Share

ALASAN

Jihye berlari tergesa sesaat setelah turun dari mobil, menapaki satu per satu anak tangga yang akan membawanya bertemu seseorang. Berita yang dia terima membuatnya khawatir, terlebih dia sampai dijemput oleh supir malam-malam.

Kakinya berhenti di depan pintu kayu cokelat, mengatur deru napas lantas mendorong papan kayu itu perlahan. Suara deritnya sukses menarik atensi semua orang yang ada di dalam ruangan.

"Nenek ...," ucapnya lirih, pelupuknya menghangat tatkala melihat sang nenek terbaring dengan sebelah tangan digips.

"Apa yang terjadi?" Dengan penuh kelembutan Jihye mengusap lembut tangan wanita tua itu lantas menatap Yunki.

"Nenek tadi terjatuh dengan tangan menumpu tubuh hingga membuatnya cedera," terang Yunki, roman yang senantiasa dingin itu tampak melembut dan Jihye cukup yakin sempat melihat embun di pelupuknya sesaat sebelum pria pucat itu mengalihkan pandangan.

Masih punya kehangatan rupanya.

Mendengar suara cucu menantu yang sangat dia sayangi serta-merta wanita tua yang tengah tertidur itu membuka mata. "Apa itu, Jihye?" ucap Shin Sunhee.

"Ya, Nek. Ini aku." Bentangan senyum meneduhkan terpampang pada wajah Jihye.

"Mana buburnya, aku ingin disuapi Jihye." Ucapan Shin Sunhee tentu saja menimbulkan kerlingan muak dari orang-orang yang berada di dalam ruangan tersebut.

"Ibu, Jihye baru saja datang, biar aku saja yang menyuapimu, ya?" ucap seorang wanita paruh baya yang tampak berkelas dengan riasan tegas. Dia Choi Minkyung--ibu Yunki.

"Tidak-tidak, aku hanya mau disuapi Jihye, kalian keluar saja." Ucapan Sunhee serta-merta membuat yang lain segera pergi dari ruangan itu.

Sorot benci, kesal dan marah semua orang layangkan pada sosok Jihye yang saat ini hanya menundukkan kepala, gadis itu menolak segala bentuk penghakiman yang dilayangkan orang-orang di sana. Walau dia sangat yakin bahwa yang ada di ruangan ini sangat membencinya tanpa terkecuali Shin Yunki--sang suami.

Perlakuan Shin Sunhee terhadapnya memang sangat spesial dan menimbulkan tanda tanya besar. Sebenarnya apa yang dilakukan Jihye hingga membuat sang nenek begitu menyayanginya.

Yunki beranjak setelah menerbitkan senyum miring kelewat dingin pada Jihye. Tungkainya sudah akan mencapai pintu saat sebuah panggilan menghentikannya. "Yunki-ya, kau di sini juga."

Wanita tua itu menunjuk kursi kosong agar Yunki duduk di samping Jihye. "Aigo ... kalian itu benar-benar pasangan sempurna, cantik dan tampan. Aku ingin segera menimang cicit dari kalian." Binar wanita tua itu begitu teduh penuh pengharapan, berbanding terbalik dengan pasangan di depannya yang muak satu sama lain. "Yun, kau jangan terlalu sibuk. Bisa-bisanya kalian menunda bulan madu. Setelah proyekmu selesai kalian harus sering-sering menghabiskan waktu berdua. Biar Nenek yang mengurus semuanya, tinggal bilang saja kalian mau pergi ke mana."

"Baik, Nek. Aku juga tidak sabar ingin segera menghamili istriku ini." Yunki melirik Jihye dengan senyum menggemaskan seraya memberikan remasan lembut saat tangannya dengan santai mengalung di salah satu pundak sang istri.

Tawa Sunhee menggelegar. Demi apa pun, lewat lirikan kelewat tajam lagi-lagi Jihye membayangkan mencekik pria di sebelahnya itu.

"Sayangnya, cucumu ini terlalu sering kelelahan, Nek," ucap Jihye melirik Yunki dengan seringai.

"Astaga, apa itu berarti dia kurang perkasa?"

Jihye hanya memberi tawa kecil tanpa menjawab secara gamblang yang tentu saja menimbulkan sorot permusuhan baru pada binar sang suami.

Gelak tawa Sunhee menghiasi candaan sarkasme yang mengudara lewat interaksi Jihye dan Yunki. Bahkan bubur yang sejak satu jam lalu ditolak Sunhee mentah-mentah kini tandas dan wanita tua itu akhirnya tertidur lelap. Dengan penuh ke hati-hatian Jihye keluar menyusul Yunki, memasuki kamar yang disediakan untuk dirinya dan sang suami.

"Jadi kau mempertanyakan keperkasaanku, hm?" Yunki menarik Jihye sesaat setelah gadis itu memasuki kamar dan mendorongnya ke atas ranjang, menindih gadis itu.

"Apa yang k-kau--" Tanpa sadar gadis itu meneguk saliva kendati sorotnya masih terlihat tajam menantang Yunki yang menatap intens.

"Kau ingin bukti? Tak perlu cinta jika ingin melakukannya, apa kau benar-benar ingin pembuktian dariku, hm?" Jemari dengan otot maskulin itu menyentuh surai kecokelatan Jihye lalu turun ke wajah dan tulang selangkanya.

Sekuat tenaga gadis itu mencoba melepaskan diri, tetapi kuncian sang suami di atasnya begitu kuat.

"Aku tidak menginginkanmu, Yun. Ti-tidak sedikit pun. Aw! kau menyakitiku." Dengan seringai yang menghiasi wajahnya, pria itu melumat bilah ranum Jihye dengan penuh paksaan mengabaikan pukulan yang gadis itu layangkan di dada bidangnya.

Gadis itu meronta dengan sekuat tenaga, tetapi tangannya kini dikunci di atas kepala menimbulkan jutaan friksi yang berkecamuk di dalam dada. Jihye menangis dalam pagutan mereka, merasa begitu terhina dengan perlakuan kasar sang suami.

"Aku akan melaporkanmu!" ucapnya dalam upaya penolakan itu.

"Siapa yang akan memenjarakan suami yang menyetubuhi istrinya sendiri, hm?"

Namun, rupanya Tuhan masih menyayanginya karena celah untuk melarikan diri itu kini terbuka lebar tatkala Yunki mulai mengendurkan cengkeramannya dan mulai menelusupkan tangan di tengkuk Jihye untuk memperdalam ciuman mereka.

BUGH ....

Tangan Jihye berhasil mendorong tubuh Yunki dan berhasil melayangkan satu tendangan di perutnya. Tanpa menunggu pria itu tersadar akan apa yang dilakukannya, gadis itu berlari, menyeka air matanya dan pergi meninggalkan rumah megah itu.

Kalau bukan karena nenek, sungguh aku tidak mau berhubungan dengan semua orang di rumah ini.

TTT

Mari kita kembali pada beberapa minggu lalu. Hari itu, Jihye merasa mendapatkan jackpot tatkala dihubungi untuk menjadi pegawai pengganti dari orang yang mendapatkan cuti melahirkan selama sepuluh hari. Namun yang terjadi jelas merontokkan kebahagiannya.

"Kalau kalian tidak mengganti uangku, aku akan memberi kalian review yang sangat buruk! MENGERTI!"

Gadis itu menjauhkan gagang teleponnya sejauh jangkauan tangan dengan kernyitan begitu dalam. Cacian, makian dan hinaan mungkin akan menjadi makanan sehari-harinya ketika gadis itu memutuskan untuk menerima pekerjaan paruh waktu di bagian

pengaduan sebuah perusahaan jasa tersebut. Percayalah, orang-orang zaman sekarang kalau marah kebanyakan tidak menggunakan otaknya.

"Baik, Tuan. Kami akan menindaklanjuti aduan Anda, terima kasih. Semoga hari Anda menyenangkan." Ucapan-ucapan dengan nada ceria seperti itu selalu keluar dari bilahnya tak peduli betapa murkanya si penelepon di seberang sana.

Gadis itu lalu melentingkan tubuh ke belakang diikuti gerakan patah pada lehernya ke kiri dan kanan. Helaan napas kelewat berat dari mulutnya mengindikasikan bahwa sehebat apa pun gadis itu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Hal itu tidak serta-merta membuat dirinya terbebas dari siksaan batin yang menerpa.

"Pantas saja gajinya besar, risiko kehilangan pendengaran karena menerima makian setiap hari sangat besar," ucapnya lirih seraya mengembuskan napas berat.

Pekerjaan menjadi bagian call center selesai untuk hari ini dan manajer restoran tempat dia bekerja paruh waktu lainnya sudah beberapa kali menghubungi menyuruhnya untuk segera datang.

Hujan baru saja mengguyur Kota Seoul lumayan deras, menghasilkan petrikor yang menyeruak menyapa penghidu. Bau tanah yang mengudara akibat gempuran air hujan itu begitu khas dan Jihye adalah salah satu penyukanya. Gadis itu berlari kecil, meloncat-loncat menghindari kubangan air di atas aspal yang basah.

Sesekali dia melirik jam di tangan, masih banyak waktu tersisa untuk mencapai restoran, jadi dia memutuskan untuk mampir sebentar ke sebuah toko untuk membeli roti kismis.

Jihye mendapat diskon besar untuk dua roti kismis dengan tanggal kedaluwarsa besok. Bersyukur karena roti tersebut biasanya selalu sold out di tempat itu. Masih dengan senyum mengembang karena bahagia dengan keuntungan tersebut, tiba-tiba sebuah desibel nyaring merangsek masuk menyapa rungunya.

"Dasar nenek tua tak tahu diri! Aku bilang PERGI YA PERGI!"

Jihye mengalihkan atensinya pada seorang wanita muda yang sedang memaki seorang nenek tua. Hal seperti itu tentu saja tidak pernah bisa diterima nalarnya, serta-merta Jihye berlari dan datang tepat waktu untuk menahan bobot tubuh si nenek yang kini terhuyung karena didorong si wanita muda yang tampak murka.

"YAK! APA-APAAN KAU?" teriak Jihye dengan kilat berbahaya, "mana sopan santunmu, EOH?"

"Itu bukan urusanmu, nenek tua itu terus saja mengikutiku. Aku tidak mengenalnya!"

"Tetap saja kau tidak berhak berlaku kasar!" Jihye mendongakkan kepala dengan mata melotot dan rahang mengeras, demi apa pun dia akan sangat marah kalau melihat sesuatu yang kasar seperti ini

"Itu bukan urusanku, urus saja dia olehmu!"

Wanita muda itu berlari meninggalkan mereka. Jihye bahkan harus mengepalkan tangannya geram guna merendam emosi.

"Nenek, tidak apa-apa? Apa Nenek terluka?" tanya Jihye khawatir.

Wanita tua itu menggeleng lalu mengusap perutnya. "Nenek lapar," jawabnya lirih.

"Ah ... lapar, ya." Dengan anggukkan penuh pengertian Jihye membuka keresek belanjanya, mengambil salah satu roti kismis dan karton susu yang dibeli tadi. "Kebetulan aku membeli roti. Nenek boleh menghabiskannya."

Dengan penuh kehati-hatian gadis itu memapah sang nenek ke arah kursi taman terdekat.

"Makanlah, kalau Nenek belum kenyang aku masih punya satu lagi."

"Kau baik sekali, siapa namamu, Nak."

"Seo Jihye," ucap gadis itu dengan senyum membentang sempurna. "Ngomong-ngomong, di mana rumah, Nenek?"

Masih sibuk dengan kunyahan rotinya, wanita tua itu mengernyit lantas menggeleng tampak kebingungan.

"Astaga jangan bilang Nenek tersesat." Jihye mengedarkan pandangannya mencoba mencari siapa pun yang tampak kehilangan seseorang.

Jihye mulai memutar otak dan langsung berasumsi bahwa pribadi di hadapannya itu mempunyai penyakit lupa.

"Cantik," ucap wanita tua itu lirih seraya menjulurkan tangannya mengusap lembut pipi Jihye.

Ketika Jihye menatap manik teduh wanita tua itu, dia memutuskan untuk menangkup tangannya mencoba menyalurkan afeksi. "Setelah makan, Nenek ikut aku saja, ya. Aku takut ada yang jahat lagi."

Barangkali Jihye harus merelakan pekerjaan paruh waktunya hari ini, keadaan wanita tua itu sangat memprihatinkan terlebih kekerasan yang baru saja terjadi memecut sisi kemanusiaan Jihye untuk menjaganya.

Baru saja Jihye memeta otak memikirkan langkah apa saja yang akan dia lakukan guna menolong sang wanita tua. Beberapa pria bersetelan jas hitam diikuti seorang wanita paruh baya dengan raut khawatir menghambur, lantas membungkuk begitu dalam di hadapannya.

"Maafkan kelalaian kami, Nyonya Shin." Wanita paruh baya itu lantas menatap Jihye. "Terima kasih, Nona." Jihye jelas terperangah menatap gerombolan yang lebih mirip seperti mafia itu.

Gadis itu masih mencerna apa yang terjadi saat si wanita tua digiring menuju mobil.

"Yak! Kalian siapa?" teriak Jihye sesaat setelah mendapat kesadaran penuh.

"Nyonya hilang dari pengamatan dan kami akan membawanya pulang," terang si wanita paruh baya.

"Jihye-ya, mainlah ke rumah," ucap sang wanita tua.

Jihye hanya mengangguk, sungguh dirinya dibuat sangat kebingungan dengan keadaan di depannya ini.

Masih dengan tatapan kelewat heran, Jihye menatap mobil mewah itu menjauh dan menghilang di tikungan. "Nenek ternyata seorang kaya raya, astaga apa tidak apa-apa memakan roti yang kedaluwarsa besok? Belum kedaluwarsa, sih, tapi perut orang kaya dan rakyat jelata kan berbeda. Semoga nenek tidak sakit perut."

Gadis itu menggeleng. "Ah sudahlah ... yang pasti aku akan dimarahi Manajer Hwang karena terlambat," ucapnya lirih lantas berlari nyaris tunggang langgang.

TTT

Bayangan tentang hari itu bahkan masih terpeta jelas pada lobusnya. Sialan memang, bahkan pintu gerbang utama tidak mau terbuka saat Jihye memerintahkan kepala keamanan untuk membukanya.

Terjebak di rumah super besar keluarga Shin, Jihye kini menenggelamkan diri, tepekur di atas kursi taman yang menghadap kolam ikan dengan air mancur mewah di tengahnya.

Meratapi nasib yang kelewat buruk, isakannya harus terhenti tatkala sebuah jaket menyampir menutupi pakaiannya yang sedikit terkoyak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status