Balai dusun malam itu ramai. Lampu petromak yang tergantung di tengah ruangan berayun perlahan, bayangannya bergerak di dinding kayu. Pak RT, seorang pria berusia lima puluhan dengan wajah tegas dan alis tebal, duduk di kursi panjang bagian depan. Warga memenuhi ruangan, beberapa berdiri di pintu, sebagian lagi mengintip dari jendela.Kedua pria yang tertangkap tadi duduk di kursi panjang berhadapan dengan warga. Tangan mereka gemetar, wajah pucat, pandangan menunduk. Peluh membasahi leher mereka meski malam itu cukup dingin.Pak RT mengetuk meja kayu di depannya.“Baik. Saya minta semua tenang. Kita ingin dengar penjelasan dari dua orang ini. Kalian siapa, dari mana, dan apa tujuan kalian mengintai rumah Mas Yitno?”Keduanya saling pandang, tampak ragu. Salah satunya, yang berbadan agak kurus, membuka mulut.“Kami… kami cuma lewat, Pak…”“LEWAT?!” potong Rijal keras. “Bawa batu di tangan, jongkok di balik bambu, tengah malam, bilangnya cuma lewat? Mau bodohi siapa?!”Sorak dan gumama
Malam itu langit gelap gulita. Bulan tertutup mendung, menyisakan suasana mencekam di kampung kecil itu. Lampu di teras rumah Yitno menyala redup. Di sudut halaman, Rijal duduk bersandar di kursi kayu pendek, pentungan di tangan kanannya, senter menggantung di pinggangnya. Matanya awas menatap ke segala arah, sesekali menghela napas panjang mencoba menepis kantuk.Di dalam rumah, Sella terlelap dengan gelisah. Berkali-kali tubuhnya menggeliat dalam tidur, keringat dingin membasahi pelipis meski angin malam menembus celah genting. Yitno yang duduk di kursi dekat tempat tidurnya terjaga, matanya sembab, tetapi tetap awas. Pikirannya penuh dengan was-was.Tiba-tiba...Tok… tok… tok…Suara ketukan pelan terdengar dari arah pagar depan. Rijal segera berdiri, menggenggam erat pentungannya.“Siapa itu?!” teriak Rijal lantang.Sunyi. Tak ada jawaban.Rijal melangkah cepat mendekat ke pintu pagar. Ia menyorotkan senter, tapi tak ada siapa pun. Hanya jalan setapak kosong, dan semak-semak di sis
Hari-hari berikutnya, suara pagar besi yang diketok dan mesin molen semen yang berdengung terus terdengar dari rumah Yitno. Di balik tembok tinggi itu, Sella beristirahat dalam diam. Yitno sibuk mengawasi pekerjaan tukang, memastikan setiap sudut aman, setiap celah tertutup rapat. Rijal mulai rutin berjaga malam, duduk di bawah lampu temaram depan rumah dengan pentungan di samping termos kopinya.Namun di luar pagar itu, gelombang omongan miring makin menggulung besar. Dan Pak Kardi menjadi pemandunya.“Sekarang giliran siapa yang mau dibatasi aksesnya? RT? RW? Keluarganya sendiri?” ujar Pak Kardi suatu sore saat berkumpul di pos ronda bersama beberapa bapak-bapak lain.Pak Darto masih berusaha netral. “Dia cuma pengin istri dan rumahnya aman, Pak.”Pak Kardi langsung menyambar, suaranya meninggi. “Lha, semua orang juga pengin aman, Dar! Tapi kita ini hidup di kampung, bukan kompleks pejabat! Apa setiap orang mau pasang pagar kayak begitu juga?”Beberapa warga mulai mengangguk. Ada ya
Sella memegang perutnya erat-erat, rasa nyeri makin menajam. Nafasnya pendek-pendek, keringat dingin mulai merembes di pelipisnya. Dengan tangan yang gemetar, ia meraih ponsel yang tergeletak di atas meja ruang tamu.Jari-jarinya bergetar saat menekan nama Yitno di layar. Sekali dering. Dua kali.“Ya Allah, angkat dong Mas…” gumamnya lemah.Akhirnya terdengar suara berat yang familier. “Halo, Dik? Ada apa?”Suara itu jadi pemicu tangis kecil yang akhirnya pecah juga. “Mas… pulang sekarang… aku nggak kuat…”“Astaghfirullah. Kamu kenapa?”“Sakit, Mas… perutku kenceng banget. Aku takut…”“Ya Allah…” terdengar suara Yitno berbalik arah dari sawah. “Tahan sebentar, aku pulang sekarang! Jangan panik ya, aku segera sampai!”Yitno datang sekitar sepuluh menit kemudian. Nafasnya masih tersengal saat membuka pintu dan langsung memeluk istrinya yang terduduk lemah di lantai dekat kamar.“Kita ke dokter sekarang,” ucapnya tegas.Tak butuh waktu lama, mereka meluncur ke klinik ibu dan anak di kota
Sella berdiri diam di ambang lorong, memandangi punggung Budhe Inem yang semakin menjauh lalu menghilang di balik pintu. Suara pintu ditutup pelan oleh Darto menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di tengah rumah yang hening itu. Lalu hening. Tak ada yang berbicara. Bahkan istri Darto hanya menunduk, seperti ingin segera lenyap dari ruangan itu. Sella menarik napas pelan, lalu berbalik menghadap Yitno yang masih duduk memijat pelipis. Matanya tampak lelah, namun keteguhan wajahnya tak berubah sedikit pun.“Mas…” Sella akhirnya membuka suara. Yitno menoleh, mengangguk kecil.“Iya?” Sella ragu sejenak sebelum akhirnya melangkah mendekat dan duduk di sisi suaminya.“Kamu… pernah nyesel nggak?” suaranya nyaris tak terdengar. “Mengadopsi mereka berdua… Yumna, Yusna. Apa kamu pernah ngerasa ini semua terlalu berat? Terlalu… bukan bagian dari hidup kita?”Yitno menatap wajah istrinya lama. Mata Sella tampak berkabut, seperti menyimpan luka yang sulit dikatakan dengan kata-kata. Ia tahu
Yusna langsung berbalik badan, berjalan ke arah lemari kecilnya dengan langkah riang. Ia membuka pintu lemari sambil bersenandung pelan, benar-benar yakin bahwa kedatangan orang tuanya malam-malam seperti ini hanya berarti satu hal bahwa dia akan dibawa pulang. Entah karena kangen, atau karena merasa bersalah telah meninggalkannya jauh dari rumah.Sella dan Yitno hanya saling pandang. Yitno menahan napas panjang, sementara Sella menggenggam ujung bajunya erat.“Yusna…” panggil Sella pelan.“Iya, Bu?” jawab gadis itu riang, sambil melipat handuk kecil ke dalam tas.“Kami ke sini karena kami dapat telepon dari orang yang mengaku pihak asrama,” lanjut Sella, suaranya mulai mantap. “Katanya kamu hilang. Kami panik. Kami takut terjadi apa-apa dengan kamu.”Yusna langsung menoleh, wajahnya bingung. “Hah? Hilang? Aku? Siapa yang bilang? Aku dari tadi cuma di kamar. Terus makan, terus mandi, ya udah gitu aja.”Yitno melangkah maju, suaranya lebih tegas. “Ada orang yang pura-pura jadi petugas