Share

3

"Lebih baik kita ke rumah mama aja, Om. Mungkin, alat Bu bidan rusak," kataku sambil mengusap keringat di dahi. Tegangnya. Sampai jantungku mau melompat keluar saja.

Om Redi mengangguk padaku. Tapi, ia menatap Bu bidan lagi seperti ingin memastikan. Sungguh sikap Om Redi membuatku takut bukan kepalang. Walau aku telah menunjukkan pada suamiku ini alat kehamilan milik temanku yang kuakui sebagai milikku, tetap saja saat ini aku was-was. Takut Om Redi akan mempercayai ucapan Bu Bidan dan kembali ragu pada istrinya ini.

"Ayo, Om. Tempat mama sekarang," kataku cepat saat melihat bu bidan hendak membuka mulut. Lalu, aku menarik tangan suamiku. Om Redi merogoh saku dan meletakkan selembar uang seratus ribu di meja. Bu bidan berseru agar mengambil uang kembalian, tapi aku terus menarik tangan Om Redi untuk pergi dari tempat mengerikan ini, takut kalau Bu bidan akan meyakinkan bahwa aku memang gak hamil.

"Kita periksa di rumah mamaku aja. Pasti alat Bu bidan rusak. Yakin, deh, pasti rusak."

 

Aku melangkah pelan-pelan karena rasa nyeri di Miss V. Dan Om Redi memandangiku terlihat khawatir. "Sakit?"

Aku mengangguk, beneran sakit. Bukan karena keguguran tapi sakit setelah malam pertama. Om Redi akhirnya menggendongku dengan kedua tangannya dan aku tersenyum memperhatikan wajahnya. Tatapannya tajam seolah menembus jantungku. Suamiku ini sungguh amat menawan, sumpah. 

Om Redi menurunkanku di mobil dan ia mengemudi cepat, sesakali menoleh memandangku dan bertanya dengan wajah khawatir.

"Apa sangat sakit?"

Aku meringis sebagai jawabannya. Begitu mobil tiba di halaman rumah, Om Redi keluar dan ia menggendongku menuju rumah yang terbuka lebar. Om Redi melangkah cepat ke arah pintu yang sedikit membuka dan mendorongnya. Kulihat ayah yang tengah berciuman dengan mama tersentak kaget. Keduanya langsung menatap ke arah kami dengan senyum malu-malu. Aku jadi gak enak hati sama mama tiriku itu. 

"Dia pendarahan," kata Om Redi, meletakkanku di sofa dengan hati-hati. Ayah menatapnya tajam, lalu memandangku terlihat begitu cemas.

"Dia pendarahan setelah kami ... kau tau, laaah," kata Om Redi sambil mengibaskan tangan.

Ayah terlihat kesal padanya. "Seharusnya kamu bisa menahannya saat anakku sedang hamil. Putri, apa sakit? Walau ayah belum memaafkan perbuatanmu, tapi ayah menyayangi cucu ayah ini." Ayah menggeser kursi mendekat, tangannya kini mengusap perutku perlahan. Tatapannya terpantik pada sedikit darah di dasterku.

Aku melihat mama tampak akan tersenyum. Aku melotot pada mama memberinya tatapan memperingatkan. Awas saja kalau sampai mama bilang pada ayah kalau aku itu gak hamil.

"Seharusnya mereka tidak hubungan dulu jika kandungan Putri lemah. Bukan begitu, Cin?"

Mama menatapku lalu berkata dengan ragu-ragu.

"Iya, seharusnya kalian tidak berhubungan badan. Baiklah. Mama akan periksa. Mas, bisa bawa istrimu ke kamarnya?"

Ayah tertawa kecil, ia menggelengkan kepala dan menatap Mama yang sudah setengah berdiri.

"Bagaimana mungkin kamu memanggil menantu kita, Mas, Cinta? Dia menantumu sekarang."

Mama nyengir kecil. Kulihat ayah menonjok pelan lengan atas Om Redi. Om Redi balas menonjok juga dengan pelan. Lalu ayah dan Om Redi tertawa bersama.

"Ayo, Mas, eh, Redi." Mama tertawa kecil. "Aku benar-benar ngerasa aneh memanggilmu tanpa embel-embel Mas."

"Mama jangan seperti i-tuuu, laah. Aku kan menantu ma-ma," kata Om Redi dengan suara dibuat-buat manja yang membuat Ayah dan Mama tertawa kompak. Om Redi lalu menggendongku ke kamar. Mama mengecek tekanan darahku setelah itu mengusap perutku dengan gel.

"Apa kamdungan Putri baik-baik saja?"

Mama mengangguk. Aku bersyukur sekali mama mau membantuku ikut berbohong. Padahal dulu, ia pernah kusuruh untuk mengatakan pada Om Redi bahwa aku hamil agar Om Redi segera menikahiku, tapi mama menolak. Malah menasehati agar aku memikirkan masak-masak mau menjalin hubungan dengan Om Redi karena usia kami terpaut jauh. Terlebih, Om Redi sahabat baik ayah. Aku mengatakan pada mama bahwa aku sudah terlanjur kesemsem berat pada Om Redi. 

"Biarkan Putri istirahat. Aku akan memberinya obat." Lalu, mama keluar kamar. Ia kembali lagi membawa gelas dengan beberapa butir obat di telapak tangannya. Aku menatap Mama protes saat ia mengulurkan gelas berikut obat padaku. Mama kan tahu aku gak hamil. Masa aku minum obat hamil? Ya ampun. 

Om Redi melangkah menuju pintu kamar, lalu ia membalikkan badan memperhatikanku. Mau tak mau, aku minum obat yang disodorkan mama.

"Kamu tidak bisa terus-terusan berbohong," kata Mama lirih saat Om Redi menutup pintu dari luar. Aku memandang mama. Ini udah terlanjur. Gak mungkin aku tiba-tiba bilang pada Om Redi bahwa aku gak hamil, ia bisa sangat marah. Om Redi itu kalau malah sangat mengerikan, sumpah.

"Ini udah terlanjur, Ma. Apa boleh buat," sahutku, memperhatikan mama yang duduk di bibir ranjang. Ia mengenakan jilbab mini, membuatku ingin tersenyum karena tiba-tiba ingat beberapa kali ayah memaksa mama memakai jilbab.

"Sekali kamu bohong, akibatnya akan menyusahkan dirimu sendiri, Put."

"Asal mama tetap tutup mulut dan gak ngasih tau ayah maupun Om Redi, maka akan aman aja." Aku bersikukuh.

Mama menjitak kepalaku. "Suamimu pasti akan bertanya-tanya jika sebulan atau dua bulan kemudian, perutmu akan segitu-gitu aja."

Mataku membulat saat menyadari ucapan mama benar. A-duuh, bagaimana i-niii ....

Setelah terdiam cukup lama dengan jantung berdetak kencang akibat takut ketahuan, aku tersenyum sendiri. "Aku akan hamil anak Om Redi, Ma!" kataku antusias. Mama menggelengkan kepala sambil tertawa kecil.

"Kamu bilang hamil tiga bulan, kan? Kalau kamu segera hamil, berarti saat usia 6 bulan kandungan aslimu, itu saatnya kamu melahirkan hamil pura-puramu."

Aku memijit kening, terdiam bingung.

Mama lagi-lagi tertawa sendiri. Aku akhirnya mendelik kesal padanya. 

"Lebih baik kamu jujur aja. Jujur itu lebih baik, gak buat kamu tertekan. Mama pun mengalaminya dulu."

Mana mungkin aku jujur? Om Redi pasti akan sangat marah. 

"Mama bisa bilang bahwa anakku lahir prematur."

"Putri, kamu tidak bisa melahirkan diusia 6 bulan dengan sengaja, itu berbaha. Lebih baik, kamu jujur saja."

"Nggak, Ma. Om Redi akan marah kalau aku jujur."

Mama mendecak. Ia mengibaskan tangan dengan jengkel. "Terserah kamu sajalah. Mama hanya memberi saran." 

Lalu, mama melangkah keluar. Cukup lama, aku memikirkan perkataan mama. Jujur? Itu gak mungkin. Mending aku hamil saja. Masalah melahirkannya kaaan ....

Seperti ada lampu menyala di kepalaku saat tiba-tiba ide melintas di benak. Ya ampun, kenapa gak terpikirkan? Kan, ada orang yang hamil lewat bulan. Ah, senangnya menemukan ide. Aku bisa tidur dengan tenang sekarang. Aku pun memejamkan mata. Namun tak lama kemudian, aku terjaga saat samar-samar mendengar perkataan suamiku dan Ayah dari ruang tamu.  

"Pokoknya, kamu jangan berhubungan dulu dengan putriku!" Itu suara ayah. Tegas seperti biasa.

"Kalau berhubungan?" tanya Om Redi. Aku beranjak bangun dan melangkah menuju ruang tamu. Om Redi menggeser duduknya saat aku mendekat.

Mama menggaruk rambut. Ia memandangku dan menghela napas. "Emp, yaa bisa pendarahan lagi kalau kalian berhubungan. Tapi kalau melakukannya dengan pelan, mungkin gak apa-apa."

Ayah menatap Mama dengan kening berkerut. "Tidak apa-apa bagaimana maksudmu? Putri habis pendarahan, jadi sebaiknya jangan campur dulu minimal 3 bulan." Putus ayah.

Aku menatap ayah tak percaya. Mama menggaruk rambut, sementara suamiku mengangguk patuh. Tidak hubungan selama tiga bulan? What? Itu berarti kalau akhirnya kami kembali hubungan suami istri setelah tiga bulan dan aku hamil, maka saat kandungan pura-puraku udah umur 6 bulan, aku baru hamil sebulan, gitu? 

Aku menatap ayah dan menggeleng tegas. "Mana bisa, Yah? Kami pengantin baru. Masa gak boleh hubungan? Aneh banget ayah ini!" kataku dengan nada tinggi. Ayah dan Om Redi tertegun memandangku sementara mama menahan tawa. Bahu mama berguncang dan ia mengerling padaku. Asem, pasti ayah dan Om Redi mengira, aku cewek genit. Iiih. 

"Kenapa? Aku membuat kau kecanduan? Tenang, sayang, kita akan melakukannya pelan-pelan." Om Redi mengusap-usap kepalaku dan ayah melotot padanya.

"Redi, kamu harus dengarkan aku, oke? Atau kamu bisa saja kehilangan anakmu dan aku kehilangan cucuku!" Ayah terlihat sangat marah, jakunnya sampai bergerak naik turun begitu. 

Om Redi menepuk bahu ayah dan tertawa kecil. "Kau ini, In. Apa-apa selalu kau ambil hati. Tenanglah. Aku takkan melakukannya sampai kandungannya umur 9 bulan. Janji! Sudah lega kau, sekarang, In?"

Aku menatap Om Redi tak percaya. Whaaat? Saat usiaku sembilan bulan? Itu berarti ....

Aku memijit kepala yang tiba-tiba berdenyut pusing. Aku tak bisa berpikir. Aku tak bisa berpikir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status