71Hari kedua ayahnya di rumah sakit, Mentari seperti biasa duduk di kursi susun empat tak jauh dari ruang ICU. Sejauh ini ayahnya belum ada perkembangan. Masih berbaring seolah tertidur. Padahal secara berkala ia meminta izin untuk masuk sekadar mengajak bicara sang ayah. Berharap pria cinta pertamanya itu segera bangun dan bicara lagi dengannya.Waktu demi waktu menunggu di rumah sakit ia habiskan seperti biasa dengan menguprek ponsel menggores pena. Merangkai kata-kata menjadi untaian kalimat bermakna hasil imajinasi yang akhirnya menjelma menjadi sebuah karya yang selalu dinikmati dan ditunggu pembacanya.Saat konidisi hati dan otak sedang melow seperti ini, ternyata lebih mudah menghayati penokohan yang ia ciptakan sendiri. Terasa lebih masuk hingga ceritanya semakin hidup. Pundi-pundi rupiah yang ia dapatkan dari tulisannya pun semakin banyak. Tabungannya semakin gendut, hingga ia yakin hidup sendiri pun tak akan membuatnya kesulitan.Bukankah ia harus mempersiapkan semuanya? Ka
71“Lihat apa yang dilakukan Mentari, Pa. Ia bahkan tidak mengenal tempat, rumah sakit pun dipakai untuk berselingkuh.” Telunjuk Novita mengerah wajah Mentari yang memucat. Wanita itu tampak berapi-api.“Lihat, Bas. Setelah tidak berhasil merebutmu dariku, ia kini mencari korban lainnya. Atau memang ia mencari korban beberapa pria dalam sekali waktu.” Novita makin menggila. Mulutnya terus menghamburkan kata-kata yang menyudutkan Mentari.Benny, Bastian dan Esther yang datang bersama-sama menyusul Novita, berdiri mematung memindai wajah pucat Mentari dan laki-laki di sampingnya yang kini ikut berdiri. Mata ketiganya hampir tak berkedip memancarkan tatapan penuh selidik dan penuh penilaian.Sementra Mentari hanya bisa terpaku menatap satu per satu keluarga Hanggara yang tengah menilainya bagai seorang maling yang tertangkap basah.Novita beralih ke dekat ibu mertuanya dengan raut penuh kemenangan.“Ma, lihatlah perbuatan menantu kesayangan Nenek itu. Di depan Nenek saja ia terlihat lugu
72Samudra menelan ludahnya sebelum duduk di hadapan wanita sepuh yang sejak kedatangannya memasang wajah tidak bersahabat. Bahkan saat menerima uluran tangannya tadi, sang ibu hanya mengembus napasnya.Pria itu melirik ke arah asisten sang ibu yang berdiri di dekat dinding. Sang ibu yang mengerti jika anaknya tidak nyaman karena di sana ada orang lain, meminta asistennya keluar dengan isyarat mata.Keheningan menyelimuti mereka sepeninggal asisten. Baik Samudra maupun ibunya belum ada yang memulai percakapan.Samudra tahu jika cepat atau lambat sang ibu akan memanggilnya ke sana. Sebenarnya, sang ibu ingin Mentari juga ikut datang, tetapi wanita itu berkeras tetap bertahan di rumah sakit. Mentari memintanya menyampaikan maaf. Dan bersiap menerima keputusan apa pun yang akan diberikan keluarga Hanggara setelah ini.Samudra tidak bisa memaksa. Ia terpaksa datang sendiri. Secepat ini keluarga kakaknya menyampaikan berita kepada ibunya.“Mentari tidak ikut?” tanya sang ibu setelah bebera
73 “Apa yang kamu lakukan di sini?” pekik Samudra setelah sebelumnya melirik ke arah rumah tiga lantai yang tampak sepi terlihat dari depan. Lucy melepaskan tangannya yang dicekal Samudra. Wajahnya memerah, dan bibirnya cemberut. “Seharusnya aku yang bertanya, apa yang kamu lakukan, Sam. Kau menyakitiku.” Lucy balas memekik di depan wajah Samudra. Wanita itu mengacungkan pergelangan tangannya yang merah. Tadi, Samudra langsung menarik tangannya dan membawanya ke samping bangunan pos yang tersembunyi jika dilihat dari halaman rumah besar itu. “Maaf Lucy, tapi perbuatan kamu sudah di luar batas.” Samudra mendesis. “Untuk apa kamu datang ke sini? dan mengaku sebagai kekasihku segala?” “Habisnya kamu bohong, Sam.” Lucy semakin cemberut. “Kamu bilang akan selalu mengunjungiku, tapi sejak kemarin kamu tidak datang. Teleponku tidak diangkat, pesan tidak balas. Aku juga sudah ke apartemenmu, tapi di sana tidak ada—” “Apa? Kamu ke apartemenku?” Kedua bola mata Samudra melebar nyaris kelu
74“Lucy, mengertilah. Apa yang terjadi di antara kita, itu dulu. Semua sudah berakhir.” Suara Samudra melunak. Ia sangat mengerti karakter wanita itu. Semakim keras ia bicara, semakin keras juga pemberotakan wanita itu.“Semua sudah berakhir saat kamu pergi, Lucy,” lanjut Samudra.“Tidak!” Wanita itu membantah cepat. “Tidak ada yang berakhir, Sam. Tidak ada kata putus di antara kita. Dan kamu berjanji menungguku kembali.”“Itu dulu. Janji itu batal dengan sendirinya saat aku tahu kalau kamu sudah pernah menikah, Lucy.”“Apa?” Lucy memekik. Kedua bola matanya seakan ingin loncat dari rongganya. Mulutnya terbuka lebar. Tubuhnya mematung bak batu.Sementara Samudra menanggapi dengan santai reaksi Lucy yang kentara sangat kaget.“Jangan tanya aku tahu dari mana berita itu. Kamu model internasional, Lucy, tidak sulit mencari tahu beritamu.” Samudra tersenyum tipis.“Kamu juga pasti tahu pasti aku orang seperti apa, Lu. Jadi, mulai sekarang, ayo kita bekerja sama agar tidak saling merugika
75Samudra menarik selimut dan menutupi tubuh yang meringkuk di sofa dengan kain tebal itu hingga hanya menyisakan kepala yang kini matanya terpejam. Ia sendiri duduk di tepi sofa yang lain. Ditatapnya nanar wajah lelah yang masih menyisakan sisa isak itu.Tadi, Lucy mendadak histeris saat ia hendak pergi. Menangis menjerit-jerit seraya melemparkan barang apa pun di dekatnya ke arah Samudra, hingga terpaksa ia mengurungkan niatnya dan bertahan di sana. Setelah beberapa lama dibujuk, akhirnya wanita itu tenang juga dan kini tertidur di sofa karena kelelahan.Samudra memejam dan mengusap wajahnya berkali-kali. Rasanya seperti baru saja terbebas dari kejaran binatang buas. Padahal hanya menenangkan wanita histeris yan kalaf. Ternyata, setelah belasan tahun berlalu, Lucy belum sepenuhnya pulih. Bahkan ia yakin jika penyakit wanita itu semakin memburuk. Buktinya barusan histeris sampai di luar batas.“Bukahkah kamu bilang sudah menemui dokter dan psikiater selama di luar negeri sana? Kenap
76Dengan rambut dalam jambakan Lucy, tubuh Mentari didorong masuk hingga terhuyung-huyung masuk ruang tamu. Sementara wanita yang sudah diliputi amarah itu menutup pintu dengan kakinya. Tangannya tak melepaskan rambut Mentari sekejap pun.Mentari menjerit nyaring karena merasakan panas di kulit kepalanya. Bahkan yakin berhelai-helai rambut sudah tercerabut dari akarnya. Ia sepenuhnya belum mengerti apa salahnya hingga wanita yang baru datang itu langsung menyerangnya seperti ini.“Lepas … apa yang kau lakukan …? Apa kau sudah gila?” Di antara jeritannya, Mentari berusaha bertanya. Tangannya menangkap pergelangan tangan wanita yang tengah menarik rambutnya. Berharap wanita itu melepaskan jambakannya.“Ya, aku sudah gila! Dan aku akan perlihatkan betapa gilanya aku, Anak kecil!” Lucy berteriak meningkahi jeritan Mentari. Tangannya semakin menarik rambut panjang dalam genggamannya. Bukan hanya itu. Sebelah tangan lainnya masih juga melayang dan mendarat di wajah Mentari, hingga jeritan
77“Apa yang terjadi, Sam?” tanya wanita berambut hampir putih semua begitu sampai di hadapan Samudra. Wajah wanita itu dipenuhi raut khawatir. Ia bahkan berjalan setengah berlari untuk mencapai Samudra padahal asisten sudah mengingatkannya.Tangan sang wanita meraih lengan Samudra dan mengguncangnya cukup kuat. Lengan yang telapak dan punggung tangannya masih tersisa noda darah di sana. Ditatapnya lekat wajah sang anak yang tampak sangat frustrasi.“Wanita itu kembali dan dia menyakiti menantuku?” cecar sang wanita dengan kesal karena Samudra tak kunjung menjawab. Wajah sang anak bahkan semakin terlihat frustrasi.“Apa yang kamu pikirkan, Sam? Kenapa memasukkan lagi wanita gila itu ke dalam kehidupanmu? Apa kamu sudah tertular gila?” Lagi sang wanita mengejar seakan ingin meluapkan kemarahan. Tangannya mengguncang lengan Samudra semakin kuat.“Kalau terjadi sesuatu dengan menantuku, aku tidak akan memaafka