PULSA 10K UNTUK 1 KOMENTAR PERTAMA. UNTUK KAK ILMUPUSTAKA.19 YANG MINGGU LALU BELUM KONFIRMASI, SILAKAN KONFIRMASI DI WA 088215983788
74“Lucy, mengertilah. Apa yang terjadi di antara kita, itu dulu. Semua sudah berakhir.” Suara Samudra melunak. Ia sangat mengerti karakter wanita itu. Semakim keras ia bicara, semakin keras juga pemberotakan wanita itu.“Semua sudah berakhir saat kamu pergi, Lucy,” lanjut Samudra.“Tidak!” Wanita itu membantah cepat. “Tidak ada yang berakhir, Sam. Tidak ada kata putus di antara kita. Dan kamu berjanji menungguku kembali.”“Itu dulu. Janji itu batal dengan sendirinya saat aku tahu kalau kamu sudah pernah menikah, Lucy.”“Apa?” Lucy memekik. Kedua bola matanya seakan ingin loncat dari rongganya. Mulutnya terbuka lebar. Tubuhnya mematung bak batu.Sementara Samudra menanggapi dengan santai reaksi Lucy yang kentara sangat kaget.“Jangan tanya aku tahu dari mana berita itu. Kamu model internasional, Lucy, tidak sulit mencari tahu beritamu.” Samudra tersenyum tipis.“Kamu juga pasti tahu pasti aku orang seperti apa, Lu. Jadi, mulai sekarang, ayo kita bekerja sama agar tidak saling merugika
75Samudra menarik selimut dan menutupi tubuh yang meringkuk di sofa dengan kain tebal itu hingga hanya menyisakan kepala yang kini matanya terpejam. Ia sendiri duduk di tepi sofa yang lain. Ditatapnya nanar wajah lelah yang masih menyisakan sisa isak itu.Tadi, Lucy mendadak histeris saat ia hendak pergi. Menangis menjerit-jerit seraya melemparkan barang apa pun di dekatnya ke arah Samudra, hingga terpaksa ia mengurungkan niatnya dan bertahan di sana. Setelah beberapa lama dibujuk, akhirnya wanita itu tenang juga dan kini tertidur di sofa karena kelelahan.Samudra memejam dan mengusap wajahnya berkali-kali. Rasanya seperti baru saja terbebas dari kejaran binatang buas. Padahal hanya menenangkan wanita histeris yan kalaf. Ternyata, setelah belasan tahun berlalu, Lucy belum sepenuhnya pulih. Bahkan ia yakin jika penyakit wanita itu semakin memburuk. Buktinya barusan histeris sampai di luar batas.“Bukahkah kamu bilang sudah menemui dokter dan psikiater selama di luar negeri sana? Kenap
76Dengan rambut dalam jambakan Lucy, tubuh Mentari didorong masuk hingga terhuyung-huyung masuk ruang tamu. Sementara wanita yang sudah diliputi amarah itu menutup pintu dengan kakinya. Tangannya tak melepaskan rambut Mentari sekejap pun.Mentari menjerit nyaring karena merasakan panas di kulit kepalanya. Bahkan yakin berhelai-helai rambut sudah tercerabut dari akarnya. Ia sepenuhnya belum mengerti apa salahnya hingga wanita yang baru datang itu langsung menyerangnya seperti ini.“Lepas … apa yang kau lakukan …? Apa kau sudah gila?” Di antara jeritannya, Mentari berusaha bertanya. Tangannya menangkap pergelangan tangan wanita yang tengah menarik rambutnya. Berharap wanita itu melepaskan jambakannya.“Ya, aku sudah gila! Dan aku akan perlihatkan betapa gilanya aku, Anak kecil!” Lucy berteriak meningkahi jeritan Mentari. Tangannya semakin menarik rambut panjang dalam genggamannya. Bukan hanya itu. Sebelah tangan lainnya masih juga melayang dan mendarat di wajah Mentari, hingga jeritan
77“Apa yang terjadi, Sam?” tanya wanita berambut hampir putih semua begitu sampai di hadapan Samudra. Wajah wanita itu dipenuhi raut khawatir. Ia bahkan berjalan setengah berlari untuk mencapai Samudra padahal asisten sudah mengingatkannya.Tangan sang wanita meraih lengan Samudra dan mengguncangnya cukup kuat. Lengan yang telapak dan punggung tangannya masih tersisa noda darah di sana. Ditatapnya lekat wajah sang anak yang tampak sangat frustrasi.“Wanita itu kembali dan dia menyakiti menantuku?” cecar sang wanita dengan kesal karena Samudra tak kunjung menjawab. Wajah sang anak bahkan semakin terlihat frustrasi.“Apa yang kamu pikirkan, Sam? Kenapa memasukkan lagi wanita gila itu ke dalam kehidupanmu? Apa kamu sudah tertular gila?” Lagi sang wanita mengejar seakan ingin meluapkan kemarahan. Tangannya mengguncang lengan Samudra semakin kuat.“Kalau terjadi sesuatu dengan menantuku, aku tidak akan memaafka
78Mentari mengerjap dan memaksa membuka matanya yang terasa sangat berat. Sebenaranya rasa tidak nyaman di beberapa bagian tubuhnya sangat mengganggu. Memerintahkan untuknya tetap berbaring. Namun, ia penasaran sedang berada di mana dirinya saat ini.Ruangan yang terlampau dingin, aroma khas obat-obatan, suara detak jarum jam yang dinamis, dan yang terpenting usapan lembut di punggung tangan kanannya yang terus-menerus membuatnya ingin segera membuka mata.“Tari, kamu sudah bangun?” Sebuah pertanyaan terdengar seiring usapan di punggung tangan yang berhenti. Lalu derit kursi yang sepertinya ditinggal bangkit. Mungkin pergerakan tubuhnya membuat seseorang yang ada di sana reaktif.Mentari memang menggerakkan tangan dan berusaha menyingkirkan sesuatu yang menempel di lubang hidung dan membuat tidak nyaman.Wanita itu semakin memaksa matanya agar terbuka hingga mendapari searut wajah kusut dengan kantung mata menghitam, tetapi menatap antusias di depannya. Seulas senyum kelegaan tersung
79“Tari ….” Suara Samudra bercampur getar. Tatapannya nanar, dan tangannya terulur ingin meraih Mentari.“Apa Om? Mau minta maaf lagi? Tidak perlu. Aku tidak butuh. Aku hanya ingin terlepas dari semua ini.” Mentari menegaskan walaupun dengan suara lemah. Kini, wanita itu duduk bersandar di brangkarnya yang sengaja sandarannya dibuat tinggi.Samudra menggeleng dengan bibir terkatup. Seolah kehabisan kata-kata. Tangannya lagi-lagi ditepis dengan kasar.Sementara Mentari menggigit bibir dengan kuat seiring dadanya yang semakin sesak.“Aku hanya ingin kita bercerai, Om. Tidak ada yang lain …,” ujar Mentari lagi. Kali ini sudah bercampur tangisan yang sudah tak dapat lagi ditahannya. Tangisan yang awalnya hanya linangan air mata, semakin lama semakin membesar. Ia tergugu dengan pundak yang berguncang. Air mata menganak sungai di pipinya dan mengalir berjatuhan di bawah dagu.Samudra menelan saliva. Mentari yang menangis, tapi hatinya yang teriris. Karena tidak tahan melihat air mata yang
80“Tari, sudah selesai?” tanya pria yang keningnya mengernyit. Dilihatnya Mentari bersandar di dinding dengan wajah pucat pasi.Mentari membuka mata, menelan ludah, dan mengangguk samar.Tidak perlu meminta izin atau bicara apa pun lagi, sang pria langsung mengambi alih tubuh itu ke dalam bopongannya seperti biasa. Dibawanya dengan sangat ringan seolah itu hanya sebuah bantal. Lalu diletakkan tubuh itu di atas brangkar dengan posisi bersandar. Mengaitkan botol infus ke tiangnya, dan terakhir menarik selimut untuk menutupi tubuh Mentari hingga sebatas perutnya.“Kamu mau apa?” tanya Samudra selanjutnya.Mentari menggeleng karena memang tidak menginginkan apa pun.“Apa kamu mau makan camilan?”Lagi Mentari menggeleng.“Wajahmu pucat, mungkin lapar. Dan karena belum tiba jam makan, sebaiknya makan camilam saja, ya biar tidak terlalu pucat.” Samudra membujuk seperti seorang ayah yang tengah membujuk anaknya agar mau makan. Setelahnya pria itu berjalan ke arah rak tertutup tempat menaruh
81Entahlah, kenapa Mentari segusar ini. Padahal jika Samudra terus berada di sana dirinya juga malas melihat wajahnya yang menyebalkan itu. Namun, giliran pria itu tidak datang-datang, ia gelisah menunggunya. Bukan karena merindukannya, bukan. Tapi hatinya mendadak tidak enak. Sejak tadi jantungnya terus berdegup kencang. Padahal tidak melakukan apa pun. Tidak juga makan sesuatu yang memicu. Sejak tadi ia hanya duduk sambil menyaksikan berita di televisi.Mentari menurunkan kakinya hingga menjuntai ke lantai. Ingin berjalan keluar, tapi ribet harus menggeret tiang infus. Akhirnya nenaikkan lagi kakinya. Berbaring, tetapi tak lama kembali menurunkan lagi.Berjalan sebentar sambil menggeret tiang infus. Melongokkan kepala setelah membuka pintu sedikit. Memindai koridor di depan kamar inapnya berharap pria itu cepat kembali. Namun, yang didapatinya hanya lorong sepi yang hanya ada seorang perawat melintas membawa troli kecil berisi obat-obatan di atasnya.Gegas wanita itu menutup lagi p