Aku segera meletakkan tasku di sofa dan mencoba mengalihkan suasana yang canggung.
"Ibu, maafkan Arga, dia pasti lelah," kataku, berusaha tersenyum. "Ibu mau minum apa? Aku bisa buatkan teh atau kopi." Ibu Arga menatapku dengan lembut, meski matanya sedikit sayu. "Tidak apa-apa, Rila. Aku mengerti sifat Arga." Dia menghela napas pelan. "Teh saja, ya." Aku mengangguk dan bergegas menuju dapur. Sambil menyiapkan teh, pikiranku berkecamuk. Rasanya hubungan ini begitu jauh dari apa yang aku bayangkan ketika menikah dengan Arga. Hubungan yang semula kuharapkan membawa kebahagiaan kini malah dipenuhi jarak yang dingin dan pertengkaran yang seolah tiada habisnya. Saat kembali dengan secangkir teh hangat, ibu Arga masih duduk di sana, menatap kosong ke arah tangga tempat Arga tadi menghilang. Aku duduk di sebelahnya, meletakkan cangkir di atas meja. "Ibu, aku benar-benar minta maaf soal Arga. Aku tahu ini tidak mudah..." Ibu Arga menoleh padaku, kali ini dengan senyum yang tidak biasa. "Tidak apa, Rila. Aku tahu Arga anak yang sulit. Tapi ibu percaya, dengan waktu, semuanya bisa berubah." Dia menatapku dalam, seolah ingin menyampaikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata. Aku mengangguk, meskipun dalam hati masih penuh keraguan. Mampukah hubungan kami benar-benar berubah? Tiba-tiba, ibu Arga melontarkan pertanyaan yang begitu menikam, membuat suasana mendadak terasa sesak. "Bagaimana rasanya menikah dengan pria kaya? Hidupmu begitu terjamin ya, Rila, sampai tidak perlu membayar biaya sekolah." Aku tersentak, merasa darahku berhenti mengalir sesaat. Kata-katanya menusuk lebih tajam dari yang bisa kubayangkan. "Aku..." Dia memotong dengan nada dingin. "Kamu tidak tahu, ya, atau berpura-pura? Orang tuamu itu punya banyak hutang! Arga yang menanggung semuanya. Pikirkan itu, Rila. Apa kamu benar-benar pantas untuk anakku?" Aku menelan ludah, mencoba menahan gemuruh dalam dada. "Ibu... aku tidak tahu soal hutang orang tuaku. Dan aku juga tidak pernah meminta Arga untuk menanggung apa pun. Pernikahan ini, semua yang terjadi... bukan sepenuhnya keinginanku." Tatapannya tetap tajam, tidak melunak sedikit pun. "Kamu harus sadar diri, Rila. Hidup bersama Arga bukan hanya tentang cinta, kamu pasti mengincar uangnya, kan?" Aku menunduk, merasakan beratnya kata-kata itu. Pernikahan kami memang jauh dari kesempurnaan, bahkan hubungan ini terasa seperti beban yang terus menekan dadaku. Namun, tuduhan ibu Arga menambah luka yang lebih dalam. Dengan gemetar, aku mencoba mempertahankan ketenangan. "Aku tidak seperti itu, Bu. Aku tidak pernah ingin jadi beban bagi Arga atau siapa pun." Ibu Arga mendesah, matanya tidak lagi setajam tadi, meski tetap tidak sepenuhnya lembut. "Waktu yang akan menunjukkan apakah kamu mampu bertahan di dunia yang tidak seindah yang kamu bayangkan." Kata-katanya menggantung di udara, meninggalkan aku dengan rasa cemas yang semakin dalam. Saat ibu Arga melontarkan kata-kata yang lebih menusuk, tiba-tiba suara keras menggema dari arah tangga. "Cukup!" Aku dan ibu Arga sontak menoleh. Di sana, Arga berdiri di ujung anak tangga, wajahnya penuh dengan ketegasan. Ia menuruni tangga dengan langkah cepat, sorot matanya tajam tertuju pada ibunya. Tanpa basa-basi, Arga melemparkan sebuah amplop di hadapan ibunya. "Kau bisa pergi," ucapnya dingin, seolah tanpa beban. Ibu Arga tertegun, matanya bergerak dari amplop itu ke wajah Arga. "Apa maksudmu, Arga?" nada suaranya mulai melemah, kehilangan ketajaman yang sebelumnya menusukku. "Ini," Arga menunjuk amplop itu, "Mulai sekarang, kau tak perlu menghina dia lagi soal itu. Urusan kita sudah selesai." Ibu Arga terdiam, tidak ada kata yang keluar dari bibirnya. Matanya seakan memancarkan kekecewaan, tapi dia tidak membantah. "Arga, aku hanya ingin kamu sadar siapa yang sedang kamu... " "Aku sadar, dan aku tidak peduli. Ini hidupku, bukan milikmu," potong Arga tajam, matanya tak sekalipun melunak. Suasana tegang memenuhi ruang tamu. Aku hanya bisa diam, terkejut dengan pembelaan Arga yang tak terduga. Sebelumnya, aku selalu berpikir dia tak peduli, bahkan mungkin merasa terbebani dengan pernikahan ini. Tapi kali ini, dia membela aku. Ibu Arga meraih amplop itu dengan gerakan angkuh, matanya menyipit menatap Arga, lalu beralih padaku dengan pandangan penuh amarah sebelum berbalik meninggalkan rumah tanpa sepatah kata lagi. Ketika pintu tertutup di belakangnya, aku merasa ruangan ini seolah baru saja terbebas dari tekanan besar. Aku memandangi Arga yang masih berdiri di tempat, bahunya tegang. "Arga... kamu nggak harus melakukan itu," kataku pelan, suaraku hampir tak terdengar. Arga menatapku sejenak, kemudian dengan dingin menjawab, "Bukan untukmu. Aku melakukannya untuk menjaga nama baik keluarga." Jawabannya kembali dingin dan tajam, membuatku tersadar bahwa mungkin, pembelaannya tadi bukan tentang perasaan, melainkan tanggung jawab dan harga diri. "Meskipun begitu, kamu tidak seharusnya kasar pada ibumu," kataku, mencoba menenangkan situasi. Arga tiba-tiba menoleh, matanya memancarkan kemarahan yang lebih dalam. Dia mendekat dengan langkah cepat, membuatku mundur hingga tubuhku terhempas ke sofa. "Ibu?" katanya, suaranya rendah namun menusuk. "Ibu mana yang tega membuang anaknya sendiri?" Aku terdiam, tak mampu berkata-kata. Napas Arga memburu, kemarahannya begitu nyata di hadapanku. "Jangan bicara soal ibu kalau kamu nggak tahu apa-apa," lanjutnya, suaranya penuh kepedihan yang selama ini terselubung di balik sikap dinginnya. Aku menelan ludah, ingin membalas tapi lidahku kelu. Kata-katanya seakan membawa beban luka yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Sikap dinginnya selama ini ternyata lebih dari sekadar jarak. Ada sesuatu yang lebih dalam dan lebih gelap yang menghantuinya. "Aku... Maafkan aku..." ujarku pelan, berusaha menahan getaran suaraku. Arga terhenti sejenak, matanya yang tajam menatapku penuh pertanyaan. Sepertinya dia tidak mengharapkan permintaan maaf itu. "Maafkan kamu?" katanya, nada suaranya mulai melunak meski kemarahan itu masih tersisa. "Kamu bahkan tidak tahu apa yang sudah aku lalui. Kenapa meminta maaf?" Aku merasakan hati ini bergetar. "Aku tidak bermaksud menyakiti perasaanmu. Aku hanya..." "Hanya apa?" tanyanya, terdengar lebih tegas. "Aku hanya ingin kamu tahu, aku ada di sini meskipun situasinya mungkin sulit," kataku dengan tulus. "Aku tidak akan pergi. Aku ingin... bisa mendukungmu." Senyum kecil muncul di wajahnya, meski ada kesedihan yang tak dapat ditutupi. "Mendukung? Dalam hal apa? Aku sudah terbiasa berdiri sendiri." "Tapi kamu tidak perlu sendiri sekarang. Kita bisa menjalani ini bersama-sama. Kita sudah menikah, kan?" Kedua mata Arga terfokus padaku, dan seolah ada dinding yang mulai retak di antara kami. "Kamu... benar," katanya pelan, menyentuh bahuku dengan lembut. "Tapi bagaimana caranya?" "Biar aku bantu," ujarku, harapanku membara. Aku meraih leher Arga dengan lembut, menatap matanya yang penuh keraguan. Dalam detik-detik yang terasa panjang itu, keberanian mengalir dalam diriku. "Kita sudah menikah," pikirku, seolah itu menjadi mantra yang menguatkanku. Dengan sedikit mengatur napas, aku memberanikan diri untuk mendekat. Bibirku menyentuh bibirnya, lembut dan penuh harapan. Awalnya, dia terkejut, namun perlahan dia merespons, menyambut kehangatanku. Rasa takutku mulai memudar, tergantikan oleh perasaan nyaman dan hangat yang mengalir di antara kami. "Ini bukan hanya tentang pernikahan, ini tentang kita," pikirku. Arga menarikku lebih dekat, pelukannya mengelilingiku, menciptakan perlindungan di antara kami. Dia mengecupku kembali, kali ini lebih dalam, seolah ingin menyampaikan semua perasaannya yang selama ini terpendam. Semua keraguan dan ketegangan seolah menghilang. Aku tersenyum dalam hati, menyadari bahwa mungkin, dengan langkah ini, kami bisa menemukan jalan baru dalam pernikahan yang tak terduga ini. "Kita bisa menghadapi semua ini bersama," batinku.Aku duduk sendiri di taman belakang sekolah, membiarkan angin sore yang dingin menampar wajahku. Hati ini terasa berat, bahkan napas pun terasa sesak. Sejak perkelahian Arga dan Elang tadi, pikiranku makin kacau. Bukan hanya tentang mereka berdua, tapi juga tentang Viona. "Apakah Arga sudah tahu?" Aku meremas rok seragamku erat-erat. "Tentang aborsi itu. Tentang rahasia besar Viona yang mungkin bisa menghancurkan perasaanya." Aku menggigit bibirku. Seandainya saja aku tidak membuka map dari Ericka... Seandainya saja aku tidak tahu aib itu, mungkin aku bisa hidup sedikit lebih tenang. Tapi sekarang? Aku merasa seperti duduk di atas bom waktu. Kalau Arga tahu, apa yang akan dia lakukan? Marah? Kecewa? Merasa bersalah karena pernah menyayangi Viona? Atau justru membenciku karena merahasiakan fakta ini. Apakah Viona sengaja menutupi semuanya? Dan itu sebabnya dulu dia tiba-tiba menghilang, memutuskan semua hubungan dengan Arga tanpa alasan jelas? Aku menggenggam ponselku, tergoda
Semua konsep sudah ditempel di mading, peserta sudah terdaftar, bahkan pembagian tugas panitia pun rampung. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, aku dan Arga bisa kembali fokus ke pelajaran. Hari ini, suasana sekolah lebih tenang. Hanya derap kaki siswa dan suara lonceng yang sesekali memecah kesunyian. Saat aku baru saja meletakkan bukuku di meja, seseorang menarik kursiku dari belakang dengan heboh. "Heyy... akhirnya aku bisa ngobrol sama kamu juga!" seru Silvia, sahabatku, sambil menjatuhkan dirinya ke kursi di sampingku. Aku tertawa kecil, merasa hangat melihatnya. "Kayaknya kamu sibuk banget ya akhir-akhir ini. Pentas lah, rapat lah... pacaran lah." Silvia menyenggolku dengan sikunya, menggoda. Aku memutar mataku pura-pura malas. "Pacaran apaan, Sil? Capek tau urusan sama bocah itu." Sambil menunjuk Arga yang asyik membaca di pojok kelas, tampak sangat... serius. Atau setidaknya pura-pura serius. Silvia tertawa geli. "Tapi kalian lucu tau, kayak kucing s
Malam itu, aku duduk di ruang tamu rumah kami, mengutak-atik ponsel tanpa fokus. Arga keluar dari ruang belajarnya, menguap sambil menyeret langkah mendekat. "Kenapa lemes gitu?" tanyanya curiga, duduk di sampingku. Aku menoleh sebentar, lalu mengembuskan napas. "Arga... ada masalah," gumamku. Arga mengernyit. "Masalah apa? Jangan bilang berantem sama Viona lagi?" Aku menggigit bibir bawahku, ragu-ragu. "Ada rekaman," kataku akhirnya. "Ericka punya rekaman... tentang aku dan Viona." Arga langsung duduk tegak, matanya membulat. "Rekaman apa?" Aku menunduk. "Dia tahu soal... soal kita," bisikku nyaris tak terdengar. Suasana langsung membeku. Arga mengusap wajahnya kasar. "Sialan." "Aku harus cari cara supaya Ericka hapus rekaman itu," lanjutku, mulai panik. "Kalau nggak... semua orang bakal tahu." Arga berpikir keras, ekspresi wajahnya serius. "Kamu mau aku yang urus?" Aku menggeleng cepat. "Kalau kamu ikut campur, malah makin mencurigakan," kataku. "Aku yang harus beres
Hari-hari berikutnya, Viona seperti orang yang kehilangan akal. Setiap ada kesempatan, dia membujuk Arga supaya mau duet dengannya. "Arga, aku yakin kalau kita berdua yang tampil, acara ini bakal pecah banget!" "Arga, tolonglah, sekali ini aja... demi kenangan masa sekolah kita." "Arga, aku udah latihan lagu duet, tinggal kamu yang belum setuju!" Begitulah, setiap hari. Setiap bertemu. Dan setiap ada kesempatan. Arga? Wajahnya makin hari makin sebal. Dia bukan tipe cowok sabar kalau sudah muak. Apalagi, sejak awal, Arga memang tidak suka keramaian. Bagi dia, menjadi ketua OSIS saja sudah cukup menguras energinya, apalagi harus bernyanyi bareng mantan pacar di depan ratusan siswa? "Enggak. Cari pasangan lain aja," jawab Arga dingin suatu siang, saat Viona lagi-lagi menghampirinya di koridor. Aku yang melihat kejadian itu dari jauh hampir ingin bertepuk tangan. Tetapi aku tahu, Viona bukan orang yang mudah menyerah. Wajahnya tersenyum palsu, tapi matanya, penuh kebencian. Aku m
Hari berikutnya, aku dan Arga mulai sibuk menyiapkan mading utama di koridor sekolah. Kertas-kertas warna-warni, spidol berbagai ukuran, dan gunting berserakan di lantai. Aku berjongkok sambil menulis besar-besar tema acara di tengah mading. "Pentas Seni & Perpisahan Kelas 12" Di sebelahku, Arga ikut sibuk, walau dari ekspresinya, jelas sekali dia lebih memilih tidur siang daripada menempel kertas-kertas ini. Beberapa kali kami saling menyikut, berdebat soal font tulisan, warna latar, bahkan posisi pengumuman. Layaknya dua anak kecil berebut mainan. "Arga! Itu miring!" seruku, memukul lengannya pelan. "Enggak kok," katanya santai, malah sengaja menekan kertasnya lebih keras ke mading, membuatnya semakin miring. Aku mendesah keras, lalu dengan malas menarik kertas itu dan merapikannya. "Kalau kayak gini, siapa yang mau daftar coba? Mading aja kayak kapal pecah!" Arga terkekeh, lalu mencolek pipiku dengan spidol. Aku langsung menoleh tajam, wajahku memanas. "Jangan ganggu aku! I
Aku duduk di salah satu bangku panjang di aula, meletakkan map berisi daftar peserta di sampingku. Rasanya kakiku mau copot. Seharian ini aku wara-wiri mengatur banyak hal. Mendata kakak-kakak kelas yang masih mau berpartisipasi di pentas seni meskipun mereka disibukkan ujian akhir, memastikan semua sektor berjalan, belum lagi drama kecil soal Viona tadi. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku. Saat itu, dari sudut mata, aku melihat seseorang mendekat. Sebuah botol minuman dingin muncul di hadapanku. Aku mendongak. Dan jantungku, sedikit berdebar. "Minum dulu," kata Elang, kakak kelasku, sambil tersenyum ramah. Dia mengenakan jaket hitam tipis di atas seragamnya, rambutnya agak berantakan, tapi malah membuatnya terlihat... keren, seperti biasa. Aku menerima botol itu dengan sedikit canggung. "Makasih, Elang," ucapku, berusaha terdengar santai. Elang tertawa kecil. "Santai aja, Rilla." Aku hanya tersenyum kaku. Sulit bagiku untuk benar-benar santai saat berha