Share

Bab 3 JALAN YANG DIAMBIL

"Besok aku mau ikut, Mas Sarif pergi ke ibukota. Katanya sih di sana banyak pekerjaan, biar kamu tidak selalu marah-marah jika melihatku tiduran saja!" ujar Mas Rendi dengan memeluk gulingnya.

"Bagaimana dengan hutang-hutang kamu, Mas? Apakah orang yang kemarin datang tidak akan kesini lagi? Aku takut menghadapi mereka sendirian," tanyaku lembut.

"Iya, nanti aku bayar. Pasti. Sudahlah, kamu diam saja!"

"Mas …." Tak kulanjutkan lagi kalimat yang akan aku ucapkan. Matanya menatapku penuh kebencian, membuat niatku urung untuk aku utarakan.

Safia kecil yang bermain dengan bonekanya menatap sang ayah yang mulai berjalan mendekatinya. Di elus pelan rambut yang aku kuncir dua itu dengan lembut. 

Ah, andai, Mas Rendi akan selamanya baik dan lembut seperti ini, pasti aku akan selalu bahagia. 

"Safia, ayah mau kerja jauh, Safia di rumah sama ibu, ya, jangan nakal dan jangan suka jajan! Yang nurut sama, Ibu!" Lembut, Mas Rendi berpesan pada putrinya, Safia hanya mengangguk lalu memeluk ayahnya dengan penuh kasih sayang.

"Kamu nggak usah khawatir, nanti aku akan bayar semua hutang-hutang yang ada. Kalau aku nggak kirim duit ke kamu, ya, kamu jangan bergantung juga sama aku. Cari kerja, ikut bantu-bantu juga!" 

"Maksudnya, Mas?" 

"Ah, kamu yang pinter dikitlah, gitu saja nggak ngerti. Makannya kamu nggak maju-maju. Belajar jadi orang yang mandiri, MANDIRI," ucapnya dengan kalimat penuh penekanan. 

Aku hanya bisa mengangguk apa yang dikatakan oleh suamiku itu. Tidak mau membantah, aku takut jika di depan Safia, nanti dia akan kalap. Lalu menghajarku sesuka hatinya. 

Ucapan yang ditekan dengan sorot tajam saja, aku sudah mampu mengartikan jika dia tidak ingin aku terlalu mengusik relung hatinya. Aku sudah mulai paham kemana arah yang dia bicarakan. 

Terima kasih, Mas, dengan sikapmu yang seperti ini, semoga menjadikanku lebih baik. Aku bermonolog dalam hati dengan menundukkan kepala.

"Jual cincin yang kamu pakai, besok aku akan bawa uangnya untuk bekal!" titahnya dengan memegang jemariku kasar. 

"Tapi … tapi ini cincin mas kawin, Mas."

"Kenapa? Bukannya malah menjadi berkah, jika akan dijadikan bekal untuk mencari nafkah. Toh, bukan buat aku sendiri, tapi, untuk semua keluarga," bisiknya di telingaku. 

Aku hanya menghela nafas berat, antara ikhlas dan ragu. Sebab, aku sudah tidak mempunyai simpanan lagi. Kemarin kalung yang saat lamaran itu juga telah dijual olehnya. Kini, cincin yang masih tersemat di jari manisku juga harus menjadi korban dari jalan pintas Mas Rendi. 

Ya Tuhan, kenapa aku mempunyai pikiran buruk terhadap suamiku sendiri? Bukankah benar apa yang dikatakan olehnya, jika akan menjadi berkah karena buat keluarga?

Aku menepis semua pikiran buruk yang bakalan terjadi, aku mencoba membuang segala hal-hal yang merasuki pikiran jelekku. Haruskah kali ini aku mengikuti lagi jalan pikiran Mas Rendi? 

"Ran," bentaknya yang membuatku tersadar dari lamunan panjang.

"Tapi … bagaimana nanti untuk kedepannya, Mas? Aku sudah tidak punya apa-apa lagi," ucapku dengan membuang pandangan darinya.

"Ran, aku ini suamimu. Jika kamu tidak menuruti kemauanku, kamu malah yang akan berdoa," desisnya dengan mencebik daguku kasar. 

Aku yang merasa akan tersungkur mencoba berpegangan pada lemari pakaian. Beruntung aku tidak jatuh ke lantai, yang mana ada Safia di bawahnya.

"Cepat, kamu jual. Atau sini, biar aku saja yang menjualnya!"

Aku pun berpamitan kepada Safia, lalu gegas mengganti pakaian yang sedikit rapi. Ku sapu air mata yang sudah akan mengalir dengan sendirinya. 

☀️☀️

"Ini, Mas. Dapat segini. Semoga nanti kerjanya berkah dan sukses, jangan lupa sama Safia!" 

Setelah setengah jam aku pergi ke toko emas, akhirnya uang berada di tanganku. Ingin rasanya aku menangis sejadi-jadinya, cincin mas kawin harus berakhir seperti ini. 

"Persiapkan semua pakaian yang akan aku bawa, ingat, jika ada sesuatu jangan segan beritahu aku, apapun itu. Apalagi menyangkut tentang putri kecilku, Safia!" titahnya dengan mendaratkan bobot tubuhnya di atas kasur.

Segera aku mencari tas besar supaya bisa memuat barang bawaan Mas Rendi. Ku Tata rapi, tak lupa aku belikan peralatan mandi agar nanti di sana tidak kebingungan jika harus memakainya. 

"Pakai uang itu baik-baik, Mas. Kita sedang dalam masa paling di bawah. Serba tidak punya apa-apa, tidakkah kamu kasih sedikit pegangan untukku jikalau nanti Safia minta sesuatu?" Kuingat kan Mas Rendi saat sedang menghitung uang dari penjualan cincin.

"Safia tidak akan minta sesuatu, atau … kamu mau minta ini?" tanyanya dengan menepuk uang yang telah di hitungnya dengan senyum-senyum sendiri.

"Boleh, Mas. Buat pegangan saja, tidak banyak kok."

"Ran, aku disana nanti kalau makan tidak minta, tapi harus beli. Bagaimana bisa cukup jika uang segini harus aku bagi denganmu? Bukankah Safia belum mengerti tentang uang?" cebiknya yang membuatku sangat jengkel.

"Mas …."

"Sudahlah, aku capek berbicara dengan kamu. Pikiran kamu selalu uang, uang dan uang."

"Sama dengan kamu."

"Berhenti! Aku muak menghadapi kamu. Sekarang kamu sudah berani melawan dan makin hari, makin ngelunjak kalau bicara. Nggak sopan banget sama suami." Suaranya menggema di dasar hatiku, sehingga terciptalah kepingan hati yang dulunya kokoh. 

Dinding-dinding rasaku telah terkikis oleh deburan kalimat yang sangat menyakitinya. Meski aku topang dengan sedikit rasa sayang terhadap putri kecilku, namun, aku takut jika tidak sanggup untuk bertahan. 

Putri kecilku terlihat ketakutan mendengar suara lengkingan sang ayah, netranya memejam dengan bibir digigit. Kupeluk erat tubuh kecilnya dan ku dekap dalam pelukan agar terasa nyaman. Isakan lirihnya membuatku terluka.

"Pelankan suaramu, Mas! Lihat! Safia ketakutan melihatmu yang seperti monster, lihat wajahmu, Mas! Kamu berubah, kamu bukan seperti suamiku yang dulu. Yang penyayang dan bersikap lembut terhadap aku dan Safia," ucapku dengan deraian air mata. 

Bukannya menurut apa yang telah aku katakan, Mas Rendi bertambah nyalang menatapku. Aku yang gemetaran mencoba untuk kuat dan tegak dalam menopang ragaku supaya tidak luruh. Safia yang masih dalam gendonganku pun semakin ketakutan karena pegangannya kurasakan semakin erat.

Mas Rendi menghela nafasnya kasar dengan membuang muka ke samping. Hatiku terasa lega, kuhirup udara yang mulai pengap dengan sebanyak-banyaknya. Supaya otakku tidak beku untuk menghadapi suamiku. 

"Kenapa kita harus selalu bersitegang seperti ini terus, Mas? Bukankah kamu bisa berbicara dengan lembut? Ayolah, Mas. Jika kamu ingin bekerja di ibu kota, setidaknya tinggalkan kesan bahagia buatku juga putri kita!" bujukku dengan membelai punggung suamiku yang sudah mulai reda amarahnya.

Seketika aku tersentak kaget karena tiba-tiba, Mas Rendi memelukku sambil berpikir maaf berkali-kali. Aku yang merasa terharu, ikut menangis sesenggukan dalam pelukannya. Begitu pula Safia, tidak tahu apa yang harus dilakukan oleh anak sekecil itu, dia pun ikut menangis.

"Maafkan aku, ya, Ran. Aku tidak bermaksud untuk melukai hatimu, aku khilaf," ucapnya yang membuatku semakin tergugu.

Baru pertama kali ini saya melihat ada butiran bening yang jatuh di belakang pipi dari netra Mas Rendi. Dalam hati beribu kali saya memikirkan kata 'Alhamdulillah' dengan perubahan sikap yang dia ambil. Hatiku pun rasanya terharu melihat pujaan hatiku telah kembali menjadi orang yang penyayang.

'Semoga selamanya engkau menjadi lembut seperti ini, Mas,' batinku dalam hati.

❤️❤️

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status