Share

Bab 2

"Aidan!” Suara seorang lelaki yang baru keluar dari minimarket memekik cemas. Dia gegas berlari dan meraih tubuh mungil yang menangis itu. Dia menggendongnya dan lantas menghampiriku. Wajahnya tampak terkejut dan kaget luar biasa.

“Hu--Humaira?” Dia menyebut namaku. Tampak sekali kaget dan terkejut ketika melihatku.

“M—Mas Laksa?” Mataku sudah berkaca-kaca. Bukan karena bertemu dengan dia yang dulu pernah berarti lalu pergi, tetapi rasa sakit kurasakan pada kaki semakin menjadi.

“Mbak Tini! Tolong jaga Aidan!” Dia menghampiriku. Lantas mengulurkan tangan.

Aidan---anak lelaki yang mungkin usianya sekitar tiga tahunan itu langsung berpindah pada gendongan perempuan berpakaian suster yang datang menghampiri dengan wajah pucat pasi.

“M—Maaf, Tuan! S—saya tadi ke toilet! J—Jangan pecat saya, Tuan!” Suaranya bergetar.

Mas Laksa berdiri kembali dan menatap wajah perempuan perempuan yang meraih Aidan. Tatapannya dingin, wajahnya sama sekali taka da senyuman. Namun perlahan dia menghela napas panjang.

“Mbak Tini gak akan saya pecat, hanya akan saya pindah tugaskan!” tegasnya seraya kembali beralih padaku.

“Ayo, bangun!”

Meski ragu, aku meraih jemari kokohnya. Angin berhembus makin kencang dan gerimis mulai berjatuhan. Seperti hatiku, hatiku yang sedang gerimis juga.

“Awww!” Aku meringis. Rasanya kakikku sakit sekali dan tak bisa digerakkan.

“Hmmm … sebentar! Maaf, ya!”

Tanpa kusangka, dia membopong tubuhku begitu saja. Lantas berlari kecil menuju mobil yang terparkir di depan minimarket. Sebuah Alphard warna putih. Dia meminta Mbak Tini membuka pintu belakang setelah suara remote terdengar dia pijit. Sementara itu, aku yang kaget dan tanpa sadar berpegangan erat pada kedua bahu lebarnya.

“Duduknya sambil sandaran, ya ….” Dia bukan bertanya, tetapi memberikan arahan. Karena setelah itu, dia mencondongkan kursi penumpang ke arah belakang.

Aku sampai menahan napas ketika aroma maskulin yang menguar itu menusuk hidung, membuat aku salah tingkah dibuatnya. Beruntung detik-detik itu cepat berlalu. Dia pun segera berlari ke arah depan dan duduk di balik kemudi. Lantas melajukan mobilnya membelah jalanan.

Aidan yang berada di pangkuan Mbak Tini, tampak sudah tenang. Wanita berpakaian suster itu tampak memilih diam.

“Maira, makasih banyak, ya.” Kudengar suara bariton itu berbicara. Dia menyebut Maira, ah iya, namaku kan Humaira Al Husna. Hanya saja sering dipanggil Rara.

“Iya, Mas. Sama-sama. Hmmm … saya biasa dipanggil Rara.” Aku menjelaskan.

“Oke-oke, gak terlalu paham soalnya, maaf.” Dia tampak sungkan.

“Gak apa.” Hanya itu jawabanku, setelahnya kembali diam.

Mobil berhenti di sebuah klinik. Lelaki yang pernah bertemu sekali saja denganku ketika ulang tahun pernikahannya itu lekas turun. Dia meminta Mbak Tini menggendong Aidan juga karena tadi ada luka kecil di kakinya. Sementara itu, aku yang kepayahan bangun. Mau tak mau pada akhirnya pasrah ketika dia menggendongku lagi.

“Maaf, merepotkan.” Aku tersipu. Wajah ini mungkin sudah memerah dibuatnya.

“Gak apa, Ra. Saya yang berhutang nyawa padamu.” Berbicara dalam jarak sedekat ini, justru semakin membuatku gugup. Bagaimana tidak, bahkan aku bisa mencium wangi mint ketika dia berbicara.

Setibanya di dalam klinik, aku didudukkan di kursi tunggu. Sementara itu, dia beranjak menemui seorang suster. Tak berapa lama, sebuah kursi roda datang.

“Ra, duduk di sini saja, ya!” Dia menoleh padaku.

Tanpa sadar, aku malah menggigit bibir. Duh gak enak lagi kalau pindah ke sana harus digendong lagi sama dia. Akhirnya aku berusaha bangkit, tetapi dengan sigap, Mas Laksa kembali membantuku.

“Maaf ya, Mas.” Aku menunduk dalam. Malu dan gak enak juga.

“Gak masalah. Sudah saya bilang. Saya yang berhutang budi sama kamu, Ra.” Tanpa kukira, dia malah berjongkok lantas memandang kakikku yang terasa sakit.

“Maaf, boleh pegang?” tanyanya seraya mendongak sedikit. Aku yang tengah memandanginya mengerjap ketika sepasang mata hazel itu menatap ke arahku.

“E--Emangnya m--mau ngapain, Mas?” tanyaku gugup.

“Ini harus dipijit dulu. Baru dikasih obat dokter. Bentar, ya!”

Tanpa menunggu persetujuanku lagi, dia yang tengah berjongkok itu perlahan memijit pergelangan kakikku. Rasanya sakit sekali ketika dia sedikit menariknya. Namun, benar. Setelahnya terasa agak baikan dan bisa digerakkan.

“Nah, sudah!” Dia tersenyum lantas bangkit, lalu begitu saja pergi dan duduk di samping Mbak Tini yang menggendong Aidan.

“Kakinya saja yang lecet ya, Mbak?” tanyanya seraya mengambil alih anak kecil yang tengah minum susu itu.

“Iya, Tuan. Maaf karena saya sudah lalai.” Lagi-lagi kudengar rasa penyesalan dari wanita itu.

“Hmmm.” Gak ada jawaban. Sikap ramahnya yang tadi berlaku padaku, ternyata tak berlaku pada Mbak Tini.

Ya mungkin Mas Laksa marah. Lagian, sudah tahu jaga anak kecil. Malah ditinggal ke toilet.

Namaku yang sudah didaftarkan pun dipanggil. Mas Laksa menuntun Aidan dan mendorong kursi rodaku ke dalam ruangan dokter. Menyisakkan Mbak Tini di luar sendirian. Sepertinya Mas Laksa trauma, hingga dia tak lagi menitipkan putranya itu untuk dijaga sendirian oleh pengasuhnya.

“Selamat malam, Pak, Bu! Eh ada adek ganteng juga … malam adek!” Dokter perempuan itu terlihat ramah. Dia mempersilakan kami duduk dan menyapa dengan senyuman manisnya.

“Malam, Dok! Minta tolong periksa kakinya, Dok. Sepertinya terkilir.”

“Wah hati-hati, dong, Pak! Istrinya kok sampai terkilir, diapain, nih?” Dokter itu bangkit dan bergurau sambil mendekat.

“Ahm, dia bukan istri saya, Dok. Istri saya sudah meninggal, Dok.” Dia menjawab dengan senyum kecut.

Aku menoleh terkejut, “J--jadi, Mbak Kesya sudah meninggal? Rasanya waktu terakhir ketemu masih sehat-sehat saja.” Namun, hanya mampu kuucap dalam diam. Karena setelah itu pun fokusku teralihkan untuk menjawab pertanyaan dokter yang memeriksa kakikku yang selain terkilir juga ada luka goresan.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yusuf Tafseer
nggak masuk akal kebetulan 1 juta banding satu menolong anak kenalan lama yang istrinya kebetulan juga sudah meninggal. semakin gak rasional saja , author jaman now .........
goodnovel comment avatar
Mince Thomas
lanjutkan lagi...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status