Share

7. Terlambat

Penulis: TrianaR
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-22 08:51:03

Part 7

Gala mengepalkan tangannya sembari menggeram kesal.

“Gal, ini dibawa masuk semua, lumayan lho buat ngasih ke Geni jadi gak perlu beli lagi. Perawakan mereka kan sama, jadi cocoklah ukurannya,” ujar Tante Rahayu.

Gala menoleh dengan ekspresi datar kemudian pergi begitu saja.

“Kamu mau kemana?”

“Aku keluar dulu, Tante saja yang urus semua ini!” tukasnya. Ia langsung menuju motornya dan melajukan kendaraan roda dua itu berusaha mengejar mobil Aksara.

“Apa aku gak salah dengar, dia memanggil Dewi sayang? Cih, sebenarnya sudah berapa lama mereka berhubungan?!” Pikiran Gala terus berputar-putar saat terbayang Dewi diperlakukan baik oleh lelaki itu.

Gala menghentikan motornya saat mobil itu berhenti di depan toko kue Aksara. Ia mengamatinya dari jauh. Namun hatinya makin panas saat melihat Aksara dan Dewi tampak tertawa bersama.

“Sial!” umpatnya.

“Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya pada diri sendiri. Dia turun dari motornya dan melangkah mendekat, bersembunyi di balik mobil yang terparkir. Dari sana, ia melihat Aksara memberikan kue kepada Dewi, senyuman mereka begitu hangat, seolah dunia hanya milik mereka berdua.

"Ini tidak bisa dibiarkan," gumam Gala, hatinya bergejolak. Ia mengeluarkan ponsel, berencana menghubungi seseorang. "Aku butuh bantuanmu."

***

“Makanlah yang manis-manis, biar harimu ikut manis,” ucap Aksara sembari menyodorkan cake strawberry pada Dewi.

Ia juga memberikan air putih hangat untuk istrinya.

Dewi meneguk air putih itu perlahan.

"Makasih ya, Mas.”

“Hmm, gimana perasaanmu sekarang?”

“Sudah jauh lebih baik dan satu persatu beban terlepas dari hatiku, Mas. Aku gak ada sangkut paut lagi sama Mas Gala.”

Aksara mengangguk. “Syukurlah, moga makin ke sana makin membaik ya!”

“Aamiin …”

“Kamu lihat ekspresi wajah mereka tadi?”

“Iya, Mas, kayaknya shock banget. Pasti mereka gak nyangka.”

Aksara menghela napas panjang. “Ya begitulah manusia."

Dewi terdiam sejenak sembari melihat cake strawberry itu. Tatapannya berkaca-kaca mengingat perlakuan Gala dan keluarganya.

“Kenapa cuma dilihat doang? Ayo dimakan!” tegur Aksara membuyarkan pikiran Dewi.

Dewi mengangguk lagi.

“Jangan bersedih—”

“Aku gak sedih, Mas. Aku hanya sedang berpikir, selama ini waktu yang kuhabiskan bersamanya itu sia-sia, aku tulus tanpa melihat kekurangannya, tetapi dia membuatku seperti tidak punya harga diri.”

“Itu namanya belum berjodoh. Tidak usah disesali. Sekarang kita fokus sama hari ini dan masa depan. Perihal jodoh itu unik ya, kamu gak nyangka kan akan menikah denganku?”

“iya, Mas, sama sekali gak ada dalam bayanganku.”

Aksara tertawa lirih.

“Mas, kok yang lain belum pada dateng?” tanya Dewi bingung karena suasana toko masih sepi.

“Aku liburkan tokonya. Kita kan masih dalam suasana pengantin baru, jadi kita bisa menikmati waktu berdua,” jawab Aksara.

Dewi tersenyum, hatinya menghangat. “Tapi, bagaimana dengan para pelanggan?”

“Biarkan saja, mereka bisa menunggu. Hari ini hanya untuk kita,” kata Aksara, menatap Dewi dengan penuh kasih.

Dewi tersipu malu.

"Tadi aku udah merekam saat ngembaliin maharmu pakai spy camera."

"Benarkah?"

Aksara mengangguk. Ia mengambil spy camera yang berbentuk seperti kancing baju dan menunjukkannya pada Dewi.

"Ayo ikut aku!"

Lelaki itu berjalan menuju ruang kerjanya, menyalakan laptop dan juga spy camera.

"Aku sengaja pakai spy camera ini agar tidak ketahuan tadi. Pasti mereka akan mencak-mencak kalau kita merekam pake HP."

Dewi tertegun mendengarnya. Ia bahkan tidak kepikiran sampai di situ.

"Nah, kamu bisa kirim video ini ke Geni. Biar dia puas. Aku kirim filenya ke nomor WA kamu ya!"

Dewi mengangguk, hatinya berdebar. Dia tidak menyangka Aksara begitu cerdik.

Aksara segera mengirimkan file video itu melalui W******p. "Ini dia. Pastikan Geni melihatnya."

Dewi membuka video tersebut dan melihat momen ketika mereka mengembalikan mahar dengan tegas.

"Iya, Mas, aku akan mengirimnya ke Geni."

“Sekarang kita tunggu responsnya. Apapun yang terjadi, kita hadapi bersama,” ucap Aksara sembari meraih tangan Dewi.

***

Geni berdiri di depan cermin, memandangi bayangannya dengan tatapan penuh ambisi.

"Cermin cermin coba katakan siapa yang paling cantik?" Geni berbicara sendiri dengan pantulan dirinya di cermin.

"Tentu saja Nona Geni yang paling cantik bukan Damay maupun Dewi, hahaha ...." jawabnya sendiri sambil tertawa.

Ia kembali mengoles wajahnya dengan make up.

Tring ....! Sebuah notifikasi pesan masuk ke aplikasi WA-nya.

Geni menoleh. "Ah, itu pasti dari Ayang Gala," ujarnya kemudian tersenyum. Gadis itu meraih ponsel yang tergeletak di meja.

Dahinya berkerut saat melihat video yang dikirimkan oleh Dewi.

"Oh jadi Mbak Dewi beneran sudah ngembaliin mahar dan seserahan itu. Bagus deh," gumamnya lagi. Namun ia tak berniat untuk merespon ataupun membalasnya.

Geni justru mengirimkan pesan ke nomor Gala.

[Mas, lagi dimana? Aku kangen ...]

Pesan itu terkirim tapi tak kunjung dibaca. "Aah, Mas Gala lagi kemana sih? Tumben-tumbenan dia cuekin chat aku!"

[Mas, nanti datang ke rumah ya! Aku tunggu lho!]

Sementara itu di tempat lain ...

“Jadi foto-foto sebanyak ini cuma editan?” tanya Gala pada temannya itu. Lelaki yang tengah menghadap layar computer itu mengangguk.

“Iya, ini jelas banget editannya. Gue pun bisa ngedit wajah lu ke sini!”

“Astaga!”

“Teknologi sekarang udah canggih, Bro, bahkan dua buah foto pun bisa digabung dijadikan satu video berpelukan ataupun yang lainnya,” sahut Riko.

Mulut Gala menganga mendengar penjelasan temannya yang memang mahir di dunia digital.

“Kenapa, Gal? Tunggu-tunggu, jangan bilang kalau lu terpengaruh karena foto-foto editan ini? Dia cewek lu kan?”

Gala mengangguk lemas. “Sayangnya hubungan kami udah berakhir, ya semua gara-gara ini. Gue sampai membatalkan pernikahan itu.”

“Jahat banget! Ini gak adil buat mantan cewek lu.”

“Aarggghh!” Gala menggeram kesal. Seketika kepalanya terasa berdenyut nyeri.

“Siapa yang mengirim foto-foto itu? Lu harus usut sih!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   45. Ruang ICU

    Dewi menggenggam tangan Aksara kuat-kuat. “Dok, jadi Bapak saya belum sadar?”“Belum. Sejak dibawa ke sini, beliau dalam kondisi tidak sadar. Tapi kami akan lakukan yang terbaik. Mohon doanya.”Tak lama, pintu ruang UGD terbuka. Beberapa petugas mendorong ranjang menuju ruang operasi. Dewi dan ibunya menahan napas saat melihat tubuh Pak Basuki terbujur lemah di atas ranjang, kepala berbalut perban, wajahnya dipenuhi luka dan darah yang mulai mengering.“Pak …” bisik Dewi nyaris tak terdengar.Tanpa pikir panjang, Dewi dan ibunya langsung mengikuti di belakang brankar yang didorong petugas medis. Aksara menggandeng tangan Dewi erat, menyamakan langkah dengan keduanya.Suasana lorong rumah sakit terasa sunyi. Hanya bunyi roda ranjang yang berderit pelan dan desau napas tergesa yang terdengar. Beberapa perawat menyingkir cepat memberi jalan.Setibanya di depan ruang operasi, petugas berhenti. Seorang dokter bedah dan suster menyambu

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   44. Kritis

    “A-apa, Bu? Bapak... kecelakaan?” Suara Dewi mulai gemetar. “Tabrak lari?” Aksara langsung mendekat, menggenggam tangan Dewi yang mulai gemetar hebat. “Sayang, tenang. Gimana kondisi Bapak?” Dewi menahan napas, mendengarkan ibu di seberang sana yang menangis. “Bapak dibawa ke rumah sakit, katanya masih belum sadar ...” Air mata mulai mengalir dari mata Dewi. “Mas, kita harus ke sana sekarang.” Aksara mengangguk cepat tanpa banyak bicara. Ia langsung melepas apron, meraih kunci mobil dan jaket. “Kita berangkat sekarang. Kamu nggak sendiri, Sayang. Aku di sini.” Mata Dewi berkaca-kaca, menggenggam erat tangan suaminya. “Jangan lepasin aku ya, Mas, aku takut.” Aksara menariknya ke dalam pelukan. “Enggak akan. Aku janji.” Aksara menyalakan mesin mobil dengan cepat. Dalam hitungan detik, mobil melaju keluar dari tempat prkir, menembus gerimis yang mulai turun. Di kursi sebelah, Dewi m

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   43. Kabar

    Tak ada yang langsung menjawab. Tapi keheningan itu perlahan berubah menjadi pelukan hangat. Hari-hari setelah pemakaman, rumah itu perlahan kembali hidup. Arjuna memutuskan untuk menetap, membantu merawat rumah dan mengurus segala keperluan. Bella kembali tersenyum walau kadang masih sembab matanya. Aksara dan Dewi sering datang, bahkan Pak Arif mulai mengurangi pekerjaannya dan lebih sering duduk di ruang tamu, menatap foto-foto lama dan berbincang pelan dengan anak-anaknya. Suatu pagi, saat matahari menyinari halaman belakang, Bella meletakkan secangkir teh di meja kayu. Arjuna sedang menyapu dedaunan kering, sementara Pak Arif menyiram tanaman. “Aku nggak nyangka rumah ini bisa kembali hangat,” ucap Bella lirih. Arjuna tersenyum. “Karena Mama nggak pernah benar-benar pergi, Bel. Cinta Mama tetap tinggal di sini, di hati kita.” *** Beberapa hari setelah pemakaman... Malam itu,

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   42. Sesal

    Tangis belum sepenuhnya reda ketika terdengar suara pintu dibuka dengan kasar. Langkah berat terdengar mendekat. Semua orang di kamar saling berpandangan, kecuali tubuh sang ibu yang kini telah tenang dalam keabadian.Pak Arif berdiri di sana dengan wajah merah padam setelah melihat anak-anaknya berkumpul, matanya menatap tajam ke arah Arjuna.“Punya nyali juga kau pulang!” Suaranya menggelegar, memecah keheningan dan membuat Bella refleks berdiri.Arjuna berdiri perlahan, menatap ayahnya. “Aku tahu aku salah, Pa. Tapi—”“Diam kau!” bentak Pak Arif, melangkah cepat mendekat. “Kau baru muncul setelah ibumu hampir mati?! Kau enak-enakan hidup entah di mana, sementara ibumu tiap malam menangis, menyebut-nyebut namamu!”“Papa, cukup!” Aksara berdiri di antara mereka, menahan papanya yang hendak menampar Arjuna.“Jangan tahan Papa, Aksara! Anak ini harus diajarin! Seenaknya pergi dari rumah, balik saat semuanya terlambat!”

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   41 Berita Duka

    Bella juga terhuyung, pijakannya melemah, hingga akhirnya dia jatuh berlutut di samping Arjuna. Wajahnya pucat, matanya sembab, tangan gemetar mencoba meraih tangan ibunya yang dingin.“Mama, jangan ... Mama harus tetap di sini. Kita masih butuh Mama, Ma ...” Suara Bella pecah, air matanya mengalir deras. Arjuna menatap Bella, wajah mereka sama-sama penuh ketakutan dan kepedihan yang sama. Suara mereka bergetar, menggema di ruang itu yang kini sunyi dan penuh luka.“Ma ... aku tidak akan pernah meninggalkan Mama lagi. Aku janji, maafin aku, Ma." Arjuna menggenggam tangan ibunya semakin kuat, seolah itu satu-satunya pegangan terakhirnya.Bella terisak, Arjuna menunduk, dan dunia mereka runtuh dalam sekejap.Arjuna menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gemetar yang mengoyak dadanya. Matanya masih tertuju pada tubuh ibunya yang kini begitu tenang.“Bella ...” suaranya serak, “Tolong... tolong hubungi Papa dan Aksara. Katakan t

  • SUAMI PENGGANTIKU SEORANG BOS   40. Kehilangan

    Part 25Beberapa saat kemudian, sang ibunda memejamkan mata. Arjuna terduduk di kursi kecil di samping ranjang. Matanya menatap wajah sang ibunda yang semakin tirus. Seorang perempuan berseragam putih masuk pelan-pelan sambil membawa nampan kosong.“Mba, perawat?” tanya Arjuna pelan, berusaha tidak membuat ibunya terkejut.Perawat itu mengangguk sopan. “Iya, Mas?”“Maaf ... tadi Ibu sudah makan?”Perawat itu menunduk sedikit, ragu. “Belum, Mas. Sejak beberapa hari terakhir, ibu cuma mau minum sedikit air putih ... itu pun susah. Bubur juga cuma satu suap yang masuk.”Arjuna memejamkan mata sejenak. Dadanya sesak. Lalu ia berdiri, menoleh ke perawat itu. “Mbak, tolong buatin bubur hangat ya. Yang lembut.”Perawat itu mengangguk cepat. “Iya, Mas.”Selang beberapa waktu, perawat itu kembali dengan semangkuk kecil bubur ayam polos, tanpa terlalu banyak bumbu. Arjuna mengambil mangkuk itu dengan hati-hati dan duduk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status