Aku kembali ke kelas, tapi pikiran dan hatiku masih tertinggal di ruang UKS. Elang. Namanya terus terngiang di kepalaku, membayangi setiap langkahku. Berbicara tentangnya seolah tak pernah ada ujungnya, karena dia adalah satu-satunya orang yang selalu perhatian padaku sejak awal masuk sekolah.
Setiap tatapan, senyum, dan caranya memperlakukan aku dengan lembut, selalu membuatku merasa istimewa. Aku teringat saat pertama kali bertemu dengannya, bagaimana dia tanpa ragu menawarkan bantuan ketika aku kebingungan mencari kelas. Sejak saat itu, perhatian-perhatiannya tak pernah surut. Entah itu sekadar menyapaku di koridor atau memastikan aku baik-baik saja di tengah hiruk pikuk sekolah, Elang selalu ada. Dan sekarang, setelah insiden tadi di lapangan, aku semakin tak bisa menghilangkan bayangannya dari pikiranku. Cara dia dengan mudah menyuapiku dan tatapan hangatnya saat aku merasa lemah tadi... apakah dia hanya bersikap baik padaku? Atau memang ada sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian biasa? "Ah, sial!" Aku mengomel pada diriku sendiri, suara keluhanku teredam di antara riuh rendah suara kelas. Punggung Arga yang membelakangiku terlihat kokoh, dan entah kenapa, setiap kali melihatnya, ada rasa yang sulit aku pahami. Tapi aku tersentak, diingatkan oleh kenyataan pahit yang tak bisa aku abaikan. Aku bukan lagi gadis lajang seperti dulu. Sejak pernikahan rahasia itu, hidupku berubah. Semua tampak tak ada yang berubah dari luar, tapi di dalam hatiku, semuanya terasa berantakan. Bagaimana aku bisa tetap bersikap biasa di sekolah, menjalani hari-hariku seperti tak ada yang terjadi? Sementara di balik layar, aku terjebak dalam pernikahan yang tak pernah kuinginkan. Setiap kali melihatnya, aku merasa semakin jauh dari diriku sendiri. Di sekolah, kami tampak seperti musuh. Di rumah, kami tampak seperti dua orang asing yang tinggal seatap. "Ril, ngapain bengong?" tanya Silvia, teman sebangkuku. "Gakpapa," jawabku sambil tersenyum, meski tidak benar-benar ingin tersenyum. Aku segera duduk, mencoba mengabaikan perasaan campur aduk di kepalaku. Hari ini adalah pelajaran Matematika, dan aku tahu pasti ini akan menjadi ajang persaingan antara aku dan Arga. "Baik, anak-anak, siapa yang bisa menyelesaikan soal di papan tulis ini?" Pak Arya, guru Matematika, melontarkan tantangannya. Aku langsung menatap soal di papan tulis, rumit, seperti biasa. Tanpa ragu, aku mengangkat tangan bersamaan dengan Arga. Aku tahu dia juga melihat ini sebagai kesempatan untuk membuktikan bahwa dia masih yang terbaik. "Rila, Arga, maju ke depan. Kita lihat siapa yang bisa menyelesaikan soal ini lebih cepat." Aku bangkit dari kursi, dengan langkah percaya diri menuju papan tulis. Arga sudah ada di sebelahku, tatapan dinginnya tidak pernah meninggalkan soal. Dia selalu begitu, tenang, dingin, dan fokus. Kami berdua mulai menulis solusi masing-masing di papan, tangan kami bergerak cepat. Aku bisa merasakan semua mata tertuju pada kami, seolah ini adalah pertandingan final yang ditunggu-tunggu. Suasana kelas mendadak sunyi. Hanya ada suara samar gesekan kapur di papan dan detak jantungku yang semakin cepat. "Jangan terburu-buru," gumamku pada diri sendiri, berusaha menjaga fokus. Namun, sudut mataku menangkap Arga yang sudah hampir menyelesaikan langkah terakhirnya. "Tidak mungkin!" aku mendesah dalam hati, mempercepat ritmeku. "Tepat waktu," katanya sambil meletakkan kapur, menoleh ke arahku dengan senyum tipis yang nyaris provokatif. Aku menyelesaikan soal hanya beberapa detik setelahnya, tapi rasanya sudah terlambat. "Kita lihat hasilnya," Pak Arya mendekat, memeriksa papan, sebelum akhirnya beliau angkat bicara. "Keduanya benar. Tapi Arga menyelesaikan lebih cepat." Aku menelan kekalahan kecil ini. "Ya, kali ini kamu menang, Arga," aku membatin. Tapi aku tahu, persaingan ini belum selesai. Aku memperhatikan papan tulis sambil duduk kembali di kursiku. Meski Pak Arya mengatakan Arga benar, aku tahu tidak ada yang sempurna. Mata ini sudah terlatih untuk mencari celah, dan di sanalah kesalahan kecil Arga terlihat. Aku tersenyum tipis, merasa sedikit puas. "Sayang sekali, kamu kurang fokus," kataku sambil berjalan ke papan tulis dan mencoret satu angka kecil di pojok hitungannya yang hampir tak terlihat. Arga mendongak, menatapku dengan alis terangkat. Tatapannya masih dingin, tetapi aku bisa merasakan dia sedikit terganggu. "Apa maksudmu?" katanya dengan nada datar. Aku menahan senyum lebih lebar. "Ini, lihat." Aku menunjuk coretanku. "Angkamu salah di sini. Seharusnya 0,8, bukan 0,9. Kecil memang, tapi cukup untuk membuatmu kehilangan satu poin." Dia melihat papan tulis lagi, matanya menyipit sesaat sebelum akhirnya dia mengangguk pelan, mengakui kesalahannya. "Kamu memang suka cari masalah," gumamnya tanpa menatapku lagi, sibuk dengan bukunya. Aku menyilangkan tangan di depan dada, merasa menang sedikit. "Bukannya cari masalah, aku hanya... membantumu, Arga. Supaya lain kali kamu benar-benar sempurna." "Tak perlu," jawabnya cepat, tanpa memberi ruang untuk perdebatan. "Aku sudah cukup baik." Aku mendekatkan wajahku ke arahnya sedikit, merasa lebih berani dari biasanya. "Yakin?" Dia menatapku sekilas, lalu kembali fokus pada bukunya. "Terlalu yakin." Aku menghela napas, merasa percakapan ini akan selalu berakhir begitu. Arga dan aku saling mengganggu, bersaing, tapi tak pernah benar-benar selesai. Aku kembali ke tempat dudukku, masih dengan senyum kecil di wajahku. Persaingan kami memang tiada akhir, tapi itu yang membuat semuanya menarik. Sepulang sekolah, suasana di dalam mobil terasa begitu hening. Mungkin seharusnya aku bicara, memulai percakapan, tapi apa yang bisa kukatakan? Sesampainya di rumah, keheningan tetap berlanjut. Kami turun dari mobil tanpa kata-kata, berjalan menuju pintu depan dengan langkah yang sama, tapi dengan jarak yang terasa begitu jauh. Bahkan ketika berada di bawah satu atap, rasanya seolah-olah tidak ada ikatan di antara kami. Begitu kami masuk ke dalam rumah, kejutan tak terduga langsung menyambut. Di ruang tamu, ibu Arga sudah duduk dengan tenang, mertuaku yang jarang sekali berkunjung. Pandangannya langsung tertuju pada kami, dan seolah suasana yang sudah dingin berubah menjadi lebih tegang. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Arga langsung bertanya, suaranya dingin seperti biasanya. Aku menahan napas, sedikit canggung melihat situasi ini. Arga dan ibunya memang tak pernah memiliki hubungan yang hangat, dan kehadirannya di sini jelas membuat Arga tidak nyaman. "Ibu rasa rumah ini terlalu besar untuk kalian tinggali berdua, jadi..." ibunya mulai berbicara dengan nada lembut, tapi belum selesai dia menjelaskan, Arga sudah memotongnya. "Jangan sok peduli," ucap Arga tajam sambil menaiki tangga, tak sedikit pun menoleh, "aku bisa mengurus diriku sendiri." Aku hanya bisa berdiri terpaku, antara bingung dan tak tahu harus berkata apa. Ibu Arga menatap ke arahku dengan senyum tipis, seolah meminta pengertian, tapi suasana sudah telanjur kacau. "Rila, kamu baik-baik saja?" tanyanya, mencoba mencairkan suasana. Aku mengangguk pelan, meskipun sebenarnya hati ini terasa terhimpit oleh suasana tegang yang ditinggalkan oleh Arga. Sungguh, hidup dengan seorang suami yang dingin dan hubungan keluarga yang rumit bukanlah hal yang mudah.Aku duduk sendiri di taman belakang sekolah, membiarkan angin sore yang dingin menampar wajahku. Hati ini terasa berat, bahkan napas pun terasa sesak. Sejak perkelahian Arga dan Elang tadi, pikiranku makin kacau. Bukan hanya tentang mereka berdua, tapi juga tentang Viona. "Apakah Arga sudah tahu?" Aku meremas rok seragamku erat-erat. "Tentang aborsi itu. Tentang rahasia besar Viona yang mungkin bisa menghancurkan perasaanya." Aku menggigit bibirku. Seandainya saja aku tidak membuka map dari Ericka... Seandainya saja aku tidak tahu aib itu, mungkin aku bisa hidup sedikit lebih tenang. Tapi sekarang? Aku merasa seperti duduk di atas bom waktu. Kalau Arga tahu, apa yang akan dia lakukan? Marah? Kecewa? Merasa bersalah karena pernah menyayangi Viona? Atau justru membenciku karena merahasiakan fakta ini. Apakah Viona sengaja menutupi semuanya? Dan itu sebabnya dulu dia tiba-tiba menghilang, memutuskan semua hubungan dengan Arga tanpa alasan jelas? Aku menggenggam ponselku, tergoda
Semua konsep sudah ditempel di mading, peserta sudah terdaftar, bahkan pembagian tugas panitia pun rampung. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, aku dan Arga bisa kembali fokus ke pelajaran. Hari ini, suasana sekolah lebih tenang. Hanya derap kaki siswa dan suara lonceng yang sesekali memecah kesunyian. Saat aku baru saja meletakkan bukuku di meja, seseorang menarik kursiku dari belakang dengan heboh. "Heyy... akhirnya aku bisa ngobrol sama kamu juga!" seru Silvia, sahabatku, sambil menjatuhkan dirinya ke kursi di sampingku. Aku tertawa kecil, merasa hangat melihatnya. "Kayaknya kamu sibuk banget ya akhir-akhir ini. Pentas lah, rapat lah... pacaran lah." Silvia menyenggolku dengan sikunya, menggoda. Aku memutar mataku pura-pura malas. "Pacaran apaan, Sil? Capek tau urusan sama bocah itu." Sambil menunjuk Arga yang asyik membaca di pojok kelas, tampak sangat... serius. Atau setidaknya pura-pura serius. Silvia tertawa geli. "Tapi kalian lucu tau, kayak kucing s
Malam itu, aku duduk di ruang tamu rumah kami, mengutak-atik ponsel tanpa fokus. Arga keluar dari ruang belajarnya, menguap sambil menyeret langkah mendekat. "Kenapa lemes gitu?" tanyanya curiga, duduk di sampingku. Aku menoleh sebentar, lalu mengembuskan napas. "Arga... ada masalah," gumamku. Arga mengernyit. "Masalah apa? Jangan bilang berantem sama Viona lagi?" Aku menggigit bibir bawahku, ragu-ragu. "Ada rekaman," kataku akhirnya. "Ericka punya rekaman... tentang aku dan Viona." Arga langsung duduk tegak, matanya membulat. "Rekaman apa?" Aku menunduk. "Dia tahu soal... soal kita," bisikku nyaris tak terdengar. Suasana langsung membeku. Arga mengusap wajahnya kasar. "Sialan." "Aku harus cari cara supaya Ericka hapus rekaman itu," lanjutku, mulai panik. "Kalau nggak... semua orang bakal tahu." Arga berpikir keras, ekspresi wajahnya serius. "Kamu mau aku yang urus?" Aku menggeleng cepat. "Kalau kamu ikut campur, malah makin mencurigakan," kataku. "Aku yang harus beres
Hari-hari berikutnya, Viona seperti orang yang kehilangan akal. Setiap ada kesempatan, dia membujuk Arga supaya mau duet dengannya. "Arga, aku yakin kalau kita berdua yang tampil, acara ini bakal pecah banget!" "Arga, tolonglah, sekali ini aja... demi kenangan masa sekolah kita." "Arga, aku udah latihan lagu duet, tinggal kamu yang belum setuju!" Begitulah, setiap hari. Setiap bertemu. Dan setiap ada kesempatan. Arga? Wajahnya makin hari makin sebal. Dia bukan tipe cowok sabar kalau sudah muak. Apalagi, sejak awal, Arga memang tidak suka keramaian. Bagi dia, menjadi ketua OSIS saja sudah cukup menguras energinya, apalagi harus bernyanyi bareng mantan pacar di depan ratusan siswa? "Enggak. Cari pasangan lain aja," jawab Arga dingin suatu siang, saat Viona lagi-lagi menghampirinya di koridor. Aku yang melihat kejadian itu dari jauh hampir ingin bertepuk tangan. Tetapi aku tahu, Viona bukan orang yang mudah menyerah. Wajahnya tersenyum palsu, tapi matanya, penuh kebencian. Aku m
Hari berikutnya, aku dan Arga mulai sibuk menyiapkan mading utama di koridor sekolah. Kertas-kertas warna-warni, spidol berbagai ukuran, dan gunting berserakan di lantai. Aku berjongkok sambil menulis besar-besar tema acara di tengah mading. "Pentas Seni & Perpisahan Kelas 12" Di sebelahku, Arga ikut sibuk, walau dari ekspresinya, jelas sekali dia lebih memilih tidur siang daripada menempel kertas-kertas ini. Beberapa kali kami saling menyikut, berdebat soal font tulisan, warna latar, bahkan posisi pengumuman. Layaknya dua anak kecil berebut mainan. "Arga! Itu miring!" seruku, memukul lengannya pelan. "Enggak kok," katanya santai, malah sengaja menekan kertasnya lebih keras ke mading, membuatnya semakin miring. Aku mendesah keras, lalu dengan malas menarik kertas itu dan merapikannya. "Kalau kayak gini, siapa yang mau daftar coba? Mading aja kayak kapal pecah!" Arga terkekeh, lalu mencolek pipiku dengan spidol. Aku langsung menoleh tajam, wajahku memanas. "Jangan ganggu aku! I
Aku duduk di salah satu bangku panjang di aula, meletakkan map berisi daftar peserta di sampingku. Rasanya kakiku mau copot. Seharian ini aku wara-wiri mengatur banyak hal. Mendata kakak-kakak kelas yang masih mau berpartisipasi di pentas seni meskipun mereka disibukkan ujian akhir, memastikan semua sektor berjalan, belum lagi drama kecil soal Viona tadi. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku. Saat itu, dari sudut mata, aku melihat seseorang mendekat. Sebuah botol minuman dingin muncul di hadapanku. Aku mendongak. Dan jantungku, sedikit berdebar. "Minum dulu," kata Elang, kakak kelasku, sambil tersenyum ramah. Dia mengenakan jaket hitam tipis di atas seragamnya, rambutnya agak berantakan, tapi malah membuatnya terlihat... keren, seperti biasa. Aku menerima botol itu dengan sedikit canggung. "Makasih, Elang," ucapku, berusaha terdengar santai. Elang tertawa kecil. "Santai aja, Rilla." Aku hanya tersenyum kaku. Sulit bagiku untuk benar-benar santai saat berha