Share

4

Aku memijit kepala yang tiba-tiba berdenyut pusing. Aku tak bisa berpikir. Aku tak bisa berpikir. Yaa coba bayangkan saja, masa gak hubungan sampai melahirkan? Lalu aku, melahirkan hamil pura-pura bagaimana?

Aku meremas-remas tangan karena bingung. Saat melihat Mama tersenyum-senyum, aku menyentak napas kesal, lalu melotot padanya. Mama tiriku ini, akhir-akhir ini senang sekali menggodaku. Ternyata, sikapku tak luput dari perhatian ayah. Ayah berlama-lama memandangku, lalu berganti ke Om Redi.

"Kamu benar-benar harus menepati janjimu." 

 Om Redi mengangguk, ia meletakan tangan di dahi.

"Siap, ayah mertua!"

Ayah mendelik padanya, dan keduanya tertawa bersamaan.

"Kamu harus jaga putriku dengan baik. Kamu tahu sendiri aku sangat menyayanginya."

"Siap, ayah mertua."

"Sayang sama aku juga kan, Mas?" Mama menimpali. Yang langsung dijawab ayah dengan merangkulnya.

"Auu, malu. Lebih baik kita pulang sekarang, Put." Om Redi berdiri. Ayah melepas tangannya dari pundak mama.

"Menginap saja di sini." 

"Tidak bisalah. Besok aku ada sateran jam 8."

"Bisa berangkat dari sini."

"Jauhlah."

"Putri harus diawasi sama Cinta. Dia habis pendarahan." Ayah tetap bersikukuh agar kami menginap.

"Aku mertuamu sekarang. Kamu harus menurut." Ayah berkata sambil sedikit tersenyum, begitu pun mama juga Om Redi. Ayah dan Om Redi ini sahabat dekat dari kecil, dan kini semakin dekat lagi karena aku jadi istri Om Redi.

Om Redi terlihat keberatan, namun ia mengangguk. "Baiklah. Aku menurut pada ayah mertua." Lalu ia menarikku berdiri. "Perempuan hamil tak bolehlah tidur malam-malam. Ke kamar kau sekarang."

"Seharusnya kamu menemaninya. Dia habis pendarahan," kata ayah. Om Redi mengangguk. Aku berdiri pelan-pelan pura-pura sakit, melangkah ke kamar yang diikuti oleh Om Redi.

"Tidurlah."

Aku berbaring miring, memandang suamiku yang hanya duduk memperhatikanku dari bibir ranjang.

"Om gak bobok?"

"Tidurlah. Perut kau masih sakit?" Ia mendekat ke arahku, membuat jantungku bertalu-talu dan aku begitu deg deg kan. Kamu tahu lah pasti rasanya saat masih jadi pengantin baru. Nah, Inginnya aku, berlama-lama di dekatnya, memandang pangeran pujaanku ini dari dekat. Masih saja tak menyangka bisa memilikinya. 

"Kenapa kau, senyum-senyum sendiri?" Ia mengernyit heran. Tangannya terangkat dan mendarat di keningku. "Kau masih waras, kan?"

"Masih, laah, Om."

"Tidurlah." 

"Peluk."

"Apa?"

"Pengen dipeluk sama Om."

"Pengen dipeluk sama Om."

Ia menggeser tubuh mendekat lagi lalu merebah di sampingku, tidur menyamping kemudian menepuk-nepuk lengan atasnya. Aku bergerak mengikis jarak, mengerucutkan bibir saat melihat Om Redi sedikit tersenyum.

"Kau itu memang ganjen, ya?"

Aku mendelik sebal. Ia terkekeh pelan yang membuat dadanya bergetar. Ah, tampannya dia, saat tertawa lepas seperti itu. Aku semakin cemberut saja, dengan tatapan terus terpantik ke dagunya yang seakan terbelah saat ia tersenyum.

"Canda, lah. Becanda aku ini." Ia kembali menepuk-nepuk lengan atasnya lagi-lagi sambil tertawa kecil. Apa Om Redi menganggap  aku lelucon? Aku memilih menjauhkan tubuh tapi ia menarikku ke dalam pelukannya, menatapku tanpa kedip.

"Dasar bocah."

Aku istrinya, bisa-biasanya memanggilku bocah. Nyebelin, deh.

"Kenapa kau suka padaku?" Tatapannya lekat ke wajahku. Wajahku terasa menghangat karena malu. Aku agak nyesel kenapa waktu itu blak-blakan mengatakan aku suka padanya.

Jadi waktu itu ceritanya, saat aku memaksanya menikahiku dengan senjata pura-pura hamil, ia terus menolak, mengatakan sama sekali tak ingat pernah tidur denganku. Kukatakan bahwa ia mabuk jadi tak mengingatnya, dan ia menyalahkanku kenapa mau melakukannya. Seharusnya jika ia memaksa sebab mabuk kehilangan akal sehat, maka aku bisa memukulnya agar tak terjadi hal senonoh.

Kukatakan aku mau melakukannya, karena telanjur suka padanya. Dan Om Redi tertawa mengejek, mengatakan aku itu aneh.

Apa anehnya mencintai lelaki seumuran ayahku?

Cinta itu gak memandang, bener gak, siih? Aku mencintainya apa adanya, nyaman bersamanya walau ia suka mengatur dan kadang lebih galak daripada ayah.

Tahu apa yang dia lakukan padaku setelah mendengar dari Ayah bahwa aku sudah berada di dalam kamar dengan pacarku nyaris melakukan hubungan haram?

Om Redi menasehatiku terus agar perempuan itu harus bisa jaga diri. Ia juga mengawasiku ke mana-mana dan selalu menghiburku saat pacarku mati tak sengaja dibunuh ayah.

Dari situ, aku mulai semakin nyaman saat di dekatnya, ingin terus di dekatnya, dan puncaknya, aku selalu datang ke rumahnya saat ia patah hati ditinggal bibi menikah. 

"Bagaimana kau ini. Ditanya terus saja diam."

"Om ganteng." Aku menggaruk rambut sedikit salah tingkah. 

Om Redi mengibaskan tangan. "Hal itu tak perlu diragukan, lah." Ia tertawa.

Aku tersenyum kecil. Aku menggigit ujung jari telunjuk karena salah tingkah ia terus memperhatikan. Dadaku terus berdebar.

"Wajah kau tiba-tiba merah. Hey, kau malu padaku?" Ia mengedipkan sebelah mata menggoda. Iiih, nyebelin banget, sih. Gak tahu apaa, jantungku seperti mau meledak begini? Berdentam-dentam menyesakkan dada.

"Apa sih, Om." Aku berpaling.

"Dedek kecil." Ia mengusap-usap gemas kepalaku. "Kau tau, kan, aku akhirnya nikahi kau karena apa? Karena yang di sini." Ia mengusap perutku. "Kau harus jaga dia dengan baik."

Aku mengangguk. Ia menarik hidungku dan tertawa kecil.

"Apa, sih, Ooom." Aku menepis kasar tangannya, lalu mendelik padanya yang terus tertawa.

"Sudah jam berapa ini?" Itu suara ayah. Sepertinya sengaja menyindir. Aku langsung diam, Om Redi meletakkan ibu jarinya ke bibirku. Hanya begini saja, udah bikin aku deg deg kan. Sampai aku menahan napas karena tegang, sekaligus mengharap ingin dipeluk. Hehe

"Tidurlah. Kau lihat itu sudah jam 10." Ia bersidekap. Aku mengangguk lalu memeluknya. Biarlah aku memulai duluan. Sepertinya, Om Redi masih menganggapku sebagai anak, deh. Tugasku adalah, buat dia mencintaiku.

***

Aku dibangunkan oleh tangisan keras bersumber dari kamar mama. Lalu terdengar suara ayah tengah menenangkan dedek. 

"Kamu sana kalau mau ke masjid, Mas. Sini sama bunda, yuuk?"

Aku menatap ke samping, Om Redi masih terlelap dengan sedikit mendengkur. Aku memperhatikan wajah hitam manisnya berlama-lama. Eksotis dan gagah. Tanganku bergerak pelan menyentuh pipinya yang kasar sebab baru bercukur. Lalu tanganku mengusap bibirnya dengan kumis tipis di atasnya.

"Om, bangun udah pagi."

Ia membuka mata sedikit. "Nanti, laah. Masih ngantuk aku ini."

Tok tok tok "Putri, sudah bangun?"

"Jangan lupa salat."

Ah, ayah. Aku udah nikah juga masih saja diingatkan. Aku beranjak berdiri dan membuka pintu. Tampak ayah di hadapanku mengenakan koko dan sarung kotak-kotak hijau. Kopiah putih bertengger di kepalanya. Ayah lewat di sampingku lalu membankan temannya itu. 

"Apalaah, In. Aku ini masih ngantuk."

"Salat dulu. Kamu harus jadi iman yang baik untuk anakku."

Aku tersenyum kecil melihat ayah menoel-noel perut Om Redi dengan jari telunjuk membuat Om Redi meliukkan tubuh ke sana kemari kegelian.

"Kau ini, In."

"Bangun."

Kulihat sedikit kesal Om Redi bangun. Aku meninggalkannya untuk salat subuh, lalu ke dapur membantu mama yang tengah menggoreng tempe. Di kursi dengan pengaman, dedek berceloteh. Kedua tangan mungilnya sesekali menjejalkan biskuit ke mulutnya yang celemotan.

Mama memandangku saat aku meraih kacang panjang dan memotongnya dengan pisau.

"Kamu pikirkan ucapan mama. Kamu harus jujur."

"Mama apaan sih pagi-pagi membahas ini?" Aku selesai memotong kacang panjang dan mengambil gelas blender, memasukkan bumbu ke dalamnya. Aku setiap nyayur gak pernah ribet, tinggal blender.

"Mama begini karena khawatir padamu. Kamu pasti akan pusing sendiri."

Aku mengibaskan tangan tak peduli. Mama menggelengkan kepala. Begitu masak selesai, kubawa semua makanan ke ruang makan. Ayah dan Om Redi Redi yang baru pulang langsung mendekat, disusul mama yang menggendong dedek sambil menyuapi.

"Hari ini rencananya kalian mau ke mana?" Mama mendudukkan dedek ke kursi lalu mengambilkannya makanan untuk ayah. Aku ikut-ikutan mengambilkan nasi juga lauk untuk Om Redi. Ia langsung menerimanya.

"Aku ada sateran nanti jam 8, jam 11 mungkin baru balik," sahut Om Redi sambil menyuap.

"Langsung balik ya, Om." Aku memastikan. Ia mengangguk.

"Tentu. Aku ingin ajak kau USG. Dari semalam tak bisa tidur karena takut kandungan kau kenapa-napa."

Uhuk! Uhuk! Mama tersedak. Ayah menepuk-nepuk bahunya dan memberinya minum. Aku langsung banjir keringat dingin. Sendok di tanganku terasa bergetar.

Ayah memandangku. "Iya itu ide bagus. Aku juga terus khawatir sepanjang malam takut cucuku kenapa-napa," timpal ayah sambil mencomot tempe goreng.  Tubuhku semakin dingin saja dan jantungku berdetak-detak di atas normal.

Om Redi menganggukkan kepala. Ia menyudahi makannya lalu mengusap mulut dengan tisu. "Wajah kau pucat. Apa perut kau sakit?"

Kugelengkan kepala cepat. Bukan perut tapi kepalaku pusing, Om. Pusing sungguh pusing tujuh keliling. 

"Yakin kau tak apa-apa? Wajah kau sangat pucat." Tangan Om Redi menempel di keningku. Dan ia menatapku berlama-lama.

"Kita ke dokter sekarang saja. Aku tak ingin anak kita kenapa-napa."

Ayah juga ikut memperhatikanku dan mengangguk. "Aku ikut." Ayah berdiri. 

Jangan bayangkan betapa takut dan tegangnya aku saat ini. Yang jelas, aku ingin membenamkan diri di dalam selimut dan berharap ini mimpi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status