"Eh, itu, Bu. Justru Zara juga bingung harus bikin usaha apa nantinya. Secara Zara sudah gak punya suami yang menafkahi hidup Zara dan Ilham," jawabku. Fara nampak menghembuskan napas lega. Padahal apa yang baru saja aku katakan, memang benar-benar ungkapan hatiku sendiri. "Jangan ragu sama rezeki dari Alloh. Selama kita berusaha, pasti akan ada jalannya. Rezeki itu bukan dari suami, bos, ataupun majikan. Tapi dari Gusti Alloh," tutur ibu. Aku mengangguk. Dalam hati ikut meyakini, apa yang dikatakan ibu memang benar. Meski terkadang, sebagai manusia biasa, aku merasa khawatir akan masa depan. Ketakutan dan kekhawatiran itu selalu saja ada. "Assalamu'alaikum."Suara salam dari arah depan membuat percakapan kami terhenti. Lekas aku bangkit dan berjalan menuju pintu. Saat dibuka, ternyata Rima bersama putrinya. "Eh, ada Kak Ria. Salam dulu sama Tante, dong!" Aku mengulurkan tangan seraya mencium pipi anak perempuan yang rambutnya dikepang tersebut. "Iya. Aku habis jemput Ria dari s
Selama tiga tahun di bangku SMA, memang Hanan adalah teman yang paling baik dan peduli padaku. Selain Rima tentunya. Dia, akan menjadi orang pertama yang pasang badan saat ada siswa lain yang menyakitiku. Aku memang bukan orang yang pandai bergaul seperti siswa yang lain. Lingkup pertemanan pun hanya bisa dihitung dengan jari. Saat istirahat tiba, aku biasanya menghabiskan waktu di perpustakaan. Bukan nongkrong di kantin ataupun ikut bergosip dengan siswi. Meski Hanan saat itu cukup digandrungi siswi-siswi di sekolah, tapi dia justru lebih sering menemaniku di perpus. Atau terkadang duduk di bangku belakang sekolah, di bawah pohon yang rimbun sambil bercerita banyak hal. Bahkan saat sudah lulus SMA pun, Hanan selalu menyempatkan waktunya untuk menemuiku apabila kuliahnya sedang libur. Dia selalu antusias menceritakan kegiatannya di universitas ternama yang memang dari dulu sudah ia cita-citakan. Namun, sikapnya berubah saat aku mulai menjalin asmara dengan Mas Hilman. Apalagi setela
"Udah dari tadi kali. Kamunya aja gak keluar-keluar," jawab Rima sambil tersenyum lebar. "Iya kah? Aku mana tahu. Orang gak ada ngasih tau," timpal Hanan. "Gak apa-apa. Emang kalau dikasih tau mau ngapain? Mau ikut ngegosip?" Rima tertawa kecil."Ya enggak ngegosip juga. Kan kita bisa cerita-cerita. Emang gak penasaran sama ceritaku waktu di luar kota? Gak kangen gitu bertahun-tahun gak ketemu?" balas Hanan yang sekarang berdiri di dekatku. "Kamu nanya sama aku, atau nanya sama Zara?" timpal Fara. "Terserah. Siapa aja yang ngerasa," balas Hanan. "Malah suruh tebak-tebakan," timpal Rima yang mulai menaiki motornya. "Kapan-kapan aku ke sini lagi, deh. Sekarang pulang dulu. Takut keduluan suami," tambah Rima diikuti suara salam. Sesaat kemudian, motor itupun melesat pergi meninggalkan halaman rumahku. Dan kini tinggal aku berdua sama Hanan. "Rima habis ngapain?" tanya Hanan. "Habis main aja. Udah seminggu gak ketemu. Kangen katanya," jawabku. "Baru gak ketemu seminggu udah kange
Setelah menulis pesan yang terakhir, aku berniat untuk meletakkan kembali gawai itu. Namun, layarnya kembali menyala. Dan kali ini, Mas Hilman menelponku. Sepertinya sekarang dia sedang panik karena uang yang dijanjikan tidak akan sampai ke tangannya. Tak ingin banyak berdebat yang mungkin akan menggoyahkan keputusanku, akhirnya aku memilih tak mengangkat telepon itu. Kugeser tombol untuk menolak panggilan. Lalu setelahnya langsung mematikan ponsel. Aku pun kembali berjalan menuju teras. Di mana Hanan masih terpaku di tempat saat aku meninggalkannya tadi. Namun, kali ini dia tak sendirian. Di sebelahnya ada Fara yang entah sejak kapan duduk di situ. Tak ingin mengganggu momen kebersamaan mereka, aku berbalik. Lalu berjalan ke dapur menghampiri ibu yang sedang termenung sambil menatap keluar, karena pintu belakang memang dibiarkan terbuka. "Lagi mikirin apa, Bu?" Aku duduk di sampingnya. Menatap ke arah yang sama. Di mana pohon-pohon melambai karena tertiup angin. "Eh,. Zara. Ibu
"Kita udah sering bahas ini, Han. Ilham itu bukan tanggung jawabmu. Kamu juga punya kehidupan sendiri. Kamu punya masa depan yang harus dipikirkan dari sekarang. Lebih baik kamu tabung semua uang itu untuk rencana masa depanmu. Melamar atau menikah misalnya. Soal Ilham, biarkan dia jadi urusanku seutuhnya. Syukur-syukur kalau ayahnya masih mau tanggung jawab menafkahi," balasku panjang lebar. "Tapi, Ra. Aku memang belum ada niatan apalagi kepikiran untuk menikah. Apa salahnya kalau aku menafkahi keponakanku sendiri? Toh itu bisa bikin aku bahagia." "Sekarang memang belum ada niatan. Tapi besok atau lusa siapa tau, kan. Udah, deh, turuti ucapanku, oke?" Aku tersenyum lebar sembari melenggang pergi meninggalkannya. "Ra, aku belum selesai ngomong. Main pergi aja." Aku masih mendengar Hanan sedikit berteriak padaku. "Aku mau mandiin Ilham dulu," jawabku tanpa menoleh ke arahnya. "Bunda bicara sama siapa?" tanya Ilham yang sudah menyambutku di ambang pintu kamar. Dia baru saja bangun
Bagaimana aku tidak terkejut, orang yang menduduki kursi tersebut adalah Mas Ryan. Sedikitpun aku tidak menyangka, bahwa jabatan dia di perusahaan begitu tinggi. Aku pikir hanya sebatas karyawan biasa. Terlihat dari gayanya yang selalu sederhana. Namun kini, penampilannya begitu rapi. Memakai jas hitam lengkap dengan dasi yang melingkar di lehernya."Silakan duduk!" tuturnya ramah. "Terima kasih, Mas. Maksud saya, Pak!" Aku buru-buru meralat ucapan. Di luar, dia memang tetanggaku, tapi di sini, dia adalah petinggi perusahaan yang pastinya begitu dihormati oleh para karyawannya. Aku pun duduk di kursi yang ada di hadapan Mas Ryan. Terhalang meja yang ukurannya cukup besar. Mataku masih terpaku pada matanya. Karena setahuku, jika sedang wawancara seperti ini, kita harus kontak mata dengan orang yang mewawancarai. "Silakan perkenalkan diri, nama, alamat, usia, pengalaman kerja, dan motivasi melamar pekerjaan di perusahaan ini!" titah Mas Ryan sopan. Ekspresinya benar-benar profesional
Enggak enggak. Aku gak boleh punya pikiran ke sana. Semua itu pasti karena Ilham adalah anaknya Mas Hilman, Abang Hanan. "Kebiasaan. Kalau lagi ngobrol, pasti ujung-ujungnya bengong!" Hanan mengibaskan tangannya pelan di depan wajahku. "Eh, enggak, kok. Aku cuma gak pernah nyangka aja kalau hidupku akan seperti ini. Rumah tangga berantakan. Ujung-ujungnya harus ninggalin anak untuk mencari nafkah," tuturku diakhiri senyum getir. "Semua itu ujian hidup, Ra. Gak ada satupun orang yang lepas dari ujian. Percayalah, ujian itu akan membuat hidupmu menjadi lebih kuat dan lebih baik. Orang yang pergi, akan Alloh ganti dengan yang jauh lebih baik. Jangan pernah putus asa," tutur Hanan bijak. "Tumben ngomongnya bener." Aku meliriknya sambil tersenyum lebar. "Baru nyadar ya, aku kalau ngomong selalu bener. Kamu aja yang menanggapinya gak pernah bener," timpal Hanan. "Lah, kok jadi aku," protesku. Tiba-tiba saja sebuah klakson terdengar dari sebrang sana. "Noh, duren ngelaksonin!" Hanan
Mengenakan baju dress warna merah muda selutut dengan lengan pendek, rambut sepunggung yang digerai, juga sepatu dengan hak yang tak terlalu tinggi, membuat Anita nampak begitu cantik. Tubuhnya tinggi semampai dengan kulit putih mulus itu berjalan melenggak-lenggok dengan senyum mengembang di bibirnya. Pantas saja jika Mas Hilman begitu tergila-gila padanya hingga tega menghancurkan rumah tangganya sendiri. Tapi, untuk alasan apa dia datang ke sini? Siapa yang ditemuinya? Sayangnya, aku tak melihat dari ruangan siapa dia keluar. Hanya saja, aku cukup yakin, dia berjalan dari arah ruangan para atasan. Tak ingin keberadaanku dilihat olehnya, aku buru-buru menunduk dan berjalan hendak kembali ke pantry. Ini adalah hari pertamaku bekerja. Tak ingin terjadi sesuatu yang tak diinginkan jika sampai kami berpapasan. Apalagi aku tau persis, Anita adalah orang yang gak bisa mengontrol mulutnya. "Kenapa? Kayak orang panik gitu?" tanya Lina, rekan kerjaku di pantry. "Oh, enggak, Mbak. Aku cuma