Ameera berdiri di tengah-tengah keramaian. Hiruk-pikuk ruangan yang seharusnya dipenuhi tawa dan kebahagiaan, kini terasa penuh dengan kesesakan. Belum lagi gaun pengantin indah yang dikenakan terasa berat. Namun, tidak sebanding dengan beban yang menghimpit dada-nya. Di tangannya, terdapat sebuah ponsel, di mana baru saja ia menerima pesan singkat yang berhasil mengubah segalanya.
Uknow
|Maaf, Ameera. Saya Brian, Papa Alex. Baru saja, Alex mengalami kecelakaan. Saat dalam perjalanan menuju rumah sakit, dia menghembuskan napas terakhirnya.
Perempuan itu menangkup mulutnya penuh kejut. "Inna lillahi wainna ilaihi raji'un. Alex ...." Ameera kehilangan keseimbangan tubuhnya kalau saja dia tidak dengan cepat berpegangan pada pinggiran meja yang berada di dekatnya.
Ameera merasa separuh dunianya seakan runtuh. Calon suaminya, yang saat ini seharusnya berada di sampingnya, telah terbujur kaku di rumah sakit. Ia mencoba menahan tangis-nya. Namun, tidak mampu. Seketika itu juga, air matanya luruh. Dadanya terasa begitu sesak lantaran kepahitan yang baru saja menimpanya.
"Aku tidak menyangka, kamu akan pergi secepat ini, Alex." Ameera mengusap air matanya pelan. Semua mimpi dan rencana yang telah ia dan calon suaminya rangkai, hancur dalam sekejap.
Alex, lelaki yang akan menjadi pendampingnya seumur hidup, kini telah berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa. Rasa sedih dan menyesakkan bagai ombak yang tak henti-hentinya menerjang pantai hati-nya. Di mana, Ameera harus menerima kenyataan pahit bahwa Alex, cinta sejatinya, kini hanya tinggal nama yang terukir di undangan pernikahan yang belum sempat terlaksana.
Digenggamnya bunga mawar putih yang seharusnya diberikan oleh calon suaminya. Bunga itu nampak layu, tidak seindah saat pertama kali ia memilih-nya. Ameera merasa seperti bunga itu, layu dan hancur.
Berjalan menuju jendela, Ameera memandangi langit yang mendung. Rintik hujan turun dengan lembut, seolah-olah alam turut merasakan dukanya. Masih Ameera ingat saat-saat indah bersama Alex, pertemuan pertama mereka di taman kota, tawa bahagia yang tak terhitung jumlahnya, serta janji-janji yang pernah mereka ucapkan satu sama lain.
Bahkan, matahari yang seharusnya menerangi semesta dengan cerah, bersembunyi malu-malu di sebalik gumpalan awan gelap, seakan enggan menyaksikan hari yang seharusnya bersejarah bagi Ameera. Sebuah kabar yang tiba-tiba itu seperti hujan badai yang menghancurkan segalanya, Alex sang calon suami, telah berpulang ke rahmatullah tepat di hari yang seharusnya menjadi saksi bisu dua hati yang bersatu.
Di tengah keheningan yang menyelimuti, David, kakek Alex, mengambil langkah berat menghampiri Ameera. Di sebelah perempuan itu telah berdiri Sulistyo-Via, orang tua angkat Ameera yang sedang berusaha menghibur keponakan mereka yang sedang bersedih. "Yang sabar, ya, Nduk. Ini ujian untuk kamu," ucap Via seraya mengusap bahu kanan Ameera yang tertutup kain hijab dengan penuh kasih.
"Kami yakin, kamu bisa melewatinya, Ameera," kata Sulistyo menambahi.
Menghela napas berat, David mengernyitkan kening, seakan tengah memikirkan sesuatu. "Karena acara sudah tersusun seperti ini. Aku pikir, kita harus tetap melaksanakan pernikahan. Kami ingin kamu tetap menjadi bagian dari keluarga kami, Ameera." Sontak, ucapan pria senja tersebut, membuat semua yang berada di sana terkesiap.
Ameera menatap David dengan mata berkaca-kaca. Apa maksud calon kakek mertuanya itu? Tetap menikah? Bukankah, Alex sudah tiada? Banyak sekali pertanyaan kenapa dan mengapa yang muncul di dalam hati Ameera.
Namun, belum sempat perempuan itu mengungkapkannya, suara berat lain telah lebih dahulu menyahuti, "Apa-apaan ini, Pa? Melanjutkan? Melanjutkan bagaimana maksudmu?" cecar Brian Septihan pada sang papa.
Tidak menanggapi kebingungan Brian, David menatap keluarga di sekitar-nya dengan seksama. "Aku ingin, Alvan menggantikan Alex dan menikahi Ameera," putus pria paruh senja itu seketika mengejutkan semua orang.
Bak guntur yang menggelegar di siang hari, Ameera merasakan pertempuran emosi berkecamuk. Bagaimana mungkin ia bisa menerima Alvan, sementara bayangan Alex masih begitu kuat menghantui setiap sudut hatinya? Ingin sekali dia berteriak dan menolak keputusan ini. Akan tetapi, Ameera terlalu takut untuk bersuara. Bagimanapun juga, dia hanya-lah seorang gadis biasa yang beruntung bisa menikah dengan keluarga Septihan, keluarga kaya raya, terpandang yang sangat dihormati. Adapun menerima atau tidak, di tengah situasinya saat ini, Ameera tidak memiliki suara untuk memutuskan.
"Aku tidak mau!" tolak seseorang dengan suara lantang.
Menoleh ke arah sumber suara, Ameera terkesima tatkala mendapati seorang pria gagah nan tampan berjalan keluar dari kerumunan. Tampang sosok itu begitu dingin dan keras. Di mana, kedua sorot matanya menghunus dengan sangat tajam, seolah-olah siap menghabisi siapa pun yang berani menghalangi jalannya.
"Dia ... Alvan, Kakak Alex?" pekik Ameera dengan suara tertahan.
David mendesah napas berat. "Kau harus mau, Alvan! Apa kau tidak kasihan melihat keluarga Ameera telah mengeluarkan banyak uang untuk menyiapkan semua ini? Belum lagi, menurut perhitungan Kakek, keluarga kita akan mendapatkan peruntungan. Pokoknya, kamu harus menikah dengan Ameera," pungkas pria senja itu dengan tegas.
Sulistyo dan Via saling berpandangan bingung. Sementara Brian dan yang lain terlihat pasrah dengan apa yang sedang terjadi di tengah-tengah mereka. Semua bukan soal uang, melainkan tentang harga diri. David tidak ingin, mempermalukan keluarga-nya ataupun keluarga Ameera. Mengingat ada cukup banyak tamu undangan yang telah hadir dan turut menyaksikan moment di sana.
"Maaf, Pa. Tapi, kenapa harus tetap menikah? Kita belum membicarakan hal ini dengan Alvan." Bianca mencoba berbicara untuk mewakili putra sulung-nya.
"Papa sudah hitung. Tanggal dan bulan lahir Alvan sama Alex sama. Jadi, ini juga bisa menjadi peruntungan bagi kita semua," papar David yakin.
"Tapi, Pa—"
"Cukup, Bianca. Jangan potong pembicaraanku dengan Alvan. Bagaimana, apa kamu setuju untuk menikah?" tegas David, lalu menatap cucu laki-laki-nya dengan lekat.
Selama ini David dikenal mempercayai ramalan jodoh. Di mana, dalam budaya terutama dalam tradisi masyarakat Jawa, percaya bahwa kecocokan atau nasib kehidupan rumah tangga ditentukan oleh weton kelahiran masing-masing pasangan hidup yang merupakan salah satu primbon yang dianggap penting. Selain mencoba mencocokkan Alex, ia juga sempat mencocokkan peruntungan Alvan, sehingga menikahkan cucunya dengan Ameera bukan-lah suatu masalah.
Sedikit menelengkan kepala-nya ke samping, Alvan menatap kakek-nya datar. "Bagaimana kalau aku menolaknya, Kek?" desis laki-laki itu sedingin mungkin.
"Kau yakin akan menolak, Alvan?" David manggut-manggut kecil. Sementara Brian dan Bianca, saling berpandangan, seolah bertanya-tanya dengan apa yang kelak akan sesepuh di keluarga mereka itu putuskan. "Baiklah, kalau kau menolak, nama-mu akan dicoret dari daftar ahli waris!" tandas pria senja itu telak.
Kedua mata Alvan terbelalak. "Kek! Ini keterlaluan!" Ia tidak terima dengan ancaman sang kakek. Ayolah, selama ini dirinya telah berjuang mati-matian di luar negeri untuk membangun bisnisnya sendiri. Lalu, baru saja dengan mudahnya kakek-nya itu justru mengatakan kendak menghapus-nya dari daftar ahli waris. Yang benar saja!
"Menikah dengan Ameera, atau aku menelpon pengacaraku sekarang juga." David semakin gencar menekan Alvan. Yang mana, sikap pria itu membuat sang empu menggeram penuh kebencian.
"Astaga, apa kau gila, Kek? Mana mungkin aku mau menikahi gadis yang aku sendiri tidak mengenalinya!" sengit Alvan bersungut-sungut. Selain karena Ameera yang bukan tipenya, Alvan sudah memiliki kekasih di luar negeri.
David mengangguk beberapa kali. "Baiklah, kalau kau menikahi Ameera. Aku akan memberikan perusahaan kepadamu." Laksana seekor kucing yang disodorkan ikan segar, tawaran yang David berikan berhasil membuat pertahanan Alvan menjadi goyah.
"Kau tidak sedang main-main dengan ucapan-mu, bukan, Kek?" tanya pria itu dengan kedua mata menyipit penuh menyelidik. Selama ini, Alvan terus mengincar perusahaan keluarga-nya. Menurut-nya, satu-satu-nya orang yang berhak mengendalikan perusahaan tersebut adalah diri-nya. Karena itu, Alvan merasa tergugah ketika David mempertaruhkan satu-satu-nya harta yang paling ia jaga.
"Tentu saja tidak. Selama kau menikah dengan Ameera. Aku menjamin, perusahaan akan berada di bawah kekuasaanmu," terang David dengan santai
Tidak langsung menjawab, Alvan memilih bergeming selama beberapa saat. Sementara di tempatnya, diam-diam Ameera berdo'a dan berharap agar laki-laki itu menolaknya. Namun, nampaknya takdir baik belum berpihak kepadanya, sosok jangkung itu justru mengangguk singkat. "Baiklah. Aku bersedia."
Sontak, jawaban Alvan tersebut membuat Ameera memejamkan matanya pasrah. Entah kenapa, dia merasa tidak yakin dengan keputusan ini. Namun, dalam tradisi dan budaya yang kuat, keputusan David adalah final. Bagaimanapun juga dia hanyalah seorang yatim-piyatu yang berasal dari panti asuhan dan dibesarkan oleh kedua orang tua angkat-nya. Di mana hal tersebut tidak sebanding dengan kuat dan terhormat-nya keluarga Septihan.
Di tempatnya, David nampak tersenyum penuh kepuasan. "Baiklah, kita mulai akad nikahnya sekarang!" putusnya kemudian menyuruh semua orang bersiap-siap untuk segera menyelesaikan pernikahan.
Ameera menatap kembali undangan pernikahan di tangannya. Perasaan sedih dan kecewa mulai menggelayuti relung hatinya. Mau tidak mau, Ameera harus menerima kenyataan bahwa kelak ia akan berjalan menuju singgahsana pelaminan bukan dengan Alex, melainkan dengan Alvan, bayang-bayang yang kini harus ia hadapi sebagai realita hidupnya yang baru. "Semoga ini pilihan terbaik. Pada akhir-nya, takdir bermain dengan penuh kejutan," gumam gadis itu dengan sorot mata sendu.
“Sayangnya,” ucap Abimana dengan suara datar, dingin. Namun, menghantam seperti belati yang menembus dada, “kami datang bukan sekadar untuk memenuhi undangan. Tetapi, untuk membawa pergi pengantin wanita.”Deg!Ruang pesta yang semula gemerlap seketika dicekam sunyi. Sorot lampu gantung berkilau, tetapi tak mampu mengusir bayang keterkejutan yang menyelimuti semua tamu. Bisik-bisik membuncah seperti gelombang kecil di lautan yang tenang. Para tetua saling berpandangan bingung. Sementara Ameera mengerjap dengan kening berkerut.Alvan menyipitkan mata. “Membawa pergi pengantin wanita? Maaf, maksud Anda?” tanyanya, mencoba tetap sopan.Tuan Abimana tergelak. Namun tawanya hanya sejenak, sebelum wajahnya berubah serius. “Anda ingin menikahi wanita itu? Tentu saja Anda harus mendapatkan izin dari kami terlebih dahulu.”Garis-garis halus di kening Alvan semakin dalam. Jantungnya berdegup tak menentu. “Bisa Anda jelaskan, Tuan Abimana? Jangan hanya membuat teka-teki seperti ini?” Seperti bia
Dua bulan setelah kejutan lamaran, sebuah acara megah nan sarat makna digelar di ballroom hotel bintang lima. Ruangan itu disulap menjadi istana cahaya yang anggun, memadukan kemewahan modern dan sentuhan Islami yang menenangkan jiwa. Nuansa putih yang bersih, emas yang megah, dan hijau zamrud yang menyegarkan mendominasi tiap sudut ruangan, menciptakan atmosfer sakral nan agung. Kaligrafi ayat-ayat cinta dari Al-Qur’an menghiasi tirai-tirai tipis yang membingkai dinding, sementara bunga-bunga segar, seperti mawar putih, lili, dan anggrek bulan, ditata dalam balutan harmoni, wangi lembutnya menyatu dengan udara.Namun, ini bukan sekadar pesta pernikahan. Melainkan momen sakral, hari di mana Ameera, wanita bercadar itu, diperkenalkan secara resmi kepada dunia.Ketika pintu utama terbuka perlahan, seisi ruangan seolah berhenti bernapas. Denting musik lembut menyertai langkah seorang wanita yang muncul di ambang pintu, siluetnya memancar dalam temaram cahaya kristal. Gaun syar’i berwarna
“Jay, Santi ... sebenarnya kita sedang menuju ke mana?” Suara Ameera terdengar lirih, nyaris larut dalam langkah-langkah yang menggema pelan di lantai. Sejak awal, dua orang kepercayaan suaminya itu membawanya pergi dalam diam tanpa petunjuk, tanpa alasan. Hanya sunyi yang menjawab, membuat dadanya penuh oleh rasa ingin tahu dan gelisah yang saling bertubrukan.“Tolong bersabar sedikit lagi, Nyonya Muda. Kita hampir sampai,” sahut Jay dari depan. Suaranya terdengar tidak begitu dekat, seolah sedang mengamati situasi.“Hati-hati, Nyonya Muda,” ucap Santi dengan lembut. “Pelan-pelan naik. Kita sudah sampai.”Dengan hati-hati, pelayan wanita itu membimbing Ameera menaiki anak tangga. Tangga itu nyaris tak terlihat, hanya bisa dirasakan oleh telapak kaki Ameera yang beralas sepatu pantofel berwarna abu-abu.Langkah Ameera melambat. Napasnya naik-turun dalam irama tertahan. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, sebuah ketegangan samar yang merayap perlahan, menghadirkan aura misteri di set
Cahaya lampu kamar temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding berwarna gading. Aroma melati dari diffuser berbaur dengan harum kain yang baru saja disetrika. Ameera berdiri di depan cermin, ujung jarinya dengan luwes merapikan kerudungnya yang menjuntai anggun."Santi, tolong ambilkan gamis navy di lemari."Santi yang sejak tadi sibuk menata selimut segera menghampiri lemari kayu jati di sudut kamar. Tangannya meraba lembut kain yang Ameera maksud, lalu mengeluarkannya dengan hati-hati. Gamis itu jatuh dengan anggun, warnanya pekat seperti langit malam tanpa bintang."Ini, Nyonya Muda."Ameera menerimanya dengan senyum tipis. Jari-jarinya meraba tekstur kain yang lembut dan sejuk di kulit. Sembari mengenakann-ya, ia mengikat tali kecil di bagian belakang, memastikan baju itu pas membingkai siluetnya tanpa berlebihan.Santi memperhatikan sejenak. "Anda ada janji, Nyonya Muda?" tanyanya sedikit penasaran."Eum." Ameera mengangguk. "Mas Alvan bilang ada undangan penting yang harus di
Matahari senja menggantung rendah di ufuk barat, menaburkan cahaya keemasan yang menyelimuti taman rumah sakit dengan kilau lembut. Angin berembus sepoi, membawa serta aroma bunga yang tengah bermekaran. Ameera mendorong kursi roda Alvan dengan penuh kelembutan, membiarkan suaminya menikmati udara segar setelah sekian lama terkurung di dalam kamar perawatan.“Maa syaa Allah, pemandangan di sini indah sekali, ya, Mas,” ujar perempuan bercadar itu riang. Matanya bebinar penuh kekaguman, sementara suaranya terdengar seperti alunan angin yang membelai dedaunan.Alvan tak segera menanggapi. Tatapannya terarah padanya, bukan pada hamparan bunga atau pepohonan rindang di sekeliling mereka. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah ada sesuatu yang tengah ia pikirkan.Ameera menghentikan langkah, lalu setengah berlutut di hadapan suaminya dengan dahi berkerut. Tubuhnya merendah seolah ingin menyatu dengan bayangan di tanah. “Kenapa Mas Alvan tersenyum seperti itu? Apa ada yang salah dengan
Ruangan ICU terasa sunyi, hanya suara monitor jantung yang berdetak pelan, menciptakan ritme monoton di antara keheningan. Aroma antiseptik memenuhi udara, bercampur dengan hawa dingin dari pendingin ruangan. Alvan terbaring di atas ranjang dengan berbagai kabel sensor menempel di dadanya. Wajahnya pucat, napasnya masih berat, dan kelopak matanya bergerak samar, seolah sedang berjuang di antara kesadaran dan ketidaksadaran.Di sisi ranjang, Ameera duduk dengan jemari menggenggam tangan Alvan yang terasa dingin. “Mas Alvan ….” Ia mengeratkan genggaman tangan-nya, seolah takut kehilangan. “Kapan Mas bangun?” Matanya berkaca-kaca mengamati wajah suaminya yang masih lemah. Setelah sempat mengalami guncangan hebat, akhirya kondisi suaminya kembali stabil. Meski begitu, tidak serta merta mengurangi perasaan khawatir dan cemas di dada Ameera.Sementara itu, di tempatnya, Alvan merasakan sensasi berat yang menekan sekujur tubuh, seolaah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan. Perlahan