Saat bel pertama berbunyi, aku baru saja melangkah memasuki gerbang sekolah. Aku segera berlari menuju ruang kelas dan melihat Arga berdiri di depan pintu, dengan ekspresi yang sama cemasnya. Kami saling bertatapan, seolah tidak percaya bahwa kami terlambat untuk pertama kalinya.
"Kita tidak terlambat, kan?" tanyaku, berusaha mengurangi rasa malu. "Menurutmu?" jawab Arga sambil menatap jam tangannya dengan serius. "Sepertinya kita akan kena hukuman." "Ah, aku tidak pernah terlambat seperti ini," keluhku dengan kesal. "Ya, semua gara-gara kamu," jawab Arga, nada suaranya penuh ketegangan. "Kalau saja kamu tidak menghabiskan waktu terlalu lama di kamar mandi, kita tidak akan terlambat." Aku menatapnya dengan tak percaya. "Aku? Lagipula, kamu juga tidak memberikan penjelasan tentang berapa lama kamu akan berada di kamar mandi." Arga menghela napas, wajahnya menunjukkan frustrasi. "Aku juga tidak tahu kamu akan berganti pakaian sebanyak itu. Ada cara lebih cepat untuk siap pergi, kamu tahu." Pintu kelas tertutup rapat, dan saat kami berdiri di luar, kami berdua merasa canggung. Kami berdua berdiri di sana, saling menatap dengan marah. Tidak ada yang mau mengalah. Sampai akhirnya Pak Arif, guru kami, keluar dari kelas dan melihat kami dengan tatapan tegas. "Kalian berdua, ikuti saya ke lapangan. Keterlambatan kalian akan dihukum dengan latihan fisik." Kami berdua terdiam sejenak, melihat Pak Arif meninggalkan kelas menuju lapangan. "Bagus sekali, kita berdua dapat hukuman," ucapku dengan nada sinis. "Yah, setidaknya kita mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan masalah kita," jawab Arga, suara dan wajahnya menunjukkan keteguhan. Di lapangan, kami berdua melakukan latihan fisik di bawah pengawasan Pak Arif. Saat berlari dan melakukan berbagai gerakan, ketegangan di antara kami mulai mereda. Arga, meski dengan sikap dingin, tidak bisa menghindari untuk membantu ketika aku terlihat lelah. "Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kita hanya perlu bertahan sedikit lagi," katanya dengan nada yang lebih lembut. Aku meliriknya, merasakan campuran antara kemarahan dan rasa terima kasih. "Kamu juga tidak perlu terus-menerus menyalahkanku. Kita semua berperan dalam keterlambatan ini." Saat kami berlari di lapangan, aku mulai merasa pusing dan tubuhku semakin lemas. Latihan fisik pagi ini sangat melelahkan, dan aku berusaha keras untuk tetap berdiri. Tiba-tiba, sebuah bola basket meluncur ke arahku dengan cepat. "Rila, hati-hati!" teriak Arga, tetapi semuanya terasa lambat seakan waktu berjalan sangat pelan. Aku berusaha menghindari bola, tetapi rasa pusing yang semakin parah membuatku tidak bisa bergerak dengan cepat. Bola itu mengenai tubuhku, dan tanpa bisa menahan tubuh yang sudah lemah, aku akhirnya tumbang ke tanah. "Rila!" teriak Arga, melompat ke arahku dengan panik. Dia segera membantuku berdiri sambil mencari bantuan. Karena tubuhku sudah begitu lemah, aku tak bisa lagi menahan keseimbanganku. Dunia terasa berputar, dan pandanganku semakin kabur sampai akhirnya aku jatuh tak sadarkan diri. Saat aku membuka mata, langit-langit ruang UKS yang kusam menjadi pemandangan pertama yang kulihat. Kepalaku terasa sedikit berat, tapi yang lebih mengejutkan adalah sosok pria berseragam basket yang duduk di sebelahku. Dia terlihat lelah, bahkan tertidur dengan kepala bersandar di tepi tempat tidur. "Eh, kamu udah sadar?" Dia langsung duduk tegak, suaranya agak serak. "Sorry ya, tadi aku nggak sengaja kenain bola ke kepala kamu. Kamu baik-baik aja kan?" Aku berusaha duduk, meski sedikit oleng. "Aku nggak apa-apa," jawabku pelan. Dia menatapku lebih dekat, terlihat jelas kekhawatiran di matanya. "Kamu tadi katanya lemah karena belum sarapan, ya? Aku beliin makanan buat kamu, sekalian tanda minta maaf. Kamu makan ya?" Dia mengeluarkan bungkusan makanan dari dalam tasnya. "Duh, kok jadi ngerepotin kamu, Kak." Aku menunduk, merasa malu dan canggung. Tapi dia malah mengangkat daguku dengan lembut, membuat mataku bertemu dengan tatapannya. "Santai aja. Ini semua salahku kok," katanya sambil tersenyum. "Ayo, makan!" Dia menyodorkan sendok, ingin menyuapiku. Namun bukannya segera makan, aku malah terpaku, menatap wajahnya lebih lama dari seharusnya. Ada sesuatu di balik perhatian yang dia tunjukkan, sesuatu yang membuat jantungku berdebar kencang. Elang ... kenapa dia begitu perhatian padaku? Apa dia melakukan hal ini ke semua perempuan? Atau cuma aku? "Hey, ayo makan!" tegurnya, mengembalikan pikiranku ke realita. "Ah, iya." Aku langsung berusaha mengalihkan pandangan, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba muncul. Tiba-tiba bel sekolah berbunyi, memecah keheningan di antara kami dan menghapus sisa-sisa momen yang terasa hampir sempurna. Padahal, di dalam hatiku, aku masih ingin menikmati kebersamaan ini lebih lama. "Kak, udah bel. Kamu enggak masuk kelas?" tanyaku, menghentikan sendokan makanan yang baru saja dia siapkan untukku. Dia ragu sejenak. "Kamu beneran nggak apa-apa aku tinggal sendirian?" Aku mengangguk pelan. "Aku udah baik-baik aja kok." "Tapi kamu lanjut makan ya. Aku harus masuk kelas sekarang." Dia berdiri, merapikan seragamnya. Sebelum dia pergi, tanpa sadar aku meraih tangannya. "Kak ... terima kasih, ya. Udah nolongin aku lagi," ucapku tulus, sedikit menahan rasa canggung di balik kata-kata itu. Elang tersenyum kecil, lalu mengusap kepalaku lembut. "Aku pergi dulu, ya. Jaga diri baik-baik." Dia berlalu, meninggalkan jejak perhatian yang entah kenapa terasa lebih mendalam dari sekadar permintaan maaf. Aku hanya bisa menatapnya pergi, perasaan campur aduk bergejolak di dalam hatiku. Antara rasa syukur, bingung, dan sesuatu yang lain, yang perlahan mulai tumbuh. "Mau diliatin sampai kapan?" suara Arga yang datar tiba-tiba terdengar, membuatku terkejut. Dia menyingkap tirai di samping tempat tidur UKS, muncul begitu saja tanpa ekspresi. Tatapannya dingin seperti biasa, tapi kali ini ada sesuatu yang sulit kujelaskan. Entah perhatian atau sekadar rasa penasaran. "Arga?" tanyaku pelan, masih bingung. "Ngapain di sini?" Dia hanya berdiri bersandar di dinding, menatapku dengan pandangan tajam tapi tenang. "Liatin aja, ternyata yang katanya nggak pernah kalah malah pingsan di lapangan." Aku menahan diri untuk tidak memutar mata. "Aku cuma pusing, bukan lemah." "Terlihat beda," jawabnya singkat, tanpa sedikitpun menunjukkan kekhawatiran yang mungkin tersirat. Dia seperti biasa, tidak terlalu peduli dengan apapun kecuali dirinya sendiri. Aku mencoba duduk tegak, tapi rasa pusing masih sedikit tersisa. "Ngapain sih? Nggak ada kerjaan lain selain ngurusin hidup orang?" Dia diam sebentar, lalu berjalan mendekat. "Gue cuma pengen tahu, udah nggak ada masalah lagi, kan?" tanyanya dingin, seolah itu cuma formalitas. "Iya, gue baik-baik aja," balasku, menunduk sedikit, merasa kesal karena nada suaranya yang seolah tidak peduli. Arga berdiri di sana, masih dengan wajah datar. Dia tidak bicara apa-apa lagi, hanya menatapku sejenak, lalu berbalik hendak pergi. "Arga," panggilku, membuatnya berhenti. "Makasih." Dia tidak menoleh, hanya memberikan anggukan kecil sebelum meninggalkan ruangan, membiarkan keheningan kembali menyelimuti. Itulah Arga, pria yang selalu menjaga jarak, meski pada saat-saat seperti ini. Aku bisa merasakan, mungkin, hanya mungkin, dia sedikit peduli kali ini.Aku duduk sendiri di taman belakang sekolah, membiarkan angin sore yang dingin menampar wajahku. Hati ini terasa berat, bahkan napas pun terasa sesak. Sejak perkelahian Arga dan Elang tadi, pikiranku makin kacau. Bukan hanya tentang mereka berdua, tapi juga tentang Viona. "Apakah Arga sudah tahu?" Aku meremas rok seragamku erat-erat. "Tentang aborsi itu. Tentang rahasia besar Viona yang mungkin bisa menghancurkan perasaanya." Aku menggigit bibirku. Seandainya saja aku tidak membuka map dari Ericka... Seandainya saja aku tidak tahu aib itu, mungkin aku bisa hidup sedikit lebih tenang. Tapi sekarang? Aku merasa seperti duduk di atas bom waktu. Kalau Arga tahu, apa yang akan dia lakukan? Marah? Kecewa? Merasa bersalah karena pernah menyayangi Viona? Atau justru membenciku karena merahasiakan fakta ini. Apakah Viona sengaja menutupi semuanya? Dan itu sebabnya dulu dia tiba-tiba menghilang, memutuskan semua hubungan dengan Arga tanpa alasan jelas? Aku menggenggam ponselku, tergoda
Semua konsep sudah ditempel di mading, peserta sudah terdaftar, bahkan pembagian tugas panitia pun rampung. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, aku dan Arga bisa kembali fokus ke pelajaran. Hari ini, suasana sekolah lebih tenang. Hanya derap kaki siswa dan suara lonceng yang sesekali memecah kesunyian. Saat aku baru saja meletakkan bukuku di meja, seseorang menarik kursiku dari belakang dengan heboh. "Heyy... akhirnya aku bisa ngobrol sama kamu juga!" seru Silvia, sahabatku, sambil menjatuhkan dirinya ke kursi di sampingku. Aku tertawa kecil, merasa hangat melihatnya. "Kayaknya kamu sibuk banget ya akhir-akhir ini. Pentas lah, rapat lah... pacaran lah." Silvia menyenggolku dengan sikunya, menggoda. Aku memutar mataku pura-pura malas. "Pacaran apaan, Sil? Capek tau urusan sama bocah itu." Sambil menunjuk Arga yang asyik membaca di pojok kelas, tampak sangat... serius. Atau setidaknya pura-pura serius. Silvia tertawa geli. "Tapi kalian lucu tau, kayak kucing s
Malam itu, aku duduk di ruang tamu rumah kami, mengutak-atik ponsel tanpa fokus. Arga keluar dari ruang belajarnya, menguap sambil menyeret langkah mendekat. "Kenapa lemes gitu?" tanyanya curiga, duduk di sampingku. Aku menoleh sebentar, lalu mengembuskan napas. "Arga... ada masalah," gumamku. Arga mengernyit. "Masalah apa? Jangan bilang berantem sama Viona lagi?" Aku menggigit bibir bawahku, ragu-ragu. "Ada rekaman," kataku akhirnya. "Ericka punya rekaman... tentang aku dan Viona." Arga langsung duduk tegak, matanya membulat. "Rekaman apa?" Aku menunduk. "Dia tahu soal... soal kita," bisikku nyaris tak terdengar. Suasana langsung membeku. Arga mengusap wajahnya kasar. "Sialan." "Aku harus cari cara supaya Ericka hapus rekaman itu," lanjutku, mulai panik. "Kalau nggak... semua orang bakal tahu." Arga berpikir keras, ekspresi wajahnya serius. "Kamu mau aku yang urus?" Aku menggeleng cepat. "Kalau kamu ikut campur, malah makin mencurigakan," kataku. "Aku yang harus beres
Hari-hari berikutnya, Viona seperti orang yang kehilangan akal. Setiap ada kesempatan, dia membujuk Arga supaya mau duet dengannya. "Arga, aku yakin kalau kita berdua yang tampil, acara ini bakal pecah banget!" "Arga, tolonglah, sekali ini aja... demi kenangan masa sekolah kita." "Arga, aku udah latihan lagu duet, tinggal kamu yang belum setuju!" Begitulah, setiap hari. Setiap bertemu. Dan setiap ada kesempatan. Arga? Wajahnya makin hari makin sebal. Dia bukan tipe cowok sabar kalau sudah muak. Apalagi, sejak awal, Arga memang tidak suka keramaian. Bagi dia, menjadi ketua OSIS saja sudah cukup menguras energinya, apalagi harus bernyanyi bareng mantan pacar di depan ratusan siswa? "Enggak. Cari pasangan lain aja," jawab Arga dingin suatu siang, saat Viona lagi-lagi menghampirinya di koridor. Aku yang melihat kejadian itu dari jauh hampir ingin bertepuk tangan. Tetapi aku tahu, Viona bukan orang yang mudah menyerah. Wajahnya tersenyum palsu, tapi matanya, penuh kebencian. Aku m
Hari berikutnya, aku dan Arga mulai sibuk menyiapkan mading utama di koridor sekolah. Kertas-kertas warna-warni, spidol berbagai ukuran, dan gunting berserakan di lantai. Aku berjongkok sambil menulis besar-besar tema acara di tengah mading. "Pentas Seni & Perpisahan Kelas 12" Di sebelahku, Arga ikut sibuk, walau dari ekspresinya, jelas sekali dia lebih memilih tidur siang daripada menempel kertas-kertas ini. Beberapa kali kami saling menyikut, berdebat soal font tulisan, warna latar, bahkan posisi pengumuman. Layaknya dua anak kecil berebut mainan. "Arga! Itu miring!" seruku, memukul lengannya pelan. "Enggak kok," katanya santai, malah sengaja menekan kertasnya lebih keras ke mading, membuatnya semakin miring. Aku mendesah keras, lalu dengan malas menarik kertas itu dan merapikannya. "Kalau kayak gini, siapa yang mau daftar coba? Mading aja kayak kapal pecah!" Arga terkekeh, lalu mencolek pipiku dengan spidol. Aku langsung menoleh tajam, wajahku memanas. "Jangan ganggu aku! I
Aku duduk di salah satu bangku panjang di aula, meletakkan map berisi daftar peserta di sampingku. Rasanya kakiku mau copot. Seharian ini aku wara-wiri mengatur banyak hal. Mendata kakak-kakak kelas yang masih mau berpartisipasi di pentas seni meskipun mereka disibukkan ujian akhir, memastikan semua sektor berjalan, belum lagi drama kecil soal Viona tadi. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku. Saat itu, dari sudut mata, aku melihat seseorang mendekat. Sebuah botol minuman dingin muncul di hadapanku. Aku mendongak. Dan jantungku, sedikit berdebar. "Minum dulu," kata Elang, kakak kelasku, sambil tersenyum ramah. Dia mengenakan jaket hitam tipis di atas seragamnya, rambutnya agak berantakan, tapi malah membuatnya terlihat... keren, seperti biasa. Aku menerima botol itu dengan sedikit canggung. "Makasih, Elang," ucapku, berusaha terdengar santai. Elang tertawa kecil. "Santai aja, Rilla." Aku hanya tersenyum kaku. Sulit bagiku untuk benar-benar santai saat berha