Share

Bab 4 TITIK TERANG

Author: Anna Janitra
last update Last Updated: 2022-12-27 22:05:29

Lebaran sebentar lagi tiba, namun, Mas Rendi tak kunjung ada kabarnya. Setelah kepergiannya beberapa bulan lalu dia tidak pernah sekalipun menanyakan kabarku juga putri kecil kami. Meski terkadang Safia menanyakan ayahnya, aku terpaksa berbohong untuk menjawab segala pertanyaan yang keluar dari mulutnya.

"Assalamualaikum, permisi …." Seseorang datang dengan berpakaian rapi membuyarkan lamunanku.

"Waalaikumsalam, silahkan masuk, Pak. Mau bertemu dengan siapa, ya?" tanyaku tanpa melepaskan pandangan ke arah orang tersebut.

"Mas Rendi, ada, Mbak?"

Bapak yang mendengar suara sedikit riuh berlari kecil dari belakang dan ikut bergabung bersama kami. 

"Rendi sedang bekerja di luar kota, Pak, ada apa, ya?" tanya Bapak dengan wajah yang tegang. 

Dua orang tamu yang aku belum tahu apa maksudnya itu saling pandang lalu menghela nafas seperti sedang kecewa. Begitu pula dengan aku dan bapak, kami pun saling melempar pandang dengan perasaan yang bercampur aduk menjadi kebingungan.

"Kedatangan kami kesini mau menagih hutang kepada Mas Rendi. Dia hutang ke saya belum dibayar, katanya akan segera dilunasi sebulan lagi. Dan, ini sudah waktunya membayar," ucap salah satu tamu dengan menatapku tajam. 

"Be-berapa hutangnya, Pak?" tanyaku gugup. 

"Tiga juta, Mbak."

Seketika wajahku berubah pucat pasi, aku menoleh ke arah Bapak yang mengelus lembut lututku yang terus-menerus gemetar sejak berbicara dengan tamuku. Ku coba mengerjapkan mata berulang kali agar tidak ada tetesan air yang keluar darinya.

Sudah sekian bulan sejak kepergian Mas Rendi yang katanya akan ikut bekerja dengan saudara sepupuku itu tanpa memberikan kabar sedikitpun untukku.

"Pak … begini, maaf biar saya yang menjawabnya. Rendi menantu saya, ini putri saya adalah istri dari Rendi. Dia sudah hampir empat bulan ini pergi bekerja ke ibu kota ikut dengan keponakan saya, belum sekalipun memberi kabar kepada istrinya. Jadi, kami mohon atas pengertiannya untuk hal ini … ehm, bagaimana kalau diselesaikan nanti kalau Rendi pulang saja!" ucap Bapak dengan berhati-hati. 

Aku tahu Bapak pun sama kagetnya denganku mendengar kalau Mas Rendi mempunyai hutang lagi tanpa sepengetahuanku. Ibu Fatimah yang datang lalu mengambil alih menggendong Safia dari pangkuanku. 

"Buat apa Rendi berhutang sebanyak itu, Pak?" tanya Bapak dengan mimik serius.

"Bapak tidak tahu beneran?" Bukannya menjawab pertanyaan Bapak, tamu itu malah bertanya balik sama Bapak. 

Aku, Bapak serta bu Fatimah hanya menggeleng pertanda kami benar-benar tidak tahu menahu. 

"Judi."

"APA?" Serempak kami bertiga kaget bukan kepalang. 

Judi? Mas Rendi bermain judi tanpa aku tahu selama ini? Bagaimana bisa aku yang notabene menjadi seorang istri yang tak pernah keluar tidak tahu menahu akan hal ini? Aku memang istri yang bo-doh.

Aku merutuki diri sendiri, aku seolah-olah menjadi manusia dan istri yang tidak berguna. Bagaimana mungkin satu pasangan yang saling menyayangi dan mencintai tetapi tidak mengetahui hal sangat intens seperti ini. 

Kupukul bertubi-tubi dada yang terasa sesak, aku kehilangan udara yang keluar masuk untuk mencukupi perputaran dalam diriku. Ayah dan bu Fatimah memegangi tanganku yang semakin kencang dan keras dalam memukul segumpal daging yang aku sembunyikan di balik pakaian yang aku kenakan.

"Kalau begitu kami pulang dulu, Pak, Bu. Saya berik keringanan untuk membayarnya, jika nanti ada uangnya segera bayar, ya, nama saya, Pak Haris dari desa Pucang. Permisi," samar-samar aku dengar tamuku meminta ijin untuk pulang. 

Otakku yang kacau tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan tamuku barusan. 

☀️☀️

"Suami kamu sungguh keterlaluan, pergi meninggalkan hutang banyak. Yang lalu saja belum di bayar, ini … sudah ada lagi yang menagihnya," murka Bapak. "Kamu tanya saja sama Syarif, minta tolong sama dia untuk bilang ke Rendi kalau ada yang datang ke sini lagi!" 

"Iya, Pak. Sekarang juga aku akan pergi ke rumah, Mas Syarif. Bu, tolong nanti kalau Safia bangun tidur jaga, ya, aku permisi dulu." 

☀️☀️ 

"Lho, kamu tidak tahu, dek?" tanya Mas Syarif dengan wajah kagetnya. "Rendi, 'kan sedang kerja di luar negeri."

Aku termangu mendengar kekagetan Mas Syarif, apalagi suamiku yang saat hendak pergi berpamitan kalau mau ke ibu kota kerja disana. Tapi, nyatanya dia malah ke luar negeri. 

Aku terkulai lemas tak berdaya mendengar semua penjelasan dari kakak sepupuku itu. Tidak tahu juga harus berbuat apa dengan semua ini. Pikiranku kacau, otakku beku tidak dapat mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Mas Syarif.

"Sebenarnya … awalnya dia memang ikut bekerja sama saya, dik. Tapi, saat seminggu berlalu dia pergi entah kemana tanpa pamit. Tahu-tahu dia menelponku mengabarkan kalau dia sudah berada di luar negeri, dia bahkan minta tolong untuk menyampaikan semua ini kepadamu. Tapi, 'kan aku baru pulang dan belum sempat main. Maaf, ya,'' Mas Syarif menangkupkan kedua tangannya di dada dengan melihat wajahku yang mulai sayu.

"Ja-ja-jadi di-dia ke-keluar negeri, M-Mas?" tanyaku terbata-bata.

Mas Syarif mengangguk pelan, seketika air mataku luruh lagi dan membanjiri pipi. Meski sudah kuseka berulang kali, namun, masih saja bercucuran dan enggan berhembus. 

Organ tubuhku yang berwarna kemerahan bernama hati semakin terluka. Dalam, hingga menusuk yang paling dasar. Sebebal inikah diriku? 

"Apa dia tidak menitipkan sesuatu untuk, Safia, Mas?" tanyaku lagi dengan sisa tenaga yang hampir terkuras habis. 

Samar, aku lihat Mas Syarif menggelengkan kepalanya pelan. Membuat hatiku seketika runtuh dan berkeping-keping tak berbentuk. Netra ini berkali-kali aku kerjapkan supaya butiran bening yang sudah mengembun tidak keluar dari tempatnya.

"Ini, ini nomornya jika kamu ingin berbicara dengan Rendi, semoga ada dia mau bercerita sejujurnya sama kamu. Sabar, ya, Ran. Kamu harus kuat, ada Safia yang masih membutuhkan kamu, ibunya," saran Mas Syarif dengan menggenggam tanganku. 

Menguatkan hatiku yang telah koyak, memberiku semangat supaya bisa bertahan dalam keadaan apapun. Mbak Rita istri Mas Syarif pun mengelus pundakku dengan lembut, aku tahu mereka menyayangiku seperti adiknya sendiri. 

"Kamu harus kuat, ya, Ran! Harus! Ada, Mbak Rita disini untukmu jika ingin berkeluh kesah, jangan malu sama, Mbak, ya," ujarnya dengan bercucuran air mata yang membuatku ikutan pula.

"Bagaimana aku bisa kuat, Mbak. Kalau dia pergi meninggalkan hutang banyak untukku. Hutang yang dipakai olehnya untuk berjudi, bukankah itu sama saja menggali kuburan untukku?" 

Seketika pasangan suami istri itu merenggangkan pelukan dan genggaman tangannya, mungkin terkejut, terkejut atau entahlah. Aku sudah tidak bisa berpikir logis lagi. Mataku sudah tidak jelas melihat raut wajah mereka karena terhalang oleh air mata yang mengembun.

"Rendi judi, Ran?" tanya Mas Syarif sayup-sayup.

Mulutku tercekat, ingin rasanya berteriak keras mengeluarkan segala gerombolan amarah yang bersemayam dalam kalbu, otak juga kepala. Gigiku bergemeletuk ingin meluapkan segalanya seketika.

Namun, semuanya hanyalah angan-angan semata. Aku terlalu lemah dan tidak berdaya.

"Sudah dua kali ada orang yang berbeda datang ke rumah untuk menagih utangnya, Mas. Selama ini dia selalu pulang tengah malam, aku tidak pernah berpikir buruk saat dia keluar. Aku kira, untuk mengurangi rasa jenuh karena telah di PHK, dia nongkrong biasa bersama teman-temannya. Tapi, nyatanya dia malah berjudi," ucapku dengan terisak.

Mbak Rita mengelus-elus punggungku memberi kekuatan supaya aku tegar dalam menghadapi ujian hidup ini. Kalimat pelannya mengajakku terus memikirkan istighfar, yang membuatku semakin bercucuran air mata. 

"Ran, kuat ya, kamu harus kuat. Yuk, pulang! Biar, Mbak yang antar kamu pulang!" Aku menurut ajakan Mbak Rita karena tak bisa kutolak tawarannya yang akan mengantarkanku, mengingat aku begitu lemas saat ini. 

❤️❤️

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU LUPA JALAN PULANG    BAB 124 RIZKI

    Perjalanan rumah tangga selama hampir satu tahun bersama Mas Aldi terasa indah. Adakalanya menangis, tertawa bercampur dan berganti bagaikan musim yang sedang terjadi di dunia ini.Kerikil-kerikil kecil menghalangi jalan kami, tapi Alhamdulillah masih bisa dilalui dengan baik karena pemikiran yang dewasa dan tenang dari suamiku itu membuat diriku semakin jatuh cinta dan bersyukur betapa memilikinya adalah anugerah paling indah juga beruntung.Bulan ini adalah bulan di mana aku akan melahirkan. Segala keperluan sudah aku penuhi, tinggal menunggu lahiran. Malam ini udara terasa panas, kipas angin yang selalu berputar seolah tidak terasa sama sekali. Bahkan pakaian tidur yang aku kenakan pun sudah berganti yang tipis, tapi masih saja terasa gerah."Mungkin memasuki musim baru, ayo, tidur di dalam saja!" ajak Mas Aldi saat melihatku yang tengah mencari tempat paling nyaman.Di teras, di ruang tamu, di depan televisi juga di ruang makan sudah aku jelajahi. Akan tetapi, masih saja sama tid

  • SUAMIKU LUPA JALAN PULANG    BAB 123 HAMIL

    Seminggu sudah aku dan Mas Aldi memulai babak baru di rumah ini. Semua sudah lengkap, rumah disulap menjadi tempat ternyaman saat lelah raga melanda. Berbagai macam tanaman pelengkap sayuran berada di taman belakang.Sedang ditaman depan, aku berikan sedikit sentuhan dengan bunga mawar dan tanaman lainnya. Sejuk jika dipandang mata sambil menikmati teh hangat di kala pagi ataupun senja tiba.Begitulah kami menikmati indahnya hidup ini, saling bercengkrama dan bercerita tentang pekerjaan dan juga rumah. Iya, meskipun aku sudah menjadi istri, tapi toko yang ku punya tetap berjalan hingga detik ini.Tidak dilarang untuk bekerja oleh Mas Aldi, karena itulah caranya untukku supaya bisa tetap bahagia. Sebab, dirumah aku kesepian jika dia bekerja. Semuanya lancar, pekerjaan, rumah tangga juga hubungan dengan orang tuanya.Alhamdulillah, itulah yang aku inginkan sejak dulu. Selalu harmonis dan terjaga meskipun terkadang dalam berumah tangga itu ada kerikil kecil yang menghalangi jalannya. Pem

  • SUAMIKU LUPA JALAN PULANG    BAB 122 RUMAH BARU

    Hampir tiga hari kami baru sampai di rumah lagi. Bermalam di kediaman Mas Bima semalam lalu ke rumah Mas Aldi. Disini aku memulai babak baru menjadi istri sepenuhnya.Rumah mungil minimalis yang begitu indah, Mas Aldi membelinya saat masih sendiri. Uang tabungan yang selama ini di simpan di belikan rumah sebagai tempat bermuaranya kami dalam rumah tangga. Meskipun di tinggal lama, tapi bersih karena selalu dijaga dengan baik oleh seseorang yang diminta Mas Aldi untuk membersihkannya."Ini rumah kita, rumah kamu dan aku. Rawatlah dan jaga seperti rumah sendiri. Semoga kelak kita menua disini bersama anak dan cucu." Tangan itu menggenggamku erat.Ada rasa haru dan bahagia kala memiliki istana mungil ini. Kebahagiaan seorang istri adalah mempunyai rumah, hidup bersama keluarga kecilnya. Kasarnya makan dengan garam tak mengapa jika bersama suami dan anak."Aamiin," balasku tersenyum senang.Mengucapkan salam saat pintu rumah mulai terbuka perlahan-lahan. Lantai yang putih bersih dan perle

  • SUAMIKU LUPA JALAN PULANG    BAB 121 MENINGGALKAN KAMPUNG HALAMAN

    Mobil travel sudah sampai di depan rumah, Pakde Nyomo beserta anak istrinya datang ke rumah. Padahal sehabis sarapan tadi kami semua berkunjung kesana untuk meminta doa restu supaya perjalanan yang kami tempuh selamat sampai tujuan.Namun, namanya juga keluarga, mereka berduyun-duyun datang dan memberikan doa kepada kami lagi. Ada haru, bahagia dan sedih bercampur aduk menjadi satu disini. Bahkan isakan mengiringi langkah kaki kami untuk pergi ke pulau seberang kembali."Kini saatnya kami mengawali kehidupan yang sebenarnya, mohon doanya semoga diberikan kelancaran dan kesuksesan dalam meraih mimpi yang indah," ucapku haru."Jika ada umur panjang, kesehatan dan rezeki yang melimpah kami akan berkunjung kembali kesini lagi melihat kampung terindah beserta keluarga besar yang selalu aku rindukan ini," imbuhku.Bu Fatimah memeluk tubuh ini lagi, seolah enggan untuk melepaskan. Beliau begitu berat berpisah dariku. Entahlah, sebenarnya aku pun ingin bersama mereka selamanya. Namun, ada ses

  • SUAMIKU LUPA JALAN PULANG    BAB 120 SARAPAN

    Pagi yang cerah secerah mentari yang mulai menampakkan warna Indahnya ke dunia ini. Tumbuh-tumbuhan bergoyang syahdu seiring dengan kicauan burung yang berdiri manja di rantingnya. Dihiasi dengan tetesan embun yang seolah memberikan kesejukan saat menikmati alam yang nyata juga indah ini.Ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Apalagi saat suara Kokok ayam bersahutan di antara cicitan anak-anak ayam membuat suasana pagi yang selalu aku rindukan kala di pulau seberang itu membuatku tersenyum melihatnya.Di belakang rumah Ayah, hewan piaraan kembali saling bersahutan, kambing, ayah juga burung yang hinggap di dahan pohon. Selalu aku menikmatinya dulu saat masih tinggal bersama mereka.Sedang, sayuran yang ditanam ibu di sini terlihat segar dan siap untuk dipetik. Warna cabai yang berwarna-warni menggiurkan dan seolah berteriak meminta untuk diambil dan dimasak. Pun demikian dengan sayuran bayam, kangkung juga terong, ibu memang super lincah.Apapun akan di tanamnya di lahan kosong, memanfa

  • SUAMIKU LUPA JALAN PULANG    BAB 119 BALIK

    Dua Minggu sudah aku, Mas Aldi, Mbak Lilik dan juga Mas Bima di kampung. Kini saatnya kami kembalikan lagi ke aktivitas masing-masing. Tidak bisa berlama-lama juga kami disini karena ada pekerjaan yang menanti di sana.Sehabis makan malam, kami berkemas, segala pakaian pun sudah siap untuk dibawa pulang kembali ke tempat semula. Bahkan Ibu Fatimah pun memberikan beberapa oleh-oleh khas kampung ini. Juga titipan buat ibu mertua sudah siap sedia untuk dibawa."Ibu nggak bisa memberikan banyak oleh-oleh, hanya segini saja semoga cukup dan bermanfaat buat keluarga disana," ucapnya saat memberikan beberapa plastik berisi penuh itu."Ini beras ketan buat mertuamu, beliau bilang disana mahal jadi Ibu titip ini, ya," imbuhnya dengan senyum merekah."Terima kasih banyak, Bu. Apa ini nggak merepotkan?" Mas Aldi bertanya saat melihat kami saling memegang plastik hitam itu.Bu Fatimah mengembangkan senyumnya, beliau duduk di sampingku sambil terus mengulum senyum tipis. Pun demikian dengan Ayah y

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status