Share

Pindah Rumah

Suamiku 90cm

Part 2 : Malam Pertama

Aku duduk di atas closet sambil memutar otak, mencari cara agar bisa terhindar dari pria cebol yang akan mengambil haknya sebagai suamiku itu.

Membayangkan saja aku sudah risi, apalagi melakukannya. Kuakui, aku memang sudah pernah melakukannya, tapi itu adalah kesalahan masa lalu yang ibu pun sudah mengetahuinya. Tapi aku belum siap jika harus melakukan itu bersama dia.

Kupejamkan mata mencoba menerka yang akan pria itu perbuat kepadaku. Aih, mengerikan sekali.

Oh, tidak!!! Aku menggeleng dan mengusap wajah dengan ngeri.

Kusandarkan kepala ke dinding dan menarik napas perlahan, mencoba mengusai diri dan menghilangkan ketakutan di hati.

'Tok-tok' terdengar suara pintu tempatku bersemedi diketuk seseorang.

"Dik, lama amat kamu di kamar mandinya? Kamu gak kenapa-kenapa, kan?" Teriakan pria itu seketika mengejutkan diriku yang ternyata sudah tertidur.

"Ya elah, aku tertidur rupanya." Dengan cepat kuusap bagian bawah bibir yang terkena air liur. "Entah air siapa juga ini kalau bukan air liurku?" Aku menyeringai kesal.

"Dik .... " Suara yang tak merdu itu terdengar lagi.

"Iya, Mas. Aku sakit perut," jawabku dengan berteriak pula.

"Oh, sakit perut. Coba keluar dulu, Dik, dari kamar mandinya! Minum obat sakit perut saja!"

"Masih mules, Mas, nanti bocor kalau keluar."

"Ya sudah kalau begitu. Kalau ada apa-apa, segera panggil, Mas ya, Dik!"

"Iya, Mas, tidur aja duluan. Kalau sakit perutku udah sembuh nanti nyusul tidurnya."

Kutempelkan telinga ke pintu kamar mandi untuk mendengarkan langkah kakinya. Aku mengelus dada dan bernapas lega, semoga ia segera tertidur.

Beberapa saat kemudian, kubuka pelan pintu kamar mandi sedikit. Mengintip dari celah-celah, pria kecil itu sudah terbaring di tempat tidur dengan mata terpejam.

Semoga dia sudah tidur. Aku mengelus dada lega. Perlahan kulangkahkan kaki menuju sopa yang berada di samping tempat tidur. Segera kurebahkan tubuh yang sedari tadi sudah sangat lelah.

Rasanya belum lama mata ini terpejam, tapi adzan magrib sudah berkumandang di masjid dekat rumah. Dinginnya AC mulai menusuk kulit, sehingga aku harus melipat tubuh dengan lutut meringkuk di dada.

Tiba-tiba tersengar suara memanggil namaku, "Dik, dDik Zilla. Bangun, Dik, kita sholat subuh bersama!"

Perlahan ku buka mata, terlihatlah pria itu sudah rapi dengan kopiah terpasang di kapala. Baju koko warna putih dan sarung warna abu-abu melekat di tubuhnya. Dengan senyum tersungging dia menatapku dengan mata tajamnya.

Oh, my god. Aku harus terbiasa ketika membuka mata langsung melihat dia. Dia si mata tajam dengan senyum yang menyeramkan. Aku meringis ngeri.

"Mas duluan saja, nanti aku menyusul belakangan. Lagian waktunya masih lama kok," jawabku dan kemudian kembali menutup mata.

"Ayo, Dik, bangun dulu sebentar! Wudhu dan sholat. Jangan nanti-nanti lagi, nanti ketiduran dan kesiangan sholat subuhnya. Tidak baik menunda sholat," ucapnya lembut dengan suaranya yang jelek.

"Menyebalkan sekali pria ini!" rutukku dalam hati dan kemudian bangkit dengan mata yang setengah terpejam menuju toilet untuk berwudhu.

'Bruggg' Aku meringis sambil memegangi dahi yang terasa sakit.

"Hati-hati, Dik, jalannya," teriaknya dari belakang ketika melihat jidatku terbentur pintu toilet karena jalan sambil mata setengah terpejam.

Setelah berwudhu, aku sholat di belakang pria cebol itu dengan menjadi makmumnya. Rasanya janggal sekali diimami dia dan aku harus terbiasa berdiri di belakang pria kecil ini dan mencium punggung tangannya yang kecil itu setelah selesai sholat. Dan terbiasa melihat senyum jeleknya itu ketika menatapku.

Dengan cepat aku melipat sajadah dan mukena. Kemudian kembali berbaring di sofa kemudian memejamkan mata kembali.

"Dik, Mas mau jalan-jalan pagi dulu ya!" ucapnya sembari kudengar bunyi pintu terbuka dan kemudian tertutup kembali.

Aku kembali membuka mata dan langsung melompat ke tempat tidur empukku. Memeluk guling kesayangan dan menuju alam mimpi.

Lama sekali aku tertidur, sampai terdengar suara Ibu yang mengejutkanku.

"Bangun, Zilla. Sudah jam 10.00, mau tidur sampai jam berapa kamu?"

Dengan malas aku menggeliat dan membuka mata perlahan.

"Ayo bangun, jadi istri kok bangunnya siang begini!" omel ibu.

"Mumpung libur, Bu," jawabku kemudian berlalu ke kamar mandi karena malas banget pagi-pagi sudah mendengarkan omelannya.

Siang ini, aku duduk makan siang bersebelahan dengan pria itu. Iya,dia suamiku. Di samping kiriku ada ibu dan di depanku ada Bang Fraditya bersama kak Metha istrinya serta putri Farah yang berusian lima tahun.

Melirik Mas Syafril dan kemudian menatap keponakanku si Farah, tinggi mereka hampir sama. Aduh, suamiku kok pendeknya kebangetan sekali. Hatiku menjerit menangisi takdir tak indah ini.

Oh, my god. Dosaku semakin bertumpuk saja semenjak menjadi istri pria cebol ini, karena selalu mengumpat dirinya. Astagfirullahal'adzim, kuelus dada dalam yang terasa sesak.

Hatiku semakin dongkol ketika melihat kak Metha menahan senyum ketika melirik ke arahku kemudian beralih ke Mas Syafril.

Dih, pasti dia menetertawakan kekonyolan ini. Aku menarik napas kesal dan kemudian segera menyudahi makan.

Tapi ketika aku hendak bangkit dari duduk, ibu menghentikan langkahku.

"Mau ke mana kamu, Zil?" tanya ibu.

"Ke kamar, Bu. Zilla udah selesai makannya."

"Duduk kembali, Zil! Nak Syafril mau bicara kepada kita semua," ucap Ibu sembari memberi isyarat menyuruhku kembali ke tempat duduk.

Kutatap tajam mata ibu sembari menghembuskan napas kesal. Aku duduk kembali sambil menopang dagu dengan kedua tanganku.

"Ibu, Bang Fraditya dan kak Metha. Saya berniat ingin membawa Frazilla pindah ke rumah, bagaimana menurut Ibu dan Abang? Dan Frazilla, apa kamu bersedia?" ucapnya dengan mengedarkan pandangan ke kami satu persatu.

"Ibu sih setuju saja, sekarang Zilla sudah menjadi istrimu. Jadi, ya ... terserah kalian berdua saja. Bagaimana Zilla?" Ibu memandang ke arahku.

Hemm, bagaimana ini? Yes or No, ya? Kuputar bola sambil memacu kinerja otak.

Sebenarnya aku akan lebih leluasa bersikap jika tinggal terpisah dengan Ibu dan Bang Fradit. Tapi pria itu yang akan leluasa terhadapku. Ah ... itu tidak mungkin! Aku yang akan berkuasa jika hanya kami berdua yang tinggal bersama, dia tidak akan berani denganku. Kalau ado jotos dengan dia pun, sudah pasti aku yang akan menang.Cerocosku dalam hati dengan sambil tersenyum sendiri dan manggut-manggut.

"Bagaimana, zil?" Pertanyaan ibu mengagetkan aku.

Degggg....ternyata tanpa kusadari semua mata tertuju padaku.

"Ah iya, Zilla mau. Iya, mau," jawabku tergagap sembari membenarkan duduk dan mencoba tersenyum.

"Alhamdulillah kalau, Dik Zilla setuju." Kulihat pria itu begitu senang.

"Oh iya, kapan pindahnya, Mas? Kalo mau hari ini, Zilla oke-oke saja."

"Jangan hari inilah, besok saja," sanggah ibu.

"Biar sajalah, Bu, kalau mereka sudah tidak sabar lagi dan ingin pindah hari ini juga. Namanya juga pengantin baru, biar lebih tenang dan asyik berduaan. Iya kan, Fril?" Bang Fradit menggoda mas Syafril dengan senyum jahilnya.

Dan yang digoda pun tersenyum malu-malu.

"Ah ... Bang Fradit bisa saja." Mas Syafril mengelap keringat di dahinya.

Astaga, aku jengkel sekali melihatnya.

Bersambung ....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nisa
bagus ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status