Suami Miskinku di Ruang Nasabah Prioritas
Part 5"Ibu! Cukup ya. Dulu Arin hampir nikah sama Mas Agas yang kaya raya itu, tapi siapa yang menggagalkannya? Ibu dan Mbak Opi 'kan? Ibu nyuruh supaya Arin ikhlas dan diam gak usah banyak omong ketika Mbak Opi ketahuan selingkuh dengan Mas Agas. Terus sekarang ketika Arin berusaha ikhlas dan menata hidup Arin dengan pilihan Arin sendiri, Ibu malah sering mempermasalahkannya hanya karena menurut Ibu, Bang Jaya itu orang miskin. Emang apa salahnya sih Bu kalau suamiku itu miskin? Miskin bukan berarti hina 'kan?" cecarku panjang lebar.Geram banget aku tuh, baru aja dateng ibu udah ngerusak suasana dengan membeda-bedakan kasta."Dan Ib-""Permisi."Ucapanku terpotong saat mertuaku muncul. Aku cepat menoleh."Ya, Bu. Ada apa? Apa perlu sesuatu?""Rin, bisa jaga Nuna sebentar? Ibu mau numpang ke toilet.""Oh iya Bu, sini. Toiletnya ada di belakang ya," kataku sambil menunjukan arah toilet.Aku mengambil Nuna dari gendongan mertua, beliau lalu pergi ke toilet. Sementara aku juga memilih pergi ke depan akhirnya karena malas debat lagi dengan ibuku.Tiiit!Mobil Mbak Opi bunyi kencang di depan. Ibu cepat nyerobot. Aku ikut ke depan bersama mertuaku yang baru saja selesai dari toilet."Bu, telat ya Opi? Maaf ya Bu, Opi tadi abis beli ini dulu buat Ibu." Mbak Opi basa-basi sambil memberikan tentengan papper bag yang entah isinya apa."Ah enggak telat kok, Masmu dan Mbak Juwita juga belum dateng. Eh ini apa? Makasih ya, seneng deh Ibu." Ibu lalu cipika-cipiki dan haha hehe dengan mereka.Pokonya sikapnya beda banget saat tadi aku dan suami datang. Entah, aku bingung jelasinnya. Agak sedih sih sebenernya, tapi ya udahlah mau gimana lagi."Kenapa Rin?" Mertua menyikut lenganku."Gak apa-apa, Bu," jawabku lesu."Tenang aja, akan ada saatnya kamu juga dirangkul begitu, malah nanti pasti lebih-lebih."Aku mengangguk saja tanpa tahu maksud mertuaku itu apa. Tapi kujadikan do'a saja, semoga memang akan ada kajaiban yang membawaku pada keadaan di mana aku akan dirangkul dan dipeluk ibuku seperti mereka."Kalau Ibu bawa Nuna jalan-jalan ke sekitar sini boleh gak Rin? Biar Nuna gak rewel," kata mertuaku lagi."Oh ya udah Bu, asal jangan jauh-jauh ya, hati-hati juga.""Iya." Ibu mertua pergi, sementara Mbak Opi dan suaminya itu masuk ke dalam bersama ibuku. Aku mengekor."Eh udah lama Rin?" Mas Agas basa-basi ketika aku baru saja duduk bersama mereka.Aku membuang muka tanpa menjawabnya. Masih males rasanya aku berbasa-basi dengan laki-laki itu. Jangankan berbasa-basi, lihat mukanya, jujur aku muak.Meski udah sama-sama berrumah tangga, entah kenapa kenangan pahit itu masih aja membuat hatiku berdarah.Mas Agas yang dulu hampir menjadi suamiku, malah berselingkuh dengan Mbak Opi, kakaku sendiri. Siapa yang gak sakit coba?Untunglah ada Bang Jayanta yang beberapa bulan kenal langsung melamar. Meski dia gak seganteng dan sekaya Mas Agas, tapi Bang Jayanta jauh lebih segalanya bagiku."Kerja di mana sekarang kamu Jaya? Masih ngojek?" Pertanyaan Mbak Opi pada suamiku yang terdengar setengah meremehkan itu membuatku menarik diri dalam kesadaran penuh."Iya Mbak, apa ajalah yang penting halal," jawab suamiku seadanya."Halah, halal. Jaman sekarang itu gak cukup cuma dengan label halal Jayantaa. Kamu usaha dong lebih giat, cari kek kerjaan yang lebih bagus dan menjanjikan, supaya anak saya tuh gak menderita hidup sama kamu," timpal Ibu.Kami semua menoleh ke arahnya."Apaan sih, Bu? Gak usah ngomong gitu 'kan bisa," protesku cepat."Kenapa? Salah emang? Perasaan Ibu cuma ngasih tahu biar suamimu itu lebih giat nyari kerja, kok malah gak boleh sih.""Gak apa-apa Riin." Suami memberi kode agar aku tak memperpanjang masalah.Tapi tak kugubris, kubalas lagi saja omongan ibuku yang nyelekit itu."Salahlah, omongannya nyelekit gitu. Kayak bukan omongan orang tua aja," ketusku kesal.Ibu melotot, "heh Arini, harusnya kamu itu denger apa kata Ibu, bukan malah ngebelain suamimu yang pemalesan dan madsu ini terus!" sentaknya kemudian.Aku membuang muka. Niat arisan keluarga malah jadi ribut gini, gak tahu deh siapa yang salah. Kesel banget aku rasanya."Udahlah Bu, gak usah marah-marah. Percuma. Orang model si Arini ini emang bebal, apalagi kalau hidupnya belum setara kayak kita, jadi apa pun yang kita omongin udah kayak nyudutin dia aja mungkin rasanya, padahal niat kita 'kan baik," timpal Mbak Opi sambil mengerling malas.Dadaku mulai bergemuruh."Iya hidup Arin emang belum kayak kalian, tapi seriusan deh, Arin emang gak pengen kayak kalian. Udah sombong, gak punya tatak rama pula. Apalagi Mbak Opi. Buat apa juga hidup bahagia kayak Mbak Opi? Kalau kebahagiaannya itu hasil rampasan," sindirku geram.Kontan saja Mbak Opi melotot."Maksud kamu apa?""Ya Mbak udah tahu kali apa maksudnya.""Heh-""Udah Pi, malu ah." Mas Agas memotong ucapan istrinya sambil menarik lengan Mbak Opi yang hendak bangkit dari sofa.Tiiit!Klakson mobil Mas Lukman bunyi kencang. Ibu cepat-cepat ke depan menyambut mereka. Aku diam saja, malas ke depan juga mau ngapain."Heh Jaya, angkatin buah tuh di bagasi mobil Lukman, mereka beli buah aja sampe berkilo-kilo buat acara ini," perintah Ibu ketus, ketika beliau masuk lagi ke dalam.Bang Jaya mengangguk dan baru akan bangkit saat Mbak Juwita yang baru saja masuk cepat menghentikannya."Eh nggak usah. Biar si Agas aja yang angkat. Jay, kamu di sini aja," kata Mbak Juwita sambil kemudian duduk di sebelah suamiku. "Tolong angkatin buah di bagasi Gas," titah Mbak Juwita pada Mas Agas. Pria itu pun bangkit ke depan.Sebenernya aku agak-agak gimana gitu. Mbak Juwita itu baik sih sama aku dan suami, gak kayak Mbak Opi dan Mas Lukman. Cuma ... kok kalau aku teliti baik-baik, sikap Mbak Juwita ke suamiku itu kayak beda ya? Agak-agak aneh gimana gitu. Hmm."Ini buat anak kamu Rin dan ini buat kamu Jay." Mbak Juwita bicara lagi ketika kami semua sudah kumpul.Dia memberikan sesuatu dalam papper bag padaku dan pada Bang Jaya."Wah makasih Mbak, repot-repot," ucap Bang Jaya."Gak repot kok, cuma hadiah kecil karena ketemu juga sebulan sekali. Buka dong."Bang Jaya cepat membuka hadiah dari Mbak Juwita. Dan ternyata isinya sepotong kemeja yang asli bagus banget."Waaah bagus amat Wit? Buat Ibu gak ada?" tanya Ibu."Ibu 'kan sering dikasih, gantian dong, tinggal yang belum."Bibir ibu agak mencucu. Sementara aku cekikikan dalam hati. Hadeeh ibu ... ibu ... ngarepin terus dikasih hadiah sih, jadinya kecewa kan saat gak dikasih."Itu kebagusan kali Mbak kemejanya kalau buat si Jayanta, lebih cocok buat Mas Agas," serobot Mbak Opi."Apaan sih, Mbak," responku tak suka."Gak apa-apa, itu emang Mbak sengaja beli buat Jayanta. Dipake ya Jay." Mbak Juwita senyum ramah pada suamiku. Senyum yang awalnya membuatku lega tetapi kemudian aku sadar, senyum itu kayak penuh arti yang sulit kucerna.Arisan pun dimulai. Dan kebetulan nama Bang Jayanta yang keluar."Alhamdulillah." Aku kegirangan dan baru akan mengambil duit arisannya saat Bang Jayanta ngomong."Uangnya buat Ibu aja," katanya.Aku menoleh cepat, "Abang, apaan sih?"Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 6"Iya uangnya biar buat Ibu aja, tadi 'kan kita gak bawa apa-apa buat Ibu, jadi biar uang arisan itu untuk hadiah Ibu aja," kata Bang Jaya yakin."Lah kok gitu sih?"Kesal, aku pun bangkit menarik tangan suami sebentar keluar."Abang, apaan sih, kok duit arisannya malah mau dikasih ke Ibu? 'Kan kita juga butuh Bang buat periksa rutin dan beli-beli makanan sehat buat utun."Bang Jaya mengibas tangan, "kalau soal buat belanja sehari-hari dan periksa utun, kamu tenang aja Rin, Abang ada uang kok.""Ya tapi, Bang-""Bener apa kata Jaya Rin, kasih aja uangnya ke ibumu, biar kalian nggak dihina-hina dan dibedakan lagi," potong Ibu mertua yang tiba-tiba sudah ada di teras."Eh Bu, udah pulang?""Udah cuma muter sekitaran sini aja, Nuna juga udah tidur nih.""Oh tidur ya Bu. Ya udah kita langsung balik aja kali ya, arisannya juga udah selesai.""Ya udah ayok.""Bentar Arin pamit dulu ke dalam." Aku berbalik badan. "Tapi eh, seriusan ini uang ari
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 7"Soal yang katanya kamu mau dijodohkan sama anak juragan jengkol, yakin kamu gak mau nikah sama dia? Dia pasti mau kok meski sekarang kamu udah punya anak Rin. Kamu 'kan masih muda, cantik dan kuat.""Astagfirullah Ibu, apaan sih. Mikirnya kok sampai ke sana? Jelas aja Arin gak mau, Bu. Jangankan sekarang saat anak udah mau anak dua. Andai Arin jadi janda sekali pun, Arin gak akan mau nikah sama dia," terangku panjang lebar."Loh kenapa? Kan dia kaya raya Rin, gak seperti anak Ibu yang hanya ...." Ibu mertua berubah sedih.Aku cepat mengusap bahu beliau."Gak penting Bang Jaya orang kaya atau bukan Bu, karena bagi Arin, Bang Jaya itu spesial. Lebih dari siapa pun. Dan posisinya jelas gak akan bisa digantikan oleh siapa pun. Jadi tolong berhenti nyebut-nyebut nama lelaki lain ya, Bu. Kita fokus aja ke kehidupan kita. Keluarga kecil kita. Nuna yang lagi lucu-lucunya dan utun yang berapa bulan lagi akan siap meramaikan rumah kita juga. Oke
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 8Karena kedengaran makin sengit, aku pun bangkit menengok dari kaca jendela. Mertuaku masih ngomel-ngomel dan adu mulut rupanya sama ibu-ibu rempong itu.Ah, aku jadi terharu. Entah kenapa, mertuaku sebaik itu. Beliau bahkan bersikap layaknya seorang ibu kandung yang sedang membela anaknya."Rin." Aku mengerjap dan cepat mengusap sudut mata yang sudah basah.Bang Jaya tiba-tiba sudah ada di dekatku. Dia baru pulang. Aku sampai tak sadar saat dia naik ke teras."Kenapa? Ngapain di sini?""Gak apa-apa, Bang. Tumben udah balik jam segini?" Aku balik bertanya."Gak, Abang cuma mau ngasih ini buat kamu. Terus mau berangkat lagi." Bang Jaya memberikanku plastik dari minimarket yang setelah kutengok ternyata isinya beberapa dus susu ibu hamil."Abang beli susu ibu hamil sebanyak ini? Duitnya dari mana? Abang 'kan baru jalan.""Adalah tadi Abang dapet rejeki," jawabnya santai. "Rejeki dari mana, Bang? Ini 'kan susu mahal. Terus Abang juga 'kan
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 9Tak punya harta maksudnya. Tapi kalau soal hati dan lainnya, mereka kaya banget."Ah kamu nih, sabar dong Jay, tinggal dikit lagi rencan-""Ehek ehek ehek." Nuna terbangun.Aku tepok jidat. Astagfirullah Nak, kenapa mesti bangun sekarang sih? Tanggung dah ah 'kan jadinya.Karena Nuna udah terlanjur bangun, cepat aku menggendongnya dari atas kasur. Tak lama Bang Jaya juga masuk ke dalam kamar."Nuna bangun ya Rin?""Iya, Bang." "Sini. Biar Abang yang gendong. Kamu mandi aja gih takut belum mandi."Aku mengangguk dan buru-buru pergi ke kamar mandi. Selesai melakukan ritual bersih-bersih yang terhitung hanya 3 menitan itu aku gegas balik ke kamar. Udah punya anak gak ada banget waktu buat lama-lama di kamar mandi. Gak tenang aja rasanya. Takut Nuna nangis. Padahal ada mertua sih yang jaga. Tapi tetep aja gak tenang."Udah sana pergi. Jangan-jangan bener apa kata Mbak Mumun, perempuan itu emang gak tahu malu. Sini biar Nuna Ibu yang jaga.
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 10Aku akhirnya urung mengejar ibuku. Sementara Mas Agas cepat menghampiri kami."Kamu gak apa-apa Rin?" tanyanya dengan wajah yang agak cemas."Gak apa-apa," jawabku kecut."Maaf ya Rin, Mas gak tahu Ibu bakal marah-marah gitu. Tahu gitu Mas gak akan anter Ibu ke sini."Aku hanya diam."Mau Mas anter ke dokter gak? Takutnya kenapa-kenapa sama janin kamu.""Apaan sih gak usah," ketusku."Agaasss! Buruan balik. Ngapain sih kamu masih di sana. Ketularan miskin baru tahu rasa kamu!" teriak Ibuku dari luar pagar.Astagfirullah. Andai bukan ibuku, udah kulakban saja mulutnya itu. Bikin malu."Ya udah kalau gitu Mas permisi ya Rin," pamit Mas Agas kemudian.Aku tetap diam sambil membuang muka. Mas Agas berbalik badan dan baru akan pergi saat ibu mertua kembali memanggilnya."Agas.""Ya, Bu?" sahutnya sambil kembali memutar badan ke arah kami."Bilang sama mertuamu itu, andai besok kami jadi orang kaya, maka haram hukumnya dia menginjakan kaki d
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 11Aku menarik napas berat. Ibu mertua ternyata sengaja bela-belain pindah ke rumah Bu Sabeni supaya bisa nunjukin kehidupanku setelah ibuku hina tadi pagi. Ya ampun, segitu sayangnya ibu mertua padaku."Dan kalau soal bersih-bersih rumah kamu juga gak perlu khawatir, karena nanti akan ada yang bantuin kita di rumah ini," kata Ibu mertua lagi.Keningku mengerut, "hah ada yang bantuin, Bu? Siapa?""Ada pokoknya nanti datang. Dia yang akan jadi ART kita di sini.""ART?""Iya ART, kenapa? Kamu kayak gak percaya gitu."Aku nyengir, "hehe bukan gitu Bu, tapi apa gak salah kita pakai ART?""Nggak. Emangnya kenapa?"Aku menggigit bibir, "bukannya ART itu mahal ya, Bu? Sayang 'kan uangnya.""Halah gak apa-apa, yang penting ada yang bantuin kita," respon mertua santai sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya.Lagi, aku mengigit bibir."Bu, maaf nih ya sebelumnya. Emang sih kalau ada ART itu nanti kita jadi ada yang bantuin, tapi masalahnya, em
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 12 "Maaf Ibu, tapi kami gak punya wewenang memberi diskon, semua harga sudah ditentukan oleh pemilik toko," kata si Mbak penjaga kasir lagi dengan sopannya."Halah, bisa kali diakalin. Nanti bilang aja busuk atau gimana kek. Nih duitnya." Mbak Opi lalu menaruh selembar uang berwarna biru ke atas meja kasir."Loh Bu, tapi ini kurang Bu, totalnya 85 ribu semua belanjaannya. Ibu jangan gitu doang, karena kalau kurang nanti saya yang harus gantiin." Si Mbak kasir mulai panik."Nggak pokoknya saya mau nawar. Kamu bilangin aja deh ke pemilik tokonya. Saya anak temennya gitu. Pasti dikasih kok."Mbak Opi pun menenteng plastik berisi sayur mayurnya dan baru akan keluar saat si Mbak kasir dengan cepat menghadang."Bu, jangan dibawa dulu Bu, lunasi dulu kurangnya, 35 ribu lagi," kekeuhnya."Halah apaan. Cuma brokoli yang udah merah aja masa harganya mahal banget. Udah tuh saya udah bayar. Awas, saya mau balik," paksa Mbak Opi. Tapi sekuat tenaga s
Suami Miskinku di Ruang Nasabah PrioritasPart 13POV OPIHeh, beneran? Beneran itu si Arini naik mobil bagus terus masuk rumah Bu Sabeni? Mau ngapain dia ke sana? Terus itu mobil siapa yang dinaikinya?Setelah bengong beberapa menit sambil terus menatap rumah Bu Sabeni, buru-buru aku masuk lagi ke rumah ibu."Bu!"Ibu yang sedang memijit pelipisnya mengecap bibir sambil merespon malas, "ck apalagi?" Aku cepat duduk di dekatnya."Bu, si Arin ngapain masuk ke rumah Bu Sabeni?"Ibu melirik tanpa bicara, dia tampak masih kesal padaku."Bu, Opi nanya," kataku lagi."Ya nggak tahulah Opi, kamu kira Ibu ngurusin dia?""Tapi Bu, tadi si Arin naik mobil ke rumah Bu Sabeni, katanya itu rumah baru dia."Lagi, ibu mengecap bibir dengan tatapan yang masih kesal padaku."Opi serius, Bu. Ayo Bu, Ibu harus lihat sendiri kalau Ibu gak percaya." Kupaksa ibu bangkit lalu menariknya ke teras."Apa sih kamu Opi! Ngapain sih tarik-tarik Ibu gini? Lepasin," sergah Ibu."Bu, coba Ibu lihat, itu si Arini n