Share

Kata Ibu Ada Tamu

"Rinda, dengarkan aku. Kalau kita ngga berjuang, kita akan benar-benar berakhir di sini seperti Diana. Apa kamu ngga mau balik ke kehidupanmu yang sebenarnya?” 

Aku membujuk, malah kali ini lebih memaksa. Rinda tetap menggeleng. Dia menunduk lagi dengan wajah yang teramat frustasi. 

“Di sini atau di mana pun, hidupku akan sama saja.” Rinda gemetaran, kali ini tangisnya pecah. “Aku udah ngga punya apa-apa lagi. Aku tak punya tempat untuk pulang.”

Rinda menelan ludah, wajahnya menengadah, terlihat berjuang untuk menegarkan diri. Dari gelagatnya, ada hal yang ingin ia tumpahkan padaku. Aku diam untuk menyimak. 

“Kamu tau mengapa tanteku ngga nelpon aku lagi?” tanya Rinda padaku. Tentu saja aku menggeleng. Rinda melanjutkan.

“Karna Jodi pernah bilang sama tante kalau kami bangkrut, kami miskin dan kami punya banyak hutang. Parahnya, Jodi menelepon semua keluargaku untuk meminjam uang. Padahal itu tidak benar. Yang Jodi mau adalah keluarga menjauhi aku dengan pura-pura miskin, merepotkan dan punya banyak hutang. Kamu tau sendiri ‘kan? kalau kita miskin, jangankan keluarga, bayangan kita pun akan meninggalkan kita. Jodi paham akan situasi sosial seperti itu. Dia memanfaatkannya dan berhasil.” 

Mata Rinda nanar menatap ke arah pintu gudang yang terkunci.

"Tapi, Rinda, kita harus keluar dari sini untuk melaporkan mereka kepada polisi agar mereka semua tertangkap." Lagi, aku meyakinkan. Rinda masih ragu. Menatapku dengan tatapan mata yang terus saja putus asa. 

"Kamu jangan bilang ngga punya siapa-siapa. Kamu punya aku. Kita bisa mulai semuanya dari awal lagi," lanjutku dengan suara lembut.

Rinda tersedu, dia menangis haru. Sepertinya bujukanku diterima Rinda. Tangannya terangkat ragu-ragu untuk membuka ikatan tali di tanganku. Kami akan mencoba ide gila kemarin sekali lagi, meski tidak tahu apa langkah pertamanya. 

Saat Rinda membuka simpul, kami mendengar ada suara-suara di luar. Aku bergegas mengintip dari celah gudang. Di luar sana, ada sampan mendekat. Sampan nelayan. Ada bapak-bapak dan seorang ibu-ibu berusia baya di atasnya. Jarwo menyambut mereka di dermaga.

“Rinda itu siapa?”

Sebelum Rinda sempat menjawab, aku lebih dulu berteriak. 

“Tolong! Tolong kami, kami disekap di sini!” Aku memukul-mukul dinding, membuat kehebohan agar sepasang bapak-bapak dan ibu-ibu baya itu mendengarku. Tapi Rinda tak ikut meminta tolong, dia malah membekap mulutku agar diam. 

“Jana, itu warga kampung yang biasa mengantarkan makanan. Mereka itu juga kaki tangan Jodi,” terang Rinda. 

Mataku membelalak mendengar ucapan Rinda. “Orang kampung sini juga terlibat? Bagaimana bisa?” tanyaku tak percaya. 

“Mereka sudah dibayar dan malah menjadi mata pencaharian mereka,” terang Rinda lagi dengan suara sendu.

“Berarti bisa dibayar dengan uang ‘kan, kalau begitu, aku akan melakukan tawar menawar dengan harga yang lebih tinggi,” ucapku percaya diri. Tak mau menyerah begitu saja.

 “Tidak, jana, Itu tidak akan berhasil,” Rinda membujuk dan aku mengabaikan.

“Tolong! Tolong kami, Ibu! tolong kami.” Pukulanku semakin keras menggedor dinding gudang. Kulihat, ketiga orang yang berbincang di dermaga menoleh ke sini. Wajah Jarwo berubah masam, langkahnya besar-besar menyusul ke arah gudang dan diikuti oleh sepasang bapak-bapak dan Ibu-ibu baya itu. 

Setelah mereka dekat, ketiga orang itu berdiri di sisi luar dinding yang kugedor.

“Diam kau!” Suara si Ibu. Dia menghardik dan membalas memukul dinding.

“Ibu, tolong kami, keluarkan kami dari sini!” pintaku dari celah dinding. 

Dia tidak menggubrisku. Malah balik memukul dinding agar aku berhenti menggedor

“Anak baru, ya, Jarwo?” tanya si Ibu pada Jarwo. Mendengar itu, aku berhenti berharap pada si Ibu. 

“Iya, Buk,” jawab Jarwo. 

“Bekap mulutnya, sumpal! Biar ngga ribut. Ceroboh sekali kamu!” kata si Ibu itu ketus pada Jarwo.

“Iya, Buk, Tapi dilarang si Bos.” Jarwo beralasan. 

“Tapi dia ribut begini. Bahaya kalau ada yang dengar.”

“Iya, Buk,” jawab Jarwo seperti setuju pada si Ibu.  

Astaga! Tak kusangka, Ibu-ibu itu ternyata lebih menyeramkan dibanding Jarwo. Aku terdiam. Terduduk lemas di lantai, Rinda menyambutku dengan tatapan mata penuh penyesalan. Aku yakin, dulu, kedatangan ibu-ibu dan bapak-bapak baya itu pernah memberikan harapan yang sama pada Rinda, namun berujung pada rasa kecewa. 

Ketiga orang itu kembali ke dermaga, berbincang sebentar kemudian pergi. Jarwo berbalik badan dan masuk kembali ke dalam gudang. 

“Aku tak mau kejam sebenarnya, tapi perangaimu membuat kau harus kubisukan,” kata Jarwo dengan kesal. Aku menyudut ketakutan, Rinda hanya memeluk lutut dan membenamkan wajahnya ke lutut. Dia telah bersiap-siap pada hukuman Jarwo. 

Apa yang disuruh oleh Ibu baya itu dilakukan Jarwo. Mulut kami dibekap dengan lakban hitam besar. Aku teramat menyesal melihat Rinda juga diperlakukan sama oleh Jarwo. Karena kecerobohanku, Rinda juga menanggung akibatnya. Dia yang semula bebas tanpa terikat, kini kaki dan tangannya tersimpul tali yang kuat. Jarwo mengikatnya, juga mulut Rinda ditutup dengan lakban hitam. Kami berdua bisu, tak dapat lagi berbicara satu sama lain.

“Maafkan aku, Rinda,” ucapku dengan isyarat mata. Aku memandang Rinda dengan tatapan iba. Rinda membalas dengan mengedikkan bahu. Meski tak terlihat, Rinda sepertinya maklum dan membalasku dengan senyum yang tertutup lakban. 

Tak ada yang bisa kami lakukan sekarang selain bermenung, meratapi nasib, bermenung lagi dan kemudian tertidur.

***

Pagi menjelang, udara sejuk menyelinap ke dalam gudang. Aku terjaga dan mendapati pintu gudang sedang terbuka. Ardan datang dan Kembali duduk di kursi, memandangi kami dengan tatapan geli. 

“Makanya jangan macam-macam, kalian. Memang enak dihukum Jarwo?” Dia terkekeh. Aku membuang pandang. Tak mau melihat wajah Ardan.

Tadi sempat kuperhatikan, penampilan Ardan telah berubah drastis. Rambutnya dipotong lebih pendek dan disisir klimis. Tidak seperti penampilan sebelumnya yang tampil dengan rambut hitam bergelombang dan sedikit panjang. Dia juga mengenakan jas hitam dengan sepatu yang mengkilap. Terlihat formal. Aku yakin, penampilan baru ini adalah kamuflase untuk mangsa barunya. 

Ardan mendekat dan menarik kasar lakban yang menutup mulutku. “Apa yang sudah kamu lakukan sampai dilakban sama Jarwo? Mencoba membuat keributan, hah?”  Aku diam dan menunduk. “Jangan kau ulangi lagi kalau tidak ingin hukumanmu meningkat lebih kejam dari ini. Aku sudah berbaik hati padamu dan kau malah berulah!” Ardan menoyor kepalaku sampai terantuk ke dinding setelah mengucapkan itu. 

Ardan menoleh pada Rinda yang ada di sudut sana. Dia mendekat dan bangkit menghampiri Rinda. “Kau jangan mengajarkan yang tidak-tidak pada dia, Rinda!” hardik Ardan seraya menjambak rambut Rinda. “Cuih! bau sekali kau,” ucap Ardan lagi menghina Rinda. Ardan melepas jambakan rambut dan mengelap tangannya ke celana. Beruntung, lakban yang menyumpal mulut Rinda juga dilepas meski dengan cara yang sangat kasar, Rasanya pasti sangat perih. 

Ardan mendekat lagi padaku sambil menyodorkan ponsel. 

“Ibumu menelpon lagi tadi.” 

Nomor Ibu ditelepon. Loud speaker dihidupkan. Ponsel didekatkan ke bibirku. Terdengar suara ibu di seberang sana. 

“Jadi pulang hari ini?” tanya Ibu lembut.

“Belum tahu, Buk. Masih banyak tempat yang akan kami datangi.”

“Jangan keasyikan, nanti lupa sama Kirana. Dia sudah tanya-tanya kamu dari semalam, tapi teleponmu ngga aktif.”

“Maaf, buk. Sinyal di sini jelek. Kirana mana, buk?”

“Anakmu pergi ke sekolah.”

Aku tercekat, tak tahu lagi harus mengobrol apa sama ibu. Kulihat wajah Ardan, dia memberi isyarat untuk lanjut mengobrol dengan Ibu.

Menjeda sebentar, kemudian terdengar lagi suara Ibu.

“Jana … apa Ardan ada di dekat kamu?” tanya Ibu. Suaranya terdengar sangat hati-hati.

Aku melirik Ardan, dia menggelengkan kepala, memberi isyarat agar aku menjawab ‘tidak’.

“Ngga, buk. Ada apa?” tanyaku.

“Jana … aku mau ngobrol sama kamu tapi kamu harus jauh-jauh dari Ardan. Jangan sampai dia dengar.”

“Iya, ngomong aja, Buk, ngga apa-apa,” balasku sambil melirik pada Ardan. Ardan memberi isyarat agar aku terus mengobrol dengan ibu.

“Kemarin … ada tamu,” kata Ibu membuka cerita.

“Tamu? Siapa, buk?”

“Seorang laki-laki.”

“Dia mau apa?”

“Entahlah, Ibu ngga tahu kalau dia itu lagi bohong atau apa.”

“Memang dia ngomong apa sama Ibu?”

“Katanya, Ardan itu bernama Tommy. Tommy ini sudah membawa lari istrinya, sampai sekarang, laki-laki ini belum mendengar kabar lagi tentang istrinya. Anak-anak mereka selalu menanyakan.”

“Bawa kabur maksudnya?” tanyaku memancing cerita Ibu.

“Bawa kabur … berselingkuh gitu. Sebenarnya ibu juga ngga ngerti. Laki-laki itu ngga jelas berceritanya.”

Tak sempat merespon ucapan ibu, Ardan merampas telepon, mematikan ponsel dan obrolanku dengan Ibu terputus. Menyisakan rasa penasaran di benakku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status