“Cepetan Biru! Kamu ini dandannya lama sekali!”
“Sabar Pak. Ini sebentar lagi selesai.” “Lagian ya kamu dandan lama pun tidak akan merubah bentukan wajah kamu yang biasa saja itu!” Biru yang sedang memoles bibirnya dengan lipstik berwarna merah cabe itu sampai tak fokus karena mendengar kekesalan Benua. Seharusnya dia yang melontarkan kekesalan ke Benua, tadi sore pria itu menolak kedua wanita pilihannya begitu saja. Satu jam kemudian Benua tiba-tiba meminta Biru untuk menemani ke pesta ulang tahun teman pria itu. “Bos macam apa yang harus menunggu asisten pribadinya sampai lumutan begini? Seharusnya kamu yang nungguin saya, ini saya harus jemput kamu dan nungguin kamu pula. Hadeh!” Tidak ada habisnya Benua menggerutu, padahal belum ada lima menit dia sampai di depan gang rumah Biru dan menunggu wanita itu. “Kok jadi nyalahin saya Pak? Pak Benua sendiri yang mendadak minta tolong ke saya untuk menemani Pak Benua ke birthday party teman Pak Benua dan Pak Benua bilang sendiri akan menjemput saya.” “Paling pintar memang kamu kalau urusan menyalahkan orang!” gerutu Benua untuk kesekian kalinya lalu mengakhiri obrolan dengan Biru. Biru menggeram di dalam kamarnya setelah mendengar bertubi-tubi kekesalan Benua. Ketiga adiknya, Auriga, Akash dan Flower datang bersama ke kamar Biru, takut kakaknya sedang kesurupan mendengar suara geraman mengerikan seperti tadi. “Kakak kenapa?” tanya Flower, adik Biru yang paling kecil berusia 11 tahun. “Nggak papa kok. Ini kesel aja pasang bulu mata nggak bisa-bisa hehe,” sahut Biru berusaha tenang. “Kalian keluar ya. Kakak mau lanjut dandan lagi.” “Syukurlah Kak kalau cuman karena bulu mata. Aku kira kakak kesurupan, padahal aku udah siap mau praktekin cara menangani orang kesurupan yang aku dapat dari internet.” Auriga adik paling besar Biru berusia 20 tahun itu terkikik. Ketiga adik Biru kemudian tertawa bersama, Biru pun menanggapi celotehan adiknya dengan tawa. Setelah ketiga adiknya keluar dari kamar, Biru lanjut memoles bibirnya lagi yang tadi sempat terhambat karena mendengar omelan bosnya. Dibalut dress hitam yang sedikit mencetak lekuk tubuhnya, Biru tampak lebih cantik dan sek*i malam ini. Rambutnya yang biasa dikucir malam ini dibiarkan tergerai sampai menutup punggung. “Kakak pergi dulu. Kalian tidurnya jangan malam-malam.” Biru berpesan sambil terburu-buru mengenakan high heels berwarna merah senada dengan warna lipstik dan tas selempang yang dia kenakan. Biru mempercepat langkah sebelum bosnya yang mudah tantrum itu mengomel lagi seperti tadi. “Sudah tujuh menit saya menunggu kamu, Biru!” tegur Benua langsung saat Biru masuk ke dalam mobil duduk di sampingnya. “Ma....” “Simpan kata maafmu. Saya bosan mendengarnya.” Biru mengatupkan mulutnya rapat, dia memilih diam hingga sampai di tempat pesta ulang tahun teman Benua. *** “Halo mantan.” Biru tersedak saat sedang menikmati makanan ringan di pesta ulang tahun teman Benua, Gery namanya. Dia melotot setelah memastikan pria yang berada di dekatnya dan barusan menyapanya adalah mantannya—Handika. Di samping kanan mantannya berdiri perempuan sek*i mengenakan dress berwarna ungu. “Lo datang sama siapa? Kok bisa ada di pesta ini.” “Gue datang sama—“ “Gue dong datang sama pacar baru gue yang cantik dan aduhai. Nggak kayak lo yang rata.” Handika lebih dulu bicara sebelum Biru memberikan jawaban. Dia melirik pacar barunya lalu tertawa kecil bersama dengan wanita itu. Mulut Biru sudah gatal ingin memaki-maki mantannya, tapi dia tidak ingin merusak pesta ulang tahun orang lain. “Oh ... lo datang sama bos lo. Hmm … udah gue duga, lo kalau sama dia senangnya nempel terus. Yah daripada duit nggak cair. Iya nggak?” ucap Handika meledek Biru lalu melirik Benua lagi yang berdiri tidak jauh dari Biru, sedang mengobrol dengan Gery. Wajah Biru sudah menegang dipenuhi kemarahan, gelas di dekatnya itu rasanya ingin dia lempar ke wajah Handika dan pacar baru pria itu yang ikut menertawakannya. “Dadah mantan.” Handika menggandeng pacar barunya, dia tersenyum miring sambil berjalan menjauh dari Biru. Pacar baru Handika pun ikut menatap Biru sinis. “Dasar pasangan edan. Ya lo cocok banget sama tuh perempuan. Edannya selevel. Nyesel banget dulu gue jadi pacar tuh cowok!” Biru mengentak-entakkan kasar kakinya ke lantai. Biru belum bisa tenang, dia masih sangat marah karena ucapan dan tatapan merendahkan Handika tadi. Biru pergi dari keramaian dan menuju toilet. Biru hanya ingin membasuh wajahnya, tidak peduli jika itu merusak riasannya. “Bisa-bisanya ya gue bertahan empat tahun sama Handika. Dia emang sering ledekin gue dan suka ngambek nggak jelas, tapi gue yang bucin banget sama dia jadi nggak pernah sadar sama keburukan dia,” gerutu Biru di depan cermin yang berada di dalam toilet. Sebelum Benua mencari-carinya, Biru lalu keluar dari toilet. “Oh ... Jadi kamu sudah putus.” “Pak Benua.” Biru melonjak, Benua sudah berada di luar toilet, pria itu berdiri sambil bersandar di tembok. “Kok Pak Benua tahu?” “Saya mendengar ucapan dia ke kamu tadi. Kamu diputusin kenapa?” “Saya nggak mau bahas itu Pak. Mau pulang sekarang apa gimana nih Pak?” “Diputusin gara-gara rata ya?” “Pak!!” Biru belum selesai dengan kemarahannya karena Handika, tapi si bos menambah-menambah kemarahan Biru. Pria itu kemudian melangkah lebih dulu sambil tertawa-tawa. “Setidaknya kalau kamu sudah putus, saya tidak lagi mendengar suara berisik kamu yang suka bilang 'ayang aku kangen, ayang I love you, bla bla bla' menggelikan sekali kamu!” Biru menghentikan langkah, terkejut luar biasa mendengar penuturan bosnya tadi, dari mana bosnya tahu dia sering mengatakan itu ke Handika? “Kok Pak Benua bisa tahu kalau saya pernah bicara begitu?” tanya Biru, dia melangkah lagi menyusul Benua yang sudah berjalan cukup jauh di depannya. “Jelas saya tahu. Kamu sering curi-curi waktu buat menghubungi pacar kamu!” sahut Benua. Biru tersenyum canggung, dia malu sendiri, ternyata selama ini bosnya tahu salah satu kelakuannya saat di tempat kerja. Dia memang bucin parah ke Handika. “Heran saya sama kamu, lelaki begitu saja sampai bikin kamu begitu.” “Dia tuh dulu salah satu cowok keren di kampus Pak. Waktu tahu dia naksir sama saya, ya saya nggak bisa nolak.” Benua yang alergi cinta-cintaan sampai bergidik mendengar cerita singkat Biru tentang mantannya. “Kita pulang sekarang!” perintah Benua mengakhiri bahasan tentang kisah cinta Biru. Benua berpamitan dahulu ke Gery—teman Benua sejak SMA dan kuliah. “Makin cakep aja tuh aspri lo. Ya kali nggak demen sama dia.” Gery berbisik saat Benua menepuk pelan pundaknya. Benua berdecak kesal, lalu mengusap-usap telinganya setelah mendengar bisikan Gery tadi. “Tuh perempuan bikin gue emosi terus. Kalau nggak karena kasihan ogah gue nerima dia jadi aspri gue.” Benua balas berbisik. Biru menyelidik serius saat melihat Benua dan Gery saling balas berbisik sambil menatap ke arahnya. Biru menunduk melihat pakaian yang dia kenakan, dia rasa tidak ada yang salah. “Apa mungkin masalahnya bukan di baju gue, tapi di bentuk tubuh gue? Apa iya gue serata itu? Padahal bagian depan dan belakang gue lumayan oke,” gumam Biru tiba-tiba jadi tak percaya diri ingat ucapan Handika yang meledeknya. “Hai Benua!” sapa seorang wanita yang kini sedang berjalan dengan lenggokan indahnya mendekati Benua. Mata Biru melotot, dia tak menyangka melihat wanita itu—Darla pemilik bisnis kecantikan yang produknya sudah populer di Indonesia, Biru bahkan mengenakan salah satu produk dari brand kecantikan milik wanita itu. “Mukanya lebih cantik aslinya.” Biru memuji sampai melongo melihat wanita itu. Dia yang wanita saja sampai minder melihat Darla yang begitu bening dan memiliki bentuk tubuh yang indah, bentuk tubuh idaman banyak wanita. Wanita itu, Darla sedang cipika cipiki dengan Benua lalu bergantian dengan Gery. Darla lalu mengajak berbincang kedua pria itu. Tidak ingin terlihat bodoh di dekat kedua pria dan satu wanita itu, Biru mundur perlahan, sedikit menjauh dari ketiganya. “Oh … mereka saling kenal sejak SMA. Keren.” Biru bertepuk tangan pelan saat memperhatikan serius Darla bersama kedua pria itu. “Ih Pak Benua kenapa masang wajah lempeng begitu sih? Mana diajak ngobrol sama Mbak Darla jawabnya datar aja lagi.” Biru mendengus kesal melihat respons dingin yang bosnya berikan ke Darla saat wanita itu mengajak Benua mengobrol. “Setahu gue kan Mbak Darla udah cerai sama suaminya, boleh tuh Pak Benua sama Mbak Darla, si janda premium, hihi.” Biru menutup mulutnya, dia takut kelepasan tertawa saat ide hebat itu tiba-tiba melintas di kepalanya, ide membuat Darla agar bisa menjadi istri Benua. “Biru, ayo kita pulang!” seru Benua tiba-tiba membuat Biru terkesiap. “Iya siap Pak.” Biru menyahut cepat. “Dia siapa Benua?” tanya Darla melirik Biru yang kini mendekat ke arah Benua. “Dia asisten pribadi saya,” sahut Benua. “Hai Mbak Darla. Saya salah satu fans Mbak Darla.” Biru meniup-niup telapak tangannya hendak bersalaman dengan Darla. “Eh Pak!” teriak Biru karena Benua tiba-tiba menarik tangannya, dia gagal bersalaman dengan Darla padahal tadi Darla hampir menyambut tangan kanan Biru. Di dalam mobil Biru menggerutu berkali-kali karena Benua sudah menggagalkan keinginannya yang ingin bersalaman dengan Darla. “Tingkah kamu tuh berlebihan sekali sih Biru. Ngapain pengin salaman sama dia segala, hah?!” “Ih … saya kan ngefans sama dia, Pak. Saya suka lihat konten-konten dia di media sosial tentang kecantikan.” Benua mendesah kasar, mobil yang dia kendarai melaju lebih cepat setelah keluar dari halaman rumah Gery. “Oh iya Pak, ternyata dia teman SMA Bapak ya?” “Bukan teman hanya sekadar kenal!” “Walaupun sekadar kenal, tapi Pak Benua cocok lho sama Mbak Darla. Dia setara sama Pak Benua. Walaupun dia janda, dia janda premium Pak. Buruanlah gas dapetin dia Pak!” Ucapan Biru dibalas lirikan tajam Benua, dia lalu fokus ke depan lagi. “Saya akan membantu Pak Benua untuk mendapatkan Mbak Darla. Saya serius Pak.” Biru berucap dengan bersungguh-sungguh. “Bisa diam tidak kamu, hah?!” bentak Benua. “Pak Benua kok malah marah sih. Bukannya senang ya sama ide saya barusan.” “Nggak senang sama sekali, Biru. Saya tidak tertarik sama dia mau dia sudah pernah menikah ataupun belum!” Biru melongo sempurna, menurutnya ada yang salah dengan Benua. Bisa-bisanya pria itu tidak tertarik dengan Darla, dia yang perempuan saja terpesona saat melihat wanita itu. “Kok bisa Pak Benua nggak tertarik sama Mbak Darla?” “Ya jelas bisa. Kenapa saya harus tertarik?” “Hm … kayaknya memang benar ya ada yang salah sama Pak Benua.” Mobil yang Benua kendarai berhenti mendadak, sebentar lagi sampai di depan gang rumah Biru. “Apa maksud kamu bicara begitu?” tanya Benua marah. “Pak Benua nggak nor—mal, nggak suka perempuan,” balas Biru terbata. Emosi Benua langsung meledak, tergambar jelas di wajahnya yang terlihat tegang. Benua lalu membunyikan klakson tiba-tiba membuat Biru terkejut. “Lancang sekali kamu bilang begitu Biru!” Benua menarik tangan kanan Biru membuat wanita itu mendekat ke tubuhnya. Biru tidak sanggup mengatakan apa pun, dia gemetar tiba-tiba saat pria itu menarik tangannya dan melihat sepasang mata Benua yang tajam itu dalam jarak sedekat ini. “Saya buat bunt1ng tahu rasa kamu!” tegas Benua tepat di depan wajah Biru.5 tahun berlalu.Hari Minggu ini, Renando kembali berkunjung ke rumah itu. Suara tawa anak kecil dari dalam rumah itu menarik Renando untuk melangkah lebih cepat, dia tak sabar menemui pemilik tawa itu. Dia terdiam di depan pintu rumah yang sedikit terbuka, di tangan kanan dan kirinya menenteng bingkisan besar berisi mainan untuk anak itu yang di ujung sana masih tertawa bersama seorang wanita, mama anak itu.“Om Renando!” teriak anak kecil berusia 4 tahun lebih itu setelah menoleh dan melihat kehadiran Renando.Setelah melihat kehadiran Renando, anak kecil itu segera melepaskan dirinya dari pelukan mamanya kemudian berlari mendekati Renando, memeluk hangat Renando.Renando kemudian mengangkat tubuh anak kecil itu, bernama Bhaskara Putra Nabiru, anak Biru bersama Benua.Tiga bulan setelah resmi bercerai dengan Benua saat itu, Biru baru tahu dia sedang hamil. Saat itu, dia abai saja dengan tanda-tanda kehamilan yang dia rasakan, mulai dari telat datang bulan, sering pusing, dan mual-m
3 tahun yang lalu.“Semoga aja Pak Benua mau berbaik hati sama gue dan menerima gue jadi asisten pribadinya.”Benua mencari sumber suara yang barusan menyebut namanya, hingga dia menemukan wanita itu, Biru sedang terduduk di bangku taman.Sementara Benua berada di taman itu hanya sedang ingin mampir, dulu saat masih kecil, dia pernah ke taman itu bersama mamanya. Tapi sejak kondisi mamanya kacau, dia sudah jarang menghabiskan waktu di luar rumah bersama mamanya.Benua penasaran dengan wanita itu, Biru yang tadi siang baru dia wawancara sebagai salah satu kandidat asisten pribadinya.“Semoga aja, usaha gue sampai memohon sama Pak Benua nggak berakhir sia-sia. Kalau gue gagal mendapatkan pekerjaan lagi, gue harus gimana? Bukan cuman gue aja yang gue pikirin, tapi gue mikirin ketiga adik gue yang masih sekolah.”Biru menangis lagi, takut jika sungguhan gagal mendapat pekerjaan lagi, mengingat setelah lulus kuliah, dia sudah gagal berkali-kali untuk mendapatkan pekerjaan. Biru trauma deng
“Aku udah mencoba bertahan Mas, tapi aku udah nggak kuat lagi sama kelakuan kamu yang seenaknya. Aku mau berpisah dari kamu Mas Benua!” Biru dengan tegas dan lantang mengutarakan keinginannya ingin berpisah dari Benua.Sudah sebulan lebih Biru menahan diri untuk tetap bersabar menghadapi Benua yang berubah tiba-tiba, pria itu menjadi sangat dingin, kasar, parahnya suka mabuk-mabukkan, dan sudah berciuman dengan wanita lain.Biru masih berdiri tegak di dalam ruangan kerja Benua menunggu respons Benua. Hingga pukul 7 malam, Benua tidak juga pulang dari kantor, sedangkan di luar suasana sudah sangat sepi, di lantai lima hanya tersisa Biru dan Benua.Biru sendiri tidak bisa menunggu untuk mengutarakan keinginannya itu nanti saat pulang ke rumah, dia ingin Benua tahu sekarang juga, bahwa dia sungguh ingin berpisah dari pria itu.Sekarang Biru masih menatap Benua yang masih duduk membelakanginya.“Kamu yakin mau berpisah dari aku, Biru?” Benua baru memutar kursi kebesaran yang dia duduki da
“Terima kasih banyak ya Mas Renando udah antar Mas Benua ke rumah,” ucap Biru ke Renando yang mengantar Benua pulang malam ini.Biru tadi pulang terburu-buru dari apartemen Ully ke rumah Benua setelah Renando menghubunginya dan memberitahu keadaan Benua yang mabuk berat.“Sama-sama Mbak Biru,” balas Renando masih lelah setelah memapah Benua menuju kamarnya dan merebahkan pria itu ke atas tempat tidurnya.“Maaf ya Mbak, Kak Benua malah mabuk-mabukkan begitu.” Renando melirik kecewa kakak angkatnya dan menunduk malu di hadapan Biru, malu ke Biru karena kelakuan Benua.Renando sendiri pun kaget saat Benua menghubungi tiba-tiba dan berteriak memintanya untuk segera datang ke kelab malam.Saat Renando datang ke kelab malam itu, dia menemukan Benua sendiri di dalam ruangan VIP, hanya ditemani berbotol-botol minuman di atas meja dan yang berjatuhan di lantai.“Kalau ada apa-apa jangan sungkan bilang sama aku ya Mbak.” Renando menepuk pelan pundak kanan Biru.Biru mengangguk dan tersenyum han
1 bulan berlalu.Sudah sebulan terakhir ini, Biru tidak melayani Benua, bukan karena Biru tidak ingin, tapi Benua yang sering menolak.Paling menyakitkan, saat mereka berada di Singapura hari itu, Biru sudah bersemangat ingin melayani Benua bahkan sengaja membawa “baju dinas malam” pemberian Benua, tapi yang terjadi Benua menolak, bahkan pria itu memilih pergi ke bar menemui Darla.Malam ini, Biru ingin mencoba lagi, dia harap dengan menggoda Benua dan melayani pria itu, hubungannya dengan Benua akan membaik.Yah walaupun Biru tak paham, di mana letak kesalahannya hingga Benua berubah dingin dan kasar. Namun, meski Benua berkali-kali melukai perasaan Biru, tak sedikit pun Biru membenci Benua.“Mas Benua ....” Biru baru keluar dari kamar mandi, dia memanggil Benua dengan suara manja dan lembutnya.Biru kemudian berjalan dengan lenggokan indah, sengaja untuk menggoda Benua.Benua menatap Biru membuat Biru semakin semangat menggoda Benua, dia berjalan sambil memainkan rambutnya, memutar-
“Mas Benua nggak bosan kan karena aku sering buat nasi goreng untuk sarapan kita?” tanya Biru ke Benua saat menghidangkan nasi goreng yang dia buat untuk sarapan pagi ini.Benua menggeleng lemah merespons Biru lalu menyantap sedikit demi sedikit nasi goreng buatan Biru.Dari samping kanan tempat duduk Benua, Biru memperhatikan pria itu, Benua tampak lemas dan terlihat pria itu sedang memijat pelipisnya berkali-kali.Biru yakin penyebab Benua terlihat tak bersemangat seperti itu karena semalam saat Benua pergi ke kelab malam, Benua baru pulang malam menjelang pagi.Gery, teman Benua yang semalam mengantar Benua yang m4buk berat pulang ke rumah. Melihat Benua semalam membuat Biru kecewa, di rumah sedang ada dirinya, tapi Benua lebih memilih pergi ke kelab malam dan m4buk-m4bukkan.“Mas Benua lagi ada masalah ya? Atau kondisi mama mulai memburuk lagi?” tanya Biru baik-baik menjeda sejenak aktivitas menyantap sarapannya.“Kenapa tiba-tiba tanya begitu?” tanya Benua mendelik tajam ke Biru