Daripada meladeni perkataan bapak tua yang sedang ada di hadapanku ini, belum lagi perkataannya yang melantur, aku memilih untuk menjauh dari lingkungan sini dan mencari tempat yang nyaman untuk tinggal dengan kondisi keuangan yang seadanya.Maura sudah membuatku seperti ini, tapi aku tak bisa membalasnya karena ada Dafi. Andai saja sepupuku yang sok pahlawan itu menjauh, mungkin aku lebih leluasa untuk bertindak, dan gak akan hidup susah begini."Arghhh!" Aku berteriak beberapa kali di pinggiran jalan yang biasanya tak pernah kutoleh. Mana ada orang kaya yang biasa bawa mobil mewah mampir di jalanan yang biasa dihuni para pengamen, pasti gak ada, dan gak sudi. Termasuk aku."Mas-mas!" panggil seorang laki-laki yang terlihat seperti gelandang."Jangan panggil-panggil saja. Kamu gak cocok." cibirku dengan ketus.&nb
Sudah ada puluhan kali Ferdi menghubungi nomor Pak Rohidin, tapi jawabannya sama. "Nomor yang anda tuju, sedang berada di luar jangkauan. Silakan tunggu beberapa saat lagi."Padahal jelas-jelas kemarin sekali telpon langsung dijawab dengan cepat, jauh dari kata gak aktif ponselnya, karena kontrakannya masih belum laku. Kalau sekarang, ponselnya sudah kembali dimatikan.Ferdi bergegas keluar dari kamar itu dan mendatangi tetangga yang jaraknya lumayan untuk dibilang tetangga."Permisi, Bu, Ibu." Ferdi berbicara sesopan mungkin, ia tidak mau kalau ibu-ibu itu sama sekali tidak membantunya karena sifatnya yang di anggap terlalu sombong."Iya, Pak. Ada Apa?" Ibu-ibu yang sedang berkumpul pun langsung menghampiri Ferdi. "Apa Pak Rohidin tak bisa dihubungi?" tanya salah satu dari mereka.Ferdi hanya mengangguk. Ia
Ferdi berganti baju secepat kilat, tapi ganti beberapa kali, dan beberapa kali bercermin juga. Ia merasa tak percaya diri karena baju yang dipakainya bukan yang biasa dikenakan.Bu Friska sudah lebih dulu menyembunyikan pakaian mahalnya yang tidak diketahui Ferdi, tahu-tahu sudah tidak ada. "Aku tak bisa memakai stelan ini, tapi yang itu juga tidak bisa." gumamnya kesal."Masa iya aku makan sama Mama pake baju kumal begini?" batinnya tak bersemangat.Setelah beberapa detik, ia baru teringat dengan baju yang dipakainya ketika pergi dari rumah. Hanya baju itu yang harganya fantastis dan tidak akan malu dipakai ke acara atau tempat manapun."Mana, ya?" Ferdi masih mencari setelannya yang mahal itu di bawah tumpukan baju. Setelah ketemu, ia menutup hidungnya.Sudah lebih dari seminggu ia tinggal di rumah ini, tap
Ferdi kembali masuk ke dalam rumah yang disangka angker itu. "Apa aku harus bertahan dalam beberapa hari, ya?" gumamnya sambil menatap dapur yang semalam mengeluarkan keributan yang mengerikan."Apa sebaiknya aku tutup saja pintu belakang? Bila perlu gembok, agar tak ada lagi yang membukanya?" ia kembali berbicara sendiri.Dengan terpaksa, dirinya memilih untuk membeli makan di tetangga sebelah dengan lauk seadanya. Setelah itu mengunci pintu dapur dan belakang, lalu masuk ke dalam kamarnya, tanpa dikunci. Agar lebih mudah lari keluar jika terjadi sesuatu, pikirnya.Ia pun segera menelepon Majid untuk mendapatkan informasi tentang lowongan pekerjaan, tapi sahabatnya itu malah tak bisa dihubungi. Hanya operator yang menjawab panggilan telponnya."Ah, sial. Sekarang dia lupa dengan sahabatnya yang sudah menjadi miskin ini." Ferdi memaki. Ia juga
Dafi dan Maura hanya tersenyum ketika melihat Ferdi yang sedang melangkah ke arah mereka. Sama sekali tidak terlihat ketakutan, bahkan Aira pun hanya menatap langkah demi langkah papanya dengan tenang dan seulas senyuman."Beraninya kalian menggelar pernikahan di tengah-tengah kesusahanku!" teriak Ferdi sambil menunjuk kedua mempelai. "Kau juga Maura, kita belum resmi bercerai. Tapi kau malah bersanding dengan laki-laki lain, apa kau pikir aku ini batu yang hanya akan diam saja?" teriaknya lagi.Tidak salah apa yang Ferdi katakan, ia memang tidak tahu kalau Bu Friska sudah mengatur perceraian sedari dulu. Ia juga tak tahu hukum tentang agama. Menurutnya selama ini ia masih belum ada kata talak. Padahal, ia berulangkali mengatakan hal yang serupa tanpa disadari."Kau juga Aira, mana ada anak yang tidak berbakti sepertimu!" teriaknya pada Aira yang menutup telinga dengan kedua ta
Ferdi tidak bisa melakukan kehidupan yang normal semenjak jauh dari orang tuanya, apalagi setelah pernikahan Maura dan sepupunya waktu itu, hidupnya terus saja dihantui oleh kehidupan yang belum pernah terjadi.Ia takut orang tuanya benar-benar tidak peduli, ia juga takut kalau kehidupan selanjutnya akan semakin sulit. Hari demi hari dipenuhi rasa ketakutan yang tidak ada habisnya.Untung saja selama di sini, ia bisa berteman dengan seorang pemuda kampung. Umurnya memang berada di bawah Ferdi, tapi cara berpikirnya sudah jauh di depan. Setiap hari, mereka selalu mengobrol di rumahnya Ferdi.Bagi Ferdi, setiap Malam temannya yang bernama Furqon itu wajib datang, tentu saja agar rasa ketakutannya sirna ketika tidak sengaja mendengar bunyi aneh dari dapur.Untungnya Furqon sama sekali tidak menolak, dia menemani Ferdi setiap malam.&nb
Di bawah ancaman Furqon, Ferdi selau pergi ke masjid setiap datang waktu sholat. Bahkan kini, dia sendiri yang menunggu Furqon agar datang ke rumahnya untuk datang bersama-sama ke masjid.Dari sebrang rumahnya, ada Bu Friska dan Pak Hasan yang sedang mengamati Ferdi. "Lihatlah! Sekarang anakku lebih hebat dari kita, dia sudah rindu untuk pergi ke rumah Allah." ucap Bu Friska sambil menitikan air mata.Ia sungguh tidak percaya kalau putranya yang sombong itu berangsur berubah. Kini, Ferdi bahkan tidak pernah lagi menelponnya hanya untuk meminta uang. Tidak, beberapa waktu lalu, Ferdi menelpon hanya untuk menanyakan kabar orang tuanya saja.Setelahnya, ia langsung mematikan sambungan telpon."Bukan anakmu, tapi anak kita!" seru Pak Hasan tak terima.Bu Friska menatap suaminya itu lekat, sampai akhirnya beberapa
PoV FerdiAtas bantuan Furqon dan jalan hidup yang telah Allah takdirkan untukku, kini aku sudah kembali ke jalan yang insyaAllah diridhoi Allah.Meksipun aku sudah diajak Mama dan Papa untuk kembali ke rumah besar, entah kenapa aku enggan untuk pergi. Rasanya lebih baik tinggal di dalam kesederhanaan daripada kemewahan yang tidak bisa membuatku tersenyum.Andai saja Muara masih menjadi istriku, tentu saja aku akan pulang dengan senang hati, dan bisa bermain dengan Aira. Namun, sekarang ia sudah menjadi istri orang lain. Lebih tepatnya kakak sepupu."Jangan lupa besok datang ke rumah," ucap Mama penuh penekanan setelah kami lama terdiam dalam bisu. Perbuatan yang kulakukan di masa lalu membuatku sadar kalau perempuan seperti Maura sangatlah langka."Ada apa? Pertemuan keluarga itu hanya buang-buang wa