Rintik gerimis membasahi bumi pertiwi. Di bawah nungan langit malam yang memayungi alam semesta, terlihat lautan manusia yang datang berbondong-bondong memasuki pemakaman guna mengiringi peristirahatan terakhir Alexander Septihan. Siang tadi, kabar duka datang menimpa keluarga besar David Septihan. Pria berusia sekitar 24 tahun yang seharusnya menikah pada hari ini dan akan memulai hidup bahagia bersama dengan wanita yang dicintainya, kini telah pergi untuk selama-lamanya menuju kepangkuan Yang Maha Kuasa.
Banyak yang merasa sedih atas kepergian Alex. Kematian, tidak ada yang tahu kapan ia akan datang menjemput. Kehadiran-nya tiba-tiba tanpa bisa dicegah, kemunculan-nya pun menjadi rahasia di antara ribuan nyawa manusia. Bisa jadi, sekarang kita merasa sehat dan baik-baik saja. Namun, siapa yang tahu satu-dua detik kedepan, raga telah meregang nyawa menyusul mereka yang terlebih dahulu telah pergi.
Sampai pada beberapa saat kemudian, serangkaian proses pemakaman telah selesai dilaksanakan. Satu-persatu dari orang-orang yang ikut mengantar ke pemakanan, mulai berpamitan untuk pulang. Termasuk hal-nya dengan keluarga besar Septihan, Sulistyo dan juga Via.
Duka menyelimuti setiap hati yang ditinggalkan. Bahkan, Bianca, istri Brian dua kali jatuh pingsan sejak kabar duka sampai kepada keluarga mereka. Putra bungsu yang sangat dicintai-nya telah tiada dan pergi untuk selama-lama-nya.
“Aku tidak menyangka, kau akan pergi secepat ini, Alex. Kakek harap, kau tenang di sana,” ucap David dengan sorot mata sendu.
“Dia pergi dengan harapan yang besar. Semoga kau bahagia, Son.” Brian ikut berujar.
Bianca yang berada di antara David dan Brian mengusap air mata-nya yang terus menetes. “Oh, Alex. Kenapa kamu pergi lebih dulu, Nak? Bukankah kamu sudah berjanji untuk selalu menemani Mama?” tutur Bianca, melahirkan tangisan pilu.
“Tidak ada guna-nya berlarut-larut dalam kesedihan. Kita harus ikhlas,” pungkas David terdengar bijak.
Sedikit bergeser ke samping, Brian yang mengerti dengan maksud dari perkataan sang papa pun segera menenangkan Bianca. “Sudah, Ma. Biarkan Alex tenang di sana. Sekarang sebaik-nya kita pulang. Hujan juga semakin deras, eh?” ajak pria paruh baya itu kepada sang istri.
Melirik sekilas ke arah makam baru yang berada di hadapan-nya, Bianca yang lunglai memilih mengangguk patuh. “Iya, Pa.” Dengan hati yang berat pasangan paruh baya itu pun mulai beranjak pergi keluar arena pemakaman, menyusul para pentakziyah yang lain.
.
.
Semua orang telah pergi meninggalkan pemakaman. Brian, Bianca, David, serta para pentakziyah telah berjalan menuju pintu keluar. Sementara di tempat-nya, Ameera masih mematung dengan pandangan yang tidak luput sedetik pun dari gundukkan tanah bertabur bunga yang baru beberapa saat lalu ditimbunkan.
Gemuruh guntur terdengar saling bersahutan. Perlahan, rintik gerimis jatuh membasahi bumi pertiwi. Meski begitu, sosok bercadar yang berdiri tepat di depan makam Alex masih tidak juga beranjak, hingga membuat ayah dan ibu-nya merasa khawatir.
“Ameera, ayo kita pulang, Nak. Semua orang sudah pergi.” Tiga langkah di belakang Ameera, Via mencoba mengajak putri-nya itu untuk pulang bersama mereka.
Perempuan dalam balutan baju syar’i itu menggeleng pelan. “Ameera masih mau di sini dulu, Bu. Sebentar lagi. Ameera mau pamitan sama mas Alex.” Sejak mereka memutuskan untuk menikah, Ameera sudah mulai membiasakan diri memanggil Alex dengan sebutan mas seperti saat ini.
“Ya sudah. Kalau begitu, Ayah sama Ibu tunggu di depan sana, ya,” putus Sulistyo menghargai keinginan putri mereka yang meminta waktu sendiri.
“Jangan lama-lama, ya, Nduk. Hujan ini, nanti kamu sakit,” pesan Via lemah-lembut.
Ameera mengangguk kecil hingga nyaris tidak terlihat di gelap-nya malam. “Iya Ayah, Ibu. In syaa Allah, setelah ini Ameera langsung nyusul,” balasnya dengan suara parau.
Setelah suasana di sekitar pemakaman sepi, Ameera duduk seorang diri di sebelah makam Alex. Sementara itu tidak jauh dari tempat perempuan itu berada, Sulistyo dan Via yang belum benar-benar pergi turut memperhatikan gerak-gerik putri mereka. Kedua-nya hanya bisa menghela napas pasrah, dan berharap badai ini akan segera berlalu.
Pasangan paruh baya itu bisa memaklumi dan turut merasakan kehilangan yang Ameera rasakan. Meskipun telah ditinggal oleh calon suami sekaligus laki-laki yang diam-diam dicintainya, Ameera tidak meratap atau menangis tersedu-sedu. Perempuan itu, nampak tegar seolah-olah telah mengikhlaskan semuanya dan menerima apa yang ditakdirnya untuknya hingga membuat Sulistyo dan Via terkagum.
“Aku tahu, tidak pantas rasanya aku menangisi kamu, Mas Alex. Saat ini, kita masih belum menjadi pasangan yang sah. Aku cuman mau ngucapin terima kasih karena kamu sempat memberikan impian indah untuk-ku. Semoga segala urusan Mas dipermudah,” ucap Ameera dengan tulus.
Sekalipun dia berusaha terlihat tegar. Namun, percaya-lah, jika jauh di dalam hati-nya, Ameera tengah begitu tidak berdaya. Manusiawi untuk merasa sedih dan terpukul. Hanya saja, Ameera mencoba agar tidak terlalu berlarut. Bagaimanapun juga, semua adalah kehendak yang di atas. Sehungga, sekuat apa pun kita para manusia mencoba menyusun rencana, kalau Allah belum berkehendak, maka tidak ada arti-nya.
Di antara keheningan yang tercipta, tanpa disadari seseorang berjalan menghampiri Ameera dan berhenti tepat di belakang-nya. “Mau sampai kapan kamu duduk di situ?” Suara berat yang mengalun, berhasil menyentak sang empunya nama.
Menoleh ke arah sumber suara dan mendongakkan kepalanya sedikit ke atas, perempuan bercadar di bawah sana terbelalak tatkala mendapati siapa sosok jangkung yang berdiri di belakang dan tengah menatapnya dengan ekspresi wajah sedingin mungkin. “M-mas Alvan?” gumam Ameera dengan suara tercekat. Ada terkejut sekaligus gugup yang mendera hati-nya melihat kehadiran Alvan di sana.
Sembari memasukkan sebelah tangan ke dalam saku celana, Alvan berdecak gerah. “Ck, benar-benar menyebalkan!” umpat-nya dengan suara rendah. Dia tidak menyukai respon Ameera yang menurut-nya sangat lamban itu.
Di tempat-nya, Ameera mengerjap polos. “Mas Alvan bilang apa?” beo perempuan itu, bingung. Pasal-nya gumaman Alvan terlalu rendah hingga nyaris tidak terdengar.
Bukan-nya menjawab, sosok jangkung itu justru mendengkus kasar. “Astaga, selain menyebalkan, ternyata dia juga bodoh!” Berjalan satu langkah ke depan sosok jangkung itu menatap Ameera dengan raut wajah tanpa ekspresi. Angin malam yang berhembus menjadi saksi bisu dari rahasia dua hati yang bersatu.
Lalu, dalam sekejap mata Alvan sudah mengangkat tubuh Ameera. Tak pelak, hal tersebur membuat sang empu terkejut. “Mas Alvan? Apa yang Mas lakukan? Turunkan aku, Mas!” pekik Ameera seraya berusaha turun dari gendongan Alvan.
Meskipun mereka telah sah sebagai pasangan suami-istri. Namun, Ameera masih belum terbiasa berinteraksi langsung dengan Alvan seperti ini. Belum lagi, laki-laki itu selalu bersikap dingin sejak pertama kali mereka bertemu. Lalu, baru saja secara tiba-tiba dia mengangkat tubuh Ameera dan membuat perempuan itu terkejut sekaligus gugup.
“Hujan semakin deras. Aku enggak mau Papa dan Kakek marah cuman karena kelakuan kekanak-kanakan kamu itu,” cetus Alvan menohok.
Mengerti dengan kekhawatiran sang suami, Ameera menundukkan kepalanya dalam-dalam, menyesal. “M-maaf.” Ia memberingsut kemudian menyembunyikan wajahnya pada dada bidang Alvan.
Menghela napas berat, Alvan mulai melangkah pergi menuju pintu keluar dengan Ameera yang berada di dalam gendongannya. “Pegang erat-erat. Kalau jatuh, aku itu di luar tanggung jawabku!” peringat laki-laki itu kemudian mempercepat laju langkahnya.
Tidak berani menentang, Ameera segera mengalungkan kedua lengannya pada leher jenjang Alvan. Rintikan hujan yang masih setia turun, kini berubah menjadi deraian yang cukup deras. Di sela-sela langkahnya, Alvan merundukkan sedikit tengkuk-nya ke bawah guna melindungi wajah Ameera agar tidak terkena air hujan. Namun, sepersekian detik kemudian, Alvan tersadar dengan perbuatan bodoh-nya, segera menegakkan leher-nya dan membiarkan rintikan hujan membasahi wajah Ameera yang tertutup kain cadar.
‘Shit! Untuk apa aku peduli padanya?’
***
Di luar pemakaman, David dan yang lain tengah menunggu di mobil. Sudah lebih dari lima belas menit, Alvan dan Ameera masih belum kunjung keluar juga. Padahal, hujan yang turun sudah semakin deras.
“Di mana mereka? Bukankah Alvan bilang, dia akan menjemput Ameera?” kata David diiringi batuk-batuk kecil. Tubuh senja-nya, sedikit rentan dengan hawa dingin yang menusuk.
Sampai pada beberapa saat kemudian, Brian tersenyum begitu melihat Alvan yang baru saja keluar pemakaman sembari menggendong Ameera. “Hey, Alvan. Ada apa dengan Ameera? Kenapa kamu menggendongnya seperti itu?”
Sontak, pertanyaan Brian tersebut berhasil menarik perhatian banyak pasang mata. Termasuk dengan, Sulistyo dan Via yang juga berada di sana, turut menoleh dan memperhatikan pasangan muda yang tengah berjalan ke arah mereka. ‘Ada apa dengan Ameera? Kenapa Alvan menggendongnya?’ Via dan Sulistyo beryanya-tanya dalam hati.
Alih-alih langsung menjawab, Alvan memilih mengitari mobil miliknya yang terparkir tepat di depan mobil sang papa kemudian mendudukkan Ameera di kursi samping kemudi. “Mulai malam ini, dia akan tinggal bersaamaku,” putus laki-laki itu seketika membuat Ameera dan semua yang mendengarnya terkesiap.
David mengangkat satu alisnya ke atas. Sementara Via dan Sulistiyo yang juga masih berada di sana saling berpandangan bingung, begitu juga dengan Brian dan Bianca, yang juga tidak bisa langsung menyimpulkan keputusan putra mereka.
“Kau yakin dengan keputusanmu itu, Son?” tanya Brian memastikan.
“Hm.”
“Lalu, bagaimana dengan Ameera. Apa kau sudah membicarakan hal ini dengan istrimu?”
Untuk sesaat, Alvan bergeming. Diliriknya perempuan bercadar yang sudah duduk di dalam mobil dengan pandangan tak yakin. Namun, beberapa detik kemudian Alvan yang sempat ragu mengangguk singkat. “Hm.” Lagi-lagi, sosok jangkung itu hanya berdeham.
“Itu ....” Ameera hendak menyela. Namun, perempuan itu segera mengatupkan kedua bibir-nya tatkala mendapati, Alvan yang tengah menatapnya dengan penuh intimidasi.
“Pernikahan sudah terjadi. Aku mau, dia ikut denganku. Bukankah begitu seharus-nya? Pasangan yang sudah menikah tinggal bersama,” tandas Alvan penuh arti. Sementara pandangan-nya tidak lepas menatap Ameera. Seolah-olah, sorot mata tajam itu hendak menguliti perempuan lemah di dalam mobil hidup-hidup.
Sulistyo berpandangan dengan sang istri sebelum kemudian manggut-manggut kecil. “Baiklah. Kami menghargai keputusanmu, nak Alvan. Hanya saja ....” Pria paruh baya itu nampak ragu untuk melanjutkan kalimat-nya.
Seakan paham dengan apa yang dikhawatirkan oleh Sulistyo, Alvan tersenyum tipis. “Ayah tenang saja, Ameera sudah setuju dengan keputusan ini. Kami memang berniat untuk tinggal bersama,” tukas Alvan sembari memberi isyarat kepada Ameera agar tidak bertindak gegabah dan membuat diri-nya marah.
Meneguk salivanya susah payah, Ameera yang tidak memiliki pilihan pun mengangguk kecil. “I-iya, Ayah. Mas Alvan benar. Kami memang berniat tinggal bersama.” Akhir-nya, mau tidak mau Ameera hanya bisa pasrah dan menyetujui keputusan tinggal bersama dengan keluarga suami-nya.
Via menghela napas lega mendengar keputusan putri mereka. “Kalau memang seperti itu, Ayah dan Ibu cuma bisa mendukung keputusan kalian.” Sebagai seorang ibu, Via hanya bisa mendukung kebahagiaan putri-nya.
“Terima kasih atas kelapangan-nya, Ayah, Ibu. Kalau begitu, saya dan Ameera permisi dulu.” Setelah membungkuk sekilas, Alvan pun segera masuk ke dalam mobil dan mulai membawa kendaraan beroda empat itu melaju meninggalkan pemakaman dengan kecepatan rata-rata.
“Kenapa Ibu merasa khawatir ya, Pak?”
“Tenang, Bu. Semua ini sudah keputusan mereka. Kita do’akan saja yang terbaik untuk Ameera.” Sulistyo mencoba menenangkan sang istri.
Menghela napas panjang, Brian keluar dari dalam mobil dan menghampiri pasangan paruh baya yang kini telah menjadi keluarga-nya itu. “Kalian berdua tenang saja. Ameera pasti akan baik-baik saja. Alvan, dia memang kelihatan dingin dan keras. Tetapi, dia cukup sensitif. Ameera pasti bisa mengetuk dinding di hati-nya,” ujar Brian, meyakinkan.
Meski masih dirundung keraguan, Sulistyo dan Via mencoba mempercayai Brian. Terlebih lagi, saat ini David tengah memandangi mereka dari dalam mobil. Sehingga, Sulistyo dan Via tidak bisa leluasan dalam bertindak, atau mereka akan mendapat masalah bila membuat keluarga Septihan tersinggung.
***
Sebuah mobil berjalan cepat membelah jalanan malam. Rintik hujan mulai mereda, menyisakan genangan air di celah aspal basah berwarna hitam. Di sepanjang perjalanan, Ameera terus memperhatikan pemandangan di luar jendela.
Sembari menggenggam seat belt yang melingkar di tubuhnya yang ramping, sesekali perempuan itu melirik ke samping tempat di mana Alvan berada, dan memperhatikan-nya dengan lekat. ‘Jadi, seperti ini rupa suamiku kalau dilihat dari dekat,’ gumam Ameera dalam hati.
Sosok jangkung yang sedang mengemudi itu terlihat begitu tenang dalam diam. Pandangannya fokus menatap jalanan di depan sana. Seolah-olah bidikan di penghujung jalan akan melesat jika ia menggeser mutiara pekat milik-nya barang sekejap saja.
“Bicara saja. Aku tau, sejak tadi kamu hendak mengatakan sesuatu sampai terus menatap-ku seperti itu,” pungkas Alvan tiba-tiba, menyentak Ameera.
Berdeham pelan, perempuan bercadar itu cukup terkejut dengan kepekaan Alvan. Juga tentang laki-laki itu yang bisa membaca apa yang berada di dalam pikirannya. ‘Dari mana Mas Alvan tahu kalau ada sesuatu yang mau aku katakan?’ batin Ameera bertanya-tanya.
“Sebelum aku ikut Mas, apa aku boleh pulang dulu ke rumah Ayah dan Ibu? Aku harus ambil barang-barangku dulu di sana.” Takut-takut, Ameera membeberkan apa yang sedari tadi mengganggu pikirannya.
Melirik sekilas ke arah Ameera dan kembali memperhatikan jalan, Alvan menggeleng singkat. “Tidak perlu. Aku sudah menyuruh seseorang untuk mengambil semua barang-barang milik-mu dan membawanya ke mansion,” jawab-nya tidak bersahabat.
“Tapi ....” Kata-kata Ameera menggantung beberapa saat. “Ada sesuatu yang harus aku ambil. Aku khawatir, Ayah dan Ibu enggak akan tahu di mana aku meletakkan-nya.”
“Ck, menyebalkan sekali!” decak Alvan tanpa mempedulikan keinginan Ameera.
“Mas?” panggil Ameera dengan suara lembut,
“Kamu tidak dengar? Kita ke mansion. Kalau ada yang mau kamu ambil, bicara saja dengan Palve. Dia yang akan membawakan-nya untukmu!” cetus Alvan paten.
Tidak berani membantah, Ameera pun memilih mengalah dan menutup mulut-nya rapat-rapat. Kembali, dia menyandarkan punggung-nya pada sandaran kursi serta menahan diri atas apa yang ia inginkan. Sementara itu, di tempat-nya, Alvan hanya menghela napas melihat Ameera yang tertunduk lesu. Sebenar-nya, apa yang perempuan itu sembunyikan dari-nya? Mengapa dia tidak mau memberitahu apa yang hendak diambil-nya? Entahlah, Alvan memilih tidak menghiraukan dan kembali fokus mengemudi.
***
“Mas Alvan mau ke mana lagi?” Ameera bertanya pada Alvan. Sosok jangkung yang berdiri beberapa langkah di hadapan-nya itu nampak terburu-buru seperti hendak pergi, padahal mereka baru saja sampai di mansion keluarga Septihan.
Melirik sekilas ke arah Ameera, Alvan mengambil jas baru dari dalam mobil kemudian segera memakai-nya. “Ke mana aku pergi, itu enggak ada urusan-nya sama kamu!” Sembari mengancing jas hitam yang dikenakan, laki-laki itu membalas dengan ketus.
“Tapi, Mas ... ini sudah malam.” Ragu-ragu, Ameera mengingatkan. Selain karena sudah malam, mereka baru saja menikah. Apa yang orang-orang katakana jika mereka mengetahui tentang pasangan baru yang langsung berpisah dengan melewatkan malam pertama mereka?
Gerakan mengancing Alvan berhenti. Membalikkan tubuh-nya, ia menatap Ameera dengan sinis. Tentu saja, dia tidak suka dengan ucapan perempuan itu yang dianggap terlalu berlebihan. “Aku paling membenci wanita cerewet dan suka ikut campur!”
Meneguk saliva-nya berat, Ameera merasa termpar oleh kata-kata Alvan. Meski begitu, ia berusaha mengenyahkan rasa takut-nya dan mencoba bersikap tenang seperti biasa. “M-mas pulang jam berapa?” Berdeham pelan, Ameera berjalan menghampiri sang suami. “Biar aku bisa nyambut Mas ....”
“Susah sekali dibilangin! Aku tidak suka kamu ikut campur urusanku. Kenapa kamu tidak mengerti juga?!” tandas Alvan dengan berang.
Tersentak, Ameera segera menunduk dalam. “M-maaf, Mas. Aku enggak bermaksud ikut campur urusan Mas Alvan,” cicit perempuan itu menyesal.
“Huuh, dasar perempuan menyebalkan!” kesal Alvan gerah, “ngapain kamu berdiri terus di situ? Minggir!”
“Iya, Mas.”
Tidak sabar menunggu Ameera beranjak, Alvan segera menerobos dan mendorong-nya hingga membuat perempuan itu mundur beberapa langkah ke belakang. Sesampai-nya di depan mobil, Alvan menghentikan langkah jenjang-nya, dan menoleh sedikit ke belakang. “Sebaiknya, kamu tidak perlu menungguku kembali. Atau kamu akan berakhir kecewa,” tukas sosok jangkung itu lalu masuk ke dalam mobil.
Mengerjapkan mata-nya beberapa kali, Ameera merasa bingung dengan maksud dari ucapan Alvan. Tidak perlu menunggu-nya? Apakah suami-nya itu berniat tidak akan kembali mala mini?
Namun, selagi bertanya-tanya dalam hati, suara klakson berhasil menyentak lamunan Ameera. “Tin!” Kendaraan beroda empat yang dinaiki suami-nya itu mulai melaju pergi meninggalkan Ameera yang masih termangu seorang diri di teras mansion yang luas.
“Apa maksud Mas Alvan? Kenapa dia bicara seperti itu?”
“Sayangnya,” ucap Abimana dengan suara datar, dingin. Namun, menghantam seperti belati yang menembus dada, “kami datang bukan sekadar untuk memenuhi undangan. Tetapi, untuk membawa pergi pengantin wanita.”Deg!Ruang pesta yang semula gemerlap seketika dicekam sunyi. Sorot lampu gantung berkilau, tetapi tak mampu mengusir bayang keterkejutan yang menyelimuti semua tamu. Bisik-bisik membuncah seperti gelombang kecil di lautan yang tenang. Para tetua saling berpandangan bingung. Sementara Ameera mengerjap dengan kening berkerut.Alvan menyipitkan mata. “Membawa pergi pengantin wanita? Maaf, maksud Anda?” tanyanya, mencoba tetap sopan.Tuan Abimana tergelak. Namun tawanya hanya sejenak, sebelum wajahnya berubah serius. “Anda ingin menikahi wanita itu? Tentu saja Anda harus mendapatkan izin dari kami terlebih dahulu.”Garis-garis halus di kening Alvan semakin dalam. Jantungnya berdegup tak menentu. “Bisa Anda jelaskan, Tuan Abimana? Jangan hanya membuat teka-teki seperti ini?” Seperti bia
Dua bulan setelah kejutan lamaran, sebuah acara megah nan sarat makna digelar di ballroom hotel bintang lima. Ruangan itu disulap menjadi istana cahaya yang anggun, memadukan kemewahan modern dan sentuhan Islami yang menenangkan jiwa. Nuansa putih yang bersih, emas yang megah, dan hijau zamrud yang menyegarkan mendominasi tiap sudut ruangan, menciptakan atmosfer sakral nan agung. Kaligrafi ayat-ayat cinta dari Al-Qur’an menghiasi tirai-tirai tipis yang membingkai dinding, sementara bunga-bunga segar, seperti mawar putih, lili, dan anggrek bulan, ditata dalam balutan harmoni, wangi lembutnya menyatu dengan udara.Namun, ini bukan sekadar pesta pernikahan. Melainkan momen sakral, hari di mana Ameera, wanita bercadar itu, diperkenalkan secara resmi kepada dunia.Ketika pintu utama terbuka perlahan, seisi ruangan seolah berhenti bernapas. Denting musik lembut menyertai langkah seorang wanita yang muncul di ambang pintu, siluetnya memancar dalam temaram cahaya kristal. Gaun syar’i berwarna
“Jay, Santi ... sebenarnya kita sedang menuju ke mana?” Suara Ameera terdengar lirih, nyaris larut dalam langkah-langkah yang menggema pelan di lantai. Sejak awal, dua orang kepercayaan suaminya itu membawanya pergi dalam diam tanpa petunjuk, tanpa alasan. Hanya sunyi yang menjawab, membuat dadanya penuh oleh rasa ingin tahu dan gelisah yang saling bertubrukan.“Tolong bersabar sedikit lagi, Nyonya Muda. Kita hampir sampai,” sahut Jay dari depan. Suaranya terdengar tidak begitu dekat, seolah sedang mengamati situasi.“Hati-hati, Nyonya Muda,” ucap Santi dengan lembut. “Pelan-pelan naik. Kita sudah sampai.”Dengan hati-hati, pelayan wanita itu membimbing Ameera menaiki anak tangga. Tangga itu nyaris tak terlihat, hanya bisa dirasakan oleh telapak kaki Ameera yang beralas sepatu pantofel berwarna abu-abu.Langkah Ameera melambat. Napasnya naik-turun dalam irama tertahan. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan, sebuah ketegangan samar yang merayap perlahan, menghadirkan aura misteri di set
Cahaya lampu kamar temaram, menciptakan bayangan lembut di dinding berwarna gading. Aroma melati dari diffuser berbaur dengan harum kain yang baru saja disetrika. Ameera berdiri di depan cermin, ujung jarinya dengan luwes merapikan kerudungnya yang menjuntai anggun."Santi, tolong ambilkan gamis navy di lemari."Santi yang sejak tadi sibuk menata selimut segera menghampiri lemari kayu jati di sudut kamar. Tangannya meraba lembut kain yang Ameera maksud, lalu mengeluarkannya dengan hati-hati. Gamis itu jatuh dengan anggun, warnanya pekat seperti langit malam tanpa bintang."Ini, Nyonya Muda."Ameera menerimanya dengan senyum tipis. Jari-jarinya meraba tekstur kain yang lembut dan sejuk di kulit. Sembari mengenakann-ya, ia mengikat tali kecil di bagian belakang, memastikan baju itu pas membingkai siluetnya tanpa berlebihan.Santi memperhatikan sejenak. "Anda ada janji, Nyonya Muda?" tanyanya sedikit penasaran."Eum." Ameera mengangguk. "Mas Alvan bilang ada undangan penting yang harus di
Matahari senja menggantung rendah di ufuk barat, menaburkan cahaya keemasan yang menyelimuti taman rumah sakit dengan kilau lembut. Angin berembus sepoi, membawa serta aroma bunga yang tengah bermekaran. Ameera mendorong kursi roda Alvan dengan penuh kelembutan, membiarkan suaminya menikmati udara segar setelah sekian lama terkurung di dalam kamar perawatan.“Maa syaa Allah, pemandangan di sini indah sekali, ya, Mas,” ujar perempuan bercadar itu riang. Matanya bebinar penuh kekaguman, sementara suaranya terdengar seperti alunan angin yang membelai dedaunan.Alvan tak segera menanggapi. Tatapannya terarah padanya, bukan pada hamparan bunga atau pepohonan rindang di sekeliling mereka. Senyum tipis tersungging di bibirnya, seolah ada sesuatu yang tengah ia pikirkan.Ameera menghentikan langkah, lalu setengah berlutut di hadapan suaminya dengan dahi berkerut. Tubuhnya merendah seolah ingin menyatu dengan bayangan di tanah. “Kenapa Mas Alvan tersenyum seperti itu? Apa ada yang salah dengan
Ruangan ICU terasa sunyi, hanya suara monitor jantung yang berdetak pelan, menciptakan ritme monoton di antara keheningan. Aroma antiseptik memenuhi udara, bercampur dengan hawa dingin dari pendingin ruangan. Alvan terbaring di atas ranjang dengan berbagai kabel sensor menempel di dadanya. Wajahnya pucat, napasnya masih berat, dan kelopak matanya bergerak samar, seolah sedang berjuang di antara kesadaran dan ketidaksadaran.Di sisi ranjang, Ameera duduk dengan jemari menggenggam tangan Alvan yang terasa dingin. “Mas Alvan ….” Ia mengeratkan genggaman tangan-nya, seolah takut kehilangan. “Kapan Mas bangun?” Matanya berkaca-kaca mengamati wajah suaminya yang masih lemah. Setelah sempat mengalami guncangan hebat, akhirya kondisi suaminya kembali stabil. Meski begitu, tidak serta merta mengurangi perasaan khawatir dan cemas di dada Ameera.Sementara itu, di tempatnya, Alvan merasakan sensasi berat yang menekan sekujur tubuh, seolaah ada sesuatu yang menariknya ke dalam kegelapan. Perlahan