Share

4. Shock

Author: TrianaR
last update Last Updated: 2024-11-15 22:12:57

Part 4

Beberapa jam sebelumnya di rumah Geni

"Awww ... Ssshh ..." desis Gala sembari meringis kesakitan saat Geni mengompres luka memar di wajahnya.

"Sakit ya, Mas?"

Gala mengangguk pelan.

"Emang dasar Pak Dhe sialan, datang-datang langsung hajar kamu, malu-maluin!" rutuk Geni kesal.

"Mbak Dewi juga ngapain nyusul kesini padahal udah jelas-jelas pernikahan dibatalkan! Bikin enek aja!"

Gala hanya diam saat Geni masih menggerutu kesal. Pasca keributan tadi pagi, mereka jadi bahan ghibah para tetangga.

"Gila kamu ya, Geni! Kok kamu malah ngerebut calon suami Dewi! Gak punya perasaan kamu!" teriak salah satu warga.

"Kamu juga! Laki-laki macam apa yang membatalkan pernikahan tapi malah lamar gadis lain!"

"Bukan aku atau Mas Gala yang gila! Mbak Dewi sendiri yang gak bisa jaga kehormatan. Mau nikah malah berhubungan sama pria lain! Laki-laki mana yang mau kalau calon istrinya bekas orang?!" sangkal Geni saat itu tak mau kalah.

Geni menggelengkan kepalanya berusaha membuyarkan ingatannya tadi pagi. Kala7 tak dilerai, perdebatan itu pasti makin panas.

Ia melihat pria di hadapannya yang sedari tadi diam saja.

Keluarga dan para kerabatnya pun sudah pamit undur diri hanya Gala yang kini masih tinggal di rumah Geni.

"Mas?"

"Mas?"

"Mas Gala!!" panggil Geni dengan suara lebih keras.

Gala terkesiap.

"Apa sih yang Mas pikirin? Ngelamun mulu dari tadi? Aku manggil-manggil kamu dari tadi lho, Mas!" tegur Geni lagi dengan wajah cemberut.

Gala mengalihkan tatapannya, berusaha fokus kembali. Perasaannya gelisah. Apakah keputusan yang dia ambil sudah tepat? Tapi saat ini pikirannya melayang ke arah Dewi, melihat wajah Dewi yang tampak sedih dengan baju pengantinnya, ia jadi merasa kasihan padanya.

"Maaf, Geni. Aku cuma mikirin Dewi. Dia pasti sangat kecewa."

Geni menghela napas sembari membatin. 'Dewi lagi, Dewi lagi! Aku jadi makin benci sama Dewi!'

Geni menatap Gala lalu tersenyum penuh kepalsuan. "Aku tahu kamu merasa bersalah, Mas. Tapi situasi ini memang terlalu rumit. Kadang-kadang keputusan yang sulit memang harus diambil, meskipun itu menyakitkan. Lagi pula, kan Mbak Dewi duluan yang mulai, bukan kamu, Mas."

Gala mengangguk pelan. "Aku cuma merasa ini semua bisa jadi salahku. Aku nggak pernah ingin melukai perasaan Dewi atau mengecewakan semua orang."

"Jadi Mas berpikir aku yang salah? Mas lupa apa yang mas lakukan padaku waktu itu? Mas lupa?" cecar Geni dengan sorot mata kecewa.

"Oh ti-tidak, Gen. Bukan maksudku seperti itu," sahut Gala gugup.

"Sudahlah, lupakan Mbak Dewi, sekarang masa depan Mas Gala itu aku!"

Lelaki itu mengangguk, tak ingin wanita yang ada di hadapannya merajuk.

"Inget ya, Mas. Aku gak mau lagi dan lagi kamu menyebut nama Mbak Dewi! Aku gak suka!"

"Iya..."

"Aku nggak mau terus-terusan dibandingkan dengan masa lalu kamu, Mas," ujar Geni tegas.

Gala mengangguk lagi, kali ini dengan lebih penuh kesadaran. "Aku paham, Geni. Aku janji akan berusaha untuk lebih fokus dengan kita."

Geni menghela napas, wajahnya mulai melunak. "Baguslah kalau begitu. Aku cuma mau kamu tahu, apa yang terjadi kemarin dan apa yang mungkin akan terjadi, itu bukan hanya tentang Mbak Dewi. Ini juga tentang kita."

Gala mengangguk.

Geni tersenyum kecil, harapannya mulai kembali. "Baiklah, Mas. Semoga kita bisa melewati ini. Jangan sampai semua orang tau kalau kita ... Eemmh pokoknya aku mau kamu nikahin aku sebelum aku hamil!"

"Iya, iya. Aku akan mempersiapkannya. Hanya saja mahar dan uang seserahan itu sudah kuserahkan ke keluarga Dewi. Jadi--"

"Ambil kembali dong, Mas!"

Gala mengerutkan dahi. “Geni, itu bukan hal yang mudah. Uang seserahan dan mahar sudah menjadi bagian dari kesepakatan dan tradisi. Kalau aku ambil kembali, bisa jadi akan menimbulkan masalah baru.”

Geni mengerucutkan bibir, tampak kesal. “Tapi kalau kita mau menikah sekarang, kita perlu persiapan yang cukup. Kalau Mas Gala gak mau ngomong, biar aku saja!"

"Tapi--"

"Mas, pernikahan kalian kan batal, gak salah kalau kamu mau ambil kembali uang mahar dan seserahan itu. Toh emang gak jadi nikah."

"...."

“Aku cuma ingin semuanya jelas dan cepat. Aku nggak mau berlarut-larut dalam situasi ini, Mas ..."

Gala langsung menggenggam tangan Geni, bibirnya tersenyum kemudian mendekatkan wajahnya dan mencium pipi Geni. "Iya, iya, jangan marah-marah lagi, nanti cantiknya ilang!"

Geni pun akhirnya luluh, ia tersenyum. "Mas Gala selalu bisa bikin hati aku luluh. Ya udah Mas istirahat dulu."

Perempuan itu bangkit, menaruh kembali wadah yang buat mengompres luka Gala.

***

Ibunda Geni menaruh plastik belanjaan ke meja dengan kasar.

"Ada apa, Bu?" tanya Geni.

"Semua orang membicarakan kita, Gen."

"Biar aja, Bu. Nanti lama-lama juga bosen sendiri. Yang penting aku udah berhasil bikin pernikahan Mbak Dewi batal. Suruh siapa dulu dia menghina dan merendahkan kita!"

"Kata siapa pernikahannya batal?"

"Maksud ibu? Kan Mas Gala udah milih aku." Geni mengerutkan keningnya mendengar ucapan ibunya.

"Pernikahannya tetap berlangsung. Ada laki-laki yang mau menikahinya, menggantikan Gala."

"Siapa, Bu?"

"Aksara."

Seketika mata Geni membulat mendengar nama Aksara disebut.

"Apa?? Yang bener, Bu? Mas Aksara pemilik toko kue itu?"

"Iya, kata orang-orang yang datang ke sana."

"Enggak, enggak, itu gak mungkin! Mas Aksara kan---"

"Awalnya ibu juga gak percaya tapi kenyatannya begitu. Dia menikah dengan Aksara."

Geni menutup mulutnya. Rasanya begitu shock, mengingat ia pernah menyukai lelaki itu tapi tak ada respon apapun darinya.

***

Keesokan harinya ...

Geni dan ibunya tengah duduk di teras. Mereka menatap bingung saat melihat beberapa mobil pick up melintas melewati rumah mereka membawa beberapa perabotan rumah tangga.

Mobil pertama membawa springbed, dan meja rias. Mobil kedua membawa sofa. Mobil ketiga membawa mesin cuci, kulkas, lemari. Mobil ke empat membawa printilan peralatan dapur.

Geni dan ibunya saling berpandangan sejenak. "Siapa yang borong itu semua ya, Bu?" tanya Geni.

Bu Wanda mengendikkan bahunya. Tapi kemudian mereka berjalan mengikuti mobil pick up itu, beberapa tetangga yang penasaran pun ikut berjalan di belakang mobil.

Mobil pick up berhenti tepat di depan rumah sederhana milik orang tua Dewi.

"Permisi .... kami mau mengantarkan barang-barang pesanan Mas Aksara untuk Mbak Dewi!" ujar sang sopir makin membuat Geni dan ibunya tercengang.

"Ini semua untuk Dewi?" tanya Pak Basuki seolah tak percaya.

"Iya, Pak. Semua sudah dibayar lunas sama Mas Aksara. Silakan tanda terima di sini ya, Pak."

'Jadi semua ini untuk Mbak Dewi?' Batin Geni merasa iri.

Ia menghentakkan kakinya pulang ke rumah dengan wajah cemberut.

"Kenapa jadi begini sih?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   45. Ruang ICU

    Dewi menggenggam tangan Aksara kuat-kuat. “Dok, jadi Bapak saya belum sadar?”“Belum. Sejak dibawa ke sini, beliau dalam kondisi tidak sadar. Tapi kami akan lakukan yang terbaik. Mohon doanya.”Tak lama, pintu ruang UGD terbuka. Beberapa petugas mendorong ranjang menuju ruang operasi. Dewi dan ibunya menahan napas saat melihat tubuh Pak Basuki terbujur lemah di atas ranjang, kepala berbalut perban, wajahnya dipenuhi luka dan darah yang mulai mengering.“Pak …” bisik Dewi nyaris tak terdengar.Tanpa pikir panjang, Dewi dan ibunya langsung mengikuti di belakang brankar yang didorong petugas medis. Aksara menggandeng tangan Dewi erat, menyamakan langkah dengan keduanya.Suasana lorong rumah sakit terasa sunyi. Hanya bunyi roda ranjang yang berderit pelan dan desau napas tergesa yang terdengar. Beberapa perawat menyingkir cepat memberi jalan.Setibanya di depan ruang operasi, petugas berhenti. Seorang dokter bedah dan suster menyambu

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   44. Kritis

    “A-apa, Bu? Bapak... kecelakaan?” Suara Dewi mulai gemetar. “Tabrak lari?” Aksara langsung mendekat, menggenggam tangan Dewi yang mulai gemetar hebat. “Sayang, tenang. Gimana kondisi Bapak?” Dewi menahan napas, mendengarkan ibu di seberang sana yang menangis. “Bapak dibawa ke rumah sakit, katanya masih belum sadar ...” Air mata mulai mengalir dari mata Dewi. “Mas, kita harus ke sana sekarang.” Aksara mengangguk cepat tanpa banyak bicara. Ia langsung melepas apron, meraih kunci mobil dan jaket. “Kita berangkat sekarang. Kamu nggak sendiri, Sayang. Aku di sini.” Mata Dewi berkaca-kaca, menggenggam erat tangan suaminya. “Jangan lepasin aku ya, Mas, aku takut.” Aksara menariknya ke dalam pelukan. “Enggak akan. Aku janji.” Aksara menyalakan mesin mobil dengan cepat. Dalam hitungan detik, mobil melaju keluar dari tempat prkir, menembus gerimis yang mulai turun. Di kursi sebelah, Dewi m

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   43. Kabar

    Tak ada yang langsung menjawab. Tapi keheningan itu perlahan berubah menjadi pelukan hangat. Hari-hari setelah pemakaman, rumah itu perlahan kembali hidup. Arjuna memutuskan untuk menetap, membantu merawat rumah dan mengurus segala keperluan. Bella kembali tersenyum walau kadang masih sembab matanya. Aksara dan Dewi sering datang, bahkan Pak Arif mulai mengurangi pekerjaannya dan lebih sering duduk di ruang tamu, menatap foto-foto lama dan berbincang pelan dengan anak-anaknya. Suatu pagi, saat matahari menyinari halaman belakang, Bella meletakkan secangkir teh di meja kayu. Arjuna sedang menyapu dedaunan kering, sementara Pak Arif menyiram tanaman. “Aku nggak nyangka rumah ini bisa kembali hangat,” ucap Bella lirih. Arjuna tersenyum. “Karena Mama nggak pernah benar-benar pergi, Bel. Cinta Mama tetap tinggal di sini, di hati kita.” *** Beberapa hari setelah pemakaman... Malam itu,

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   42. Sesal

    Tangis belum sepenuhnya reda ketika terdengar suara pintu dibuka dengan kasar. Langkah berat terdengar mendekat. Semua orang di kamar saling berpandangan, kecuali tubuh sang ibu yang kini telah tenang dalam keabadian.Pak Arif berdiri di sana dengan wajah merah padam setelah melihat anak-anaknya berkumpul, matanya menatap tajam ke arah Arjuna.“Punya nyali juga kau pulang!” Suaranya menggelegar, memecah keheningan dan membuat Bella refleks berdiri.Arjuna berdiri perlahan, menatap ayahnya. “Aku tahu aku salah, Pa. Tapi—”“Diam kau!” bentak Pak Arif, melangkah cepat mendekat. “Kau baru muncul setelah ibumu hampir mati?! Kau enak-enakan hidup entah di mana, sementara ibumu tiap malam menangis, menyebut-nyebut namamu!”“Papa, cukup!” Aksara berdiri di antara mereka, menahan papanya yang hendak menampar Arjuna.“Jangan tahan Papa, Aksara! Anak ini harus diajarin! Seenaknya pergi dari rumah, balik saat semuanya terlambat!”

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   41 Berita Duka

    Bella juga terhuyung, pijakannya melemah, hingga akhirnya dia jatuh berlutut di samping Arjuna. Wajahnya pucat, matanya sembab, tangan gemetar mencoba meraih tangan ibunya yang dingin.“Mama, jangan ... Mama harus tetap di sini. Kita masih butuh Mama, Ma ...” Suara Bella pecah, air matanya mengalir deras. Arjuna menatap Bella, wajah mereka sama-sama penuh ketakutan dan kepedihan yang sama. Suara mereka bergetar, menggema di ruang itu yang kini sunyi dan penuh luka.“Ma ... aku tidak akan pernah meninggalkan Mama lagi. Aku janji, maafin aku, Ma." Arjuna menggenggam tangan ibunya semakin kuat, seolah itu satu-satunya pegangan terakhirnya.Bella terisak, Arjuna menunduk, dan dunia mereka runtuh dalam sekejap.Arjuna menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gemetar yang mengoyak dadanya. Matanya masih tertuju pada tubuh ibunya yang kini begitu tenang.“Bella ...” suaranya serak, “Tolong... tolong hubungi Papa dan Aksara. Katakan t

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   40. Kehilangan

    Part 25Beberapa saat kemudian, sang ibunda memejamkan mata. Arjuna terduduk di kursi kecil di samping ranjang. Matanya menatap wajah sang ibunda yang semakin tirus. Seorang perempuan berseragam putih masuk pelan-pelan sambil membawa nampan kosong.“Mba, perawat?” tanya Arjuna pelan, berusaha tidak membuat ibunya terkejut.Perawat itu mengangguk sopan. “Iya, Mas?”“Maaf ... tadi Ibu sudah makan?”Perawat itu menunduk sedikit, ragu. “Belum, Mas. Sejak beberapa hari terakhir, ibu cuma mau minum sedikit air putih ... itu pun susah. Bubur juga cuma satu suap yang masuk.”Arjuna memejamkan mata sejenak. Dadanya sesak. Lalu ia berdiri, menoleh ke perawat itu. “Mbak, tolong buatin bubur hangat ya. Yang lembut.”Perawat itu mengangguk cepat. “Iya, Mas.”Selang beberapa waktu, perawat itu kembali dengan semangkuk kecil bubur ayam polos, tanpa terlalu banyak bumbu. Arjuna mengambil mangkuk itu dengan hati-hati dan duduk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status