“Kau yakin tidak akan memberatkan? Kau akan sibuk, Ro.” Dean bertanya sambil memandang Rowena yang masih memeriksa jadwalnya pada ponsel. Brad baru saja mengirim detail jadwal mereka berdua untuk dua minggu ke depan. “Tidak masalah. Ini bukan pertama kali aku melakukannya.” Rowena mengangkat bahu. Ia sudah menemani Dean selama beberapa kali masa pemilu. Kesibukan kampanye bukan hal baru untuknya.“Terima kasih, Ro. Aku tidak akan bisa melakukannya tanpamu.” Dean meraih tangan Rowena dan mengecup lembut.“Apa lawan yang kau hadapi kali ini sangat berat? Kau sampai menjadi ekstra manis untuk berterima kasih padaku.” Rowena tersenyum lalu bersandar pada bahu Dean.“Apa maksudmu? Aku selalu manis.” Dean tersenyum lega melihat reaksi Rowena itu. Meski sekian puluh tahun berlalu, Dean terkadang masih khawatir untuk bersikap manis padanya. Ada kala Rowena akan menerima, tapi ada juga saat ia akan membalas dengan ketus. Dean harus bisa membaca keadaan hatinya sebelum bisa melakukannya. Mele
“Aku tidak menyarankan kau melihatnya saat ini juga, masih bisa besok.”Poppy menyarankan, tapi kakinya tetap menginjak pedal gas, melajukan mobil Mae. Poppy menentang rencana Mae untuk menjenguk Ash seketika, karena memang tadi Mae sempat pingsan.Butuh beberapa saat penuh kepanikan untuk menyadarkan Mae tadi. Poppy tidak ingin mengulang itu.“Aku ingin melihatnya sekarang.” Mae mengusap tangannya yang kembali terasa dingin. Ia sejak tadi bersusah payah menghitung angka dalam kepalanya untuk mengurangi cemas—dan mencegah serangan panik. Mae tahu ia harus bisa tenang.Satu-satunya hal yang masih membuat Mae bisa bernapas adalah kata ‘terluka’. Ash terluka setidaknya—bukan lebih buruk dari itu. Mae sengaja tidak bertanya luka itu seperti apa, atau separah apa, karena takut. Ia tidak mau mendengar kabar yang lebih buruk lagi. Pada akhirnya ia akan tahu setelah melihat Ash nanti. “Oh, itu Gina.” Poppy berseru lega, menunjuk Gina yang terlihat berjalan cepat menghampiri, begitu mereka tu
“Kami akan mengawasi perkembangannya, dan terus melaporkan pada Anda kalau ada perubahan, Sir.” Dean mengangguk, dan meminta dokter itu pergi dengan kepalanya. Dokter itu sekilas membungkuk lalu keluar dalam langkah sunyi. Sangat hati-hati. Dean mendesah lalu mendekati ranjang. Memandang Ash yang belum sadar sama sekali semenjak kejadian. “Haruskah kau membuatku secemas ini?” keluh Dean sambil menggenggam tangan Ash. Masih hangat tapi lemas. Sudah sekitar dua jam ia menunggu dan belum ada perubahan. “Aku harus berterima kasih padamu? Kata dokter kau tidak melepaskan leher Ash sama sekali untuk memperlambat pendarahannya.” Dean berpaling pada Ian yang ada di sudut ruangan. “Tidak perlu, Sir.” Ian menjawab serius dengan sikap tegap sempurna. “Ya, itu tugasmu sebenarnya. Kalian teman sampai sekarang.” Dean bergumam, lalu kembali memandang Ash. Mengusap selang yang menjadi alat bantu napas Ash. “Sampai sekarang aku masih heran atas pilihan Ash. Tapi kalian bertahan rupanya.” Ian
“Kau masih disini?” Gina terkejut mendapati suaminya masih ada di depan kamar Mae dirawat.“Aku ingin pulang bersamamu. Aku sudah menghubungi Ethel tadi.” Parker meraih tangan istrinya, dan mereka bergandengan keluar dari area rumah sakit.“Ethel kemungkinan tidak peduli kita dimana.” Gina tersenyum. Anaknya yang berusia remaja itu sedang ada dalam periode tidak acuh. Ia saat ini lebih peduli pada ponsel dari pada makhluk hidup.“Bagaimana keadaannya?” tanya Parker, menunjuk ke belakang, bertanya tentang Mae.“Tidur setelah lelah menangis. Poppy akan menemaninya. Besok pagi aku akan menggantikannya—sekaligus mengantarnya pulang.” Gina menghela napas panjang sambil memijat keningnya. Ikut pusing karena menangis. Air mata Mae mudah sekali mengundang iba.“Karena itu aku menunggumu. Kau pasti akan menangis.” Parker tersenyum. Ia tahu istrinya mudah iba.“Yang ini—aku rasa sangat ekstra. Kata Poppy dia yatim piatu, dan adiknya sakit. Tidak ada yang akan mengurusnya.” Gina sudah berhenti m
“Daddy, apa aku bisa melihat Ash hari ini?” Dean yang baru saja menghirup kopinya, harus menahan keluhan dalam hati. Amy menagih janjinya seketika begitu membuka mata. Bahkan turun ke ruang makan masih memakai piyama.Dean melirik Rowena yang juga sedang menikmati teh. Tidak tampak mendengar pertanyaan Amy, fokus pada ponselnya. “Nanti, Amy. Aku belum mendapat kabar lagi,” kata Dean sambil mengulurkan tangan, dan mengangkat Amy agar duduk di pangkuannya. “Kenapa belum? Aku mau sekarang!” Sepertinya pengertian yang tadi malam ada karena kantuk, karena sekarang Amy sudah siap merengek. “Tidak bisa. Kau kesana sekarang pun Ash tidak akan tahu. Ia belum sadar.” Dean sudah membaca laporan yang masuk ke ponselnya tadi pagi. Ash lebih stabil, tapi belum sadarkan diri.“Suruh bangun!” Dean ingin tertawa, tapi salah rasanya. “Seandainya semudah itu, Amy. Daddy akan meminta Ash bangun sejak kemarin.” “Aku ingin melihatnya sekarang pokoknya!”“Amy, turuti ayahmu. Nanti.” Pendek, jelas, t
Ash membuka mata kurang lebih satu jam yang lalu—atau mungkin berjam-jam. Ash tidak bisa mengira-ngira. Kesadarannya kembali perlahan, dan Ash memilih diam selama prosesnya. Ia bahkan memejamkan mata saat ada perawat yang datang memeriksa keadaannya. Tidak ingin ada keributan saat dokter datang dan lainnya. Ash memilih fokus fokus mencerna keadaannya sendiri tanpa bergerak sama sekali. Selain karena rasa sakit di lehernya, Ash juga tengah menerjemahkan dimana, kapan, apa yang terjadi pada dirinya. Ash bersyukur ingatannya tidak ada yang cacat. Ia ingat menyelamatkan sandera dan juga Ian. Peluru itu pasti untuk sandera yang sedang bersama Ian. Entah untuk siapa, tapi Ash tidak rela ada yang terluka dari keduanya. Ingatan itu juga mengherankan Ash. Seharusnya saat ini Ian bersamanya, paling tidak berlutut menyembah di kakinya sebagai ucapan terima kasih, bukan malah meninggalkannya sendiri. Ash perlahan mengangkat tangannya saat rasa lemasnya jauh berkurang. Membuka dan menutup jari
“Kalian semua libur besok dan buatlah janji dengan dokter mata!” Dean mendesis, menatap barisan RaSP yang menunduk. Tidak ada yang berani menatap matanya.“Kalian merasa hebat? Setelah semua itu kalian masih merasa perlu ada disini untuk bekerja?!” Seandainya saja tidak ada di rumah sakit—di tempat umum, Dean sudah membentak sejak tadi. Masalahnya bukan hanya para bodyguard itu yang mendengar, tapi ada juga dokter dan perawat di sana. Sama, dalam keadaan menunduk bersalah. Mereka juga seharusnya tahu di mana Ash.“Daddy, mana Ash?” Amy menggoyangkan tangan Dean untuk bertanya. Amy juga menjadi alasan Dean untuk tidak amat marah.“Sudah tidak ada di sini.” Dean mengatakannya sambil menatap barisan bersalah itu—untuk menambah beban rasa bersalah karena telah membuat Amy kecewa. Membuat anak berwajah manis seperti malaikat kecewa, seharusnya membuat hati mereka lebih terguncang.“Kami akan segera melakukan pencarian, Sir.” Komandan dari penjaga itu maju, untuk memperbaiki kesalahannya ta
“Mae, Aku mohon pelan sedikit.” Poppy mengeluh karena kecepatan berjalan Mae meningkat tajam. Dari yang sebelumnya Poppy harus sedikit menyeret tubuhnya, kini Mae hampir berlari semenjak mereka turun dari mobil. Tapi Mae tidak mendengar permohonan apapun saat ini. Ia hanya fokus pada tanda panah yang bertuliskan nama bangsal yang tadi tertulis pada pesan Ash. “Kau dulu kalau begitu.” Poppy menyerah dan akhirnya membiarkan Mae meninggalkannya. Staminanya yang hanya terbiasa merajut tidak sebagus itu. Ia tidak mungkin mengejar saat Mae benar-benar berlari saat mereka sudah sampai pada deretan bangsal tempat Ash dirawat. Poppy tidak akan berusaha menyusul. “ASH!” Mae mendorong pintu sampai terbuka, dan berlari masuk. Ian yang berdiri di samping ranjang, dan melonjak terkejut, tidak ubahnya debu bagi Mae. “Jangan dulu… Ash tid—Ya, sudah. Silakan.” Ian mengangguk saja dan menyingkir saat Mae menghambur memeluk Ash—yang memang sedang tertidur. Cukup nyenyak sebenarnya, karena pengaruh