Dewi menggenggam tangan Aksara kuat-kuat. “Dok, jadi Bapak saya belum sadar?”“Belum. Sejak dibawa ke sini, beliau dalam kondisi tidak sadar. Tapi kami akan lakukan yang terbaik. Mohon doanya.”Tak lama, pintu ruang UGD terbuka. Beberapa petugas mendorong ranjang menuju ruang operasi. Dewi dan ibunya menahan napas saat melihat tubuh Pak Basuki terbujur lemah di atas ranjang, kepala berbalut perban, wajahnya dipenuhi luka dan darah yang mulai mengering.“Pak …” bisik Dewi nyaris tak terdengar.Tanpa pikir panjang, Dewi dan ibunya langsung mengikuti di belakang brankar yang didorong petugas medis. Aksara menggandeng tangan Dewi erat, menyamakan langkah dengan keduanya.Suasana lorong rumah sakit terasa sunyi. Hanya bunyi roda ranjang yang berderit pelan dan desau napas tergesa yang terdengar. Beberapa perawat menyingkir cepat memberi jalan.Setibanya di depan ruang operasi, petugas berhenti. Seorang dokter bedah dan suster menyambu
“A-apa, Bu? Bapak... kecelakaan?” Suara Dewi mulai gemetar. “Tabrak lari?” Aksara langsung mendekat, menggenggam tangan Dewi yang mulai gemetar hebat. “Sayang, tenang. Gimana kondisi Bapak?” Dewi menahan napas, mendengarkan ibu di seberang sana yang menangis. “Bapak dibawa ke rumah sakit, katanya masih belum sadar ...” Air mata mulai mengalir dari mata Dewi. “Mas, kita harus ke sana sekarang.” Aksara mengangguk cepat tanpa banyak bicara. Ia langsung melepas apron, meraih kunci mobil dan jaket. “Kita berangkat sekarang. Kamu nggak sendiri, Sayang. Aku di sini.” Mata Dewi berkaca-kaca, menggenggam erat tangan suaminya. “Jangan lepasin aku ya, Mas, aku takut.” Aksara menariknya ke dalam pelukan. “Enggak akan. Aku janji.” Aksara menyalakan mesin mobil dengan cepat. Dalam hitungan detik, mobil melaju keluar dari tempat prkir, menembus gerimis yang mulai turun. Di kursi sebelah, Dewi m
Tak ada yang langsung menjawab. Tapi keheningan itu perlahan berubah menjadi pelukan hangat. Hari-hari setelah pemakaman, rumah itu perlahan kembali hidup. Arjuna memutuskan untuk menetap, membantu merawat rumah dan mengurus segala keperluan. Bella kembali tersenyum walau kadang masih sembab matanya. Aksara dan Dewi sering datang, bahkan Pak Arif mulai mengurangi pekerjaannya dan lebih sering duduk di ruang tamu, menatap foto-foto lama dan berbincang pelan dengan anak-anaknya. Suatu pagi, saat matahari menyinari halaman belakang, Bella meletakkan secangkir teh di meja kayu. Arjuna sedang menyapu dedaunan kering, sementara Pak Arif menyiram tanaman. “Aku nggak nyangka rumah ini bisa kembali hangat,” ucap Bella lirih. Arjuna tersenyum. “Karena Mama nggak pernah benar-benar pergi, Bel. Cinta Mama tetap tinggal di sini, di hati kita.” *** Beberapa hari setelah pemakaman... Malam itu,
Tangis belum sepenuhnya reda ketika terdengar suara pintu dibuka dengan kasar. Langkah berat terdengar mendekat. Semua orang di kamar saling berpandangan, kecuali tubuh sang ibu yang kini telah tenang dalam keabadian.Pak Arif berdiri di sana dengan wajah merah padam setelah melihat anak-anaknya berkumpul, matanya menatap tajam ke arah Arjuna.“Punya nyali juga kau pulang!” Suaranya menggelegar, memecah keheningan dan membuat Bella refleks berdiri.Arjuna berdiri perlahan, menatap ayahnya. “Aku tahu aku salah, Pa. Tapi—”“Diam kau!” bentak Pak Arif, melangkah cepat mendekat. “Kau baru muncul setelah ibumu hampir mati?! Kau enak-enakan hidup entah di mana, sementara ibumu tiap malam menangis, menyebut-nyebut namamu!”“Papa, cukup!” Aksara berdiri di antara mereka, menahan papanya yang hendak menampar Arjuna.“Jangan tahan Papa, Aksara! Anak ini harus diajarin! Seenaknya pergi dari rumah, balik saat semuanya terlambat!”
Bella juga terhuyung, pijakannya melemah, hingga akhirnya dia jatuh berlutut di samping Arjuna. Wajahnya pucat, matanya sembab, tangan gemetar mencoba meraih tangan ibunya yang dingin.“Mama, jangan ... Mama harus tetap di sini. Kita masih butuh Mama, Ma ...” Suara Bella pecah, air matanya mengalir deras. Arjuna menatap Bella, wajah mereka sama-sama penuh ketakutan dan kepedihan yang sama. Suara mereka bergetar, menggema di ruang itu yang kini sunyi dan penuh luka.“Ma ... aku tidak akan pernah meninggalkan Mama lagi. Aku janji, maafin aku, Ma." Arjuna menggenggam tangan ibunya semakin kuat, seolah itu satu-satunya pegangan terakhirnya.Bella terisak, Arjuna menunduk, dan dunia mereka runtuh dalam sekejap.Arjuna menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan gemetar yang mengoyak dadanya. Matanya masih tertuju pada tubuh ibunya yang kini begitu tenang.“Bella ...” suaranya serak, “Tolong... tolong hubungi Papa dan Aksara. Katakan t
Part 25Beberapa saat kemudian, sang ibunda memejamkan mata. Arjuna terduduk di kursi kecil di samping ranjang. Matanya menatap wajah sang ibunda yang semakin tirus. Seorang perempuan berseragam putih masuk pelan-pelan sambil membawa nampan kosong.“Mba, perawat?” tanya Arjuna pelan, berusaha tidak membuat ibunya terkejut.Perawat itu mengangguk sopan. “Iya, Mas?”“Maaf ... tadi Ibu sudah makan?”Perawat itu menunduk sedikit, ragu. “Belum, Mas. Sejak beberapa hari terakhir, ibu cuma mau minum sedikit air putih ... itu pun susah. Bubur juga cuma satu suap yang masuk.”Arjuna memejamkan mata sejenak. Dadanya sesak. Lalu ia berdiri, menoleh ke perawat itu. “Mbak, tolong buatin bubur hangat ya. Yang lembut.”Perawat itu mengangguk cepat. “Iya, Mas.”Selang beberapa waktu, perawat itu kembali dengan semangkuk kecil bubur ayam polos, tanpa terlalu banyak bumbu. Arjuna mengambil mangkuk itu dengan hati-hati dan duduk