Share

Bab 4 TITIK TERANG

Lebaran sebentar lagi tiba, namun, Mas Rendi tak kunjung ada kabarnya. Setelah kepergiannya beberapa bulan lalu dia tidak pernah sekalipun menanyakan kabarku juga putri kecil kami. Meski terkadang Safia menanyakan ayahnya, aku terpaksa berbohong untuk menjawab segala pertanyaan yang keluar dari mulutnya.

"Assalamualaikum, permisi …." Seseorang datang dengan berpakaian rapi membuyarkan lamunanku.

"Waalaikumsalam, silahkan masuk, Pak. Mau bertemu dengan siapa, ya?" tanyaku tanpa melepaskan pandangan ke arah orang tersebut.

"Mas Rendi, ada, Mbak?"

Bapak yang mendengar suara sedikit riuh berlari kecil dari belakang dan ikut bergabung bersama kami. 

"Rendi sedang bekerja di luar kota, Pak, ada apa, ya?" tanya Bapak dengan wajah yang tegang. 

Dua orang tamu yang aku belum tahu apa maksudnya itu saling pandang lalu menghela nafas seperti sedang kecewa. Begitu pula dengan aku dan bapak, kami pun saling melempar pandang dengan perasaan yang bercampur aduk menjadi kebingungan.

"Kedatangan kami kesini mau menagih hutang kepada Mas Rendi. Dia hutang ke saya belum dibayar, katanya akan segera dilunasi sebulan lagi. Dan, ini sudah waktunya membayar," ucap salah satu tamu dengan menatapku tajam. 

"Be-berapa hutangnya, Pak?" tanyaku gugup. 

"Tiga juta, Mbak."

Seketika wajahku berubah pucat pasi, aku menoleh ke arah Bapak yang mengelus lembut lututku yang terus-menerus gemetar sejak berbicara dengan tamuku. Ku coba mengerjapkan mata berulang kali agar tidak ada tetesan air yang keluar darinya.

Sudah sekian bulan sejak kepergian Mas Rendi yang katanya akan ikut bekerja dengan saudara sepupuku itu tanpa memberikan kabar sedikitpun untukku.

"Pak … begini, maaf biar saya yang menjawabnya. Rendi menantu saya, ini putri saya adalah istri dari Rendi. Dia sudah hampir empat bulan ini pergi bekerja ke ibu kota ikut dengan keponakan saya, belum sekalipun memberi kabar kepada istrinya. Jadi, kami mohon atas pengertiannya untuk hal ini … ehm, bagaimana kalau diselesaikan nanti kalau Rendi pulang saja!" ucap Bapak dengan berhati-hati. 

Aku tahu Bapak pun sama kagetnya denganku mendengar kalau Mas Rendi mempunyai hutang lagi tanpa sepengetahuanku. Ibu Fatimah yang datang lalu mengambil alih menggendong Safia dari pangkuanku. 

"Buat apa Rendi berhutang sebanyak itu, Pak?" tanya Bapak dengan mimik serius.

"Bapak tidak tahu beneran?" Bukannya menjawab pertanyaan Bapak, tamu itu malah bertanya balik sama Bapak. 

Aku, Bapak serta bu Fatimah hanya menggeleng pertanda kami benar-benar tidak tahu menahu. 

"Judi."

"APA?" Serempak kami bertiga kaget bukan kepalang. 

Judi? Mas Rendi bermain judi tanpa aku tahu selama ini? Bagaimana bisa aku yang notabene menjadi seorang istri yang tak pernah keluar tidak tahu menahu akan hal ini? Aku memang istri yang bo-doh.

Aku merutuki diri sendiri, aku seolah-olah menjadi manusia dan istri yang tidak berguna. Bagaimana mungkin satu pasangan yang saling menyayangi dan mencintai tetapi tidak mengetahui hal sangat intens seperti ini. 

Kupukul bertubi-tubi dada yang terasa sesak, aku kehilangan udara yang keluar masuk untuk mencukupi perputaran dalam diriku. Ayah dan bu Fatimah memegangi tanganku yang semakin kencang dan keras dalam memukul segumpal daging yang aku sembunyikan di balik pakaian yang aku kenakan.

"Kalau begitu kami pulang dulu, Pak, Bu. Saya berik keringanan untuk membayarnya, jika nanti ada uangnya segera bayar, ya, nama saya, Pak Haris dari desa Pucang. Permisi," samar-samar aku dengar tamuku meminta ijin untuk pulang. 

Otakku yang kacau tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan tamuku barusan. 

☀️☀️

"Suami kamu sungguh keterlaluan, pergi meninggalkan hutang banyak. Yang lalu saja belum di bayar, ini … sudah ada lagi yang menagihnya," murka Bapak. "Kamu tanya saja sama Syarif, minta tolong sama dia untuk bilang ke Rendi kalau ada yang datang ke sini lagi!" 

"Iya, Pak. Sekarang juga aku akan pergi ke rumah, Mas Syarif. Bu, tolong nanti kalau Safia bangun tidur jaga, ya, aku permisi dulu." 

☀️☀️ 

"Lho, kamu tidak tahu, dek?" tanya Mas Syarif dengan wajah kagetnya. "Rendi, 'kan sedang kerja di luar negeri."

Aku termangu mendengar kekagetan Mas Syarif, apalagi suamiku yang saat hendak pergi berpamitan kalau mau ke ibu kota kerja disana. Tapi, nyatanya dia malah ke luar negeri. 

Aku terkulai lemas tak berdaya mendengar semua penjelasan dari kakak sepupuku itu. Tidak tahu juga harus berbuat apa dengan semua ini. Pikiranku kacau, otakku beku tidak dapat mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Mas Syarif.

"Sebenarnya … awalnya dia memang ikut bekerja sama saya, dik. Tapi, saat seminggu berlalu dia pergi entah kemana tanpa pamit. Tahu-tahu dia menelponku mengabarkan kalau dia sudah berada di luar negeri, dia bahkan minta tolong untuk menyampaikan semua ini kepadamu. Tapi, 'kan aku baru pulang dan belum sempat main. Maaf, ya,'' Mas Syarif menangkupkan kedua tangannya di dada dengan melihat wajahku yang mulai sayu.

"Ja-ja-jadi di-dia ke-keluar negeri, M-Mas?" tanyaku terbata-bata.

Mas Syarif mengangguk pelan, seketika air mataku luruh lagi dan membanjiri pipi. Meski sudah kuseka berulang kali, namun, masih saja bercucuran dan enggan berhembus. 

Organ tubuhku yang berwarna kemerahan bernama hati semakin terluka. Dalam, hingga menusuk yang paling dasar. Sebebal inikah diriku? 

"Apa dia tidak menitipkan sesuatu untuk, Safia, Mas?" tanyaku lagi dengan sisa tenaga yang hampir terkuras habis. 

Samar, aku lihat Mas Syarif menggelengkan kepalanya pelan. Membuat hatiku seketika runtuh dan berkeping-keping tak berbentuk. Netra ini berkali-kali aku kerjapkan supaya butiran bening yang sudah mengembun tidak keluar dari tempatnya.

"Ini, ini nomornya jika kamu ingin berbicara dengan Rendi, semoga ada dia mau bercerita sejujurnya sama kamu. Sabar, ya, Ran. Kamu harus kuat, ada Safia yang masih membutuhkan kamu, ibunya," saran Mas Syarif dengan menggenggam tanganku. 

Menguatkan hatiku yang telah koyak, memberiku semangat supaya bisa bertahan dalam keadaan apapun. Mbak Rita istri Mas Syarif pun mengelus pundakku dengan lembut, aku tahu mereka menyayangiku seperti adiknya sendiri. 

"Kamu harus kuat, ya, Ran! Harus! Ada, Mbak Rita disini untukmu jika ingin berkeluh kesah, jangan malu sama, Mbak, ya," ujarnya dengan bercucuran air mata yang membuatku ikutan pula.

"Bagaimana aku bisa kuat, Mbak. Kalau dia pergi meninggalkan hutang banyak untukku. Hutang yang dipakai olehnya untuk berjudi, bukankah itu sama saja menggali kuburan untukku?" 

Seketika pasangan suami istri itu merenggangkan pelukan dan genggaman tangannya, mungkin terkejut, terkejut atau entahlah. Aku sudah tidak bisa berpikir logis lagi. Mataku sudah tidak jelas melihat raut wajah mereka karena terhalang oleh air mata yang mengembun.

"Rendi judi, Ran?" tanya Mas Syarif sayup-sayup.

Mulutku tercekat, ingin rasanya berteriak keras mengeluarkan segala gerombolan amarah yang bersemayam dalam kalbu, otak juga kepala. Gigiku bergemeletuk ingin meluapkan segalanya seketika.

Namun, semuanya hanyalah angan-angan semata. Aku terlalu lemah dan tidak berdaya.

"Sudah dua kali ada orang yang berbeda datang ke rumah untuk menagih utangnya, Mas. Selama ini dia selalu pulang tengah malam, aku tidak pernah berpikir buruk saat dia keluar. Aku kira, untuk mengurangi rasa jenuh karena telah di PHK, dia nongkrong biasa bersama teman-temannya. Tapi, nyatanya dia malah berjudi," ucapku dengan terisak.

Mbak Rita mengelus-elus punggungku memberi kekuatan supaya aku tegar dalam menghadapi ujian hidup ini. Kalimat pelannya mengajakku terus memikirkan istighfar, yang membuatku semakin bercucuran air mata. 

"Ran, kuat ya, kamu harus kuat. Yuk, pulang! Biar, Mbak yang antar kamu pulang!" Aku menurut ajakan Mbak Rita karena tak bisa kutolak tawarannya yang akan mengantarkanku, mengingat aku begitu lemas saat ini. 

❤️❤️

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status