya kecewa kan saat gak dikasih.

"Itu kebagusan kali Mbak kemejanya kalau buat si Jayanta, lebih cocok buat Mas Agas," serobot Mbak Opi.

"Apaan sih, Mbak," responku tak suka.

"Gak apa-apa, itu emang Mbak sengaja beli buat Jayanta. Dipake ya Jay." Mbak Juwita senyum ramah pada suamiku. Senyum yang awalnya membuatku lega tetapi kemudian aku sadar, senyum itu kayak penuh arti yang sulit kucerna.

Arisan pun dimulai. Dan kebetulan nama Bang Jayanta yang keluar.

"Alhamdulillah." Aku kegirangan dan baru akan mengambil duit arisannya saat Bang Jayanta ngomong.

"Uangnya buat Ibu aja," katanya.

Aku menoleh cepat, "Abang, apaan sih?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI MISKINKU DI RUANG NASABAH PRIORITAS    Part 48 B (End)

    Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 48 B"Iya, Mbak."Mulutku menganga, kusingkap selimut yang menutup kakiku. Dan jantungku langsung terasa ditarik ke dasar perut."K-kakiku? Nggaaak!" Aku teriak dan mengamuk.Cepat mereka mendorongku keluar. Ibuku langsung menyambut di depan pintu."Wita, tenang Wit, tenang.""Bu, kaki Wita Bu, kaki Wita. Kenapa dipotong?""Karena kamu terluka parah Juwita. Gak apa-apa kamu bisa pakai kaki palsu. Gak usah khawatir."Aku melotot, kaki palsu?"Nggak! Nggak! Nggaaak!" Aku kembali histeris dan berontak.Dalam sekejap, duniaku seperti hancur berkeping-keping. Amblas dan tak tersisa. Bagaimana nggak? Kakiku dipotong sebelah? Astaga itu artinya aku gak akan bisa hidup normal lagi.***"Semua ini gara-gara kamu Opi! Tanggung jawab kamu! Kamu yang sudah membuat aku kehilangan kakiku sebelah!" Aku menjambak rambutnya ketika dia kutemui di kantor polisi."Mbak Juwita! Apaan sih. Mbak sendiri yang salah, kenapa jadi Opi yang disalahin? Coba aja dulu

  • SUAMI MISKINKU DI RUANG NASABAH PRIORITAS    Part 48 A

    Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 48 ALagi pula, ide ini 'kan bukan ideku, melainkan ide si Opi. Jadi kalau andai ada apa-apa, maka si Opi yang akan ditambah hukumannya, bukan aku yang akan diseret ke dalam penjara. Hmm bener. Anggap aja, ini adalah harga yang harus dia bayar untuk mengganti uang yang dikeluarkan untuk membayar pengacaranya nanti."Oke. Kalau gitu Mbak coba pakai cara kamu Pi, tapi sekali lagi Mbak ingatkan, pengacara yang akan Mbak sewa nanti bukan untuk membebaskanmu dari tuduhan, dia hanya membantu kamu membela diri, paham?"Dia mengangguk setuju. Aku lalu pergi dari sana.Setelah dari kantor polisi itu, aku mulai membuat strategi penculikan si Arin. Beberapa Minggu kemudian, setelah sidang putusan si Opi dilakukan, aku baru menjalankan idenya."Mbak harus berhasil membuatnya mati, aku bener-bener benci sama," desis si Opi sambil mencengkram kuat-kuat besi sel.Hmh, dasar bodoh. Tanpa dia suruh pun aku akan melakukannya, tapi tentu aku tak akan gegab

  • SUAMI MISKINKU DI RUANG NASABAH PRIORITAS    Part 47

    Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 47POV Juwita."Suamimu kemana Rin?" tanyaku pada Arini, yang tak lain adalah adik iparku.Hari itu Mas Lukman disuruh ke rumah ibunya untuk mengantarkan beras atau uang katanya. Hah, aku malas sebetulnya. Baru juga pulang dari luar kota udah disuruh-suruh aja ke rumah mertua.Aku tuh udah jengah juga sebetulnya. Makin hari mereka itu makin gak berguna aja. Ibu mertua bisanya cuma minta-minta, anaknya juga bisanya cuma numpang hidup. Mentang-mentang aku kaya, enak banget mereka hidup gratisan.Makanya udah beberapa minggu ini tak kuberikan Mas Lukman uang seperti biasanya, karena aku tahu dia selalu pakai uang itu untuk memuaskan keinginan ibunya yang tak habis-habis itu."Ibu butuh uang katanya buat belanja sehari-hari Wit.""Ya terus? Ibumu yang butuh kok ngomong sama aku?""Ya bukannya gitu, tapi 'kan biasanya emang kita yang ngasih.""Sekarang gak lagi."Kesel banget. Serasa diperas dan dimanfaatkan terus rasanya, apalagi si nenek tua

  • SUAMI MISKINKU DI RUANG NASABAH PRIORITAS    Part 46 B

    Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 46 BIbunya Mbak Juwita yang juga tengah bersama mereka sempat menatap kami tajam sebelum akhirnya masuk ke dalam ruangan rawat inap."Kenapa dia, Bang? Kenapa Mbak Juwita teriak-teriak gitu?""Kakinya diamputasi.""Apa? Emangnya separah itu?""Iya. Kemarin Ibu juga sempet jenguk dia sebelum operasi. Memang kepadanya parah," kata Ibu.Astagfirullah. Aku bergidig ngeri. Padahal selama ini aku tahu Mbak Juwita orang baik, tapi entah kenapa dia jadi terjerumus dalam tindakan yang gegabah seperti itu. Hanya karena perasaannya pada Bang Jaya dia sampai tega mengurungku selama tiga bulan lamanya. Dan bahkan kemarin dia tega akan menyakiti anak sekecil Nuna.Naudzubillah. Semoga dengan balasan yang Allah kasih ini dia bisa bertaubat dan menyesali semua perbuatannya.__Sampai di rumah aku disambut begitu baik oleh ibu mertua dan Nuna yang terlihat sangat ceria."Yeey Mamam dan adik utun udah pulaaang," sorak Ibu mertua memeragakan Nuna.Aku ce

  • SUAMI MISKINKU DI RUANG NASABAH PRIORITAS    Part 46 A

    Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 46 AAku mengerjap, "oh iya, boleh kok, Mbak. Silakan aja datang, gak usah sungkan."Aku dan Mbak Juwita emang gak pernah ada masalah. Selama dia menjadi kakak iparku, dia juga baik dan hubungan kami selalu akur."Makasih ya Rin." Mbak Juwita menepuk pundakku.Dia lalu izin membawa Nuna main ke luar. Sementara itu aku dan Bang Jaya, juga ibu mertua aktivitas seperti biasa._Syukurlah Nuna benar-benar anteng di tangan Mbak Juwita. Seharian ini aku dan ibu mertua jadi bisa istirahat dengan tenang."Rin, Nuna ngantuk kayaknya. Dia rewel tapi kayaknya minta minum susu. Bisa kamu ke bawah buatin dia susu?" pinta Mbak Juwita. Dia berdiri di bibir pintu kamarku yang memang sengaja kubuka lebar. Habis diajak main Nuna rupanya rewel, mungkin ngantuk dan dia emang biasa minum susu sebelum tidur."Oh iya Arin bikinin dulu, Mbak." Aku bangkit dari kasur karena Bang Jaya kebetulan sedang gak ada di rumah. Mumun juga tadi katanya lagi pergi belanja

  • SUAMI MISKINKU DI RUANG NASABAH PRIORITAS    Part 45

    Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 45Kutengok sekeliling. Benar ternyata, aku sudah mengenali tempat itu sekarang. Walau gelap tapi aku tahu, kami ada di dekat stasiun kereta sekarang."Ini di dekat stasiun 'kan, Mas?" tanyaku memastikan."Iya Mbak. Turunlah di sini, karena di depan ada cctv. Saya gak mungkin antar Mbak sampai ke sana. Oh ya, dari sini, Mbak bisa naik taksi atau ojek saja. Oke?"Aku mengangguk dan buru-buru turun sebelum orang itu berubah pikiran. Walau bagaimana pun dia orang suruhan pria yang sudah mengurungku selama tiga bulan ini, bagaimana kalau tiba-tiba dia berubah pikiran atau kembali punya pikiran jahat? Nauzubillah.Dengan langkah lebar-lebar aku menyebrang ke pangkalan ojek yang tak jauh dari sana."Bang, ke komplek perumahan Buana Permai ya, jalan Nurul Huda 12."Kang ojek mengangguk dan segera melajukan motornya setelah aku duduk di belakang dengan aman.Sampai di depan pos, ojek tak diizinkan masuk karena memang portal perumahan sudah ditut

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status