Home / Romansa / SUAMIKU SAINGANKU / Tauatan Tanpa Kata

Share

Tauatan Tanpa Kata

Author: Nenghally
last update Last Updated: 2025-03-13 13:00:55

Keesokan harinya, ketika aku terbangun, kamar terasa sunyi dan kosong. Arga sudah tidak ada di sana. Aku melirik jam di meja samping tempat tidur, masih menunjukkan jam 6 pagi.

Biasanya, Arga masih ada di rumah atau setidaknya di kamar pada waktu seperti ini. Tapi kali ini, tidak ada jejaknya sama sekali. Selimutnya sudah dilipat rapi di sisi ranjang, dan meja belajarnya kosong, seolah dia sudah berangkat lebih awal.

Aku bangkit dari tempat tidur, mencoba mengusir rasa penasaran itu, tapi semakin kuabaikan, semakin kuat pertanyaan itu menghantui pikiranku. Aku membuka mataku lebih lebar dan melihat secarik kertas tergeletak di atas meja. Tulisan tangan Arga yang rapi terpampang di sana.

"Aku berangkat lebih dulu, pastikan kamu tidak terlambat lagi."

Aku menghela napas. Begitulah Arga, selalu dingin dan teratur, seolah tidak ada hal lain yang lebih penting selain ketepatan waktu dan kesempurnaan. Meski begitu, ada sesuatu yang aneh dari caranya pergi pagi ini. Sambil merapikan diriku, pikiranku terus berputar. Apa yang membuatnya terburu-buru?

Setelah selesai mandi, aku turun ke meja makan. Di sana, sudah ada sepiring roti panggang dan segelas susu yang tersusun rapi di meja, seolah disiapkan dengan sangat hati-hati. Aku berhenti sejenak, menatap sarapan yang tak terduga ini.

Arga? Rasanya tidak mungkin. Dia bukan tipe orang yang peduli pada hal-hal kecil seperti ini, kan?

Aku duduk, mengambil segelas susu dan menghirupnya perlahan. Meski dingin dan kaku, ada sisi lain dari Arga yang selalu membuatku penasaran. Arga selalu sibuk dengan dunianya sendiri, tapi pagi ini dia meninggalkan sarapan untukku.

"Apakah ini caranya meminta maaf?" gumamku sendiri, sambil menatap kosong ke luar jendela.

Tidak ada yang berubah secara signifikan, tapi perhatian kecil seperti ini membuatku merasa sedikit lebih hangat di tengah hubungan kami yang dingin.

Aku tiba tepat waktu di sekolah, merasa lega karena kali ini tidak terlambat. Namun, begitu melangkah melewati gerbang, suara deru motor mendadak terdengar kencang dari belakang.

"Awas!" seseorang berteriak.

Aku tak sempat menghindar. Sebuah motor melesat cepat ke arahku. Tubuhku menegang, dan dalam sekejap, seseorang menarik lenganku, membuatku terhuyung ke samping.

"Nggak bisa lihat, ya?" kata sebuah suara yang tak asing. Aku menoleh dan mendapati Arga berdiri di sampingku dengan tegang.

"Arga?"

Arga melepaskan genggaman tangannya dengan cepat, seolah merasa terganggu. Tatapan matanya kembali dingin, seperti biasa, meski aku sempat melihat sekilas kekhawatiran di wajahnya. Namun, seperti yang sudah ku duga, di sekolah, kami hanyalah dua orang asing yang bersaing.

"Lain kali hati-hati," katanya tanpa emosi, lalu berbalik meninggalkanku begitu saja.

Aku menatap punggungnya yang menjauh, rasa aneh menyeruak di dadaku. Benar, di sekolah kami bukan siapa-siapa. Tidak ada yang tahu bahwa di balik sikap dinginnya, kami terikat dalam pernikahan yang tak seorang pun tahu.

Aku menatap pengendara motor itu dengan kaget. Saat dia melepaskan helmnya, wajahnya langsung terlihat, dan tanpa ragu, dia berlari ke arahku.

"Rila, kamu gak apa-apa?" Suara Elang penuh kekhawatiran, sorot matanya cemas saat melihatku.

Aku tertegun, tidak menyangka bertemu Elang dalam situasi seperti ini. "Aku baik-baik aja, cuma kaget."

Elang berhenti tepat di depanku, napasnya sedikit terengah setelah berlari. Wajahnya masih menampilkan kekhawatiran yang sama. Tatapan matanya seperti memindai seluruh tubuhku, memastikan tidak ada luka atau hal lain yang membuatnya semakin cemas.

"Serius gak apa-apa? Perlu ke UKS gak? Atau rumah sakit?" tanyanya lagi, kali ini suaranya sedikit lebih lembut, tapi tetap tegas.

Dia memang selalu begitu, perhatian dan protektif, terutama ketika aku ada di dekatnya. Aku menggeleng cepat, mencoba menyembunyikan rasa canggung yang tiba-tiba muncul.

"Gakpapa, Kak. I'm okay!"

Aku tersenyum lemah, sambil perlahan melangkah mundur. Berusaha menjaga jarak, karena entah kenapa setiap kali dia terlalu dekat, aku merasa jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya.

Elang masih menatapku, terlihat sedikit ragu. "Kamu yakin? Aku bisa anter kamu ke UKS atau minta izin guru biar kamu istirahat."

"Nggak usah, beneran! Aku baik-baik aja," jawabku dengan sedikit gelisah. 

Aku melirik Arga yang masih berdiri tak jauh dari intu gerbang, diam mengawasi tanpa sedikit pun menunjukkan reaksi. Wajahnya datar seperti biasanya, tapi entah kenapa aku merasa tatapannya lebih dingin dari sebelumnya.

Aku mencoba mengalihkan perhatianku dari Arga dan kembali menatap Elang yang masih berdiri di depanku. Aku tidak ingin membuat suasana jadi semakin aneh, apalagi di depan banyak siswa yang mulai memperhatikan kami. Sekilas, aku bisa mendengar bisikan-bisikan kecil dari teman-teman yang kebetulan lewat.

"Kalau kamu ngerasa gak enak badan nanti, jangan sungkan buat bilang ya," ucap Elang akhirnya, menyerah setelah melihatku ngotot untuk tetap berdiri. Dia menatapku sejenak, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Ya udah, kamu hati-hati ya. Aku harus buru-buru ke lapangan."

Aku mengangguk pelan, mencoba tersenyum lebih meyakinkan. "Makasih ya, Kak."

Setelah itu, Elang pergi, tapi aku bisa merasakan banyak mata yang masih memperhatikan kami. Aku melirik sekali lagi ke arah Arga. Dia sudah berbalik, berjalan menjauh dengan langkah panjangnya yang tenang tapi penuh ketegasan.

Aku menghela napas panjang. Apa yang sebenarnya terjadi barusan? Kenapa ada perasaan aneh yang mengganggu di antara Elang, Arga, dan aku?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • SUAMIKU SAINGANKU   Perisai Terakhirku

    Aku duduk sendiri di taman belakang sekolah, membiarkan angin sore yang dingin menampar wajahku. Hati ini terasa berat, bahkan napas pun terasa sesak. Sejak perkelahian Arga dan Elang tadi, pikiranku makin kacau. Bukan hanya tentang mereka berdua, tapi juga tentang Viona. "Apakah Arga sudah tahu?" Aku meremas rok seragamku erat-erat. "Tentang aborsi itu. Tentang rahasia besar Viona yang mungkin bisa menghancurkan perasaanya." Aku menggigit bibirku. Seandainya saja aku tidak membuka map dari Ericka... Seandainya saja aku tidak tahu aib itu, mungkin aku bisa hidup sedikit lebih tenang. Tapi sekarang? Aku merasa seperti duduk di atas bom waktu. Kalau Arga tahu, apa yang akan dia lakukan? Marah? Kecewa? Merasa bersalah karena pernah menyayangi Viona? Atau justru membenciku karena merahasiakan fakta ini. Apakah Viona sengaja menutupi semuanya? Dan itu sebabnya dulu dia tiba-tiba menghilang, memutuskan semua hubungan dengan Arga tanpa alasan jelas? Aku menggenggam ponselku, tergoda

  • SUAMIKU SAINGANKU   Cuek-Cuek Perhatian

    Semua konsep sudah ditempel di mading, peserta sudah terdaftar, bahkan pembagian tugas panitia pun rampung. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, aku dan Arga bisa kembali fokus ke pelajaran. Hari ini, suasana sekolah lebih tenang. Hanya derap kaki siswa dan suara lonceng yang sesekali memecah kesunyian. Saat aku baru saja meletakkan bukuku di meja, seseorang menarik kursiku dari belakang dengan heboh. "Heyy... akhirnya aku bisa ngobrol sama kamu juga!" seru Silvia, sahabatku, sambil menjatuhkan dirinya ke kursi di sampingku. Aku tertawa kecil, merasa hangat melihatnya. "Kayaknya kamu sibuk banget ya akhir-akhir ini. Pentas lah, rapat lah... pacaran lah." Silvia menyenggolku dengan sikunya, menggoda. Aku memutar mataku pura-pura malas. "Pacaran apaan, Sil? Capek tau urusan sama bocah itu." Sambil menunjuk Arga yang asyik membaca di pojok kelas, tampak sangat... serius. Atau setidaknya pura-pura serius. Silvia tertawa geli. "Tapi kalian lucu tau, kayak kucing s

  • SUAMIKU SAINGANKU   Surat Aborsi

    Malam itu, aku duduk di ruang tamu rumah kami, mengutak-atik ponsel tanpa fokus. Arga keluar dari ruang belajarnya, menguap sambil menyeret langkah mendekat. "Kenapa lemes gitu?" tanyanya curiga, duduk di sampingku. Aku menoleh sebentar, lalu mengembuskan napas. "Arga... ada masalah," gumamku. Arga mengernyit. "Masalah apa? Jangan bilang berantem sama Viona lagi?" Aku menggigit bibir bawahku, ragu-ragu. "Ada rekaman," kataku akhirnya. "Ericka punya rekaman... tentang aku dan Viona." Arga langsung duduk tegak, matanya membulat. "Rekaman apa?" Aku menunduk. "Dia tahu soal... soal kita," bisikku nyaris tak terdengar. Suasana langsung membeku. Arga mengusap wajahnya kasar. "Sialan." "Aku harus cari cara supaya Ericka hapus rekaman itu," lanjutku, mulai panik. "Kalau nggak... semua orang bakal tahu." Arga berpikir keras, ekspresi wajahnya serius. "Kamu mau aku yang urus?" Aku menggeleng cepat. "Kalau kamu ikut campur, malah makin mencurigakan," kataku. "Aku yang harus beres

  • SUAMIKU SAINGANKU   Rekaman di Ponsel Ericka

    Hari-hari berikutnya, Viona seperti orang yang kehilangan akal. Setiap ada kesempatan, dia membujuk Arga supaya mau duet dengannya. "Arga, aku yakin kalau kita berdua yang tampil, acara ini bakal pecah banget!" "Arga, tolonglah, sekali ini aja... demi kenangan masa sekolah kita." "Arga, aku udah latihan lagu duet, tinggal kamu yang belum setuju!" Begitulah, setiap hari. Setiap bertemu. Dan setiap ada kesempatan. Arga? Wajahnya makin hari makin sebal. Dia bukan tipe cowok sabar kalau sudah muak. Apalagi, sejak awal, Arga memang tidak suka keramaian. Bagi dia, menjadi ketua OSIS saja sudah cukup menguras energinya, apalagi harus bernyanyi bareng mantan pacar di depan ratusan siswa? "Enggak. Cari pasangan lain aja," jawab Arga dingin suatu siang, saat Viona lagi-lagi menghampirinya di koridor. Aku yang melihat kejadian itu dari jauh hampir ingin bertepuk tangan. Tetapi aku tahu, Viona bukan orang yang mudah menyerah. Wajahnya tersenyum palsu, tapi matanya, penuh kebencian. Aku m

  • SUAMIKU SAINGANKU   Bukan Sekadar Pentas Seni

    Hari berikutnya, aku dan Arga mulai sibuk menyiapkan mading utama di koridor sekolah. Kertas-kertas warna-warni, spidol berbagai ukuran, dan gunting berserakan di lantai. Aku berjongkok sambil menulis besar-besar tema acara di tengah mading. "Pentas Seni & Perpisahan Kelas 12" Di sebelahku, Arga ikut sibuk, walau dari ekspresinya, jelas sekali dia lebih memilih tidur siang daripada menempel kertas-kertas ini. Beberapa kali kami saling menyikut, berdebat soal font tulisan, warna latar, bahkan posisi pengumuman. Layaknya dua anak kecil berebut mainan. "Arga! Itu miring!" seruku, memukul lengannya pelan. "Enggak kok," katanya santai, malah sengaja menekan kertasnya lebih keras ke mading, membuatnya semakin miring. Aku mendesah keras, lalu dengan malas menarik kertas itu dan merapikannya. "Kalau kayak gini, siapa yang mau daftar coba? Mading aja kayak kapal pecah!" Arga terkekeh, lalu mencolek pipiku dengan spidol. Aku langsung menoleh tajam, wajahku memanas. "Jangan ganggu aku! I

  • SUAMIKU SAINGANKU   Cemburu Itu Nyata!

    Aku duduk di salah satu bangku panjang di aula, meletakkan map berisi daftar peserta di sampingku. Rasanya kakiku mau copot. Seharian ini aku wara-wiri mengatur banyak hal. Mendata kakak-kakak kelas yang masih mau berpartisipasi di pentas seni meskipun mereka disibukkan ujian akhir, memastikan semua sektor berjalan, belum lagi drama kecil soal Viona tadi. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku. Saat itu, dari sudut mata, aku melihat seseorang mendekat. Sebuah botol minuman dingin muncul di hadapanku. Aku mendongak. Dan jantungku, sedikit berdebar. "Minum dulu," kata Elang, kakak kelasku, sambil tersenyum ramah. Dia mengenakan jaket hitam tipis di atas seragamnya, rambutnya agak berantakan, tapi malah membuatnya terlihat... keren, seperti biasa. Aku menerima botol itu dengan sedikit canggung. "Makasih, Elang," ucapku, berusaha terdengar santai. Elang tertawa kecil. "Santai aja, Rilla." Aku hanya tersenyum kaku. Sulit bagiku untuk benar-benar santai saat berha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status