Aku menangis. Meremas seprai kuat-kuat untuk menyalurkan rasa sakit yang tak tertahankan. Tiba-tiba saja aku merasa tubuhku diguncang seseorang. "Ra, bangun! Kamu kenapa?" Aku membuka mata. Memperhatikan sekeliling. Hanya ada ibu yang berdiri di pinggir ranjang dengan tatapan heran. "Kamu kenapa nangis nangis jam segini?" Ibu mengulang pertanyaannya. Aku melirik jam dinding. Ternyata baru menunjuk ke angka empat dini hari. Lekas aku mengusap wajah sambil mengucap Alhamdulillah karena semua itu hanya mimpi. "Zara gak apa-apa, Bu. Cuma mimpi buruk," jawabku tersipu malu. "Walah, kamu ini. Makanya, sebelum tidur itu baca doa, biar gak mimpi buruk kayak gitu," timpal ibu sambil berbalik dan pergi meninggalkan kamarku. Saking bahagianya, semalam aku memang lupa tidak berdoa sebelum tidur. Mungkin itulah sebabnya aku bisa mimpi mengerikan seperti itu.Untuk menenangkan debaran jantung yang masih belum beraturan, aku pun turun dari ranjang lalu mengambil air wudu. Setelahnya, aku meng
Kami duduk saling berhadapan sambil menunggu pesanan tiba. Tidak dipungkiri, ada rasa grogi saat kembali bertemu dengannya. Apalagi saat dia terus menatapku tanpa berkedip. Rasanya pipiku sudah memerah dan memanas. "Kamu kenapa ngeliatin gitu?" tanyaku salah tingkah. Dia malah menyangga dagunya dengan tangan tanpa mengalihkan pandangan dariku. "Sebulan loh, Ra, kita gak ketemu. Aku kan udah bilang berkali-kali kalau aku kangen banget sama kamu. Apalagi, makin hari kamu makin cantik. Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan kesempatan sebagus ini.""Ish ... udah pintar ngegombal ternyata." Aku sedikit mendelik sambil tersipu malu. "Bukan menggombal. Tapi ini kenyataan," timpalnya. "Oh, iya. Besok aku ke rumah kamu buat lamaran. Kamu juga libur, kan?" tanyanya. Aku mengangguk. Mendengar kata lamaran, jantungku kembali berlompatan. Aku serasa melayang di langit paling tinggi saking bahagianya. Hingga akhirnya pesanan bakso sampai dan kami menikmati bakso itu sambil berbincang ringan. M
"Bangun, Sayang. Mandi dulu." Hanan berbisik tepat di telingaku. Dia juga mengecup keningku lembut saat mata ini masih tertutup. Sejujurnya, aku sudah terbangun saat merasakan pergerakan ia yang turun dari ranjang. Hanya saja, aku ingin mengetahui bagaimana caranya dia membangunkan aku setelah apa yang terjadi semalam. Ternyata semanis ini. Aku pura-pura masih terlelap dan tak menanggapinya. Berkali-kali dia mencium pipi dan keningku bergantian. Andai aku tak menahannya, sudah dipastikan aku akan tersenyum tanpa henti karena sikap romantisnya. "Sayang ... bangun! Atau ... aku perlu mengulang apa yang sudah kita lakukan semalam?" Mendengar penuturannya, mataku langsung terbuka lebar. Lekas aku beringsut dan duduk sambil menatapnya. Hanan yang duduk di pinggir ranjang langsung tertawa kecil melihat reaksiku. "Bercanda. Sebentar lagi juga subuh," tukasnya dengan sisa tawa di bibirnya. Aku pun langsung mengerucutkan bibir sambil turun dari ranjang. "Air panasnya sudah aku tuang ke da
Aku menoleh. Lalu mengerlingkan mata ke arahnya. "Coba lihat jam dinding. Sudah hampir pukul enam, Sayang. Mau pas lagi tanggung tiba-tiba ada yang gedor pintu?" Hanan pun langsung tertawa ngakak mendengarnya. Hari ini, kami minta ijin pada kedua orang tuaku untuk pindah ke toko kelontongan. Dengan senang hati, ibu bapak mengijinkan. Melihat Fara, aku semakin yakin untuk pindah dari rumah ini. Karena bukan tidak mungkin, jika aku dan Hanan tetap tinggal di sini, Fara akan tersakiti melihat kemesraan kami. Menjelang siang, aku dan Hanan berangkat ke toko tanpa membawa banyak barang. Hanya baju-baju milikku, Ilham dan Hanan yang dibawa. Karena menurut Hanan, di sana sudah ada barang-barang rumah tangga yang cukup komplit. Sampai di sana, keadaan toko masih tutup karena Hanan memang sengaja libur dari kemarin. Tokonya lumayan besar. Apalagi lokasinya tepat di jalan utama dekat dengan pasar induk. "Yuk, masuk!" ajaknya padaku dan Ilham saat kami turun dari mobil. Kami pun memasuki
"Bun, itu ayah. Itu ayah!" Aku yang sedang menemani Ilham bermain di sebuah mall, langsung terperanjat mendengar celotehan riang Ilham dengan tangan yang menunjuk ke sebuah wahana permainan. Suara anakku itu terdengar begitu antusias saat menunjuk ke sosok lelaki yang berdiri tak jauh dariku dan Ilham. Aku men4jamkan penglihatan. Ingin meyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang dilihat Ilham itu adalah ayahnya yang juga suamiku. Benar saja, setelah menelisik hanya dalam beberapa detik, aku bisa memastikan bahwa itu adalah Mas Hilman, suamiku. Terlihat dari baju yang dikenakannya saat berangkat pagi tadi.Tapi tunggu. Siapa wanita yang berdiri di sebelahnya? Mereka berdua terlihat begitu akrab dan sesekali saling melemp4r senyum. Tiba-tiba saja, seorang anak perempuan yang usianya tak jauh beda dengan Ilham, menghampiri Mas Hilman dan memeluk kakinya sambil tersenyum riang. Nampak sekali anak perempuan berambut panjang itu sudah cukup dekat dengan Mas Hilman. Siapa sebenarnya wanita dan
"Sejak kapan dia pindah lagi ke sini, Mas?" Aku menatap Mas Hilman dengan mata yang masih mengeluarkan buliran bening. Suaraku masih bergetar menandakan sakit dalam hatiku belum luntur. Bagaimana tidak, suamiku sendiri justru meluangkan waktunya untuk menemani wanita lain dan anak orang lain. Sementara istri dan anaknya sendiri, harus menelan kekecewaan karena janji yang kembali diingkari."Beberapa hari yang lalu. Dia ... sudah bercerai dengan suaminya. Makanya pindah lagi ke sini," jawab Mas Hilman nampak ragu. Kepalanya menunduk seolah menghindari tatapan mataku."Oh ... jadi sekarang Mbak Anita janda?" Aku tersenyum getir. Kemudian mere mas seprai yang kini tengah aku duduki bersama Mas Hilman. Entah kenapa saat mengucapkan kata janda, hatiku semakin terca bik.Mas Hilman tak menjawab. Dia hanya menanggapi pertanyaan dariku dengan anggukan pelan. "Kenapa kamu selalu seperti ini, Dek? Selalu saja cemburu pada Anita. Padahal, kamu tau sendiri. Dari dulu Mas dan Anita bersahabat. Ba
Aku lekas bangkit lalu berjalan dengan cepat keluar dari kamarku. Meninggalkan Mas Hilman yang masih menggenggam erat ponsel yang terus menjerit-jerit minta diangkat. Aku masuk ke dalam kamar Ilham dan langsung menguncinya. Kemudian aku bersandar di balik pintu itu dengan tubuh berguncang. Air mataku kembali luruh. Lagi dan lagi.Lelah rasanya hati ini menangisi hal yang sama dalam beberapa tahun terakhir ini. Di awal pernikahan, aku dan Mas Hilman begitu bahagia. Aku berusaha memaklumi saat Mas Hilman dan Anita bertelepon hingga satu jam lamanya. Bahkan hampir setiap hari. Namun, lama kelamaan, aku mulai jengah dan menasehatinya dengan lembut. "Mas, Mbak Anita itu sudah punya suami. Mas juga sudah punya istri. Rasanya kok kurang pantas, ya, kalau kalian masih sering berhubungan seperti ini," protesku kala itu."Lho, memangnya apa yang salah, Dek? Kita cuma teleponan. Cuma saling berbagi cerita. Lagipula, suaminya Anita pun tau kalau Mas sama Anita itu sahabatan sejak lama. Kamu juga
Di atas tempat tidur, badanku meringkuk terbungkus selimut tebal. Buliran bening masih sesekali menetes dari sudut mata. Rasa sesak pun masih menggelayut hebat dalam dada. Kepergian Mas Hilman tanpa meminta persetujuan dariku, membuatku merasa menjadi istri yang tak ada artinya sama sekali di matanya. Aku bagaikan seorang istri yang tak dianggap.Detakan jarum jam terdengar begitu jelas dalam keheningan malam. Sudah hampir pukul sebelas malam, tapi Mas Hilman belum juga kembali. Aku memilih turun dari tempat tidur, lalu mengintip ke arah luar melalui tirai jendela. Nihil. Tak ada tanda-tanda Mas Hilman akan segera pulang. Aku hanya bisa terus mondar-mandir di dalam kamar dengan hati yang semakin gelisah. Aku pun mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Kemudian menekan kontak bernama suamiku. Namun, hanya suara operator yang terdengar menandakan bahwa nomor Mas Hilman tidak aktif.Lagi-lagi aku hanya bisa menghela napas pelan saat hatiku kembali terasa dit1kam dengan begitu ku