Part 3
"Pak, dia ....." "Nama saya, Aksara, Pak." Lelaki itu memperkenalkan diri pada bapak dan juga ibu, sembari tersenyum ramah memperlihatkan deretan giginya yang putih. "Pak, Mas Aksara ini bosku. Pemilik toko kue tempatku kerja," jelasku dengan nada bergetar. Bapak dan ibu terlihat bingung, seolah tak percaya apa yang baru saja kukatakan. "Jadi Mas ini bosnya Dewi? Ibu pikir bos kamu itu udah berumur, ternyata masih muda?!" ujar ibu dengan polosnya Mas Aksara mengangguk dan tersenyum. Aku memang jarang cerita mengenai pekerjaanku pada bapak maupun ibu. Karena mereka pun sibuk bertani. Kumpul di rumah sudah sama-sama capek. "Mas Aksara, kenapa tiba-tiba menawarkan diri ingin menikahi Dewi? tanya bapak, mencoba memahami situasi yang semakin membingungkan. Mas Aksara menatapku dengan lembut. "Saya tahu keputusan ini mungkin tampak aneh, tetapi saya percaya bahwa setiap orang berhak mendapatkan kesempatan untuk bahagia." Bapak dan Ibu saling memandang, sepertinya mempertimbangkan keputusan mendadak ini. Pak Penghulu menatapku, menunggu jawaban. "Apa Mas Aksara masih bujangan? Maksud saya apa Mas Aksara belum menikah?" tanya Bapak memastikan. "Iya, saya masih sendiri, Pak. Maka dari itu saya berani mengambil keputusan ini. Jika kehadiran saya bisa sedikit meringankan beban Dewi, maka saya ingin melakukannya." Aku menelan ludah, bingung tentu saja. Aku tahu kedatangan Mas Aksara ini hanya lah sebagai tamu undangan. "Tapi Mas, apakah kamu yakin?" "Ya, saya yakin. Saya siap, dan saya akan melakukan yang terbaik" jawabnya tegas. Bapak dan ibu saling berpandangan kembali. Akhirnya, Bapak mengangguk perlahan. "Baiklah, jika kamu yakin dan Dewi setuju, kami tidak keberatan." Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri sebelum mengangguk pelan. "Baiklah, Mas Aksara. Terima kasih." Pak Penghulu memeriksa jamnya dan kemudian berkata, "Baiklah, mari kita lanjutkan ke acara ijab. Meskipun ini tidak seperti yang direncanakan, kita akan melanjutkan. Masalah pergantian dokumen bisa menyusul." Dengan keputusan mendadak dan segala ketidakpastian, kami melangkah ke pelaminan, berharap semoga inilah yang terbaik. Suasana di ruangan itu terasa berbeda, dan semua orang mulai kembali ke posisi mereka, menyiapkan prosesi yang baru saja berubah. Mbak Devi selaku MUA kembali membenarkan riasanku agar kembali rapi. Lalu aku duduk di belakang bersama ibu dan juga para kerabat yang lain. Sementara bapak, Mas Aksara dan Pak Penghulu duduk di meja akad. Sebelum dimulai, Pak Penghulu memberikan pencerahan sekaligus mengajukan pertanyaan pada Mas Aksara. "Mas Aksara sudah disiapkan untuk maharnya?" tanya Pak Penghulu. Mas Aksara menjawab dengan tegas, "Ya, Pak Penghulu, saya sudah menyiapkan maharnya." Lelaki itu mengambil dompet di saku celananya lalu mengeluarkan uang seratus ribuan sebanyak 10 lembar. "Saya gak bawa uang cash banyak, cuma ada satu juta, apa bisa?" "Tidak apa-apa, Nak. Sebaik-baik pernikahan adalah yang paling mudah." Pak Penghulu tersenyum dan melanjutkan, "Yang penting niat dan kesungguhan dari hati." Mas Aksara mengangguk, suasana hatinya menjadi lebih tenang. "Terima kasih, Pak Penghulu," ucapnya. Pak Penghulu kemudian memulai prosesi akad nikah dengan doa dan bimbingan, memastikan semuanya berlangsung dengan lancar dan sesuai dengan tuntunan agama. Seluruh keluarga dan kerabat menyaksikan momen penting ini dengan penuh rasa haru. "Saya terima nikah dan kawinnya Dewi Kirana binti Basuki dengan mas kawin tersebut dibayar TU-NAI." Dengan lantang Mas Aksa mengikrarkan janji suci itu. "Bagaimana, saksi, Sah?" "Saahhh!" "Alhamdulillah ...." Entah kenapa perasaanku ikut lega saat mendengarnya. Aku mencium tangan lelaki yang baru saja menjadi suamiku itu. Pernikahan ini sungguh tak terduga. Rasanya sangat canggung, mengingat dia adalah bosku. Sebelum aku sering meledek Mas Aksa yang masih betah melajang. "Dewi, maaf kalau aku belum bisa mempersembahkan yang terbaik untukmu." "Mas, jangan minta maaf, kamu tidak bersalah. Harusnya aku yang berterima kasih, karena kamu sudah menyelamatkan kehormatan keluargaku." "Baiklah, sekarang, mari kita mulai hidup baru," katanya dengan senyum yang hangat seolah semua akan baik-baik saja. *** "Dewi ..." sapa sebuah suara. Aku menoleh, mendapati Damay berjalan mendekat ke arahku dengan senyuman manisnya. Ia adalah sahabat terbaikku. Saat ini aku berada di kamar, tengah berganti gaun pengantin. Damay memelukku dengan erat. "Maaf ya, Wi, aku baru sempat datang kemari. Tadi sempat kaget juga saat lihat Mas Aksara, tapi tadi ibu udah cerita tentang kalian." Aku mengangguk, mengingat kejadian tadi. Kuhela napas dalam-dalam. "Pasti ini berat buat kamu ya, Wi. Tapi apapun itu kamu harus kuat ya. Insyaallah Mas Aksara juga orang baik, dia sangat bertanggung jawab, pasti kamu akan bahagia dengannya." Aku mengangguk dan kembali memeluk tubuh kurus Damay. "Iya, May, terima kasih. Aku bersyukur. Mungkin ini yang terbaik untukku. Rasa-rasanya ujianku tidak ada apa-apanya dengan ujian hidupmu, May." Damay mengusap punggungku dengan lembut, seolah menyalurkan kekuatan untukku. "Bagaimana dengan baby kamu, May?" tanyaku. "Alhamdulillah, Baby Rain sudah menunjukkan perkembangan lebih baik lagi." "Aku ikut senang mendengarnya, May. Semoga baby Rain cepat pulih lagi." Aku berjalan ke depan bersama Damay, kulihat Mas Aksara tampak berbincang akrab dengan Mas Saga dan beberapa tamu yang lainnya. *** Malam semakin larut, acara hajatan sudah mulai sepi. Aku duduk di bibir ranjang dengan perasaan tak menentu. Jantung berdegup cukup kencang terlebih saat mendengar derap langkah mendekat. "Dewi, masih belum tidur?" tanya lelaki itu. Ia melepas arloji yang melingkar di tangannya lalu diletakkan di atas meja. Aku menggeleng. Mas Aksara duduk di sampingku, membuat ranjang bergetar lembut. Wajahnya yang serius tampak semakin jelas dalam cahaya temaram. Tak dapat dipungkiri bosku itu memang punya pesona tersendiri. "Dewi, apa ada yang ingin kau bicarakan?" tanyanya dengan lembut. Aku menggeleng pelan. Sulit rasanya untuk mengungkapkan meski ada yang mengganjal di hati. "Aku hanya .... susah tidur," sahutku sambil mengangguk. "Boleh aku tahu masalah yang sebenarnya terjadi? Aku ingin dengar langsung dari ceritamu," ucap lelaki itu lagi. Aku bangkit, mengambil ponsel dan menunjukkan padanya, tentang chat Mas Gala yang tiba-tiba membatalkan pernikahan. Mas Aksara membaca chat itu dengan seksama, ekspresinya berubah semakin serius. Setelahnya, dia beralih menatapku. "Ini jelas sangat mempengaruhi kamu. Membaca pesan seperti ini tentu sangat menyakitkan." "Iya, Mas, aku merasa tertekan dan tidak tahu harus bagaimana." Mas Aksara meraih tanganku dengan lembut, lalu menatapku. "Dewi, kamu tidak sendirian. Jika kamu merasa ini sudah melewati batas dan mempengaruhi kesehatan mentalmu kita bisa ambil langkah hukum." . . . .Dewi menggenggam tangan Aksara kuat-kuat. “Dok, jadi Bapak saya belum sadar?”“Belum. Sejak dibawa ke sini, beliau dalam kondisi tidak sadar. Tapi kami akan lakukan yang terbaik. Mohon doanya.”Tak lama, pintu ruang UGD terbuka. Beberapa petugas mendorong ranjang menuju ruang operasi. Dewi dan ibunya menahan napas saat melihat tubuh Pak Basuki terbujur lemah di atas ranjang, kepala berbalut perban, wajahnya dipenuhi luka dan darah yang mulai mengering.“Pak …” bisik Dewi nyaris tak terdengar.Tanpa pikir panjang, Dewi dan ibunya langsung mengikuti di belakang brankar yang didorong petugas medis. Aksara menggandeng tangan Dewi erat, menyamakan langkah dengan keduanya.Suasana lorong rumah sakit terasa sunyi. Hanya bunyi roda ranjang yang berderit pelan dan desau napas tergesa yang terdengar. Beberapa perawat menyingkir cepat memberi jalan.Setibanya di depan ruang operasi, petugas berhenti. Seorang dokter bedah dan suster menyambu
“A-apa, Bu? Bapak... kecelakaan?” Suara Dewi mulai gemetar. “Tabrak lari?” Aksara langsung mendekat, menggenggam tangan Dewi yang mulai gemetar hebat. “Sayang, tenang. Gimana kondisi Bapak?” Dewi menahan napas, mendengarkan ibu di seberang sana yang menangis. “Bapak dibawa ke rumah sakit, katanya masih belum sadar ...” Air mata mulai mengalir dari mata Dewi. “Mas, kita harus ke sana sekarang.” Aksara mengangguk cepat tanpa banyak bicara. Ia langsung melepas apron, meraih kunci mobil dan jaket. “Kita berangkat sekarang. Kamu nggak sendiri, Sayang. Aku di sini.” Mata Dewi berkaca-kaca, menggenggam erat tangan suaminya. “Jangan lepasin aku ya, Mas, aku takut.” Aksara menariknya ke dalam pelukan. “Enggak akan. Aku janji.” Aksara menyalakan mesin mobil dengan cepat. Dalam hitungan detik, mobil melaju keluar dari tempat prkir, menembus gerimis yang mulai turun. Di kursi sebelah, Dewi m
Tak ada yang langsung menjawab. Tapi keheningan itu perlahan berubah menjadi pelukan hangat. Hari-hari setelah pemakaman, rumah itu perlahan kembali hidup. Arjuna memutuskan untuk menetap, membantu merawat rumah dan mengurus segala keperluan. Bella kembali tersenyum walau kadang masih sembab matanya. Aksara dan Dewi sering datang, bahkan Pak Arif mulai mengurangi pekerjaannya dan lebih sering duduk di ruang tamu, menatap foto-foto lama dan berbincang pelan dengan anak-anaknya. Suatu pagi, saat matahari menyinari halaman belakang, Bella meletakkan secangkir teh di meja kayu. Arjuna sedang menyapu dedaunan kering, sementara Pak Arif menyiram tanaman. “Aku nggak nyangka rumah ini bisa kembali hangat,” ucap Bella lirih. Arjuna tersenyum. “Karena Mama nggak pernah benar-benar pergi, Bel. Cinta Mama tetap tinggal di sini, di hati kita.” *** Beberapa hari setelah pemakaman... Malam itu,
Tangis belum sepenuhnya reda ketika terdengar suara pintu dibuka dengan kasar. Langkah berat terdengar mendekat. Semua orang di kamar saling berpandangan, kecuali tubuh sang ibu yang kini telah tenang dalam keabadian.Pak Arif berdiri di sana dengan wajah merah padam setelah melihat anak-anaknya berkumpul, matanya menatap tajam ke arah Arjuna.“Punya nyali juga kau pulang!” Suaranya menggelegar, memecah keheningan dan membuat Bella refleks berdiri.Arjuna berdiri perlahan, menatap ayahnya. “Aku tahu aku salah, Pa. Tapi—”“Diam kau!” bentak Pak Arif, melangkah cepat mendekat. “Kau baru muncul setelah ibumu hampir mati?! Kau enak-enakan hidup entah di mana, sementara ibumu tiap malam menangis, menyebut-nyebut namamu!”“Papa, cukup!” Aksara berdiri di antara mereka, menahan papanya yang hendak menampar Arjuna.“Jangan tahan Papa, Aksara! Anak ini harus diajarin! Seenaknya pergi dari rumah, balik saat semuanya terlambat!”
Bella juga terhuyung, pijakannya melemah, hingga akhirnya dia jatuh berlutut di samping Arjuna. Wajahnya pucat, matanya sembab, tangan gemetar mencoba meraih tangan ibunya yang dingin.“Mama, jangan ... Mama harus tetap di sini. Kita masih butuh Mama, Ma ...” Suara Bella pecah, air matanya mengalir deras. Arjuna menatap Bella, wajah mereka sama-sama penuh ketakutan dan kepedihan yang sama. Suara mereka bergetar, menggema di ruang itu yang kini sunyi dan penuh luka.“Ma ... aku tidak akan pernah meninggalkan Mama lagi. Aku janji, maafin aku, Ma." Arjuna menggenggam tangan ibunya semakin kuat, seolah itu satu-satunya pegangan terakhirnya.Bella terisak, Arjuna menunduk, dan dunia mereka runtuh dalam sekejap.Arjuna menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gemetar yang mengoyak dadanya. Matanya masih tertuju pada tubuh ibunya yang kini begitu tenang.“Bella ...” suaranya serak, “Tolong... tolong hubungi Papa dan Aksara. Katakan t
Part 25Beberapa saat kemudian, sang ibunda memejamkan mata. Arjuna terduduk di kursi kecil di samping ranjang. Matanya menatap wajah sang ibunda yang semakin tirus. Seorang perempuan berseragam putih masuk pelan-pelan sambil membawa nampan kosong.“Mba, perawat?” tanya Arjuna pelan, berusaha tidak membuat ibunya terkejut.Perawat itu mengangguk sopan. “Iya, Mas?”“Maaf ... tadi Ibu sudah makan?”Perawat itu menunduk sedikit, ragu. “Belum, Mas. Sejak beberapa hari terakhir, ibu cuma mau minum sedikit air putih ... itu pun susah. Bubur juga cuma satu suap yang masuk.”Arjuna memejamkan mata sejenak. Dadanya sesak. Lalu ia berdiri, menoleh ke perawat itu. “Mbak, tolong buatin bubur hangat ya. Yang lembut.”Perawat itu mengangguk cepat. “Iya, Mas.”Selang beberapa waktu, perawat itu kembali dengan semangkuk kecil bubur ayam polos, tanpa terlalu banyak bumbu. Arjuna mengambil mangkuk itu dengan hati-hati dan duduk