"Baiklah, Sayang. Yuk, mandi dan ganti baju dulu," ajak Ridwan. Lelaki itu merasa tak enak hati dengan ucapan putrinya. Dia khawatir Indra salah paham, tapi juga sadar jika sekarang bukan saat yang tepat untuk menjelaskan pada mantan iparnya tersebut.
Citra menatap Yulis, biasanya wanita berjilbab itu yang melakukannya. Namun, melihat Yulis diam saja, bocah berambut lurus itu juga tak berani meminta. Citra benar-benar kesal pada pakdenya, yang menurutnya sudah merusak suasana."Aku juga udahan, Ma," ucap Mutiara."Ayo, mandi dan ganti bajunya sama papa," sahut Indra. Seketika pandangan kedua wanita berbeda generasi itu tertuju pada lelaki yang sudah berdiri dari duduknya.Sesaat kemudian Mutiara tertawa. "Gak mau, sama Mama aja. Malu lah kalau ganti baju sama Papa.""Nah itu si Citra gak malu sama papanya""Beda, Pa. Kan Citra udah gak punya mama. Palingan Om Wan cuma nungguin di luar. Biasanya kan"Ke Jati Wangi kayak kemarin itu, terus ke Pelang, terus ke kampung air. Udah itu aja, Pa. Kenapa sih Papa nanya-nanya. Biasanya juga gak gitu." Mutiara mulai sewot, tetapi sebenarnya gadis kecil itu sangat bahagia karena baru kali ini papanya mengajaknya bicara cukup lama.Yulis mengulum senyum mendengar nada protes dari Mutiara."Papa kan ingin tahu, Kak. Karena setelah ini, papa akan berusaha menemani Kakak dan Mama kemanapun kalian mau," sahut Indra. Sontak hal itu membuat manik bening Mutiara berbinar."Jadi Papa gak kerja dong. Nanti dapat uangnya dari mana?" Yulis sampai tak percaya Mutiara akan berkata seperti itu. Dia benar-benar tahu apa yang dirasakan putrinya sambungnya tersebut."Kan Mama punya toko," canda Indra sambil tertawa."Jangan lah, Pa. Itu kan punya Mama.""Terus?""Ya Papa tetap kerja, kalau hari libur kita jalan-jalan. Gitu, Pa.""Pi
"Gugurkan saja kandunganmu!"Yulis menghentikan langkah ketika melintas di depan kamar putrinya. Dahi wanita tiga puluh tujuh tahun itu berkerut. Heran. "Menggugurkan kandungan? Siapa yang hamil?" batinnya penuh tanya. Wanita pemilik alis bak semut berbaris itu pun mendekat untuk memperjelas pendengarannya."Gila kamu, Mas! Pokoknya aku gak akan menggugurkan kandungan ini. Aku gak mau tahu ya. Secepatnya kamu harus menceraikan wanita tua itu lalu mengusirnya dari rumah ini!" Suara Mira–putrinya, membuat Yulis membeku. Antara percaya dan tidak, bahkan untuk sepersekian detik wanita pemilik bibir tipis itu lupa untuk bernapas."Sabarlah, Sayang. Sebentar lagi, nanti setelah semua harta beralih atas namaku. Aku pasti akan menceraikan dan mengusirnya dari sini," balas seorang lelaki yang diyakini Yulis adalah suara Bagas—suaminya. Tubuh perempuan bermata bulat itu lemas, tulang-tulangnya serasa dicabut paksa oleh keterkejutan. "Tapi, kapan, Mas! Kapan? Sampai perutku membesar?! Atau kamu
"Fif! Afif!" Yulis berseru sambil menuruni anak tangga, dia benar-benar gugup. Beruntung tidak sampai jatuh ketika kakinya tersandung kardus mie. Saking berisiknya hingga membuat pemilik nama yang dipanggilnya mendongak ke arahnya."Ada apa, Bude?" Lelaki muda itu mengerutkan keningnya mendengar kegaduhan yang Yulis buat. "Afif, kamu pulang sekarang. Barusan ibumu telepon, katanya Aufar jatuh," ujar Yulis setelah sampai di depan keponakannya dengan napas masih ngos-ngosan.Lelaki muda berkacamata itu nampak cemas, kemudian merogoh sakunya untuk mengambil benda pipih miliknya. Afif berdecak, rupanya ponselnya dalam mode silent, makanya tak mengetahui jika ada panggilan masuk. "Puluhan panggilan dari Ibu. Ya udah aku pulang dulu ya, De. Assalamualaikum ....!" Lelaki berkacamata itu bergegas menuju kendaraan yang terparkir di samping toko. Sementara Yulis mengekor di belakangnya."Ati-ati, Fif. Jangan lupa ngabarin bude jika ada sesuatu," pesan Yulis. Wanita pemilik hidung mancung itu s
"Apa yang kamu lakukan, Mas?! Geramnya sambil meremas kertas yang baru saja dibacanya. "Ya Allah, apa yang telah dilakukan suami hamba." Yulis memejamkan matanya, menahan rasa kecewa yang teramat dalam. Wanita pemilik tubuh ramping itu meletakkan begitu saja surat tebal yang tadi dibacanya. Perasaannya benar-benar kacau setelah mengetahui Bagas telah mengajukan pinjaman yang cukup besar tanpa sepengetahuannya. Dalam benaknya bagaimana itu bisa terjadi tanpa sepengetahuannya, lalu dengan siapa lelaki yang amat dicintainya itu mengajukan pinjaman, bukankah butuh tanda tangan suami istri untuk bisa mengajukan pinjaman. Yulis benar-benar pusing.Setelah bisa menguasai diri, wanita penyuka kopi tanpa gula itu memanggil Wina. "Iya, Bu," sahut pegawai wanita satu-satunya itu sambil melangkah mendekatinya."Kasih tahu yang lain untuk beres-beres, toko tutup," titahnya. Wina mengangguk walaupun diliputi perasaan bingung. Tanpa banyak bicara gadis yang tengah memakai jilbab warna hitam itu ber
"Silahkan duduk dulu, Bu," sahut wanita yang rambutnya diikat sederhana itu. Dia pun memberi beberapa pertanyaan pada Yulis, setelah mendengar jawaban, wanita itu terlihat sibuk dengan leptop di depannya. Wanita itu nampak bingung, karena dulu bukan nama Yulis yang daftar bersama Bagas. Untuk sesaat petugas castomer servis itu memperhatikan Yulis. Namun, sekejap kemudian dia bisa mengatasinya dengan tenang. "Maaf, begini Ibu, mari berbicara di dalam. Silahkan, Bu," ajaknya ramah pada Yulis. Wanita itu pun bangkit lalu mengikuti petugas yang mengajaknya masuk.Yulis dibawa ke sebuah ruangan dengan tulisan Manager di daun pintunya."Silahkan duduk, Bu." Wanita itu mempersilahkan, kemudian dia kembali keluar meninggalkan Yulis seorang diri.Tak lama kemudian terdengar pintu terbuka, membuat Yulis yang sedang duduk membelakanginya menoleh. Keduanya tertegun, seperti ada memori yang memaksa untuk diingat.Lelaki itu masih berdiri di tengah pintu. Setelah beberapa detik muncul seulas seny
"Aku mau Magrib dulu, tunggu aku di ruang keluarga. Ada yang akan aku bicarakan," ucap Yulis pada lelaki yang telah mengkhianatinya itu."Aku mau masuk, Dek," pinta Bagas. Namun, terlambat, pintu sudah tertutup rapat dan terkunci. Bagas geram, tetapi dia memilih menuruti kemauan Yulis yang menurutnya aneh."Apa yang ingin dibicarakan wanita itu?" gumam Bagas sambil melangkah ke ruang keluarga seperti yang diucapkan Yulis. Setelah mendaratkan bobot tubuhnya di sofa, lelaki itu menyulut sebatang rokok untuk menemani waktunya. Tanpa disadarinya, Yulis telah mengibarkan bendera perang padanya.Seusai melaksanakan kewajiban, wanita itu bersimpuh cukup lama di atas sajadah. Memohon ampun juga kekuatan pada Sang Pencipta agar mampu menghadapi ujian yang saat ini tengah dialaminya. Setelah puas berkeluh-kesah pada Ar-rohman, Yulis bangkit walaupun rasanya cukup berat.Wanita bertubuh ramping itu berjalan ke arah cermin, memandang bayang wajahnya yang terlihat sangat kusut, terlihat jelas ada
Untuk sesaat suasana menjadi hening, hanya deru napas yang terdengar saling memburu. Bagas sudah gelap mata, dia melirik asbak yang terbuat dari keramik. Lelaki itu berniat menghilangkan jejak Yulis.Yulis melangkah menuju lemari, hendak mengambil bukti bahwa Bagas telah berkhianat. Hingga tak menyadari jika Bagas telah bergerak, tangan lelaki itu meraih asbak yang ada di meja, kemudian dengan kekuatan penuh hendak menghantam tengkuk Yulis yang membelakanginya."Ibu! Awas!" Seseorang tiba-tiba muncul. Tubuh Bagas terhuyung karena ada yang mendorongnya. Lelaki itu hampir saja jatuh kalau saja tangan yang satunya tak cekatan memegang pegangan kursi.Naas, asbak yang dipegangnya terlepas. Benda keras itu terlempar menghantam lemari kaca yang ada di ruangan itu. Bunyi pecahan kaca sangat nyaring, membuat kedua perempuan itu berteriak."Kurang ajar!" Bagas murka. Dia menoleh pada orang yang sudah mendorongnya, hingga membuat hantamannya meleset."Berani kamu, Babu!" Bagas mendekati Wina, p
Rupanya Bagas pergi ke kamar mandi, lelaki itu meredam amarahnya dengan mengguyur kepalanya. Setelah emosinya reda, lelaki itu berniat untuk mengobati sang istri. Namun, angkara kembali menguasai hatinya setelah tak mendapati Yulis dan Wina di ruangan tersebut."Yulis!" teriaknya sambil melangkah ke kamar. Berpikir jika istrinya ada di dalamnya. Dengan kekuatan penuh Bagas menendang pintu yang dikira terkunci. Membuatnya terhuyung setelah daun adahal pintu terbuka lebar."Yulis!" Lelaki itu kembali berteriak sambil beranjak meninggalkan kamar.Bagas kembali ke rumah keluarga, kemudian menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa, menatap nanar pada pecahan kaca yang masih berserakan di lantai, rahangnya mengeras menandakan kalau dia belum bisa menguasai emosinya.Lelaki itu mengambil bungkus rokok yang ada di meja, mengambil satu batang kemudian menyulutnya dengan korek bermotif wayang. Asap mulai mengepul dari mulutnya, seolah membawa beban yang ada dalam hatinya. Bagas menyandarkan kepalanya