Aku masih ingat dengan jelas hari pertama aku bertemu Elang. Saat itu, aku baru saja dipindahkan ke sekolah ini, dan semuanya terasa asing bagiku. Saat wali kelas memperkenalkanku kepada seluruh siswa, aku merasa gugup, tidak tahu harus bersikap bagaimana.
Tapi ketika jam istirahat tiba dan wali kelasku memperkenalkan Elang sebagai ketua OSIS, rasa gugup itu berubah menjadi sesuatu yang berbeda. "Hai, Rilla. Aku Elang," ucapnya sambil tersenyum hangat. Sejenak, aku terpaku. Elang, dengan postur tegap dan senyum ramahnya, terlihat begitu sempurna di mataku. Rambutnya yang rapi, sorot matanya yang lembut namun penuh percaya diri, semuanya membuatku terpesona dalam sekejap. Aku ingin mengatakan sesuatu, mungkin sekadar balasan untuk menyapanya, tapi rasanya seperti kata-kata tersangkut di tenggorokanku. "Kamu murid baru, ya? Nggak perlu canggung. Sekolah ini asik kok," lanjutnya dengan santai, suaranya terdengar tenang dan bersahabat. Aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum kikuk. Kami pun mulai berjalan berkeliling sekolah, dan dia dengan sabar menjelaskan setiap sudut tempat yang kami lewati. Semakin lama, rasa canggungku mulai menghilang, digantikan oleh kekaguman yang semakin besar terhadap sosoknya. Saat kami tiba di taman belakang sekolah, tempat yang sepi dan asri, dia berhenti dan menatapku. "Kamu pasti bakal betah di sini, Rilla. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan buat ngomong sama aku atau kakak-kakak OSIS lainnya. Kita di sini buat ngebantu kamu." Aku tersenyum, akhirnya merasa nyaman. "Makasih, Kak Elang. Kayaknya aku bakal suka sekolah di sini," jawabku pelan. Itulah awal dari segalanya. Sejak hari itu, Elang selalu ada. Dia selalu perhatian, selalu siap membantu. Tidak ada satu pun hari yang berlalu tanpa aku memikirkan kebaikannya. Aku tahu, sejak pertemuan pertama itu, Elang bukan hanya sekadar teman atau ketua OSIS yang ramah. Dia menjadi sosok yang lebih dari itu, meski mungkin hanya di mataku. Setelah Elang berhenti dari jabatannya sebagai ketua OSIS, aku mulai menyadari bahwa waktunya di sekolah ini tidak lama lagi. Dia adalah kakak kelasku, dan sebentar lagi dia akan lulus lebih awal karena prestasi akademiknya yang gemilang. Sebagai sosok yang dihormati di sekolah, Elang selalu menjadi panutan, baik sebagai ketua OSIS maupun kapten tim basket. Saat Arga dan aku terpilih sebagai ketua dan wakil OSIS yang baru, ada perasaan aneh yang menghampiri. Aku tahu, Elang hanya akan berada di sekolah ini untuk waktu yang singkat, dan setelah dia lulus, semuanya akan berbeda. Posisi ketua OSIS yang dulu dia pegang kini menjadi tanggung jawab Arga dan aku tidak bisa membayangkan bagaimana harus menjalankan peran itu sebagai wakilnya. Tiba-tiba, lamunanku pecah saat ada dorongan dari belakang yang menghantam tubuhku. Aku segera menoleh, mendapati Ericka dan teman-temannya berdiri di belakangku dengan ekspresi penuh amarah. "Dasar cewek gatel. Berapa kali gue bilang, hah? Jauh-jauh dari Elang!" seru Ericka sambil menjambak rambutku dengan kasar. "Ericka, cukup! Kamu apa-apaan sih?" Silvia yang ada di sampingku segera bereaksi, mencoba menarik tangan Ericka agar melepaskan cengkeramannya. "Lo nggak usah ikut campur!" bentak Ericka, menepis tangan Silvia dengan kasar. Aku menahan napas, mencoba meredam rasa sakit di kulit kepalaku yang dijambak oleh Ericka. Sementara itu, Silvia tampak semakin kesal. "Harusnya lo bilangin cowok lo, Ericka! Tau diri sedikit. Udah punya cewek, ngapain masih deketin temen gue?" Mendengar itu, Ericka tersenyum sinis, matanya memancarkan amarah yang semakin membara. "Lo serius, Vi? Masalahnya bukan di cowok gue. Masalahnya itu di sini, di cewek ini!" katanya, sambil menarik rambutku lebih kuat. Aku meringis kesakitan. "Vi, udah Vi," kataku dengan suara pelan, berusaha menghentikan konflik ini sebelum semakin parah. Namun, Silvia tidak tinggal diam. "Ericka, lo bener-bener keterlaluan! Lo nggak tahu apa-apa tentang mereka!" Ericka melangkah maju, sorot matanya penuh kebencian. "Terserah lo mau ngomong apa. Tapi gue janji, ini nggak akan berakhir sampai lo, Rilla, menjauh dari Elang." Dia melangkah pergi bersama teman-temannya, meninggalkanku dengan perasaan campur aduk. Aku hanya bisa berdiri terpaku di sana, sambil mencoba menenangkan detak jantungku yang tak karuan. Silvia menepuk bahuku, berusaha menenangkan, tapi aku masih belum bisa memproses semua yang baru saja terjadi. Jadi selama ini, Elang adalah kekasih Ericka? Pantas saja gadis itu selalu menggangguku. Mungkin, dia merasa terancam dengan posisinya. Tapi apakah itu semua benar? Aku bahkan tidak pernah melihat mereka berdua tampak seperti dua orang yang memiliki hubungan. Namun, kenapa aku terus bertanya-tanya, apakah aku cemburu? Aku masih berdiri di tempat yang sama, merasakan getaran di dalam dadaku. Aku tidak tahu apakah ini karena ketakutan, kemarahan, atau… sesuatu yang lain. Kata-kata Ericka terus terngiang di pikiranku. "Jauh-jauh dari Elang!" Tapi aku tidak pernah mendekatinya dengan maksud tertentu. Aku hanya… menyukainya dalam diam. Itu saja. Apa itu salah? Silvia menepuk bahuku, menarikku kembali ke kenyataan. "Lo nggak apa-apa, kan?" Aku mengangguk pelan. "Aku baik-baik aja, Vi." "Jangan percaya omongannya, ya. Ericka cuma iri. Dia emang selalu gitu sama cewek yang deket sama Elang," ucap Silvia, mencoba menenangkanku. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir semua emosi negatif dalam diriku. Tapi tetap saja, rasa sakit di kulit kepalaku akibat jambakan Ericka terasa seperti bekas luka yang nyata. Aku menarik napas dalam-dalam. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus belajar menjaga jarak. Tapi semakin aku mencoba menjauh, semakin aku sadar bahwa perasaan ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Aku menyukai Elang. Dan mungkin, itu adalah kesalahan terbesar yang pernah aku buat.Aku duduk sendiri di taman belakang sekolah, membiarkan angin sore yang dingin menampar wajahku. Hati ini terasa berat, bahkan napas pun terasa sesak. Sejak perkelahian Arga dan Elang tadi, pikiranku makin kacau. Bukan hanya tentang mereka berdua, tapi juga tentang Viona. "Apakah Arga sudah tahu?" Aku meremas rok seragamku erat-erat. "Tentang aborsi itu. Tentang rahasia besar Viona yang mungkin bisa menghancurkan perasaanya." Aku menggigit bibirku. Seandainya saja aku tidak membuka map dari Ericka... Seandainya saja aku tidak tahu aib itu, mungkin aku bisa hidup sedikit lebih tenang. Tapi sekarang? Aku merasa seperti duduk di atas bom waktu. Kalau Arga tahu, apa yang akan dia lakukan? Marah? Kecewa? Merasa bersalah karena pernah menyayangi Viona? Atau justru membenciku karena merahasiakan fakta ini. Apakah Viona sengaja menutupi semuanya? Dan itu sebabnya dulu dia tiba-tiba menghilang, memutuskan semua hubungan dengan Arga tanpa alasan jelas? Aku menggenggam ponselku, tergoda
Semua konsep sudah ditempel di mading, peserta sudah terdaftar, bahkan pembagian tugas panitia pun rampung. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu terakhir, aku dan Arga bisa kembali fokus ke pelajaran. Hari ini, suasana sekolah lebih tenang. Hanya derap kaki siswa dan suara lonceng yang sesekali memecah kesunyian. Saat aku baru saja meletakkan bukuku di meja, seseorang menarik kursiku dari belakang dengan heboh. "Heyy... akhirnya aku bisa ngobrol sama kamu juga!" seru Silvia, sahabatku, sambil menjatuhkan dirinya ke kursi di sampingku. Aku tertawa kecil, merasa hangat melihatnya. "Kayaknya kamu sibuk banget ya akhir-akhir ini. Pentas lah, rapat lah... pacaran lah." Silvia menyenggolku dengan sikunya, menggoda. Aku memutar mataku pura-pura malas. "Pacaran apaan, Sil? Capek tau urusan sama bocah itu." Sambil menunjuk Arga yang asyik membaca di pojok kelas, tampak sangat... serius. Atau setidaknya pura-pura serius. Silvia tertawa geli. "Tapi kalian lucu tau, kayak kucing s
Malam itu, aku duduk di ruang tamu rumah kami, mengutak-atik ponsel tanpa fokus. Arga keluar dari ruang belajarnya, menguap sambil menyeret langkah mendekat. "Kenapa lemes gitu?" tanyanya curiga, duduk di sampingku. Aku menoleh sebentar, lalu mengembuskan napas. "Arga... ada masalah," gumamku. Arga mengernyit. "Masalah apa? Jangan bilang berantem sama Viona lagi?" Aku menggigit bibir bawahku, ragu-ragu. "Ada rekaman," kataku akhirnya. "Ericka punya rekaman... tentang aku dan Viona." Arga langsung duduk tegak, matanya membulat. "Rekaman apa?" Aku menunduk. "Dia tahu soal... soal kita," bisikku nyaris tak terdengar. Suasana langsung membeku. Arga mengusap wajahnya kasar. "Sialan." "Aku harus cari cara supaya Ericka hapus rekaman itu," lanjutku, mulai panik. "Kalau nggak... semua orang bakal tahu." Arga berpikir keras, ekspresi wajahnya serius. "Kamu mau aku yang urus?" Aku menggeleng cepat. "Kalau kamu ikut campur, malah makin mencurigakan," kataku. "Aku yang harus beres
Hari-hari berikutnya, Viona seperti orang yang kehilangan akal. Setiap ada kesempatan, dia membujuk Arga supaya mau duet dengannya. "Arga, aku yakin kalau kita berdua yang tampil, acara ini bakal pecah banget!" "Arga, tolonglah, sekali ini aja... demi kenangan masa sekolah kita." "Arga, aku udah latihan lagu duet, tinggal kamu yang belum setuju!" Begitulah, setiap hari. Setiap bertemu. Dan setiap ada kesempatan. Arga? Wajahnya makin hari makin sebal. Dia bukan tipe cowok sabar kalau sudah muak. Apalagi, sejak awal, Arga memang tidak suka keramaian. Bagi dia, menjadi ketua OSIS saja sudah cukup menguras energinya, apalagi harus bernyanyi bareng mantan pacar di depan ratusan siswa? "Enggak. Cari pasangan lain aja," jawab Arga dingin suatu siang, saat Viona lagi-lagi menghampirinya di koridor. Aku yang melihat kejadian itu dari jauh hampir ingin bertepuk tangan. Tetapi aku tahu, Viona bukan orang yang mudah menyerah. Wajahnya tersenyum palsu, tapi matanya, penuh kebencian. Aku m
Hari berikutnya, aku dan Arga mulai sibuk menyiapkan mading utama di koridor sekolah. Kertas-kertas warna-warni, spidol berbagai ukuran, dan gunting berserakan di lantai. Aku berjongkok sambil menulis besar-besar tema acara di tengah mading. "Pentas Seni & Perpisahan Kelas 12" Di sebelahku, Arga ikut sibuk, walau dari ekspresinya, jelas sekali dia lebih memilih tidur siang daripada menempel kertas-kertas ini. Beberapa kali kami saling menyikut, berdebat soal font tulisan, warna latar, bahkan posisi pengumuman. Layaknya dua anak kecil berebut mainan. "Arga! Itu miring!" seruku, memukul lengannya pelan. "Enggak kok," katanya santai, malah sengaja menekan kertasnya lebih keras ke mading, membuatnya semakin miring. Aku mendesah keras, lalu dengan malas menarik kertas itu dan merapikannya. "Kalau kayak gini, siapa yang mau daftar coba? Mading aja kayak kapal pecah!" Arga terkekeh, lalu mencolek pipiku dengan spidol. Aku langsung menoleh tajam, wajahku memanas. "Jangan ganggu aku! I
Aku duduk di salah satu bangku panjang di aula, meletakkan map berisi daftar peserta di sampingku. Rasanya kakiku mau copot. Seharian ini aku wara-wiri mengatur banyak hal. Mendata kakak-kakak kelas yang masih mau berpartisipasi di pentas seni meskipun mereka disibukkan ujian akhir, memastikan semua sektor berjalan, belum lagi drama kecil soal Viona tadi. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan pikiranku. Saat itu, dari sudut mata, aku melihat seseorang mendekat. Sebuah botol minuman dingin muncul di hadapanku. Aku mendongak. Dan jantungku, sedikit berdebar. "Minum dulu," kata Elang, kakak kelasku, sambil tersenyum ramah. Dia mengenakan jaket hitam tipis di atas seragamnya, rambutnya agak berantakan, tapi malah membuatnya terlihat... keren, seperti biasa. Aku menerima botol itu dengan sedikit canggung. "Makasih, Elang," ucapku, berusaha terdengar santai. Elang tertawa kecil. "Santai aja, Rilla." Aku hanya tersenyum kaku. Sulit bagiku untuk benar-benar santai saat berha