Share

Linggis

Penulis: Shira Aldila
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-20 20:00:56

“Siapa lagi laki-laki yang datang ke rumah Ibu. Kamu pasti tahu?” tanyaku penuh selidik. Ardan tidak menjawab. Dia duduk kembali di kursi, memainkan ponsel dan menelepon Ibu lagi. 

Sebelum panggilan telepon tersambung, dia memberi isyarat agar aku diam dan tidak ikut campur.

“Hello, Ibu. Aku Ardan. Maaf, aku telepon pakai ponsel Jana,” kata Ardan sangat sopan pada Ibuku. Aku tidak tahu Ibu menjawab apa di sana, yang jelas, Ardan sedang berusaha menjungkirbalikkan realita.

“Ada apa tadi, Buk. Kok Jana marah-marah sama aku? Ngga enak juga dilihat orang di sini. Dia ngamuk-ngamuk dan sekarang ngambek.” Ardan beracting pada Ibu. Dasar pembohong besar, manipulative, psikopat! Rutukku melihatnya memainkan drama.

“Buk, aku itu punya bisnis, saingan banyak. Cara seperti ini sering terjadi, buk. Zaman sekarang ‘kan susah cari uang. Kadang, para pesaingku suka memakai cara yang licik.”

Diam lagi, tak terdengar olehku apa yang dikatakan ibu.

“Iya, Buk. Iya.”

Ardan masih dengan acting sopannya. Ibu pasti terperdaya. Dia mengangguk-angguk patuh mengiyakan semua ucapan ibu. Di akhir telepon, Ardan meminta maaf dan mengatakan pada Ibu kalau dia akan membujukku yang katanya sedang marah. 

Obrolan selesai. Ponsel dimasukkan ke dalam saku celana. Ardan melihat lagi ke arahku dengan menelengkan kepala. Wajahnya yang tadi lembut saat bermain sandiwara, kini berubah membentuk raut wajah iblis. 

“Aku akan batasi komunikasi kamu sama Ibu kamu,” ucap Ardan menunjuk-nunjuk ke arahku. 

Aku hanya bisa menahan air mata agar tidak keluar. Aksesku telah dibatasi, padahal aku sudah merencanakan sesuatu jika Ibu menelepon lagi.

Kemudian, terdengar lagi suara ponsel berdering. Itu dari ponsel yang lain, ponsel milik Ardan. Dia mengeluarkannya dari balik saku jas. Menjawab telepon dengan nada suara yang lemah lembut.

“Iya, sayang,” katanya mesra memainkan drama yang baru.

“Aku lagi di lokasi proyek, lagi kerja ini. Buat masa depan kita.”

Bujuk rayu, gombalan maut dia lancarkan. Aku yakin perempuan di seberang sana berhasil dibuat mabuk kepayang. 

“Apa? Makan malam? Di mana?” lanjutnya. Aku menyimak dengan baik, mencari pola kegiatan Ardan hari ini.

“Di mana pun tempat yang kamu pilih, aku pasti suka, sayang. Sampai ketemu nanti sore. Aku jemput ke rumah, yah.” Obrolan mereka terus berlanjut. Ardan masih menerima telepon itu sambil berjalan keluar dari gudang. Suaranya sayup-sayup terdengar dan tak jelas lagi apa yang ia bicarakan. Pintu ditutup, kembali dikunci. Senyap kembali merajai ruangan ini. 

Jika Ardan benar akan makan malam dengan mangsa barunya, itu artinya, Jarwo akan sendirian di pulau ini sampai malam hari, bahkan mungkin sepanjang malam. Seharusnya ini bisa menjadi kesempatan lagi untukku untuk merencanakan pelarian diri. 

Kulirik Rinda yang duduk tersandar tak jauh dariku. Melihat kondisinya, seketika niatku urung. Aku kasihan padanya. Karena ulahku yang ceroboh, membuat Rinda juga menanggung akibatnya. Aku memupuskan harapan. Mencoba kabur tanpa perencanaan matang sama saja dengan aksi bunuh diri. Tak hanya aku yang akan mendapatkan siksaan, tapi juga Rinda, yang tak salah apa-apa.

Kulihat lagi keluar, Ardan sedang berbicara dengan Jarwo. Mereka mengobrol dengan serius. Tangan Ardan menunjuk-nunjuk tegas seperti memberikan peringatan. Sementara, Jarwo mengangguk-angguk patuh. 

Lama mengobrol, Ardan pun pergi. Deru mesin speedboat terdengar menjauh. Tinggallah Jarwo sendiri di dermaga. Sementara aku dan Rinda, tak tahu akan berbuat apa selain mengobrol.

“Rinda, kamu dengar cerita ibuku tadi?”

Rinda mengangguk. 

“Kamu tahu akan hal itu? Kamu tahu kalau Jodi juga pernah memakai nama Tommy?” tanyaku beruntun. 

Rinda mengangguk lagi. Membuatku semakin penasaran akan kisah itu. 

“Diana,” ucap Rinda lirih.

“Diana? Kenapa dengan Diana?”

“Jodi menggunakan nama Tommy untuk menjadi kekasih Diana,” lanjut Rinda.

“Jadi, laki-laki yang datang ke rumahku itu adalah suami Diana?”

“Bisa jadi, tapi aku tak terlalu tahu. Diana teramat tertutup. Dia seperti perempuan yang sangat terpukul. Selama bersamanya, dia sering meracau seperti orang gila.”

 Aku mengangguk paham. Membaca masalah yang dihadapi Diana. Tapi, kenapa laki-laki itu bisa menemukan rumahku? Semoga dia bisa mencari kami sampai ke sini. 

***

Aku masih ingin mengobrol, tapi Rinda seperti sedang keletihan. Rinda bersandar, matanya sayup-sayup terpejam. Aku pun berhenti untuk bertanya lanjut. 

Di luar, hari beranjak sore, bayang-bayang pohon tercipta di sebelah timur, tanda matahari telah condong ke barat. Aku melihat ke halaman gudang yang berada di tepian danau dari celah dinding. Ada Jarwo di sana, sedang bersantai. Dia duduk bersandar di bangku kayu. Tak pernah beranjak sedikit pun dari tempat itu. Dia memainkan ponsel untuk mengisi waktu. 

Aku pun terbawa suntuk dan mulai mengantuk. Lama kelamaan, aku tertidur dengan badan yang tidak nyaman.

Malam tiba, kurasa sekarang baru saja selepas senja. Langit di luar masih ada semburat merahnya. Jarwo masih bersantai di kursi kayu. Masih menonton tayangan yang ada di ponsel. 

Cahaya berpendar dari layar ponsel. Jarwo menonton dengan gelisah. Samar terdengar, suara perempuan mendesah-desah dari ponsel Jarwo. Tak diragukan lagi, Jarwo mengisi kebosanan dengan menonton video yang tidak senonoh. 

Perasaanku mendadak tidak enak melihat apa yang sedang dilakukannya. Aku melirik Rinda lagi, dia terjaga kemudian meringis saat memandangi tungkai kakinya yang terluka parah.

“Masih sakit banget?” tebakku.

Rinda mengangguk. “Jodi memukul kakiku dengan kayu,” katanya tanpa diminta bercerita.

“Apa yang terjadi waktu itu?” tanyaku.

“Waktu mereka menemukan Diana, aku mencoba kabur, tapi tertangkap.” Cerita Rinda singkat, tapi bisa kubayangkan betapa sadisnya keadaan ketika itu. “Aku rasa, tulangku patah,” lanjut Rinda.

“Semoga saja hanya tergilir, mudah-mudahan kamu bisa jalan lagi,” bujukku.

Saat kami mengobrol, Jarwo masuk gudang. Dia melihat ke arahku dan Rinda secara bergantian. Gelagat Jarwo mencurigakan. Matanya memandang aneh. Wajah datar, namun terkesan menyeramkan. 

“Mau apa kamu?” tanya Rinda bernyali meski dia gemetaran. Tak biasanya Jarwo masuk ke gudang jika tidak ada hal yang diperlukan. 

Jarwo diam, dia melangkah pelan. Masih memandangi kami secara bergantian seperti sedang memilih-milih barang belian. Rinda semakin takut, akupun juga begitu. Pemikiran buruk melintas di kepalaku. Jarwo pasti sedang birahi. Dia dipengaruhi oleh tontonannya tadi dan salah satu dari kami akan menjadi pelampiasannya.

Tubuhku dan Rinda saling menempel. Ingin rasanya berpelukan untuk berbagi kekuatan, tapi sayang, tangan kami sama-sama terikat tali. 

Jarwo berjongkok. Tangannya membelai wajah Rinda sambil menyeringai mesum. Tatapannya meneliti tubuh Rinda, dia mengendus kemudian mengernyit jijik. 

“Kamu bau!” ucapnya. 

Tatapan Jarwo beralih padaku. Dia memindaiku dari kaki hingga kepala. Seringai mesumnya makin tercetak di balik kumis dan brewoknya. 

“Kamu mau apa? Jangan ganggu saya!” ucapku menghardik. Namun Jarwo makin dekat, dia mendorong tubuh Rinda ke sisi lain agar jauh dariku. 

Jarwo membuka ikatan tali di kakiku. Menarik tanganku agar berdiri.

“Ayo, ikut denganku,” katanya sambil menyeretku. “Temani aku sebentar.”

“Lepaskan aku, Jarwo. Lepaskan!” Aku meronta tapi percuma. Bekapan Jarwo sangat kuat, apalagi tanganku dalam keadaan terikat. Langkah Jarwo besar-besar dan gegas keluar gudang. Aku tertatih mengiringinya. Di dalam gudang, kulihat Rinda menangis. Dia menatapku iba saat dibawa pergi. 

Setiba di luar, Jarwo membekapku dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya mengunci gembok pintu gudang. 

Aku melihat ke sekeliling. Di samping gudang, ternyata ada satu bangunan lagi. Berbentuk rumah. Mungkin itu markas Ardan. 

Benar saja, Jarwo menyeretku ke sana. Dia membekapku kuat dan menyeretku kasar. 

Saat menuju bangunan itu, aku melirik ke sebuah pohon kayu. Di sana, ada sebuah besi panjang tersandar. Besi itu adalah linggis yang digunakan oleh Jarwo untuk menggali kuburan Diana.  

Aku memeras otak, mencoba tenang, aku harus mencari cara agar tubuhku terbebas dari bekapan Jarwo dan linggis itu menjadi fokusku, sekarang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUAMIKU MATI DI TANGANKU   Berjuang Pulih (TAMAT)

    “Nggak apa-apa Jana, aku memang berantakan. Wajar Kirana takut.” Rinda tersenyum memaklumi sikap Kirana yang tidak bersahabat menyambutnya. Bahkan, Kirana pergi begitu saja mengabaikan uluran tangan Rinda yang ingin bersalaman.“Mungkin setelah ini kita perlu ke salon, potong rambut, perawatan, pakai baju bagus. Yuk, kita nikmati hari baru,” balasku pada Rinda bersemangat. Rinda tersenyum mendengarnya. Pertemuan Rinda dan Kirana tidak berkesan baik, namun tidak perlu aku pusingkan. Masalah pelik yang telah dilalui sangat perlu untuk dirayakan. Aku akan membayar semua waktu yang telah hilang pada Kirana. Lebih banyak bersamanya untuk mendengar cerita gadis kecil itu.Untuk masalah perkembangan kasus, semua sudah diserahkan pada polisi. Investigasi terus berlanjut dan kami cukup menunggu progres demi progres. Akun Bank penerima dana transferan dari akun rekeningku juga sudah dibekukan. Dana transaksi tersebut telah kembali. Aku dan Rinda hanya butuh waktu u

  • SUAMIKU MATI DI TANGANKU   Pulang

    Tiba-tiba, tirai kembali tersingkap.“Siapa yang sedang dalam bahaya?” Suara berat dari balik tirai menginterupsi tangisku. Tirai dibuka lebih lebar. 3 polisi dan dokter datang, mereka berdiri mengelilingi ranjangku sambil menatapku serius. Aku makin terisak putus asa, tidak tahu harus menjawab apa. Salah satu dari petugas kembali mengulang tanya. “Ibu, ada yang mengancam, Ibu?” Aku tidak dapat mengelak lagi. Pertanyaan mereka datang bertubi, setelah mendengar obrolanku dengan Dirga. Keterlibatan polisi tidak bisa dihalangi lagi. Semua cerita sudah mereka kantongi karena Pak Firman sudah membocorkan informasi sebelumnya. Tiada cerita baru yang bisa kami karang-karang lagi. “Ibu, tim kami sudah ke lokasi, kasus ini sudah dalam penyidikan. Kami mohon, Ibu bisa bekerja sama.” Polisi yang lain ikut mendesak bertanya.“Ibu dan anak saya dalam bahaya,” ucapku pada akhirnya. Aku kembali menangis. “Ibu tenang. Kami akan mengirimkan p

  • SUAMIKU MATI DI TANGANKU   Dilema

    Aku tak sempat bergerak. Ryan mendekat secepat kilat. Dia membekap mulutku kuat. Tangannya merogoh saku, mengeluarkan ponsel dan menyodorkan layar tepat di depan kedua bola mataku. "Kunci mulutmu dan jangan pernah bocorkan cerita di pulau itu!" ucapnya pelan dengan nada mengancam. Mataku melebar melihat layar di ponsel. Video Ibu dan Kirana di teras depan. Ibu sedang mengepang rambut Kirana yang bersiap berangkat ke sekolah. Kartu As-ku kembali mereka pegang. Ryan sangat tahu cara membungkam. Mungkin ini memang taktik sindikat mereka. Jika soal keselamatan Ibu dan Kirana, aku tak lagi bisa berbuat apa-apa selain mengikuti laju permainannya."Jangan sampai polisi ikut campur jika tidak ingin nyawa mereka melayang seperti Andi." Suara Ryan bergetar. Di tengah ancamannya, dapat kurasakan laki-laki ini sedang berduka. "Kau membunuhnya!" ucap Ryan getir. Tangannya yang membekap terasa semakin mencengkram. Dalam jarak pandang sedekat ini, aku dapat m

  • SUAMIKU MATI DI TANGANKU   Pria Di Balik Tirai

    "Rinda, bukan kamu, aku atau Jana yang memutuskan siapa yang paling bersalah di sini, biarkan penegak hukum yang bekerja. Jika berhenti di kita, aku yakin, perang ngga akan pernah berhenti dan kita tidak akan mendapatkan perlindungan." Dirga angkat suara. Ucapannya menjernihkan pikiranku yang tadi sempat terpengaruh oleh Rinda. Wajar Rinda cemas, dia pasti teringat bagaimana punggung Jarwo dihujam linggis oleh tangannya sendiri. Begitu juga aku yang ikut merubuhkan Jarwo. Itu baru korban pertama kami. Selanjutnya Ardan, dia lebih nahas lagi. Kepalanya pecah dan berlubang dengan linggis yang sama dan masih Rinda sebagai algojonya. Untuk Dirga, dia malaikat maut untuk Anton. Masing-masing kami telah berkontribusi besar dalam merampas nyawa mereka. Tapi semua, hanyalah reaksi naluriah untuk bertahan hidup semata.Rinda meneguk ludah, menatap wajah Dirga begitu dalam. Dia masih ingin lebih diyakinkan. "Benar apa yang dikatakan Dirga. Kita ngga usah taku

  • SUAMIKU MATI DI TANGANKU   Jangan Ada Polisi

    Tidak ada kejahatan yang sempurna. Sepandai-pandainya sindikat ini beraksi, akan ada masanya mereka kacau balau. Semoga aku yang terakhir menjadi korban Ardan. Ardan, Jody, Tommy atau Andi, telah dilumpuhkan. Laki-laki manipulative itu telah berakhir tragis di ujung linggis oleh korbannya sendiri, yaitu Rinda, perempuan yang kini duduk sambil tersenyum di ujung anjungan speedboat. Aku membalas senyum Rinda, tipis. Sepanjang perjalanan kembali ke dermaga, perasaanku rasanya kebas dan mati rasa. Kejadian yang menyiksa, pergelutan yang berujung maut, membuat mentalku tidak mampu mencernanya. Semua diluar nalar. Aku malah tak yakin, hidupku akan masih sama setelah ini. Lamunanku buyar, kala ujung anjungan menubruk dermaga. Kapal kami berhenti. Dirga memanggil-manggil namaku berulang kali.“Kamu ngga apa-apa, Jana?” tanya Dirga cemas, “Aku ngga apa-apa.”Gedung usang dan dermaga kayu menyambut kami. Tempat di mana aku dirubuhkan d

  • SUAMIKU MATI DI TANGANKU   Senyum Rinda

    Mungkin sudah saatnya aku tidak meragukan Dirga dalam berduel. Postur tubuhnya yang besar dan tegap membuat pria itu sulit dilumpuhkan. Meski berduel 1 lawan 2, dia tidak terlalu kepayahan. Pria-pria yang memburu itu tidak berbadan besar, cenderung kecil dan pendek, hanya saja mereka memiliki nyali yang besar dan nekad. Pergulatan Dirga melawan mereka semakin sengit, sementara aku dan Rinda makin tersudut di dinding tebing di sisi kanan batu besar. Di atas batu besar itu, 1 lagi laki-laki datang. Dia tidak membantu temannya, melainkan membidik kami sebagai sasaran. Tubuhnya meluncur ke bawah dengan cepat dari puncak batu besar, bergerak geram untuk menyerang kami. Rinda menjadi amukannya. Tubuh Rinda ditarik, dihempas ke batu. Aku yang kehabisan akal hanya bisa meracau dan merarau panik, mencari-cari sesuatu untuk melindungi diri. Namun yang terjadi, aku kalah telak, tangan laki-laki itu teramat cepat meraih rambutku, menariknya kuat hingga aku pun bernasib sama

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status