“Jangan lakukan ini, Pak! Tolong jangan ikuti kemauan mereka. Biarlah Rini yang menanggung ini semua, jika mereka ingin membawaku dan menjualku pun aku sudah pasrah pak. Sekali lagi kumohon jangan mengikuti kemauan gila penjahat itu.” Rini memohon padaku. Dia sudah kembali mengenakan baju tertutup lengkap dengan jilbab, lakband pada mulutnya pun sudah dilepas. Sepertinya para komplotan ini sudah menyiapkan semua dengan rapi. Tadi kulihat ada seorang wanita yang masuk ke gudang ini untuk mengganti baju Rini.“Lalu apa yang bisa kulakukan sekarang Rini? Kau pikir jika aku menolak ide mereka aku dan Eko akan dilepaskan begitu saja? Mereka bukan orang bodoh Rin. Jika aku menolak pun aku yakin bukan hanya kau, tapi nyawaku dan Eko pun terancam.”“Tolong, Pak, aku tidak mau menikah. Apalagi dengan Bapak. Rini lebih baik dijual oleh mereka atau mati sekalian pak. Rini tidak mau melibatkan Pak Andri apalagi mbak Nuri yang sudah sangat baik pada Rini.”“Tenanglah Rin, ini demi keselamatan kita
“Saya terima nikahnya Rini Anggraini Binti Muhammad Samsul dengan mas kawin uang seratus ribu rupiah dibayar tunai.” Aku mengucap ijab kabul dengan suara gemetar. “Sah???”“SAH!!!”Tubuhku seolah tak bertulang saat mendengar saksi mengatakan jika pernikahan yang baru saja terjadi ini sah. Dan sah sudah aku memiliki dua orang istri sekarang. Hatiku hancur berkeping - kepingRini menangis tergugu demi mendengar kata SAH dari saksi, pundaknya terlihat naik turun menahan isakannya. Sedangkan aku? Aku merasa tubuhku hilang melayang tidak berpijak pada bumi. Saksi menyatakan ijab kabulku sah setelah tiga kali aku mengulanginya. Ya Allah, aku telah mengkhianati Nuri istriku, aku telah menduakannya. Tak terasa air mataku pun mengalir. Eko yang sedari tadi hanya duduk diam menepuk-nepuk pundakku. Aku meraih pundak asistenku itu dan mengeluarkan emosiku yang sedari tadi tertahan. “Aku kalah Ko, aku kalah!”“Sabar ya, Pak. Saya yakin Bapak akan bisa melalui semua ini. Saya akan selalu mendukun
Dua hari setelah peristiwa yang membuatku dengan terpaksa menikahi Rini, aku tidak melihat wanita itu datang kekantor. Ada sedikit rasa khawatir dalam hatiku, apalagi Rini tinggal seorang diri di rumah kontrakannya. Entah kenapa hari ini, aku merasa penasaran apakah dia benar-benar tidak masuk kerja atau memang kebetulan tidak telihat olehku. Perlahan aku menuju divisi marketing."Selamat pagi Pak Andri," sapa Meli karyawanku di bagian marketing yang juga adalah teman seruangan Rini."Selamat pagi Meli, saya sedang mencari Rini ada yang hendak kudiskusikan dengannya. Apa kau melihatnya?" sahutku.“Rini sudah 3 hari ini tidak masuk, Pak, ponselnya juga tidak aktif. Bahkan kemarin saya ke rumah kontrakannya tapi sepertinya dia lagi tidak ada di rumah. Saya tadinya mau menanyakan ke bagaian HRD apakah Rini mengajukan cuti.”3 hari? Bukankan baru 2 hari ini dia tidak masuk kerja? Ahh iya 3 hari yang lalu hari di mana aku menikahinya dia memang tidak sempat ke kantor karena kusuruh Eko lan
"Rini mencoba bunuh diri dengan melukai pergelangan tangannya, Pak" Eko menatapku sambil menarik nafas panjang.“Astaghfirullahaladzim .... Aku tak menyangka Rini bisa senekat itu.”"Beruntung saya datang tepat waktu, Pak. Jika tidak ...." Dia tak meneruskan kalimatnya."Lalu bagaimana lukanya, Ko? Apa kata dokter?" cecarku."Bapak bisa menanyakannya sendiri nanti. Akan kurang etis jika saya yang menjelaskan karena saya bukan petugas medis." Entah mengapa aku merasa Eko sedikit sinis ketika mengucapkannya."Maaf, Pak. Bukannya saya bermaksud lancang menggurui Bapak. Saya hanya ingin mengingatkan bapak agar lebih memperhatikan Mbak Rini. Sungguh malang nasib gadis yatim itu, dan gadis itu adalah istri bapak yang sah di hadapan Allah. Sekali lagi maaf, saya hanya mengingatkan Napak sebagai sesama umat muslim," ucap Eko sambil menunduk."Tidak apa-apa, Ko. Saya mengerti. Terima kasih sudah mengingatkanku. Dan terima kasih juga sudah membawanya kemari tepat waktu. Maafkan jika tingkah la
"Apa kau hapal nomor ponselnya? Biar kuhubungi dengan ponselku. Obatilah rindumu dengan mendengar suara beliau." Aku tau ponselnya pasti ada di rumah kontrakannya. Karena Eko membawanya ke sini dalam kondisi pingsan.Rini mengangguk, kemudian menyebutkan beberapa digit nomor ponsel Bu Endang.Kubiarkan Rini berbicara dengan Bu Endang melalui ponselku setelah terhubung dengan ponsel beliau. Aku mencuci mukaku di wastafel yang ada di ruangan ini. Kupandangi wajahku sendiri di cermin yang ada di atas wastafel. Aku hampir tidak mengenali diriku sendiri, rambutku kusut dan mataku merah. Bahkan kemarin putraku Aldy juga menanyakan kenapa mataku merah, aku hanya beralasan alergi debu. Padahal kurasa mataku merah karena terlalu banyak menangis. Menangisi takdirku.***Hari ini Nuri pulang setelah sebulan mengikuti kegiatan diklat di Jakarta. Rini sendiri masih dirawat inap di rumah sakit, aku menyuruh Meli menjaganya dan membebaskannya dari pekerjaan kantor sementara. Meli pun tidak banyak t
Rini, gadis itu bahkan sampai melukai dirinya sendiri karena tidak sanggup berada di posisinya sekarang. Lalu aku menambah perih lukanya dengan makianku padanya. Namun sisi lain hatiku masih memendam amarah. Wajar saja aku marah, wajar saja aku memaki. Suamiku menikahinya, apapun alasannya aku tetap tersakiti, sangat tersakiti. Kutarik tubuhku menjauh dari mas Andri ketika sisi amarahku kembali menguasai. Mas Andri menatapku sayu."Maafkan Mas, Sayang. Mas bahkan tidak tau apa kata maaf bisa mengobati luka yang sudah Mas torehkan. Sungguh, Mas tidak pernah berniat bahkan tidak pernah terlintas dalam pikiran untuk menduakanmu. Katakan apa yang harus Mas lakukan agar kita kembali seperi dulu lagi. Mas bahkan belum menyentuh Rini," ucapnya. Aku menatap matanya, tidak ada kebohongan di sana, hanya ada binar kesedihan.“Mas hanya sebatas menyentuh dan memegang tangannya, itu karena dia juga rapuh, Dik. Dia sendirian tak ada tempat mengadu. Rini sungguh menghormati dan menyayangimu, Dik. Di
Dua hari setelah peristiwa yang membuatku dengan terpaksa menikahi Rini, aku tidak melihat wanita itu datang kekantor. Ada sedikit rasa khawatir dalam hatiku, apalagi Rini tinggal seorang diri di rumah kontrakannya. Entah kenapa hari ini, aku merasa penasaran apakah dia benar-benar tidak masuk kerja atau memang kebetulan tidak telihat olehku. Perlahan aku menuju divisi marketing."Selamat pagi Pak Andri," sapa Meli karyawanku di bagian marketing yang juga adalah teman seruangan Rini."Selamat pagi Meli, saya sedang mencari Rini ada yang hendak kudiskusikan dengannya. Apa kau melihatnya?" sahutku.“Rini sudah 3 hari ini tidak masuk, Pak, ponselnya juga tidak aktif. Bahkan kemarin saya ke rumah kontrakannya tapi sepertinya dia lagi tidak ada di rumah. Saya tadinya mau menanyakan ke bagaian HRD apakah Rini mengajukan cuti.”3 hari? Bukankan baru 2 hari ini dia tidak masuk kerja? Ahh iya 3 hari yang lalu hari di mana aku menikahinya dia memang tidak sempat ke kantor karena kusuruh Eko lan
"Rini mencoba bunuh diri dengan melukai pergelangan tangannya, Pak" Eko menatapku sambil menarik nafas panjang.“Astaghfirullahaladzim .... Aku tak menyangka Rini bisa senekat itu.”"Beruntung saya datang tepat waktu, Pak. Jika tidak ...." Dia tak meneruskan kalimatnya."Lalu bagaimana lukanya, Ko? Apa kata dokter?" cecarku."Bapak bisa menanyakannya sendiri nanti. Akan kurang etis jika saya yang menjelaskan karena saya bukan petugas medis." Entah mengapa aku merasa Eko sedikit sinis ketika mengucapkannya."Maaf, Pak. Bukannya saya bermaksud lancang menggurui Bapak. Saya hanya ingin mengingatkan bapak agar lebih memperhatikan Mbak Rini. Sungguh malang nasib gadis yatim itu, dan gadis itu adalah istri bapak yang sah di hadapan Allah. Sekali lagi maaf, saya hanya mengingatkan Napak sebagai sesama umat muslim," ucap Eko sambil menunduk."Tidak apa-apa, Ko. Saya mengerti. Terima kasih sudah mengingatkanku. Dan terima kasih juga sudah membawanya kemari tepat waktu. Maafkan jika tingkah la