Part 6
[Mbak Dewi, jangan gak tau malu ya, cepat balikin uang mahar dan seserahan yang diberikan Mas Gala! Pernikahan kalian kan udah batal! Jangan makan hak orang lain!] [Jangan khawatir, akan kukembalikan semua yang bukan menjadi hakku.] Balas Dewi dengan perasaan kesal. [Baguslah kalau Mbak tahu diri.] [Tentu saja, aku tidak seperti kamu!] [Apa maksudmu, Mbak?] Dewi mengusap wajahnya sembari menghela napas panjang. Seolah melepaskan beban penat di hatinya. Bagaimana mungkin ia mengembalikan uang seserahan itu sementara uangnya sudah terpakai untuk keperluan hajatan kemarin. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Melihat raut wajah sang istri yang berubah, Aksara berjalan mendekat. "Kenapa? Ada apa, Dewi?" tanya Aksara. Karena Dewi tak kunjung menjawabnya, Aksaraa mengambil ponsel dari tangan istrinya lalu membaca pesan yang dikirimkan oleh Geni. "Berapa?" Dewi menatap Aksara dengan tatapan berkaca-kaca. Ingin berbicara tapi rasanya sungkan. "Berapa uang mahar dan seserahan yang laki-laki itu berikan padamu, Dewi?" "Uangnya dua puluh lima juta, sedangkan maharnya 1 set perhiasan emas. Tapi--" "Tapi kenapa?" "Uangnya sudah terpakai untuk acara pernikahan kemarin, Mas." "Selain uang, apa ada lagi?" "Iya, ada parcel hantaran yang isinya mukena, baju, tas dan sepatu terus skincare." "Semuanya masih ada?" "Masih, Mas. Masih utuh belum tersentuh." "Kamu siapkan barang-barang itu, kita akan mengembalikannya. Untuk masalah uangnya kamu jangan khawatir, biar aku yang gantiin." Dewi tertegun mendengar ketegasan sang suami. "Mas, apa tidak apa-apa?” “Tidak apa-apa, tidak masalah kok, kalau bisa nanti sekalian videoin lalu kirim ke Geni, biar dia percaya kalau barangnya sudah dikembalikan ke mantanmu yang pecundang itu.” Dewi tersenyum. “Mas, sekali lagi terima kasih banyak sudah mau membantuku.” Aksara menatapnya. “Kamu masih menganggapku orang lain?” “Eh?” Aksara meraih tangan Dewi sontak membuat gadis itu terlihat gugup. “Aku tahu kamu pasti masih canggung padaku. Tapi, belajarlah menerimaku, Dewi.” “Ya, Mas. Maafkan aku, aku akan mencobanya,” jawab Dewi sambil mengalihkan pandangan ke arah jendela. “Aku cuma... butuh waktu.” Aksara tersenyum lembut. “Aku mengerti, Dewi. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu.” *** Langit masih tampak petang, kabut tipis menyelimuti jalanan, suasana masih begitu tenang hanya desahan angin lembut yang menyapa di pagi buta. "Aku pergi dulu sebentar, nanti aku kembali lagi," ujar Aksara. Dewi mengangguk. "Hati-hati di jalan, Mas." Aksara memakai jaket dan helmnya. Lalu mengemudikan motor menyusuri jalanan pagi. Sementara itu, Dewi mengumpulkan barang-barang yang diberi oleh Gala. Hantaran baju, mukena, skincare, tas, dan sepatu serta mahar 1 set perhiasan, memindahkannya ke satu tempat. "Itu mau dikembalikan semuanya, Nak?" tanya Ibu. "Iya, Bu. Aku gak butuh barang-barang ini. Aku juga gak ingin berurusan lagi dengan mereka." Ibu mengangguk ikut membantunya, memastikan semuanya tertata dengan rapi. "Jangan sampai ada yang tertinggal, Nak. Lebih baik putus hubungan dengan keluarga rese seperti itu dari pada diteruskan." "Iya, Bu." "Ibu berharap kamu cepat membuka hati untuk Aksara, dia sepertinya laki-laki yang baik." Dewi hanya mampu mengangguk, karena iapun tak tahu harus menjawab apa. Selang beberapa waktu, terdengar deru mobil berhenti di halaman. Dewi bergegas ke depan, setelah mendengar pintu diketuk. Rupanya yang datang adalah suaminya sendiri. "Mas bawa mobil? Motornya dimana?" tanya Dewi sedikit heran. "Aku tinggal di toko." "Oh." Lelaki itu memberikan amplop coklat berisi uang pada istrinya. "Ini dua puluh juta untuk kembaliin uang seserahan yang kemarin." "Iya, Mas." "Udah siap?" "Udah semua, Mas, barang-barangnya di sana." Aksara mengangguk. Setelah semuanya siap, mereka berdua memutuskan untuk menuju rumah Gala. Sepanjang perjalanan, Dewi berusaha menenangkan diri, sementara Aksara tetap fokus. Sesampainya di rumah tujuan ... Di teras depan tengah berkumpul keluarga dan kerabat Gala, nampaknya tengah menikmati hari libur bersama Suasana semula penuh canda tawa, tiba-tiba hening saat Aksara dan Dewi turun dari mobil dan berjalan menghampiri mereka sembari membawa barang. Semua mata tertuju kepada mereka berdua. "Dewi datang tuh, mau ngapain ya? Jangan-jangan mau nuntut?!" celetuk salah seorang kerabat dengan nada yang cukup lirih. "Selamat siang, Pak, Bu. Kami datang untuk mengembalikan barang-barang ini," kata Aksara dengan nada sopan sembari meletakkan barang-barang itu tak jauh dari mereka. "Ini uang mahar dan semua seserahan serta hantaran yang pernah kalian berikan." Dewi menambahkan dengan suara yang bergetar, menahan emosi yang bercampur aduk. Mereka saling bertukar pandang dengan raut wajah terkejut. Air mukanya berubah, antara bingung dan juga malu. "Kenapa dikembalikan?" tanya Rahayu basa-basi. Ia adalah Tantenya Gala. Ia mengambil amplop coklat itu lalu menghitung uangnya. "Saya tidak bisa menerima ini semua," lanjut Dewi, matanya mulai berkaca-kaca. "Ini demi kebaikan semua pihak. Hubungan sudah berakhir dan saya tak ingin disangkut pautkan lagi setelah ini." Suara Dewi yang lantang itu seperti guntur di siang bolong yang menggema. Bahkan Gala sempat terkejut mendengar ucapan Dewi. Ia menatap Dewi dan Aksara secara bergantian. "Benar ini ada dua puluh lima juta, Gal. Apa ada lagi biaya yang kamu keluarkan untuk Dewi mumpun orangnya masih di sini tuh!?" tanya Rahayu dengan sinis. Gala menoleh sejenak, kemudian menatap Dewi. "Ya sebenarnya ada, pas ngajak dia jalan-jalan, beliin dia jajan, habis bensin itu juga pakai duit, Tante." Dewi terkejut mendengar ucapan Gala, ternyata dia sangat perhitungan. "Apa kamu sudah gila, Mas, kita hanya beberapa kali saja jalan keluar, itupun kamu jajanin aku Es Boba sama bakso saja. Akupun gak pernah minta hadiah aneh-aneh apalagi yang mahal," protes Dewi. Namun, lelaki itu justru tersenyum masam. "Tidak usah khawatir Dewi, aku gak akan minta--" "Berapa? Berapa banyak biaya yang kamu keluarkan untuk mengajak jalan-jalan dan beliin Dewi jajan? Hitung semuanya, aku akan bayar," tukas Aksara. "Serius mau dibayari semua?" celetuk Rahayu dengan nada meremehkan. "Iya, berapa?" "Cih, sombong banget!" "Mas--" Aksara menatap Dewi, lalu mengusap lembut lengannya berusaha menenangkan. Tanpa basa-basi Aksara mengeluarkan 50 lembar uang seratus ribuan dari saku jaketnya. "Segini cukup?" Mereka terdiam, tak berani menjawab. Tetiba Gala bangkit menghampiri Aksara dan Dewi. Tatapannya tajam. "Hei Bung, jangan mentang-mentang kau banyak uang jadi sombongnya selangit. Uang tidak menyelesaikan semuanya." "Lho, kamu sendiri yang bilang tadi, kalau sudah keluar biaya untuk Dewi. Aku hanya gak ingin Dewi punya hutang sama kamu. Terima uang ini, sebagai ganti uang yang kamu keluarkan untuknya selama ini. Dan kuanggap masalah selesai. Jangan pernah ganggu Dewi lagi," ungkap Aksara penuh penekanan. "Dan ada satu hal yang ingin aku luruskan. Dewi tidak seperti apa yang kamu tuduhkan, semua itu fitnah," ucap Aksara kembali. "Fitnah? Lalu foto-foto itu bagaimana?" tanya Gala membela diri. Aksara tersenyum masam. Dia langsung menggenggam tangan istrinya lebih erat. "Foto bisa saja cuma editan, zaman sekarang sudah canggih. Apa kamu tidak bisa membedakannya? Mana yang asli dan mana yang editan?" Mata Gala membulat. "Kau--" "Kami tidak ingin berdebat. Kami di sini hanya untuk menyelesaikan ini. Kami permisi," sela Aksara. "Ayo, Sayang, kita pergi!" Aksara menarik tangan Dewi dan segera melangkah menuju mobilnya. Gala mengepalkan tangannya, ada desir cemburu saat melihat Aksara memperlakukan mantan kekasihnya dengan baik. "Memang benar gadis murahan, lepas dariku dia langsung bersama pria lain. Ckck!"Dewi menoleh, lalu mengangguk pelan. “Kalau bukan aku, siapa lagi yang bisa jagain Bapak?”Aksara muncul dari dapur, membawa handuk kecil dan air hangat di baskom. Ia tak banyak bicara, langsung duduk di lantai dan mulai membersihkan tangan Bapak dengan lembut. Gerakannya penuh kasih, penuh perhatian.“Biar aku bantu mandiin nanti,” ucapnya lirih.Ibu tak bisa menahan air matanya. Ia hanya bisa menatap menantunya dengan rasa syukur yang sulit diucapkan.Setelah semua beres, Dewi dan Aksara duduk di teras, menyeruput teh hangat. Angin pagi mengelus wajah mereka.“Mas … kamu pernah nyesel nikah sama aku?” tanya Dewi tiba-tiba, suaranya lirih.Aksara menoleh cepat. “Kenapa kamu tanya gitu?”“Soalnya aku kayak beban. Mas harus urus aku, keluarga aku, sampai kerjaan Mas juga mungkin terganggu …”Aksara menatap Dewi dalam-dalam, lalu tersenyum kecil.“Kalau harus balik ke masa lalu dan pilih lagi, aku tetap a
Mobil ambulans dari Rumah Sakit akhirnya berhenti di depan rumah. Dewi langsung bergegas keluar bersama Aksara.Dua petugas membantu menurunkan tandu. Di atasnya, seorang lelaki tua terbaring lemah. Wajahnya pucat, satu sisi mulutnya agak mencong, dan sorot matanya kosong sesekali berkedip pelan.“Bapak …” bisik Dewi pelan, suaranya tercekat.Bapak hanya memutar kepalanya perlahan ke arah suara Dewi. Mulutnya terbuka sedikit, mengeluarkan suara pelan, “Heh … ha … ho …”Dewi menutup mulutnya dengan tangan, menahan isak.“Bapak pulang ya … Maaf ya, Pak, kami nggak bisa nyembuhin Bapak sepenuhnya,” ujarnya dengan suara bergetar.Aksara menguatkan pundaknya. Ia ikut membantu mengangkat tubuh sang Bapak dari tandu ke tempat tidur yang telah disiapkan. Di sudut ruangan, Ibu Dewi menyeka air mata dengan ujung kerudungnya. Ia duduk diam, menatap suaminya yang dulu penuh semangat mengurus ladang, kini hanya bisa terbaring.
“Nikahi aku,” ucap Geni, tanpa tedeng aling-aling.“Kamu tunjukkan ke semua orang kalau aku masih pemenangnya. Biar Dewi lihat. Biar semua orang lihat … kalau aku nggak kalah.”Gala memejamkan mata, lalu berdiri.“Lo gila. Ini bukan solusi, Gen! Lo bener-bener udah kelewat batas …”Geni ikut berdiri, wajahnya dingin tapi penuh tekanan.“Aku yang akan nutupin masalah kecelakaan ini, Mas. Aku yang bakal jaga rahasia itu rapat-rapat. Tapi sebagai gantinya, kamu harus balikin harga diriku. Mas Gala harus nikahin aku. Biar semua orang berhenti ngomongin tentang aku yang gagal nikah, dan ngomongin Dewi yang lebih beruntung."Gala masih menatapnya tajam“Kamu mau bebas kan, Mas Gala? Mau hidup tenang? Mau nggak dipenjara? Yaudah, tinggal nikahin aku. Aku bakal urus semuanya. Nama kamu bersih, rahasia aman. Dan aku dapat hidupku kembali.”Gala tertawa kecil, getir. “Hidup lo atau ego lo?”Geni mengangkat dagunya. “Sama a
Suara knalpot berisik, musik keras, dan aroma kopi instan bercampur dengan asap rokok memenuhi tempat tongkrongan di pojok jalan itu. Anak-anak muda tertawa seenaknya, tapi di salah satu sudut, Gala duduk sendiri. Kepalanya tertunduk, mata menatap kosong ke gelas yang tak disentuh. Tangan kirinya gemetar pelan. Nafasnya berat, dadanya seperti ditekan batu besar.Raka datang membawa dua gelas plastik berisi minuman. Ia mendekat dengan santai, tapi begitu melihat wajah Gala yang muram, langkahnya melambat."Bro, lu kenapa? Dari tadi kayak zombie. Nggak nyaut, nggak ngelirik. Lu abis berantem?”Gala nggak langsung jawab. Ia menarik napas panjang, tangannya mengepal.“Raka, gue nabrak orang.”Suaranya nyaris tak terdengar lirih, nyaris seperti bisikan.Raka terkejut. “Hah? Maksud lu? Lu serius?”“Gue... gue ikutin bapaknya Dewi. Gue cuma mau nakut-nakutin, sumpah. Tapi dia malah jatuh, kepalanya kebentur keras. Terus dia nggak ge
Dewi menggenggam tangan Aksara kuat-kuat. “Dok, jadi Bapak saya belum sadar?”“Belum. Sejak dibawa ke sini, beliau dalam kondisi tidak sadar. Tapi kami akan lakukan yang terbaik. Mohon doanya.”Tak lama, pintu ruang UGD terbuka. Beberapa petugas mendorong ranjang menuju ruang operasi. Dewi dan ibunya menahan napas saat melihat tubuh Pak Basuki terbujur lemah di atas ranjang, kepala berbalut perban, wajahnya dipenuhi luka dan darah yang mulai mengering.“Pak …” bisik Dewi nyaris tak terdengar.Tanpa pikir panjang, Dewi dan ibunya langsung mengikuti di belakang brankar yang didorong petugas medis. Aksara menggandeng tangan Dewi erat, menyamakan langkah dengan keduanya.Suasana lorong rumah sakit terasa sunyi. Hanya bunyi roda ranjang yang berderit pelan dan desau napas tergesa yang terdengar. Beberapa perawat menyingkir cepat memberi jalan.Setibanya di depan ruang operasi, petugas berhenti. Seorang dokter bedah dan suster menyambu
“A-apa, Bu? Bapak... kecelakaan?” Suara Dewi mulai gemetar. “Tabrak lari?” Aksara langsung mendekat, menggenggam tangan Dewi yang mulai gemetar hebat. “Sayang, tenang. Gimana kondisi Bapak?” Dewi menahan napas, mendengarkan ibu di seberang sana yang menangis. “Bapak dibawa ke rumah sakit, katanya masih belum sadar ...” Air mata mulai mengalir dari mata Dewi. “Mas, kita harus ke sana sekarang.” Aksara mengangguk cepat tanpa banyak bicara. Ia langsung melepas apron, meraih kunci mobil dan jaket. “Kita berangkat sekarang. Kamu nggak sendiri, Sayang. Aku di sini.” Mata Dewi berkaca-kaca, menggenggam erat tangan suaminya. “Jangan lepasin aku ya, Mas, aku takut.” Aksara menariknya ke dalam pelukan. “Enggak akan. Aku janji.” Aksara menyalakan mesin mobil dengan cepat. Dalam hitungan detik, mobil melaju keluar dari tempat prkir, menembus gerimis yang mulai turun. Di kursi sebelah, Dewi m