Beranda / Romansa / SUAMIKU SAINGANKU / Pesan Tak Terjawab

Share

Pesan Tak Terjawab

Penulis: Nenghally
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-12 18:07:32

Arga melepaskan ciumannya dan menatapku dengan ekspresi campur aduk. "Bau apa ini?" tanyanya, matanya melotot dengan heran.

Aku langsung mendorongnya, merasa tersinggung. "Apa maksudmu? Aku tidak sebau itu!" kataku tegas sambil cepat-cepat mencium bau tubuhku.

Mungkin aku memang tidak wangi, tapi tidak seburuk itu, kan?

"Rilla!!"

Teriakan Arga mengalihkan perhatianku. Dia melesat ke dapur, matanya lebar penuh kekhawatiran saat melihat api yang menyala dari kompor.

"Astaga!" teriakku, mengikuti langkahnya. Di dalam dapur, asap mulai memenuhi ruangan, dan panik menjalar di antara kami.

Arga segera berusaha memadamkan api yang semakin membesar, tangannya bergerak cepat. Aku meraih sekop di sudut dan menyiramkan air dari wadah yang ada, berusaha membantu.

"Cepat, Rilla! Di sebelah kiri!" Arga memberi instruksi, suaranya tegas meski terlihat stres.

"Oke, oke!" jawabku, berusaha tetap fokus. Kami bekerja sama, meski ada rasa canggung setelah momen sebelumnya.

Setelah beberapa menit yang penuh ketegangan, akhirnya kami berhasil memadamkan api. Kami terengah-engah, saling menatap dengan ekspresi campur aduk.

"Jadi, siapa yang melakukan ini?" Arga berkata, mencoba memecah suasana tegang.

"Itu... mungkin aku lupa mematikan kompor setelah memasak air tadi," jawabku sambil tertawa malu.

Arga menggelengkan kepalanya, senyum di wajahnya muncul. "Kamu benar-benar membuat hidupku jadi lebih menarik, Rilla."

Aku benar-benar tidak percaya, seorang Arga yang dingin kini bisa tersenyum kepadaku. Senyum itu, meski masih samar, berhasil menghangatkan suasana. Rasanya seperti menemukan celah dalam dinding tebal yang selama ini menghalangi kami berdua.

"Arga, aku..." kataku pelan, berusaha mencari kata-kata yang tepat.

"Jangan bilang apa-apa," dia memotong, namun suara lembutnya membantuku merasa lebih tenang. "Aku juga tidak mau berpikir terlalu jauh."

Kami terdiam sejenak. Tadi, aku sempat khawatir semuanya akan menjadi semakin rumit setelah pertikaian dengan ibunya. Tapi sekarang, aku bisa merasakan bahwa di balik sikap dinginnya, ada sisi lain dari Arga yang ingin ia tunjukkan.

"Mau lanjut masak atau mau pesen makanan?" tanyanya, mengalihkan perhatian ke dapur yang masih berantakan.

"Kayaknya lebih baik pesan aja. Kita sudah cukup membuat kekacauan di sini," balasku sambil tertawa kecil, merasa lega.

Dia mengangguk, matanya masih menatapku dengan intens. "Ayo, kita pesen."

Aku mengambil ponselku dan mulai mencari menu. Dalam hati, aku berharap agar momen ini tidak berakhir terlalu cepat. Rasanya, semakin lama aku bersama Arga, semakin banyak sisi baru yang bisa kulihat darinya.

Setelah beberapa menit memilih makanan, aku menyodorkan ponsel ke arahnya. "Kita bisa pesen ini, bagaimana?"

"Oke, bagus. Tapi kita bagi-bagi bayarnya, ya," katanya, senyumnya masih menghiasi wajahnya.

"Deal." Jawabku, dan kami pun tertawa.

Setelah aku mengganti seragam, makanan sudah tiba. Sayangnya, aku merasa seperti akan makan sendirian di sini. Arga? Tentu saja dia sibuk dengan buku-bukunya yang berserakan di meja. Matanya terpaku pada halaman-halaman itu, seolah seluruh dunia ini tidak ada artinya selain buku-buku di hadapannya.

"Arga, makanan sudah datang," seruku, mencoba menarik perhatiannya.

Dia mengangkat kepalanya, tetapi hanya sekilas, lalu kembali fokus pada bukunya.

Aku menghela napas, sedikit kesal. "Yuk, makan bareng. Nggak seru kalau makan sendirian."

Akhirnya, Arga menutup bukunya dan memandang makanan itu. "Baiklah, kalau kamu insist," ujarnya sambil bangkit dari kursi.

Aku tersenyum puas saat dia duduk di sampingku, meski sempat merasa dia melakukannya hanya untuk menghindari protes lebih lanjut. Aku mengambil piring dan mulai menyajikan makanan untuknya.

"Kamu harus coba ini," kataku, menyuapkan sedikit makanan ke arah mulutnya. Dia terdiam sejenak, kemudian mengambil suapan itu dengan agak canggung.

"Lumayan," katanya, mencoba menyembunyikan senyum. "Tapi jangan harap aku bakal bilang ini enak."

"Menyebalkan," balasku, tertawa. "Setidaknya, aku berusaha."

Makan malam kami terasa lebih hidup setelah sedikit canda tawa. Aku mencoba mengajaknya berbicara tentang hal-hal ringan, tapi Arga tetap terkesan dingin.

"Jadi, apa rencanamu setelah ini? Masih mau belajar?" tanyaku, berharap bisa menarik perhatiannya lebih dalam.

"Mungkin," jawabnya sambil mengambil ponsel dan mulai mengecek sesuatu. 

"Suka-suka kamu, Arga," sahutku, sedikit kesal.

Setelah makan malam selesai, kami berdua akhirnya duduk di meja belajar yang terletak di sudut ruangan. Buku-buku berserakan di sekitar kami, dan suasana di antara kami terasa tegang meskipun kami mencoba untuk fokus belajar.

"Oke, jadi kita mulai dari mana?" tanyaku, membuka buku matematika yang terlihat rumit.

"Kita harus bahas soal ini dulu," Arga menjawab, menunjuk salah satu soal yang aku anggap sulit. "Tapi kamu harus bisa fokus. Jangan lagi melamun seperti tadi."

"Melamun? Aku sedang berpikir!" sahutku, sedikit kesal. "Jangan anggap semua orang itu sepertimu yang selalu bisa konsentrasi."

Dia mengangkat alisnya, menatapku dengan ekspresi skeptis. "Oh, jadi sekarang aku yang salah? Coba saja lihat hasil ujianmu minggu lalu."

"Hasil ujian bukan hanya karena satu faktor, Arga!" aku balas, merasa darahku mulai mendidih. "Kamu juga tidak bisa terus-menerus mengandalkan kepintaranmu sendiri!"

"Ini bukan soal kepintaran, Rila. Ini tentang usaha! Kalau kamu mau, ya berusaha. Kalau tidak, ya terus saja begini."

Sambil mengerutkan dahi, aku berusaha menahan emosiku. "Kamu ini menganggap dirimu lebih baik dari orang lain, ya?"

"Bukan begitu, Rila. Tapi kadang aku merasa kita butuh mendorong satu sama lain. Itu akan lebih baik untuk kita berdua," katanya, suaranya menjadi lebih tenang.

Aku menghela napas, berusaha meredakan ketegangan. "Baiklah, mungkin kamu ada benarnya. Tapi cara kamu mengatakannya kadang terlalu keras."

Dia terdiam sejenak, memandangi buku di depannya. "Oke, aku akan berusaha lebih sabar. Tapi kamu juga harus berusaha lebih keras, ya?"

"Deal." Aku mengulurkan tangan untuk berjabat tangan, sedikit tersenyum.

Meskipun persaingan kami tidak akan pernah hilang, aku merasa ada kemajuan di antara kami. Kami mulai belajar dengan lebih fokus, meskipun adu argumen tetap muncul di tengah jalan.

"Nah, sekarang coba kerjakan soal ini," Arga berkata, melemparkan buku ke arahku. "Lihat, gampang kan?"

"Gampang? Hanya karena kamu bisa mengerjakannya, bukan berarti aku bisa!" aku berargumen, tapi tanpa kehilangan senyum.

Kami terus berdebat, namun kali ini terasa lebih ringan. Di tengah setiap adu argumen, ada perasaan saling menghargai yang perlahan tumbuh, dan itu membuatku merasa bahwa meskipun kami adalah saingan, kami juga bisa menjadi rekan yang baik.

Tiba-tiba, ponsel Arga bergetar, menganggu fokusku. Aku menatap ponsel Arga yang tergeletak di meja, getarannya memecah keheningan ruangan. Nama "Viona" terpampang jelas di layar, membuat jantungku berdegup lebih cepat.

"Siapa dia?"

Pikiranku mulai dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak berujung. Namun, rasa takut lebih kuat daripada rasa penasaranku, sehingga aku tak berani menyentuh ponsel itu. Tapi kemudian, sebuah pesan lain muncul, membuatku membeku di tempat.

"Arga, sampai kapan kamu akan menghindar? Kita tidak benar-benar putus, kan?"

Aku menelan ludah, perasaan tak nyaman menjalari tubuhku. Jadi, ada wanita lain? Apa yang sebenarnya terjadi antara Arga dan Viona?

Pikiran liar mulai bermunculan, dan tanpa sadar tanganku mulai gemetar. Aku tahu aku tak seharusnya peduli, tapi pesan itu seolah menjadi sebuah peringatan keras bahwa aku sebenarnya tak sepenuhnya mengenal suamiku.

Arga kembali dari kamar mandi, rambutnya masih basah. "Kamu sudah selesai?" tanyanya sambil berjalan mendekat.

Aku mendongak dengan senyum yang dipaksakan, mencoba mengabaikan apa yang baru saja kulihat.

"Belum, soal ini susah," jawabku pelan, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang kini menguasai diriku.

Ponsel Arga kembali menyala, memancarkan cahaya yang menarik perhatianku. Dengan gerakan cepat, dia meraihnya, membaca pesan yang masuk dengan ekspresi yang langsung berubah dingin.

Tanpa berkata-kata, Arga segera memasukkan ponselnya ke dalam saku, seolah ingin mengakhiri percakapan tanpa penjelasan. Suasana yang tadinya sedikit lebih hangat kini kembali membeku, seperti tembok tinggi yang tak bisa kutembus.

"Kita akhiri saja belajarnya," kata Arga dengan nada datar. Dia berbalik, meninggalkanku begitu saja di ruang belajar.

Aku hanya bisa menatap punggungnya yang menjauh, perasaan sesak memenuhi dadaku. Kata-katanya singkat, tapi rasanya seperti ribuan jarak terentang kembali di antara kami. Hanya satu pesan, satu nama, dan semuanya berubah.

Siapa Viona?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • SUAMIKU SAINGANKU   Perisai Terakhirku

    Aku duduk sendiri di taman belakang sekolah, membiarkan angin sore yang dingin menampar wajahku. Hati ini terasa berat, bahkan napas pun terasa sesak. Sejak perkelahian Arga dan Elang tadi, pikiranku makin kacau. Bukan hanya tentang mereka berdua, tapi juga tentang Viona. "Apakah Arga sudah tahu?" Aku meremas rok seragamku erat-erat. "Tentang aborsi itu. Tentang rahasia besar Viona yang mungkin bisa menghancurkan perasaanya." Aku menggigit bibirku. Seandainya saja aku tidak membuka map dari Ericka... Seandainya saja aku tidak tahu aib itu, mungkin aku bisa hidup sedikit lebih tenang. Tapi sekarang? Aku merasa seperti duduk di atas bom waktu. Kalau Arga tahu, apa yang akan dia lakukan? Marah? Kecewa? Merasa bersalah karena pernah menyayangi Viona? Atau justru membenciku karena merahasiakan fakta ini. Apakah Viona sengaja menutupi semuanya? Dan itu sebabnya dulu dia tiba-tiba menghilang, memutuskan semua hubungan dengan Arga tanpa alasan jelas? Aku menggenggam ponselku, tergoda

  • SUAMIKU SAINGANKU   Cuek-Cuek Perhatian

    Semua konsep sudah ditempel di mading, peserta sudah terdaftar, bahkan pembagian tugas panitia pun rampung. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, aku dan Arga bisa kembali fokus ke pelajaran. Hari ini, suasana sekolah lebih tenang. Hanya derap kaki siswa dan suara lonceng yang sesekali memecah kesunyian. Saat aku baru saja meletakkan bukuku di meja, seseorang menarik kursiku dari belakang dengan heboh. "Heyy... akhirnya aku bisa ngobrol sama kamu juga!" seru Silvia, sahabatku, sambil menjatuhkan dirinya ke kursi di sampingku. Aku tertawa kecil, merasa hangat melihatnya. "Kayaknya kamu sibuk banget ya akhir-akhir ini. Pentas lah, rapat lah... pacaran lah." Silvia menyenggolku dengan sikunya, menggoda. Aku memutar mataku pura-pura malas. "Pacaran apaan, Sil? Capek tau urusan sama bocah itu." Sambil menunjuk Arga yang asyik membaca di pojok kelas, tampak sangat... serius. Atau setidaknya pura-pura serius. Silvia tertawa geli. "Tapi kalian lucu tau, kayak kucing s

  • SUAMIKU SAINGANKU   Surat Aborsi

    Malam itu, aku duduk di ruang tamu rumah kami, mengutak-atik ponsel tanpa fokus. Arga keluar dari ruang belajarnya, menguap sambil menyeret langkah mendekat. "Kenapa lemes gitu?" tanyanya curiga, duduk di sampingku. Aku menoleh sebentar, lalu mengembuskan napas. "Arga... ada masalah," gumamku. Arga mengernyit. "Masalah apa? Jangan bilang berantem sama Viona lagi?" Aku menggigit bibir bawahku, ragu-ragu. "Ada rekaman," kataku akhirnya. "Ericka punya rekaman... tentang aku dan Viona." Arga langsung duduk tegak, matanya membulat. "Rekaman apa?" Aku menunduk. "Dia tahu soal... soal kita," bisikku nyaris tak terdengar. Suasana langsung membeku. Arga mengusap wajahnya kasar. "Sialan." "Aku harus cari cara supaya Ericka hapus rekaman itu," lanjutku, mulai panik. "Kalau nggak... semua orang bakal tahu." Arga berpikir keras, ekspresi wajahnya serius. "Kamu mau aku yang urus?" Aku menggeleng cepat. "Kalau kamu ikut campur, malah makin mencurigakan," kataku. "Aku yang harus beres

  • SUAMIKU SAINGANKU   Rekaman di Ponsel Ericka

    Hari-hari berikutnya, Viona seperti orang yang kehilangan akal. Setiap ada kesempatan, dia membujuk Arga supaya mau duet dengannya. "Arga, aku yakin kalau kita berdua yang tampil, acara ini bakal pecah banget!" "Arga, tolonglah, sekali ini aja... demi kenangan masa sekolah kita." "Arga, aku udah latihan lagu duet, tinggal kamu yang belum setuju!" Begitulah, setiap hari. Setiap bertemu. Dan setiap ada kesempatan. Arga? Wajahnya makin hari makin sebal. Dia bukan tipe cowok sabar kalau sudah muak. Apalagi, sejak awal, Arga memang tidak suka keramaian. Bagi dia, menjadi ketua OSIS saja sudah cukup menguras energinya, apalagi harus bernyanyi bareng mantan pacar di depan ratusan siswa? "Enggak. Cari pasangan lain aja," jawab Arga dingin suatu siang, saat Viona lagi-lagi menghampirinya di koridor. Aku yang melihat kejadian itu dari jauh hampir ingin bertepuk tangan. Tetapi aku tahu, Viona bukan orang yang mudah menyerah. Wajahnya tersenyum palsu, tapi matanya, penuh kebencian. Aku m

  • SUAMIKU SAINGANKU   Bukan Sekadar Pentas Seni

    Hari berikutnya, aku dan Arga mulai sibuk menyiapkan mading utama di koridor sekolah. Kertas-kertas warna-warni, spidol berbagai ukuran, dan gunting berserakan di lantai. Aku berjongkok sambil menulis besar-besar tema acara di tengah mading. "Pentas Seni & Perpisahan Kelas 12" Di sebelahku, Arga ikut sibuk, walau dari ekspresinya, jelas sekali dia lebih memilih tidur siang daripada menempel kertas-kertas ini. Beberapa kali kami saling menyikut, berdebat soal font tulisan, warna latar, bahkan posisi pengumuman. Layaknya dua anak kecil berebut mainan. "Arga! Itu miring!" seruku, memukul lengannya pelan. "Enggak kok," katanya santai, malah sengaja menekan kertasnya lebih keras ke mading, membuatnya semakin miring. Aku mendesah keras, lalu dengan malas menarik kertas itu dan merapikannya. "Kalau kayak gini, siapa yang mau daftar coba? Mading aja kayak kapal pecah!" Arga terkekeh, lalu mencolek pipiku dengan spidol. Aku langsung menoleh tajam, wajahku memanas. "Jangan ganggu aku! I

  • SUAMIKU SAINGANKU   Cemburu Itu Nyata!

    Aku duduk di salah satu bangku panjang di aula, meletakkan map berisi daftar peserta di sampingku. Rasanya kakiku mau copot. Seharian ini aku wara-wiri mengatur banyak hal. Mendata kakak-kakak kelas yang masih mau berpartisipasi di pentas seni meskipun mereka disibukkan ujian akhir, memastikan semua sektor berjalan, belum lagi drama kecil soal Viona tadi. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku. Saat itu, dari sudut mata, aku melihat seseorang mendekat. Sebuah botol minuman dingin muncul di hadapanku. Aku mendongak. Dan jantungku, sedikit berdebar. "Minum dulu," kata Elang, kakak kelasku, sambil tersenyum ramah. Dia mengenakan jaket hitam tipis di atas seragamnya, rambutnya agak berantakan, tapi malah membuatnya terlihat... keren, seperti biasa. Aku menerima botol itu dengan sedikit canggung. "Makasih, Elang," ucapku, berusaha terdengar santai. Elang tertawa kecil. "Santai aja, Rilla." Aku hanya tersenyum kaku. Sulit bagiku untuk benar-benar santai saat berha

  • SUAMIKU SAINGANKU   Bukan Pria Plin-Plan

    Di akhir rapat, setelah semua agenda selesai, aku melihat Arga merapikan kertas-kertasnya dengan ekspresi lelah. Aku mendekat, setengah menggoda. "Pak Ketua, capek ya? Mau aku beliin es krim buat hiburan?" Arga menatapku, malas-malasan, lalu tersenyum kecil. "Kalau gratis, mau." Aku cekikikan. "Mimpi aja, bayar sendiri!" Arga tertawa kecil, dan untuk beberapa detik, semua ketegangan selama rapat tadi terasa menguap. Namun, semua itu berubah. Semua momen ribut-ribut lucu, semua debat kecil yang terasa akrab, tiba-tiba mulai terasa aneh. Semua berawal saat Viona, ya, Viona, mantan pacar Arga yang cantik dan cerdas itu muncul lagi. Saat itu kami sedang rapat kecil di aula, membahas teknis gladi resik pentas seni. Aku baru saja membagikan daftar tugas kepada anak-anak OSIS lain, saat suara langkah kaki terdengar dari pintu. Semua orang menoleh. Termasuk aku dan Arga. Viona berdiri di sana, dengan seragam sekolah yang tampak baru dan rapi. Rambutnya dikuncir tinggi, dan dia terse

  • SUAMIKU SAINGANKU   Tom & Jerry

    Setelah perdebatan soal rumah, suasana mulai sedikit mencair. Walau masih ada sisa-sisa emosi di hati, kami berdua tahu bahwa hidup bersama artinya harus belajar kompromi, sekeras apa pun perbedaan. Sambil duduk di ruang tamu dengan minuman kaleng di tangan masing-masing, kami mulai membicarakan hal lain. Topik yang lebih ringan, setidaknya tidak memancing perang dunia ketiga lagi. "Eh, ngomong-ngomong," aku memulai sambil melirik Arga yang sedang memainkan ujung kaleng minumannya, "besok ada rapat untuk pentas seni, kan? Sekalian bahas acara perpisahan kakak-kakak kelas." Arga mengangguk malas. "Iya, aku dengar tadi dari grup OSIS. Kenapa mereka mau pentas kayak gitu sih, padahal ujungnya cuma foto-foto doang," katanya sambil mendengus. Aku memutar bola mata, geli sendiri dengan sikapnya. "Ya ampun, Pak Ketua OSIS kok ngomongnya gitu? Kamu tuh harusnya jadi contoh!" godaku sambil mendorong pundaknya pelan. Arga mendesah. "Jadi Ketua OSIS itu urusan administrasi, bukan pesta-pest

  • SUAMIKU SAINGANKU   "Aku Mau Pindah ...."

    "Kita cari kontrakan aja, gimana?" kataku dengan mantap, meskipun aku tahu betul betapa tidak masuk akalnya ide itu di mata Arga. "Kontrakan?" Arga terkejut. Wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan yang sangat jelas. Aku bisa merasakan bahwa dia mungkin merasa jijik dengan kata itu. "Kamu serius, Rilla?" Aku hanya menatapnya dengan tenang, mencoba memberikan alasan tanpa terlalu terbawa emosi. "Ya, kenapa tidak? Kita bisa hidup lebih sederhana, nggak perlu ribet sama rumah besar yang nggak habis-habisnya kita bersihkan dan rawat." Arga menggeleng, tampaknya mencoba mengerti apa yang ada di pikiranku, meskipun itu sangat jauh dari harapannya. "Tapi ini rumah kita, Rilla. Aku nggak pernah bayangin bakal tinggal di kontrakan. Kita bisa cari cara lain buat ngatur rumah ini tanpa harus pindah." Aku menatapnya, merasa sedikit kesal tapi juga bingung dengan reaksinya. Bukankah seharusnya dia juga merasakan betapa melelahkannya mengurus rumah besar ini? Bukankah seharusnya dia juga tahu

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status