Share

6. Perhitungan

Author: TrianaR
last update Last Updated: 2024-11-15 22:14:37

Part 6

[Mbak Dewi, jangan gak tau malu ya, cepat balikin uang mahar dan seserahan yang diberikan Mas Gala! Pernikahan kalian kan udah batal! Jangan makan hak orang lain!]

[Jangan khawatir, akan kukembalikan semua yang bukan menjadi hakku.] Balas Dewi dengan perasaan kesal.

[Baguslah kalau Mbak tahu diri.]

[Tentu saja, aku tidak seperti kamu!]

[Apa maksudmu, Mbak?]

Dewi mengusap wajahnya sembari menghela napas panjang. Seolah melepaskan beban penat di hatinya. Bagaimana mungkin ia mengembalikan uang seserahan itu sementara uangnya sudah terpakai untuk keperluan hajatan kemarin. Ia menggelengkan kepalanya pelan.

Melihat raut wajah sang istri yang berubah, Aksara berjalan mendekat.

"Kenapa? Ada apa, Dewi?" tanya Aksara. Karena Dewi tak kunjung menjawabnya, Aksaraa mengambil ponsel dari tangan istrinya lalu membaca pesan yang dikirimkan oleh Geni.

"Berapa?"

Dewi menatap Aksara dengan tatapan berkaca-kaca. Ingin berbicara tapi rasanya sungkan.

"Berapa uang mahar dan seserahan yang laki-laki itu berikan padamu, Dewi?"

"Uangnya dua puluh lima juta, sedangkan maharnya 1 set perhiasan emas. Tapi--"

"Tapi kenapa?"

"Uangnya sudah terpakai untuk acara pernikahan kemarin, Mas."

"Selain uang, apa ada lagi?"

"Iya, ada parcel hantaran yang isinya mukena, baju, tas dan sepatu terus skincare."

"Semuanya masih ada?"

"Masih, Mas. Masih utuh belum tersentuh."

"Kamu siapkan barang-barang itu, kita akan mengembalikannya. Untuk masalah uangnya kamu jangan khawatir, biar aku yang gantiin."

Dewi tertegun mendengar ketegasan sang suami.

"Mas, apa tidak apa-apa?”

“Tidak apa-apa, tidak masalah kok, kalau bisa nanti sekalian videoin lalu kirim ke Geni, biar dia percaya kalau barangnya sudah dikembalikan ke mantanmu yang pecundang itu.”

Dewi tersenyum. “Mas, sekali lagi terima kasih banyak sudah mau membantuku.”

Aksara menatapnya. “Kamu masih menganggapku orang lain?”

“Eh?”

Aksara meraih tangan Dewi sontak membuat gadis itu terlihat gugup. “Aku tahu kamu pasti masih canggung padaku. Tapi, belajarlah menerimaku, Dewi.”

“Ya, Mas. Maafkan aku, aku akan mencobanya,” jawab Dewi sambil mengalihkan pandangan ke arah jendela. “Aku cuma... butuh waktu.”

Aksara tersenyum lembut. “Aku mengerti, Dewi. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu.”

***

Langit masih tampak petang, kabut tipis menyelimuti jalanan, suasana masih begitu tenang hanya desahan angin lembut yang menyapa di pagi buta.

"Aku pergi dulu sebentar, nanti aku kembali lagi," ujar Aksara.

Dewi mengangguk. "Hati-hati di jalan, Mas."

Aksara memakai jaket dan helmnya. Lalu mengemudikan motor menyusuri jalanan pagi.

Sementara itu, Dewi mengumpulkan barang-barang yang diberi oleh Gala. Hantaran baju, mukena, skincare, tas, dan sepatu serta mahar 1 set perhiasan, memindahkannya ke satu tempat.

"Itu mau dikembalikan semuanya, Nak?" tanya Ibu.

"Iya, Bu. Aku gak butuh barang-barang ini. Aku juga gak ingin berurusan lagi dengan mereka."

Ibu mengangguk ikut membantunya, memastikan semuanya tertata dengan rapi. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Nak. Lebih baik putus hubungan dengan keluarga rese seperti itu dari pada diteruskan."

"Iya, Bu."

"Ibu berharap kamu cepat membuka hati untuk Aksara, dia sepertinya laki-laki yang baik."

Dewi hanya mampu mengangguk, karena iapun tak tahu harus menjawab apa.

Selang beberapa waktu, terdengar deru mobil berhenti di halaman. Dewi bergegas ke depan, setelah mendengar pintu diketuk. Rupanya yang datang adalah suaminya sendiri.

"Mas bawa mobil? Motornya dimana?" tanya Dewi sedikit heran.

"Aku tinggal di toko."

"Oh."

Lelaki itu memberikan amplop coklat berisi uang pada istrinya. "Ini dua puluh juta untuk kembaliin uang seserahan yang kemarin."

"Iya, Mas."

"Udah siap?"

"Udah semua, Mas, barang-barangnya di sana."

Aksara mengangguk.

Setelah semuanya siap, mereka berdua memutuskan untuk menuju rumah Gala. Sepanjang perjalanan, Dewi berusaha menenangkan diri, sementara Aksara tetap fokus.

Sesampainya di rumah tujuan ...

Di teras depan tengah berkumpul keluarga dan kerabat Gala, nampaknya tengah menikmati hari libur bersama

Suasana semula penuh canda tawa, tiba-tiba hening saat Aksara dan Dewi turun dari mobil dan berjalan menghampiri mereka sembari membawa barang.

Semua mata tertuju kepada mereka berdua. "Dewi datang tuh, mau ngapain ya? Jangan-jangan mau nuntut?!" celetuk salah seorang kerabat dengan nada yang cukup lirih.

"Selamat siang, Pak, Bu. Kami datang untuk mengembalikan barang-barang ini," kata Aksara dengan nada sopan sembari meletakkan barang-barang itu tak jauh dari mereka.

"Ini uang mahar dan semua seserahan serta hantaran yang pernah kalian berikan." Dewi menambahkan dengan suara yang bergetar, menahan emosi yang bercampur aduk.

Mereka saling bertukar pandang dengan raut wajah terkejut. Air mukanya berubah, antara bingung dan juga malu.

"Kenapa dikembalikan?" tanya Rahayu basa-basi. Ia adalah Tantenya Gala. Ia mengambil amplop coklat itu lalu menghitung uangnya.

"Saya tidak bisa menerima ini semua," lanjut Dewi, matanya mulai berkaca-kaca. "Ini demi kebaikan semua pihak. Hubungan sudah berakhir dan saya tak ingin disangkut pautkan lagi setelah ini."

Suara Dewi yang lantang itu seperti guntur di siang bolong yang menggema. Bahkan Gala sempat terkejut mendengar ucapan Dewi. Ia menatap Dewi dan Aksara secara bergantian.

"Benar ini ada dua puluh lima juta, Gal. Apa ada lagi biaya yang kamu keluarkan untuk Dewi mumpun orangnya masih di sini tuh!?" tanya Rahayu dengan sinis.

Gala menoleh sejenak, kemudian menatap Dewi. "Ya sebenarnya ada, pas ngajak dia jalan-jalan, beliin dia jajan, habis bensin itu juga pakai duit, Tante."

Dewi terkejut mendengar ucapan Gala, ternyata dia sangat perhitungan.

"Apa kamu sudah gila, Mas, kita hanya beberapa kali saja jalan keluar, itupun kamu jajanin aku Es Boba sama bakso saja. Akupun gak pernah minta hadiah aneh-aneh apalagi yang mahal," protes Dewi.

Namun, lelaki itu justru tersenyum masam. "Tidak usah khawatir Dewi, aku gak akan minta--"

"Berapa? Berapa banyak biaya yang kamu keluarkan untuk mengajak jalan-jalan dan beliin Dewi jajan? Hitung semuanya, aku akan bayar," tukas Aksara.

"Serius mau dibayari semua?" celetuk Rahayu dengan nada meremehkan.

"Iya, berapa?"

"Cih, sombong banget!"

"Mas--"

Aksara menatap Dewi, lalu mengusap lembut lengannya berusaha menenangkan.

Tanpa basa-basi Aksara mengeluarkan 50 lembar uang seratus ribuan dari saku jaketnya. "Segini cukup?"

Mereka terdiam, tak berani menjawab. Tetiba Gala bangkit menghampiri Aksara dan Dewi. Tatapannya tajam.

"Hei Bung, jangan mentang-mentang kau banyak uang jadi sombongnya selangit. Uang tidak menyelesaikan semuanya."

"Lho, kamu sendiri yang bilang tadi, kalau sudah keluar biaya untuk Dewi. Aku hanya gak ingin Dewi punya hutang sama kamu. Terima uang ini, sebagai ganti uang yang kamu keluarkan untuknya selama ini. Dan kuanggap masalah selesai. Jangan pernah ganggu Dewi lagi," ungkap Aksara penuh penekanan.

"Dan ada satu hal yang ingin aku luruskan. Dewi tidak seperti apa yang kamu tuduhkan, semua itu fitnah," ucap Aksara kembali.

"Fitnah? Lalu foto-foto itu bagaimana?" tanya Gala membela diri.

Aksara tersenyum masam. Dia langsung menggenggam tangan istrinya lebih erat. "Foto bisa saja cuma editan, zaman sekarang sudah canggih. Apa kamu tidak bisa membedakannya? Mana yang asli dan mana yang editan?"

Mata Gala membulat. "Kau--"

"Kami tidak ingin berdebat. Kami di sini hanya untuk menyelesaikan ini. Kami permisi," sela Aksara.

"Ayo, Sayang, kita pergi!" Aksara menarik tangan Dewi dan segera melangkah menuju mobilnya.

Gala mengepalkan tangannya, ada desir cemburu saat melihat Aksara memperlakukan mantan kekasihnya dengan baik.

"Memang benar gadis murahan, lepas dariku dia langsung bersama pria lain. Ckck!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   45. Ruang ICU

    Dewi menggenggam tangan Aksara kuat-kuat. “Dok, jadi Bapak saya belum sadar?”“Belum. Sejak dibawa ke sini, beliau dalam kondisi tidak sadar. Tapi kami akan lakukan yang terbaik. Mohon doanya.”Tak lama, pintu ruang UGD terbuka. Beberapa petugas mendorong ranjang menuju ruang operasi. Dewi dan ibunya menahan napas saat melihat tubuh Pak Basuki terbujur lemah di atas ranjang, kepala berbalut perban, wajahnya dipenuhi luka dan darah yang mulai mengering.“Pak …” bisik Dewi nyaris tak terdengar.Tanpa pikir panjang, Dewi dan ibunya langsung mengikuti di belakang brankar yang didorong petugas medis. Aksara menggandeng tangan Dewi erat, menyamakan langkah dengan keduanya.Suasana lorong rumah sakit terasa sunyi. Hanya bunyi roda ranjang yang berderit pelan dan desau napas tergesa yang terdengar. Beberapa perawat menyingkir cepat memberi jalan.Setibanya di depan ruang operasi, petugas berhenti. Seorang dokter bedah dan suster menyambu

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   44. Kritis

    “A-apa, Bu? Bapak... kecelakaan?” Suara Dewi mulai gemetar. “Tabrak lari?” Aksara langsung mendekat, menggenggam tangan Dewi yang mulai gemetar hebat. “Sayang, tenang. Gimana kondisi Bapak?” Dewi menahan napas, mendengarkan ibu di seberang sana yang menangis. “Bapak dibawa ke rumah sakit, katanya masih belum sadar ...” Air mata mulai mengalir dari mata Dewi. “Mas, kita harus ke sana sekarang.” Aksara mengangguk cepat tanpa banyak bicara. Ia langsung melepas apron, meraih kunci mobil dan jaket. “Kita berangkat sekarang. Kamu nggak sendiri, Sayang. Aku di sini.” Mata Dewi berkaca-kaca, menggenggam erat tangan suaminya. “Jangan lepasin aku ya, Mas, aku takut.” Aksara menariknya ke dalam pelukan. “Enggak akan. Aku janji.” Aksara menyalakan mesin mobil dengan cepat. Dalam hitungan detik, mobil melaju keluar dari tempat prkir, menembus gerimis yang mulai turun. Di kursi sebelah, Dewi m

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   43. Kabar

    Tak ada yang langsung menjawab. Tapi keheningan itu perlahan berubah menjadi pelukan hangat. Hari-hari setelah pemakaman, rumah itu perlahan kembali hidup. Arjuna memutuskan untuk menetap, membantu merawat rumah dan mengurus segala keperluan. Bella kembali tersenyum walau kadang masih sembab matanya. Aksara dan Dewi sering datang, bahkan Pak Arif mulai mengurangi pekerjaannya dan lebih sering duduk di ruang tamu, menatap foto-foto lama dan berbincang pelan dengan anak-anaknya. Suatu pagi, saat matahari menyinari halaman belakang, Bella meletakkan secangkir teh di meja kayu. Arjuna sedang menyapu dedaunan kering, sementara Pak Arif menyiram tanaman. “Aku nggak nyangka rumah ini bisa kembali hangat,” ucap Bella lirih. Arjuna tersenyum. “Karena Mama nggak pernah benar-benar pergi, Bel. Cinta Mama tetap tinggal di sini, di hati kita.” *** Beberapa hari setelah pemakaman... Malam itu,

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   42. Sesal

    Tangis belum sepenuhnya reda ketika terdengar suara pintu dibuka dengan kasar. Langkah berat terdengar mendekat. Semua orang di kamar saling berpandangan, kecuali tubuh sang ibu yang kini telah tenang dalam keabadian.Pak Arif berdiri di sana dengan wajah merah padam setelah melihat anak-anaknya berkumpul, matanya menatap tajam ke arah Arjuna.“Punya nyali juga kau pulang!” Suaranya menggelegar, memecah keheningan dan membuat Bella refleks berdiri.Arjuna berdiri perlahan, menatap ayahnya. “Aku tahu aku salah, Pa. Tapi—”“Diam kau!” bentak Pak Arif, melangkah cepat mendekat. “Kau baru muncul setelah ibumu hampir mati?! Kau enak-enakan hidup entah di mana, sementara ibumu tiap malam menangis, menyebut-nyebut namamu!”“Papa, cukup!” Aksara berdiri di antara mereka, menahan papanya yang hendak menampar Arjuna.“Jangan tahan Papa, Aksara! Anak ini harus diajarin! Seenaknya pergi dari rumah, balik saat semuanya terlambat!”

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   41 Berita Duka

    Bella juga terhuyung, pijakannya melemah, hingga akhirnya dia jatuh berlutut di samping Arjuna. Wajahnya pucat, matanya sembab, tangan gemetar mencoba meraih tangan ibunya yang dingin.“Mama, jangan ... Mama harus tetap di sini. Kita masih butuh Mama, Ma ...” Suara Bella pecah, air matanya mengalir deras. Arjuna menatap Bella, wajah mereka sama-sama penuh ketakutan dan kepedihan yang sama. Suara mereka bergetar, menggema di ruang itu yang kini sunyi dan penuh luka.“Ma ... aku tidak akan pernah meninggalkan Mama lagi. Aku janji, maafin aku, Ma." Arjuna menggenggam tangan ibunya semakin kuat, seolah itu satu-satunya pegangan terakhirnya.Bella terisak, Arjuna menunduk, dan dunia mereka runtuh dalam sekejap.Arjuna menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gemetar yang mengoyak dadanya. Matanya masih tertuju pada tubuh ibunya yang kini begitu tenang.“Bella ...” suaranya serak, “Tolong... tolong hubungi Papa dan Aksara. Katakan t

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   40. Kehilangan

    Part 25Beberapa saat kemudian, sang ibunda memejamkan mata. Arjuna terduduk di kursi kecil di samping ranjang. Matanya menatap wajah sang ibunda yang semakin tirus. Seorang perempuan berseragam putih masuk pelan-pelan sambil membawa nampan kosong.“Mba, perawat?” tanya Arjuna pelan, berusaha tidak membuat ibunya terkejut.Perawat itu mengangguk sopan. “Iya, Mas?”“Maaf ... tadi Ibu sudah makan?”Perawat itu menunduk sedikit, ragu. “Belum, Mas. Sejak beberapa hari terakhir, ibu cuma mau minum sedikit air putih ... itu pun susah. Bubur juga cuma satu suap yang masuk.”Arjuna memejamkan mata sejenak. Dadanya sesak. Lalu ia berdiri, menoleh ke perawat itu. “Mbak, tolong buatin bubur hangat ya. Yang lembut.”Perawat itu mengangguk cepat. “Iya, Mas.”Selang beberapa waktu, perawat itu kembali dengan semangkuk kecil bubur ayam polos, tanpa terlalu banyak bumbu. Arjuna mengambil mangkuk itu dengan hati-hati dan duduk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status