“Perempuan ini sudah tak perawan, Tam. Apa yang kamu harapkan dari wanita yang pernah gila dan ternoda seperti dia, hah? Jauh langit dan bumi kedudukan kita dengannya. Ibarat kata, dia itu lumpur dan kita ini berlian. Sampai kapanpun, gak akan sepadan. Jangan mimpi dapetin restu Mama pokoknya. Titik ”
Deg!Aku baru saja berdiri dan hendak menyapa perempuan yang akan menjadi mertuaku, ketika kalimat yang menghujam ke dalam dada itu terlontar begitu saja.“Please, Ma. Rara gadis baik-baik, Ma. Aku mencintainya.” Mas Rustam meraih jemariku. Seolah takut kehilangan.“Mama tetap gak akan restuin kamu, Tam. Sekarang semua pilihan ada di tangan kamu. Kamu pilih dia atau Mama? Andai kamu pilih dia, jangan mimpi dapet hak waris lagi dan semua toko yang Mama miliki akan jadi hak adik kamu semuanya!” Ibu Windari bersedekap dengan angkuhnya.Genggaman tangan Mas Rustam memudar. Seiring dengan itu, sakit yang menghujam kembali kurasakkan. Menusuk begitu dalam.“Maaf kalau kehadiran saya buat tak nyaman. Yang Ibu Mas katakan benar. Saya tak pantas masuk ke keluarga terhormat milik kalian. Assalamu’alaikum!”Aku langsung melepas genggaman tangan Mas Rustam yang memudar. Lantas memutar tubuh dan berlari kecil seraya menyeka air mata yang berjatuhan. Untuk ke sekian kalinya, hinaan dari calon mertua kudapatkan. Aku tak bisa menyalahkan mereka, semua orang tua pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya.“Rara tunggu!” Kudengar suara Mas Rustam memekik.“Selangkah saja kamu pergi dari rumah ini. Berarti kamu akan kehilangan semuanya!”Suara Bu Windari terdengar lebih kencang.Aku terus berlari dan tak mau mendengar lagi ucapan apa yang mereka perdebatkan. Kuberlari menyusuri jalanan yang sudah mulai gelap dengan air mata bercucuran. Isya sebentar lagi menjelang. Tak peduli pada bunyi klakson tukang angkot yang sesekali menawari tumpangan. Tak peduli pada deru sepeda motor yang saling kebut-kebutan. Aku fokus pada duniaku sendiri dan sakit hati yang kuterima berulang.Benar kata orang, kalau perempuan itu ibarat beling. Sekalinya terjatuh, maka sudah tak ada nilainya lagi. Apalagi di masyarakat pinggiran kota yang masih menjunjung tinggi nilai keperawanan seseorang seperti di sini. Aku hanya tak lebih dari seonggok sampah. Hidup tetapi seperti tak bernyawa.Bukan inginku seperti ini. Bukan juga semua salahku. Namun, apa mau dikata ketika takdir berbicara? Tiga tahun berlalu, tetapi sakitnya masih membekas hingga sekarang. Trauma itu terasa begitu dalam.Bagaimana tidak, pada saat itu duniaku seolah dijungkir balikkan. Coba kalian bayangkan, hati yang sedang berbunga-bunga menunggu hari akad yang akan tiba, tiba-tiba aku harus kehilangan segalanya. Kehormatan yang selama ini kujaga, calon suami yang awalnya mengucap janji setia dan juga Bapak.Malam kelam itu menjadi titik mula semuanya berubah seketika. Bapak meninggal karena shock. Ibu menangis sejadi-jadinya. Mas Iwan---calon suamiku, meninggalkanku. Semua terasa begitu berat dan aku tak sanggup melewatinya. Aku mengalami depresi hebat dan hampir gila.Aku hanya sampah, tempat sumpah serapah, tempat ejekan dan nyinyiran semua orang bermuara. Apakah memang tak ada lagi sosok yang mau menerima aku apa adanya? Sepahit ini takdir yang tertulis dan harus kuterima?Suara klakson terdengar, membuat memoriku yang dipenuhi kepahitan buyar.“Awaaaasss!!!”Bersama teriakan beberapa orang yang ada di pinggir jalan. Kulihat seorang anak kecil mungkin berusia tiga tahunan tiba-tiba berlari ke jalan raya.“Adeeek, awaaaas!”Aku yang jaraknya tak jauh lagi darinya berlari secepat yang kubisa. Aku tak peduli juga kalau aku harus mati. Toh di dunia ini pun sudah tak ada yang menginginkan. Namun, dia masih suci, masih memiliki masa depan yang panjang.Bruk!Tubuh mungilnya terdorong ke tepi jalan dan membentur trotoar. Tangisnya pecah. Semantara itu, rasa nyeri kurasa mendominasi. Sebelah kakikku terserempet pengemudi motor yang ugal-ugalan itu. Namun setidaknya aku bisa tersenyum lega ketika melihat dia selamat.“Aidan!” Suara seorang lelaki yang baru keluar dari minimarket memekik cemas. Dia gegas berlari dan meraih tubuh mungil yang menangis itu. Dia menggendongnya dan lantas menghampiriku.“Hu--Humaira?” Dia menyebut namaku. Tampak sekali kaget dan terkejut ketika melihatku."Aidan!” Suara seorang lelaki yang baru keluar dari minimarket memekik cemas. Dia gegas berlari dan meraih tubuh mungil yang menangis itu. Dia menggendongnya dan lantas menghampiriku. Wajahnya tampak terkejut dan kaget luar biasa. “Hu--Humaira?” Dia menyebut namaku. Tampak sekali kaget dan terkejut ketika melihatku.“M—Mas Laksa?” Mataku sudah berkaca-kaca. Bukan karena bertemu dengan dia yang dulu pernah berarti lalu pergi, tetapi rasa sakit kurasakan pada kaki semakin menjadi. “Mbak Tini! Tolong jaga Aidan!” Dia menghampiriku. Lantas mengulurkan tangan. Aidan---anak lelaki yang mungkin usianya sekitar tiga tahunan itu langsung berpindah pada gendongan perempuan berpakaian suster yang datang menghampiri dengan wajah pucat pasi. “M—Maaf, Tuan! S—saya tadi ke toilet! J—Jangan pecat saya, Tuan!” Suaranya bergetar. Mas Laksa berdiri kembali dan menatap wajah perempuan perempuan yang meraih Aidan. Tatapannya dingin, wajahnya sama sekali taka da senyuman. Namun perlahan dia menghela n
“Ahm, dia bukan istri saya, Dok. Istri saya sudah meninggal, Dok.” Dia menjawab dengan senyum kecut. Aku menoleh terkejut, “J--jadi, Mbak Kesya sudah meninggal? Rasanya waktu terakhir ketemu masih sehat-sehat saja.” Namun, hanya mampu kuucap dalam diam. Karena setelah itu pun fokusku teralihkan untuk menjawab pertanyaan dokter yang memeriksa kakikku yang selain terkilir juga ada luka goresan. Pemeriksaan dokter pun usai, Mas Laksa pergi ke apotek sebentar untuk menebus obat buatku. Ada satu obat anti nyeri, salep dan sisanya aku tak paham. Katanya semua di minum sehari tiga kali. Setelah itu, mobil langsung melaju dan menuju ke rumahku yang berada tak jauh dari sini. Mobil terhenti di depan rumah. Rumahku tak besar, hanya ada dua kamar. Namun, semenjak aku dan Mbak Rahma besar, dulu Bapak merombak bagian teras depan dan menjadikan kamar itu untukku. Masih terdiri dari setengah dinding permanen saja, bagian atasnya dibuat dari triplek. “Makasih sudah nganter sampai rumah, Mas.” Ak
“Biar Ibu saja yang buka, Ra.” Ibu bangkit dan melangkah ke arah pintu. “Assalamu’alaikum, Bu!” Suara perempuan terdengar. Rupanya Mbak Rahma---kakak seayah tapi beda ibu yang datang. Aku menunduk. Selalu sakit jika melihat dia. Bagaimana tidak, dialah orang yang menggantikanku menikah dengan Mas Iwan setelah aku kehilangan segalanya. “Wa’alaikumsalam!” Kami menjawab serempak. Aku mencoba bersikap biasa ketika wajahnya menyembul. Benar saja, dia bersama lelaki yang hampir saja menjadi suamiku dulu. Mas Iwan melirik sekilas ke arahku, aku memilih menunduk. “Sehat, Mbak?” Aku bangkit dan menyalaminya, memasang wajah tersenyum. Seperti biasa dia memelukku. “Mbak sama Mas Iwan baik, Ra. Dedek juga baik.” Dia mengusap perutnya setelah pelukan kami terlepas. Perih rasanya, seolah dia hendak menunjukkan kebahagiaannya di depanku. Ah, itu hanya perasaanku saja. Mungkin karena luka di dalam sini masih lebar menganga.“Semoga jadi anak soleh, Nak!” tukasku seraya mengusap perut besarnya.A
“Mbak, jawab, Mbak! Apa Mbak tahu sesuatu mungkin … kejadian dua setengah tahun lalu kan terjadi di villa Mas Laksa … apa Mbak tahu sesuatu?” Aku mendesaknya. Entah kenapa tiba-tiba feelingku mengarah ke sana. “Mbak gak tahu apa-apa, Ra. Tadi itu, Mbak cuma kaget saja. Kok bisa ada Mas Laksa di sini. Maklum kita ‘kan orang gak punya. Sekalinya ada orang kaya yang mampir berasa aneh.” Dia menjawab sambil terkekeh. “Yakin gak ada yang Mbak tutup-tutupin?” Aku menyipit. “Ya ampuuun, Humaira. Harus gimana lagi cara Mbak jelasinnya! Lagian sudah dua setengah tahun lalu. Sudah gak usah diungkit lagi. Kamu sudah harus move on, Ra. Harus sudah melupakan masa lalu.” Mbak Rahma berucap seperti biasa. Itulah yang akan dia katakan setiap kali aku menanyakan kejadian dua setengah tahun lalu. Lalu dia menepuk pundakku dan berjalan pergi. Aku masih mematung sendirian ketika suara deru motor terdengar menjauh. Mbah Rahma bahkan langsung pulang dan tak menemuiku lagi. Aku juga sudah lelah. Lekas
“Ra, bisa kita bicara? Sebentar saja.” Mas Rustam menatapku dengan pandangan yang entah. Toko grosiran tempatku kerja memang bersebelahan dengan salah satu toko elektronik milik orang tuanya. “Gak ada lagi yang harus dibicarakan, Mas.” Aku bangkit dan hendak meninggalkannya. Kulirik Meida dan mengisyaratkan agar sotoku dia bawa. Meida mengangguk paham. Namun lenganku dicekal oleh Mas Rustam. “Please, Ra.” Aku mematung ketika terasa cekalan yang cukup erat pada pergelangan tanganku. Lantas kutarik paksa hingga terlepas. “Semua sudah selesai, Mas. Gak ada lagi yang harus dibicarakan.” “Aku sudah memikirkannya lagi. Memikirkannya dalam-dalam. Kita akan tetap menikah, dengan atau tanpa restu keluargaku, Ra.” Mas Rustam berucap yakin dan pasti. Namun, aku tak lagi peduli. Aku setengah berlari meninggalkan dia dan bergegas masuk ke dalam toko. Aku tak mau lagi berandai-andai pada sebuah pernikahan. Buat apa menikah jika hanya menambah permasalahan. Namun, tetap saja terasa sesak. Set
“Ra, please!” Dia hendak meraih tanganku lagi ketika tiba-tiba sebuah mobil berwarna putih berhenti di dekat kami. “Jangan ganggu Humaira!” Suara bariton itu terdengar seiring dengan terbukanya pintu mobil bagian depan dan menampilkan sosok yang kukenal. Aku dan Mas Rustam menoleh ke asal suara. Aku tertegun sejenak. Lelaki dengan kemeja warna navy dengan lengan digulung menjadi tiga perempat itu sudah berdiri tak jauh dari tempatku dan Mas Rustam berada. Tampilannya tampak perlente dan rapi. Mungkin dia baru saja pulang kerja.“Siapa kamu?! Ngapain sok ikut campur urusan saya?!” Mas Rustam menatap tak suka pada sosok lelaki yang baru turun yang tak lain adalah Mas Laksa itu. “Humaira, masuk! Saya antar kamu pulang!” Dia seolah tak menggubris pertanyaan Mas Rustam. Lirikan matanya mengarahkan pada pintu mobilnya yang tertutup. Meski canggung dan bingung, tetapi menghindari Mas Rustam adalah lebih baik. “Ra!” Mas Rustam hendak meraih lenganku, tetapi kalah cepat denganku yang sete
“Ibu, tunggu!” Aku mengejar langkahnya. Malu kalau ujug-ujug dia nanyain Mas Laksa seperti itu. Mau ditaruh di mana mukaku ini? Duh, kok jadi Ibu yang agresif, ya?Langkahku berhasil menjejeri Ibu. Lantas aku menarik lengannya. “Duh, Ra! Hati-hati, loh! Untung gak tumpah.” Ibu mendelik ke arahku ketika teh manis yang ada dalam nampannya nyaris tumpah. “Ibu tolong, ya. Jangan aneh-aneh.” Aku menjejerinya dan terus berbicara. “Aneh-aneh apa, sih, Ra? Ibu cuma mau –“ “Ahm, Ra.” Suara Mas Laksa membuatku dan Ibu yang tengah berdebat di ruang tengah menoleh. Dia sudah berdiri di ambang pintu. “Ya.” Aku menyahut.“Boleh permisi ke toilet sebentar?” “Ahm, silakan, Mas. Langsung saja ke belakang, ya.” “Permisi, ya.” Mas Laksa membungkuk melewati aku dan Ibu yang tengah mematung. Di tangan Ibu ada nampan berisi teh, sedangkan di tanganku ada baskom dan handuk kecil. “Kamu sih, Ra. Ribut mulu. Ibu Cuma mau nanya baik-baik kok sama Nak Laksa.” Ibu menatap punggung Mas Laksa yang menja
Sepanjang perjalanan aku menerka-nerka. Kira-kira dia kirim pesan lagi atau tidak? Beberapa hari ini, hati yang kosong seolah memiliki sedikiit warna. Bahkan tak jarang aku membaca chat dari Mas Laksa berulang-ulang. Ya, Tuhaaan? Apakah aku menaruh harapan pada perhatiannya? Serapuh inikah perasaan gadis yang sudah tak perawan dan usianya sudah tak lagi muda? Malu sendiri rasanya. Lantas kucoba mengubur dalam-dalam selintas senyum Mas Laksa yang mulai mengganggu ingatan. Namun, tetap saja, setiap hari kubaca chatnya sebelum tidur, berulang. Aku mengendurkan laju sepeda motor ketika sudah hampir tiba ke rumah. Tampak di depan rumahku ada dua mobil avanza terparkir. Siapakah mereka yang bertamu. Kalau dari mobilnya, itu bukan punya Mas Laksa. Lalu punya siapa? Sepeda motorku melaju lambat, tetapi tetap jua tiba. Aku parkir di depan karena tampak di teras ada lima orang yang tengah duduk melingkari meja kayu buatan Bapak. Aku menelan saliva ketika melihat lelaki jangkung yang menole