Part 5
“Arrgghh! Sungguh menyebalkan! Kenapa tiba-tiba Mbak Dewi nikah sama Mas Aksara sih?!” gerutu Geni dengan sangat kesal. “Malah dikasih barang-barang hadiah dan seserahan yang lengkap pula! Harusnya kan dia menderita bukan malah bahagia kayak gini!” Geni berjalan mondar-mandir di ruang tamu, perasaannya begitu gelisah. Karena yang terjadi tak sesuai dengan rencananya. Kedua tangannya mengepal erat, amarahnya meluap-luap. “Kalau kayak gini Mbak Dewi makin besar kepala! Dia pasti akan menghinaku kembali, ckk!” Geni memanyunkan wajahnya, bibirnya terkatup rapat. Ia merasa tak habis pikir kenapa keberuntungan selalu berpihak pada kakak sepupunya itu. Perempuan itu menghempaskan tubuhnya duduk di sofa. Ia mengambil ponsel ingin menghubungi Gala, dan segera membuka aplikasi whattsapp. Namun matanya terpaku pada status WA Dewi yang baru saja muncul. Karena rasa penasaran, ia mengklik status WA kakak sepupunya itu "Terima kasih, Mas Aksara. Aku gak nyangka kamu malah ngasih kejutan sebanyak ini." Tulis Dewi di status WA-nya dengan emoticon berkaca-kaca. Lalu disertai foto-foto hadiah perabotan yang disusun rapi seolah tengah mengejeknya, begitu juga dengan foto pernikahan Dewi yang tampak begitu bahagia, seolah tak ada insiden buruk yang terjadi sebelumnya. Geni mendengus kesal, entah kenapa hatinya perih bagai ditusuk ribuan jarum. Dadanya pun terasa begitu sesak. "Itu seharusnya untuk aku!" gumamnya dengan penuh iri. "Dia tidak layak mendapatkan kebahagiaan itu!" desis Geni sambil meninju bantal sofa dengan keras. Beberapa bulan lalu, ia ingat betul saat terusir dari desanya sendiri gegara telah mengganggu Damay dan keluarganya. Bukannya Dewi membela, tapi justru memakinya. “Emangnya kenapa kok bisa para warga ngejar kamu?” tanya Dewi sesaat setelah Geni datang ke rumahnya. “Aku gak ngapa-ngapain, Mbak.” “Gak mungkin kan kalau gak ngapa-ngapain! Kamu pasti sudah melakukan kesalahan! Ngaku saja deh!" tukas Dewi lagi. "Jangan-jangan kamu ngehancurin hubungan orang lagi, iya? Astaga, Geni! Kamu itu masih muda kenapa harus jadi pelakor sih! Apa cuma itu keahlianmu?" Geni hanya diam seribu bahasa, takut salah menjawab. Untunglah, saat ibu budhe-nya ikut membela, hingga tak “Dewi, jangan bertanya-tanya terus, kasihan Geni, biar dia istirahat dulu,” ucap ibundanya menyela. “Jadi untuk beberapa hari ke depan bulik kamu menitipkan Geni di sini. Dia akan tinggal bersama kita selama beberapa waktu sampai urusan rumah selesai,” jelas sang ibunda Dewi. Kening Dewi mengernyit. “Urusan rumah, maksud ibu apa?” “Ya, bulik kamu sama Geni mau jual rumah yang di sana, sambil cari rumah baru di lingkungan kita. Mereka mau pindah ke sini." Dewi melongo mendengar ucapan sang ibunda. Namun tak sampai disitu, yang membuat Geni muak, Dewi begitu bawel padanya, sering menyuruhnya untuk mengerjakan pekerjaan rumah yang sangat membosankan. “Kamu kan bisa kerja juga jangan malas-malasan terus seperti ini! Manfaatin masa mudamu jangan begini terus, kasihan ibumu, Geni!” “Halaah, apaan sih kamu Mbak! Sok bijak! Baru juga jadi kasir toko, belum jadi staff kantor, sombong banget kamu, Mbak!” “Dih, dinasehatin malah ngeyel.” *** “Gen … Geniiii!!” sebuah teriakan membuyarkan lamunannya. Sang Ibunda berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya. Nafasnya tampak terengah-engah. “Ada apa, Bu?” “Haduh, Gen, kenapa kamu malah pulang duluan sih, tadi ibu cari kamu di sana! Kamu tau gak kata sopirnya, barang-barang yang dibeliin si Aksara nominalnya mencapai 50 juta lebih!” “Hah? 50 juta? Serius, Bu?” Ibu mengangguk cepat. Geni makin lemas saat mendengar nominal yang disebutkan oleh ibunya. Itu tidak mungkin kan? “Sepertinya kamu juga harus minta seserahan yang lebih sama Gala, biar kita gak dipermalukan, Gen!” “Iya, Bu, kemarin aku sudah diskusi kok. Lihat saja nanti, Bu. Aku yakin Mas Gala pasti mampu memberikan apa yang aku mau. Dia juga kan orang kaya." Bu Wanda tersenyum dan manggut-manggut. "Hmmm, memang pinter anak ibu. Pokoknya kali ini jangan sampai gagal lagi ya!" Geni mengangguk. Ia meraih ponselnya kembali dan langsung mengirimkan pesan pada Gala. [Mas, nanti kalau kita nikah nanti seserahannya yang lengkap ya! Aku pengen springbed, meja rias, sofa, lemari pokoknya semua isi rumah. Biar gak kalah sama Mbak Dewi] Tak berselang lama, Gala justru menghubunginya via video call. "Hallo, Mas ..." "Hallo, Geni, maksudmu apa tadi? Dewi dapat dari mana hadiah itu?" "Dari suaminyalah." "Suami?" Geni tersenyum sinis saat melihat ekspresi bingung di wajah Gala di layar ponselnya. “Iya, orang yang menggantikan posisimu dalam pernikahan Dewi." Gala terlihat semakin bingung. "Pokoknya, aku mau barang seserahannya yang banyak ya, Mas. Jangan sampai kalah dari Mbak Dewi." "Hmmm ... kita lihat saja nanti," sahut Gala. Ia menghela napas panjang dan menutup video callnya. Geni memandang sekeliling ruangannya dengan puas. “Ini akan menjadi permainan yang menarik. Dan aku tidak akan berhenti sampai semua orang tahu siapa yang sebenarnya lebih beruntung di sini,” bisiknya pada dirinya sendiri sambil tertawa kecil. *** Dewi berjalan menghampiri Aksara yang turun dari motornya. Lelaki itu baru saja pulang dari toko. Ia memberikan paper bag berisi cake yang ada di toko. "Aku bawakan kue untukmu." Dewi tersenyum dan menyambut uluran tangan Aksara meski masih dengan perasaan canggung. "Wah makasih ya, Mas." "Hmmm ... ada untuk bapak dan ibu juga." Dewi mengangguk. Ia berjalan berdampingan dengan suaminya masuk ke dalam rumah. Menghampiri bapak ibu dan berbicara dengan ramah. Di dalam kamar .... "Mas ..." "Ya?" "Terima kasih." "Untuk apa?" "Hadiahnya, Mas. Kenapa kamu beli perabotan banyak sekali? Itu untukku semua?" Aksara tersenyum. "Iya, bukankah udah semestinya begitu? Aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuk istriku," ucapnya sembari mengusap kepala sang istri. Dewi mengulum senyum. Ting! Sebuah notifikasi pesan WA membuyarkan kebersamaan mereka. Dewi segera meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Raut wajahnya seketika berubah saat mendapati pesan dari Geni. [Mbak Dewi, jangan gak tau malu ya, cepat balikin uang mahar dan seserahan yang diberikan Mas Gala! Pernikahan kalian kan udah batal! Jangan makan hak orang lain!]Dewi menoleh, lalu mengangguk pelan. “Kalau bukan aku, siapa lagi yang bisa jagain Bapak?”Aksara muncul dari dapur, membawa handuk kecil dan air hangat di baskom. Ia tak banyak bicara, langsung duduk di lantai dan mulai membersihkan tangan Bapak dengan lembut. Gerakannya penuh kasih, penuh perhatian.“Biar aku bantu mandiin nanti,” ucapnya lirih.Ibu tak bisa menahan air matanya. Ia hanya bisa menatap menantunya dengan rasa syukur yang sulit diucapkan.Setelah semua beres, Dewi dan Aksara duduk di teras, menyeruput teh hangat. Angin pagi mengelus wajah mereka.“Mas … kamu pernah nyesel nikah sama aku?” tanya Dewi tiba-tiba, suaranya lirih.Aksara menoleh cepat. “Kenapa kamu tanya gitu?”“Soalnya aku kayak beban. Mas harus urus aku, keluarga aku, sampai kerjaan Mas juga mungkin terganggu …”Aksara menatap Dewi dalam-dalam, lalu tersenyum kecil.“Kalau harus balik ke masa lalu dan pilih lagi, aku tetap a
Mobil ambulans dari Rumah Sakit akhirnya berhenti di depan rumah. Dewi langsung bergegas keluar bersama Aksara.Dua petugas membantu menurunkan tandu. Di atasnya, seorang lelaki tua terbaring lemah. Wajahnya pucat, satu sisi mulutnya agak mencong, dan sorot matanya kosong sesekali berkedip pelan.“Bapak …” bisik Dewi pelan, suaranya tercekat.Bapak hanya memutar kepalanya perlahan ke arah suara Dewi. Mulutnya terbuka sedikit, mengeluarkan suara pelan, “Heh … ha … ho …”Dewi menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak.“Bapak pulang ya … Maaf ya, Pak, kami nggak bisa nyembuhin Bapak sepenuhnya,” ujarnya dengan suara bergetar.Aksara menguatkan pundaknya. Ia ikut membantu mengangkat tubuh sang Bapak dari tandu ke tempat tidur yang telah disiapkan. Di sudut ruangan, Ibu Dewi menyeka air mata dengan ujung kerudungnya. Ia duduk diam, menatap suaminya yang dulu penuh semangat mengurus ladang, kini hanya bisa terbaring.
“Nikahi aku,” ucap Geni, tanpa tedeng aling-aling.“Kamu tunjukkan ke semua orang kalau aku masih pemenangnya. Biar Dewi lihat. Biar semua orang lihat … kalau aku nggak kalah.”Gala memejamkan mata, lalu berdiri.“Lo gila. Ini bukan solusi, Gen! Lo bener-bener udah kelewat batas …”Geni ikut berdiri, wajahnya dingin tapi penuh tekanan.“Aku yang akan nutupin masalah kecelakaan ini, Mas. Aku yang bakal jaga rahasia itu rapat-rapat. Tapi sebagai gantinya, kamu harus balikin harga diriku. Mas Gala harus nikahin aku. Biar semua orang berhenti ngomongin tentang aku yang gagal nikah, dan ngomongin Dewi yang lebih beruntung."Gala masih menatapnya tajam“Kamu mau bebas kan, Mas Gala? Mau hidup tenang? Mau nggak dipenjara? Yaudah, tinggal nikahin aku. Aku bakal urus semuanya. Nama kamu bersih, rahasia aman. Dan aku dapat hidupku kembali.”Gala tertawa kecil, getir. “Hidup lo atau ego lo?”Geni mengangkat dagunya. “Sama a
Suara knalpot berisik, musik keras, dan aroma kopi instan bercampur dengan asap rokok memenuhi tempat tongkrongan di pojok jalan itu. Anak-anak muda tertawa seenaknya, tapi di salah satu sudut, Gala duduk sendiri. Kepalanya tertunduk, mata menatap kosong ke gelas yang tak disentuh. Tangan kirinya gemetar pelan. Nafasnya berat, dadanya seperti ditekan batu besar.Raka datang membawa dua gelas plastik berisi minuman. Ia mendekat dengan santai, tapi begitu melihat wajah Gala yang muram, langkahnya melambat."Bro, lu kenapa? Dari tadi kayak zombie. Nggak nyaut, nggak ngelirik. Lu abis berantem?”Gala nggak langsung jawab. Ia menarik napas panjang, tangannya mengepal.“Raka, gue nabrak orang.”Suaranya nyaris tak terdengar lirih, nyaris seperti bisikan.Raka terkejut. “Hah? Maksud lu? Lu serius?”“Gue... gue ikutin bapaknya Dewi. Gue cuma mau nakut-nakutin, sumpah. Tapi dia malah jatuh, kepalanya kebentur keras. Terus dia nggak ge
Dewi menggenggam tangan Aksara kuat-kuat. “Dok, jadi Bapak saya belum sadar?”“Belum. Sejak dibawa ke sini, beliau dalam kondisi tidak sadar. Tapi kami akan lakukan yang terbaik. Mohon doanya.”Tak lama, pintu ruang UGD terbuka. Beberapa petugas mendorong ranjang menuju ruang operasi. Dewi dan ibunya menahan napas saat melihat tubuh Pak Basuki terbujur lemah di atas ranjang, kepala berbalut perban, wajahnya dipenuhi luka dan darah yang mulai mengering.“Pak …” bisik Dewi nyaris tak terdengar.Tanpa pikir panjang, Dewi dan ibunya langsung mengikuti di belakang brankar yang didorong petugas medis. Aksara menggandeng tangan Dewi erat, menyamakan langkah dengan keduanya.Suasana lorong rumah sakit terasa sunyi. Hanya bunyi roda ranjang yang berderit pelan dan desau napas tergesa yang terdengar. Beberapa perawat menyingkir cepat memberi jalan.Setibanya di depan ruang operasi, petugas berhenti. Seorang dokter bedah dan suster menyambu
“A-apa, Bu? Bapak... kecelakaan?” Suara Dewi mulai gemetar. “Tabrak lari?” Aksara langsung mendekat, menggenggam tangan Dewi yang mulai gemetar hebat. “Sayang, tenang. Gimana kondisi Bapak?” Dewi menahan napas, mendengarkan ibu di seberang sana yang menangis. “Bapak dibawa ke rumah sakit, katanya masih belum sadar ...” Air mata mulai mengalir dari mata Dewi. “Mas, kita harus ke sana sekarang.” Aksara mengangguk cepat tanpa banyak bicara. Ia langsung melepas apron, meraih kunci mobil dan jaket. “Kita berangkat sekarang. Kamu nggak sendiri, Sayang. Aku di sini.” Mata Dewi berkaca-kaca, menggenggam erat tangan suaminya. “Jangan lepasin aku ya, Mas, aku takut.” Aksara menariknya ke dalam pelukan. “Enggak akan. Aku janji.” Aksara menyalakan mesin mobil dengan cepat. Dalam hitungan detik, mobil melaju keluar dari tempat prkir, menembus gerimis yang mulai turun. Di kursi sebelah, Dewi m