“Bos lo tuh gimana sih Ru? Katanya pengin dicariin perempuan buat dijadiin istrinya, eh giliran udah dicariin dia malah cuekin dan pergi gitu aja. Nggak enak nih gue sama Laura dan Chika. Mereka marah-marah sama gue!”
Biru mengembuskan napas lelah mendengarkan kemarahan Ully, tapi dia memaklumi itu, Benua memang sudah keterlaluan dan dia menyaksikan sendiri bagaimana sikap dingin Benua ke Laura dan Chika.
“Maaf ya Ul. Gue juga jadinya nggak enak sama lo mana lo udah bantuin gue.”
“Bilangin ke bos lo, cari aja sendiri perempuan yang mau dia jadiin istri. Biar lo juga nggak ikut puyeng karena tugas konyol dari dia itu!”
Ully mengakhiri obrolan lebih dulu, Biru kemudian melempar ponselnya ke samping. Dia lanjut memijat kakinya yang mulai terasa cenat cenut lagi.
Meski kakinya masih terasa sakit karena kecelakaan motor kemarin malam, tapi Biru berusaha menahan itu agar tetap terlihat profesional saat bekerja.
Dia pun sampai rela lari-larian mengejar bosnya saat di kafe dan tadi dia rela mengenakan high heels supaya penampilannya sesuai saat datang ke pesta ulang tahun teman Benua.
Tapi yang Benua berikan ke Biru hanya kekesalan. Bahkan pria itu mengatakan kalimat yang membuat Biru sampai gemetar ketakutan.
“Dia mau bunting1n gue? Tidak!” Biru menjerit ketakutan dan buru-buru meraih bantal guling memeluk bantal itu erat.
“Nggak lagi-lagi deh gue bicara sembarangan begitu. Kalau dia beneran lakuin itu, mampus masa depan gue bisa hancur karena mengandung anak tuh bos gila.”
Biru bergidik hebat membayangkan hal mengerikan itu, dia kemudian merebahkan tubuhnya, melepas lelah.
“Tapi kenapa ya dia kayak begitu kalau sama perempuan? Disodorin yang cakep-cakep, tapi dia malah kayak alergi begitu. Heran gue!”
Biru mengembuskan napasnya lelah, tidur lebih baik daripada memikirkan keanehan bosnya yang sangat menguras energinya.
***
Pagi ini Biru mendampingi Benua menghadiri acara peresmian peluncuran 15 unit baru bus pariwisata “Gemilang Bus” di pool Bus Gemilang. Bus yang didominasi warna hitam dengan corak batik berwarna abu yang menghiasi bus itu berjejer rapi di depan para tamu undangan.
Acara peresmian itu dihadiri orang-orang penting di perusahaan Sejagat Gemilang termasuk kakek Benua—Jagat sebagai pemilik perusahaan dan dihadiri pula cucu angkat Jagat bernama Renando.
Biru sempat melirik Renando, pria yang baru Biru temui pertama kali hari ini. Sebelumnya pria itu menempuh pendidikan magister di London dan sempat bekerja di London. Biru terpesona saat tadi berkenalan langsung dengan pria itu.
Tiba di acara potong tumpeng, Benua memimpin acara itu. Potongan nasi tumpeng itu Benua berikan ke kakeknya.
“Buruan kakek sudah tidak sabar menyaksikan pernikahanmu,” ucap Jagat pelan saat menerima potongan nasi tumpeng dari Benua.
“Kek!” Benua menahan kesal. Di acara penting dan khidmat itu, kakeknya membahas pernikahan membuat suasana hati Benua mendadak buruk.
“Pria seusiamu sudah banyak yang pada punya anak, eh kamu malah masih betah menjomlo. Kakek risi kalau dengar ada yang bilang kamu tidak normal.” Jagat berbisik.
“Aku akan menikah secepatnya. Tenang saja!” tegas Benua pada akhirnya daripada kakeknya terus menerornya tentang pernikahan.
Biru tersenyum sinis mendengar ucapan Benua barusan, dia teringat pertemuan Benua dengan kedua wanita kemarin sore yang berujung membuat kedua wanita itu kecewa ke Benua.
Selesai acara peresmian, Benua mengantar kakeknya dahulu ke mobil sebelum nanti dia pergi untuk menghadiri acara penting lainnya.
“Segera kamu bawa wanita yang akan jadi istrimu untuk makan malam bersama kakek.” Jagat menepuk pundak Benua lalu masuk ke mobilnya.
“Saya pergi dulu ya Kak Benua, Biru.” Renando yang menemani Jagat berpamitan dengan sopan, pria itu sedikit menunduk dan tersenyum manis untuk Benua dan Biru.
“Hm!” balas Benua tanpa memberikan senyuman.
Sementara Biru membalas senyuman Renando dengan ekspresi semringah, dia salah tingkah sendiri melihat manisnya pria berusia 28 tahun itu.
“Saya tidak menyangka, cucu angkat Pak Jagat ternyata setampan itu. Manis banget lagi.” Biru mengungkapkan kekagumannya ke Renando ke Benua.
“Bentukan kayak dia kamu bilang tampan, Biru?” tanya Benua menghentikan langkah di samping mobil, dia menatap tajam Biru setelah mendengar pujian Biru untuk Renando.
“Iya Pak. Soalnya dia tuh tipe saya banget kayak artis Turki yang tinggi, gagah, ganteng, dan berewokan.”
“Singa aja sekalian, gagah dan berewokan sebadan-badan!” Benua tiba-tiba mengomel lalu masuk ke mobil.
Biru menyusul cepat masuk ke mobil mengabaikan ucapan Benua tadi. Dia akan mengendarai mobil Mobil SUV mewah berwarna diamond silver milik Benua.
Selain menjadi asisten pribadi Benua, Biru pun harus siap menjadi sopir pribadi Benua. Pokoknya Benua memerintah apa pun harus cepat Biru patuhi.
“Saya mau ngopi dulu!” kata Benua setelah mobil yang Biru kendarai keluar penuh dari halaman pool Bus Gemilang.
“Ngopi di mana Pak?” tanya Biru.
“Seharusnya kamu tahu dong saya mau ngopi di mana?” sewot Benua.
“Mau di kedai kopi yang biasanya, Pak?” Biru menawarkan baik-baik.
“Terserah!” respons Benua masih sewot.
Mobil yang Biru kendarai baru memasuki halaman kedai kopi yang sering Benua datangi, tapi Benua tiba-tiba meminta Biru berhenti.
“Yang benar saja dong kamu bawa saya ke sini, Biru? Lihat suasana bangunannya serba hitam begitu. Mau buat suasana hati saya semakin buruk?” omel Benua.
Bukan pertama kalinya Biru mendengar Benua marah-marah tak jelas dan Biru tetap berusaha sabar menghadapi pria itu.
“Jadi Pak Benua mau ngopi di mana?” tanya Biru tetap kalem.
“Ngopi di tempat yang bisa membuat suasana hati saya membaik!”
“Oke Pak. Saya akan membawa Pak Benua ke tempat itu.”
Biru lanjut mengendarai mobil. Dia fokus mengemudi sambil berpikir keras untuk membuat suasana hati bosnya membaik lagi.
“Lagian nih bos gue kenapa keseringan mengambek nggak jelas sih?” gumam Biru.
Ide hebat itu pun akhirnya muncul. Biru berhenti di taman tempat biasa dia menongkrong dengan ketiga adiknya. Lokasinya tidak jauh dari rumahnya dan biasanya Flower yang suka mengajak Biru ke taman itu katanya senang karena ada air mancur.
“Kenapa malah ke taman?” tanya Benua gereget ke Biru saat Biru memarkirkan mobilnya di halaman parkir taman itu.
“Saya akan membawa Pak Benua ke tempat yang akan membuat suasana hati Pak Benua membaik lagi.” Biru merespons lembut diakhiri senyum manisnya.
Biru keluar lebih dulu lalu membukakan pintu mobil untuk Benua.
“Silakan Pak Benua duduk di sini. Saya pergi dulu beli kopi buat Pak Benua, dekat kok dari sini. Sebentar ya Pak.” Biru masih berkata lembut meski ini hanya sebuah akting.
Di depan Benua, Biru memang harus pintar akting karena dia sedang kesal seperti sekarang saja harus tetap memasang wajah manis di depan Benua.
Benua tidak merespons, tapi menurut duduk di bangku taman menunggu Biru yang kini berlari menuju ke arah minimarket.
Tidak sampai sepuluh menit, Biru kembali membawa kopi untuk Benua dan dirinya. Dia kemudian duduk di samping pria itu.
“Lega banget gue,” ucap Biru lirih melihat bosnya mulai diam dan tidak protes seperti tadi.
Pria itu kini sedang menikmati kopi yang dia bawa semula sambil melihat air mancur di depannya.
“Kamu sering ke sini?”
“Iya sering Pak. Kalau hari Minggu biasanya Flower yang suka ajak saya ke sini. Terkadang juga saya sama ketiga adik saya piknik di sini. Yah lumayan bikin mereka bahagia walaupun pikniknya dekat.”
Benua melirik Biru yang sedang tersenyum lebar saat memandang air mancur di depannya.
“Pak, untuk masalah cari perempuan buat dijadikan istri Pak Benua, saya belum menemukan perempuan lagi Pak.”
“Tidak usah cari lagi.”
Biru menoleh penuh menatap Benua, terkejut mendengar ucapan pria itu. “Kenapa Pak? Pak Benua mau cari sendiri saja?” tanya Biru antusias.
Benua menggeleng tegas membuat Biru mengernyit dalam, dia bingung apa yang sedang bosnya rencanakan. Sementara kata Benua, pria itu sudah didesak kakeknya untuk segera menikah dan posisinya di perusahaan bisa terancam.
Biru yakin, Benua tidak mungkin menyerah begitu saja.
“Bagaimana kalau kamu saja?” Benua menatap serius Biru.
“Apanya, Pak?” Biru gelagapan menatap Benua.
“Jadi istri saya!” tegas Benua.
“Bingung kenapa?” Biru mengernyit, bingung memperhatikan Renando yang terlihat akan mengatakan sesuatu yang sangat penting.“Nggak, jangan Renando. Tidak seharusnya aku menuruti perasaan ini. Ingat, Kak Benua begitu mencintai Biru dan kamu juga tahu, Kak Benua terpaksa menceraikan Biru karena masa lalu orang tuanya.” Renando duduk gelisah, sedikit menunduk lalu menatap Biru lagi.Gerakan samar Renando yang tampak tak nyaman dalam duduknya membuat Biru terus meneliti serius pria itu. Dia rasa, memang ada sesuatu yang sangat penting yang ingin Renando sampaikan.“Perutku mulas Biru. Boleh numpang ke toilet?” ucap Renando menunjukkan cengiran canggung sambil berpura-pura mengusap perutnya.Biru yang tadi sedang serius-seriusnya memperhatikan Renando langsung tertawa mendengar ucapan pria itu.“Ya ampun Mas, perut mulas aja sampai bingung bilangnya. Ada-ada aja Mas Renando ini. Ya tentu boleh, silakan. Ayo aku antar.” Biru berdiri lebih dulu lalu menemani Renando sampai ke depan toilet.
5 tahun berlalu.Hari Minggu ini, Renando kembali berkunjung ke rumah itu. Suara tawa anak kecil dari dalam rumah itu menarik Renando untuk melangkah lebih cepat, dia tak sabar menemui pemilik tawa itu. Dia terdiam di depan pintu rumah yang sedikit terbuka, di tangan kanan dan kirinya menenteng bingkisan besar berisi mainan untuk anak itu yang di ujung sana masih tertawa bersama seorang wanita, mama anak itu.“Om Renando!” teriak anak kecil berusia 4 tahun lebih itu setelah menoleh dan melihat kehadiran Renando.Setelah melihat kehadiran Renando, anak kecil itu segera melepaskan dirinya dari pelukan mamanya kemudian berlari mendekati Renando, memeluk hangat Renando.Renando kemudian mengangkat tubuh anak kecil itu, bernama Bhaskara Putra Nabiru, anak Biru bersama Benua.Tiga bulan setelah resmi bercerai dengan Benua saat itu, Biru baru tahu dia sedang hamil. Saat itu, dia abai saja dengan tanda-tanda kehamilan yang dia rasakan, mulai dari telat datang bulan, sering pusing, dan mual-m
3 tahun yang lalu.“Semoga aja Pak Benua mau berbaik hati sama gue dan menerima gue jadi asisten pribadinya.”Benua mencari sumber suara yang barusan menyebut namanya, hingga dia menemukan wanita itu, Biru sedang terduduk di bangku taman.Sementara Benua berada di taman itu hanya sedang ingin mampir, dulu saat masih kecil, dia pernah ke taman itu bersama mamanya. Tapi sejak kondisi mamanya kacau, dia sudah jarang menghabiskan waktu di luar rumah bersama mamanya.Benua penasaran dengan wanita itu, Biru yang tadi siang baru dia wawancara sebagai salah satu kandidat asisten pribadinya.“Semoga aja, usaha gue sampai memohon sama Pak Benua nggak berakhir sia-sia. Kalau gue gagal mendapatkan pekerjaan lagi, gue harus gimana? Bukan cuman gue aja yang gue pikirin, tapi gue mikirin ketiga adik gue yang masih sekolah.”Biru menangis lagi, takut jika sungguhan gagal mendapat pekerjaan lagi, mengingat setelah lulus kuliah, dia sudah gagal berkali-kali untuk mendapatkan pekerjaan. Biru trauma deng
“Aku udah mencoba bertahan Mas, tapi aku udah nggak kuat lagi sama kelakuan kamu yang seenaknya. Aku mau berpisah dari kamu Mas Benua!” Biru dengan tegas dan lantang mengutarakan keinginannya ingin berpisah dari Benua.Sudah sebulan lebih Biru menahan diri untuk tetap bersabar menghadapi Benua yang berubah tiba-tiba, pria itu menjadi sangat dingin, kasar, parahnya suka mabuk-mabukkan, dan sudah berciuman dengan wanita lain.Biru masih berdiri tegak di dalam ruangan kerja Benua menunggu respons Benua. Hingga pukul 7 malam, Benua tidak juga pulang dari kantor, sedangkan di luar suasana sudah sangat sepi, di lantai lima hanya tersisa Biru dan Benua.Biru sendiri tidak bisa menunggu untuk mengutarakan keinginannya itu nanti saat pulang ke rumah, dia ingin Benua tahu sekarang juga, bahwa dia sungguh ingin berpisah dari pria itu.Sekarang Biru masih menatap Benua yang masih duduk membelakanginya.“Kamu yakin mau berpisah dari aku, Biru?” Benua baru memutar kursi kebesaran yang dia duduki da
“Terima kasih banyak ya Mas Renando udah antar Mas Benua ke rumah,” ucap Biru ke Renando yang mengantar Benua pulang malam ini.Biru tadi pulang terburu-buru dari apartemen Ully ke rumah Benua setelah Renando menghubunginya dan memberitahu keadaan Benua yang mabuk berat.“Sama-sama Mbak Biru,” balas Renando masih lelah setelah memapah Benua menuju kamarnya dan merebahkan pria itu ke atas tempat tidurnya.“Maaf ya Mbak, Kak Benua malah mabuk-mabukkan begitu.” Renando melirik kecewa kakak angkatnya dan menunduk malu di hadapan Biru, malu ke Biru karena kelakuan Benua.Renando sendiri pun kaget saat Benua menghubungi tiba-tiba dan berteriak memintanya untuk segera datang ke kelab malam.Saat Renando datang ke kelab malam itu, dia menemukan Benua sendiri di dalam ruangan VIP, hanya ditemani berbotol-botol minuman di atas meja dan yang berjatuhan di lantai.“Kalau ada apa-apa jangan sungkan bilang sama aku ya Mbak.” Renando menepuk pelan pundak kanan Biru.Biru mengangguk dan tersenyum han
1 bulan berlalu.Sudah sebulan terakhir ini, Biru tidak melayani Benua, bukan karena Biru tidak ingin, tapi Benua yang sering menolak.Paling menyakitkan, saat mereka berada di Singapura hari itu, Biru sudah bersemangat ingin melayani Benua bahkan sengaja membawa “baju dinas malam” pemberian Benua, tapi yang terjadi Benua menolak, bahkan pria itu memilih pergi ke bar menemui Darla.Malam ini, Biru ingin mencoba lagi, dia harap dengan menggoda Benua dan melayani pria itu, hubungannya dengan Benua akan membaik.Yah walaupun Biru tak paham, di mana letak kesalahannya hingga Benua berubah dingin dan kasar. Namun, meski Benua berkali-kali melukai perasaan Biru, tak sedikit pun Biru membenci Benua.“Mas Benua ....” Biru baru keluar dari kamar mandi, dia memanggil Benua dengan suara manja dan lembutnya.Biru kemudian berjalan dengan lenggokan indah, sengaja untuk menggoda Benua.Benua menatap Biru membuat Biru semakin semangat menggoda Benua, dia berjalan sambil memainkan rambutnya, memutar-